Friday, April 12, 2013

SINKRETISME SEBAGAI CIRI ISLAM JAWA



Disusun oleh :
1. Vina Inayatul Maula    (124211008)
2.   Fathin Nabela            (124211009)



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Menelisik sejarah Jawa yang menjadi tempat untuk didatangi bangsa-bangsa lain, dan kemudian menjadi tempat penyebaran dan tumbuh kembangnya agama-agama besar dunia, maka membuktikan bahwa budaya dan peradaban Jawa ramah dan toleran terhadap budaya dan peradaban lain.

Salah satu dari sifat masyarakat Jawa adalah bahwa mereka religius dan bertuhan. Sebelum agama-agama besar datang ke Indonesia, khususnya Jawa, mereka sudah mempunyai kepercayaan adanya Tuhan yang melindungi dan mengayomi mereka. Dan keberagaman ini semakin berkualitas dengan masuknya agama-agama besar seperti Hindu, Budha, Islam, Katholik dan protestan ke Jawa. Namun dengan pengamatan selintas dapat diketahui bahwa dalam keberagamaan rata-rata masyarakat Jawa adalah nominalis, dalam arti bahwa mereka tidak bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ajaran-ajaran agamanya. Ada diantara mereka yang benar-benar serius dalam melaksanakan ajaran-ajaran agamanya. Ada juga yang berusaha serius tetapi ada hambatan-hambatan khusus, seperti ewuh dengan lingkungan yang tidak mendukung, takut dikatakan sok semuci dan sebagainya, membuat mereka kurang serius dalam mengekspresikan keagamaannya secara utuh.

Dengan ini berakibat kepada beberapa hal, yang antara lain mudahnya mereka untuk tergiur dalam mengadopsi kepercayaan, ritual dan tradisi dari agama lain, termasuk tradisi asli pra Hindu Budha yang dianggap sesuai dengan alur pemikiran mereka. Dengan demikian, secara sadar atau tidak, mereka telah melakukan sinkretisasi antara ajaran Islam dengan ajaran-ajaran dari luar Islam (Budha, Hindu dan kepercayaan asli).[1]

B.     Rumusan Masalah
1.      Pengertian sinkretisme
2.      Munculnya Islam sinkretik dalam masyarakat Jawa
3.      Contoh-contoh sinkretisme


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Sinkretisme

Secara etimologi, sinkretisme berasal dari perkataan syin dan kretiozein atau kerannynai, yang berarti mencampurkan elemen-elemen yang saling bertentangan. Adapun pengertiannya adalah suatu gerakan di bidang filsafat dan teologi  untuk menghadirkan sikap kompromi pada hal-hal yang agak berbeda dan bertentangan. Simuh menambakan bahwa sinkretisme dalam beragama adalah suatu sikap atau pandangan yang tidak mempersoalkan benar salahnya suatu agama, yakni suatu sikap yang tidak mempersoalkan murni atau tidaknya suatu agama. Bagi yang menganut paham ini semua agama dipandang baik dan benar. Oleh karena itu, mereka berusaha memadukan unsur-unsur yang baik dari berbagai agama, yang tentu saja berbeda antara satu dengan lainnya, dan dijadikannya sebagai suatu aliran, sekte dan bahkan agama.[2]

Di kalangan masyarakat Jawa terdapat orang-orang muslim yang benar-benar berusaha menjadi muslim yang baik, dengan menjalankan perintah agama dan menjauhi larangannya. Disamping itu juga terdapat orang-orang yang mengakui bahwa diri mereka muslim, tetapi dalam kesehariannya tampak bahwa ia kurang berusaha untuk menjalankan syariat agamanya dan hidupnya sangat diwarnai oleh tradisi dan kepercayaan lokal.

Dalam menerangkan keberagaman masyarakat muslim Jawa, Koentjaraningrat membagi mereka menjadi dua, yaitu agama Islam Jawa dan agama Islam santri. Yang pertama, kurang taat kepada syari’at dan bersikap sinkretis yang menyatukan unsure-unsur pra Hindu, Hindu dan Islam. Sedangkan yang kedua lebih taat dalam menjalankan ajaran-ajaran agama Islam dan bersifat puritan (orang yang hidup saleh dan menganggap kemewahan dan kesenangan sebagai dosa). Namun demikian, meski tidak sekental pengikut agama Islam Jawa dalam keanekaragamaan, para pemeluk Islam santri juga masih terpengaruh oleh animisme, dinamisme dan Hindu Budha.[3]

B.     Munculnya Islam sinkretik dalam masyarakat Jawa

Membaca lahirnya sinkretisme Islam-Jawa ada baiknya jika dihubungkan dengan masuknya Islam di Jawa. Ada tiga hal yang sangat penting untuk diketahui berkaitan dengan latar belakang sejarah sinkretisme Islam-Jawa. Pertama, pada waktu itu sejarah Islam tercatat dalam periode kemunduran. Runtuhnya Dinasti Abbasiyah oleh serangan Mongol pada 1258 M., dan tersingkirnya Dinasti Al-Ahmar (Andalusia/Spanyol) oleh gabungan tentara Aragon dan Castella pada 1492 M menjadi pertanda kemunduran politik Islam. Begitu juga arus keilmuan dan pemikiran Islam saat itu terjadi stagnasi (kemacetan).

Hal ini berpengaruh pada tipologi penyiaran Islam yang elastis dan adaptif terhadap kekuatan unsur-unsur local, mengingat kekuatan Islam baik secara politik maupun keilmuan sedang melemah. Bertepatan pada akhir abad XV di mana terjadi Islamisasi secara besar-besaran di tanah Jawa, maka metode dakwah Islam seperti pada umumnya waktu itu bercorak apresiatif dan toleran terhadap budaya dan tradisi setempat.

Kedua, pandangan hidup masyarakat Jawa sangat tepo seliro dan bersedia membuka diri serta berinteraksi dengan orang lain. Menurut Marbangun Hardjowirogo, masyarakat Jawa lebih menekankan sikap atau etika dalam berbaur dengan seluruh komponen bangsa yang bermacam-macam suku dan bahasa, adat dan termasuk agama. Karena manusia Jawa sadar bahwa tak mungkin orang Jawa dapat hidup sendiri. Pandangan demikian senada dengan filsafat Tantularisme khas Jawa yang mengajarkan humanisme dalam segala bidang dan menentang segala bentuk ekslusivisme (paham yang mempunyai kecenderungan untuk memisahkan diri dengan masyarakat) dan sektarianisme (semangat membela suatu sekte atau mazhab, kepercayaan, atau pandangan agama yang berbeda dari pandangan agama yang lebih lazim diterima oleh para penganut agama tersebut).

Ketiga, sebelum Islam membumi di Jawa, yang membingkai corak kehidupan masyarakat adalah agama Hindu-Budha serta kepercayaan animisme maupun dinamisme. Hindu, Budha, animisme maupun dinamisme yang menjadi sistem kepercayaan atau agama tentunya (sesuai agama-agama lain) telah mengajarkan konsep-konsep religiusitas yang mengatur hubungan menusia dengan Tuhan yang diyakini sebagai pencipta alam.

Bahwasanya pada dasarnya semua system kepercayaan maupun agama telah membangun nilai-nilai universal tentang tatanan hubungan manusia dengan Tuhan maupun dengan sesamanya, merupakan esensi dan substansi ajaran yang terserap dalam tradisi-tradisi lokal di tanah Jawa. Hal ini secara langsung mempengaruhi pemikiran masyarakat Jawa terhadap nilai baru yang bernama Islam. Untuk meneropong universalisme budaya dan agama Jawa terhadap substansi ajaran agama lain, dapat kita lihat dengan mendekatkan ajaran-ajaran tersebut, yakni Hindu, Budha, animisme dan dinamisme yang menjadi prinsip keberagamaan masyarakat Jawa Pra-Islam.

Tiga hal inilah yang melatarbelakangi masuknya Islam di tanah Jawa, terhitung cukup mudah dan bisa berinteraksi secara damai dengan masyarakat. Tetapi di samping itu tidak terlepas pula peran besar Walisongo yang menggunakan metode yang toleran dan akomodatif terhadap budaya dan agama Jawa.

Pada masa awal sinkretisasi Islam-Jawa, agama Islam lebih dulu kuat di pedesaan. Setelah itu, baru kemudian Islam masuk ke ranah perpolitikan. Berdirinya Kerajaan Demak pada abad XVI sekaligus sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa adalah bukti usaha penyiaran Islam yang dipelopori oleh Walisongo dengan membangun kekuatan politik. Dan secara keseluruhan model-model etika menghormati kepercayaan yang sudah ada ditekankan sekali, dan sinkretisme-lah metode yang paling tepat pada waktu itu untuk menyebarkan Islam.[4]

C.     Contoh-contoh sinkretisme

Untuk lebih mengkongkritkan pengertian dan pemahaman tentang masalah sinkretisme, berikut ini diuraikan beberapa contoh:

a.       Penggabungan antara dua agama atau aliran atau lebih
    Menggabungkan dua agama atau lebih dimaksudkan untuk membentuk suatu aliran baru, yang biasanya merupakan sinkretisasi antara kepercayan (lokal Jawa) dengan ajaran agama Islam dan agama lainnya.
Sebagai contoh dari langkah ini adalah ajaran Ilmu Sejati yang diciptakan oleh Raden Sujono alias Prawirosudarso, yang berasal dari Madiun. Menurut pengakuannya, ajaran Ilmu Sejati diasaskan pada kesucian yang dihimpun dari ajaran Islam, Kristen, dan Budha. Dan apabila ajaran tersebut diteliti dengan seksama, akan terlihat bahwa pengakuannya tidak salah. Sebagai contoh, aliran ini mengajarkan sadat (syahadat) yang berbunyi sebagai berikut: “Ashadu Allah ananingsun, anane ambekan, anane rasul, anane johar. Wa ashadu anane urip, anane mukamad, anane nur, nur tegese padhang, johar tegese padhang, mukamad lan rasul iku tegese cahya, nur johar tegese padhang”.

b.      Bidang ritual
Bagi masyarakat tradisional, pergantian waktu dan perubahan fase kehidupan adalah saat-saat genting yang perlu dicermati dan diwaspadai. Untuk itu mereka mengadakan crisis rites dan rites de passage, yaitu upacara peralihan yang berupa slametan, makan bersama (kenduri), prosesi dengan benda-benda keramat dan sebagaimya. Begitu pula sebelum Islam datang, di kalangan masyarakat Jawa sudah terdapat ritual-ritual keagamaan. Hal ini diwujudkan dalam bentuk slametan yang berkait dengan siklus kehidupan, seperti kelahiran, kematian, membangun dan pindah rumah, menanam dan memanen padi, serta penghormatan terhadap roh para leluhur dan roh halus. Ketika Islam datang ritual-ritual ini tetap dilanjutkan, hanya isinya diubah dengan unsur-unsur dari ajaran Islam. Maka terjadilah islamisasi Jawaisme (keyakinan dan budaya Jawa).

1.      Upacara Midodareni

Upacara Midodareni misalnya, adalah suatu ritual yang dilangsungkan pada malam hari menjelang hari perkawinan. Ritual ini dimaksudkan sebagai usaha keluarga pengantin untuk mendekati para bidadari dan roh halus supaya melindungi kedua calon pengantin dari marabahaya yang menganggu jalannya perkawinan dan hari-hari sesudahnya. Dikalangan muslim yang taat dalam beragama, ritual ini diisi dengan pembacaan barzanji, kalimat toyyibah, dan tahlil. Tapi dikalangan masyarakat yang kurang taat dalam beragama, acara ini digunakan sebagai alasan untuk mengadakan lek-lekan dan keplek sampai pagi.

2.      Upacara brokohan dan sepasaran

Dalam Islam, ketika seorang bayi lahir, ayah ibunya disyariatkan untuk melaksanakan aqiqah, dengan menyembelih seekor kambing kalau yang dilahirkan perempuan, dan dua ekor kambing kalau yang dilahirkan laki-laki. Namun kenyataan menunjukkan masyarakat muslim Jawa tidak melaksanakan perintah ini. Sebagai gantinya mereka mengadakan upacara brokohan (diadakan setelah bayi lahir ke dunia ni dengan selamat) dan sepasaran (ketika bayi berusia lima hari), dengan harapan dan doa, agar anak yang dilahirkan tersebut akan menjadi orang linuwih di kemudian hari.

c.       Dalam doa dan mantera

Salah satu jasa Sunan Makhdum Ibrahim, yang dikenal sebagai Sunan Bonang, dalam menyebarkan Islam di Jawa adalah mengganti nama-nama dewa-dewa yang terdapat dalam mantera-mantera dan doa dengan nama nabi, malaikat, dan tokoh-tokoh terkenal di dalam Islam. Dengan cara ini diharapkan masyarakat berpaling dari memuja dewa-dewa dengan menggantinya dengan tokoh-tokoh yang berasal dari dunia Islam.
Berikut ini adalah dua contoh mantera dan doa.

1.      Mantera atau doa untuk mendapatkan keperkasaan jasmani:
Bismillahirrohmanirrohim
“jabarail sumurup maring Fatimah.fatimah sumurup maring badandu.kapracaya dening Allah ta’ala.cikantik macan putih dudu macan putih.mangko iki macan putih saking Allah.ia ilaha illa’llah Muhammad Rosulu’llah”.
Doa ini dibaca setelah mandi 14 kali dalam semalam dan memakan 80 biji botor(biji kecipir).

2.      Mantera atau doa untuk dapat menghilang.
Bismillhirrohmanirrohim.
“Cur mncur cahyaning Allah,sungsum balung rasaning pangeran,getting daging rasaning pangeran,otot lamat-lamat rsaning pangeran.kulit wulu rasaning pangeran,iya ingsun mancuring allah jatining manungsa,ules pulih Muhammad lungguhku, allah,nek putih rasaning nyawa,badan allah sangkalebet putih iya ingsun nagara sampurna. .

d.      Menggabungkan agama dengan budaya local

Yang dimaksud dalam konteks ini adalah melaksanakan syari’at Islam dengan kemasan budaya Jawa. Berbakti kepada orang tua adalah wajib. Dalam melaksanakan syari’at ini masyarakat Jawa biasanya menggunakan media sungkem. Begitu pula dalam rangka memperingati Idul Fitri, masyarakat menyiapkan hidangan kupat dan lontong. Secara keratabasa, ‘kupat’ dapat diartikan ngaku lepat. Sedangkan lontong dapat diartikan olone kothong.[5]

D.    Reaksi terhadap Usaha Sinkretisasi

Dalam mengahadapi sinkretisasi ajaran-ajaran Islam dengan tradisi Jawa pra-Islam, paling tidak telah muncul tiga pendapat. Di kalangan masyarakat Jawa terdapat orang-orang muslim taat, yang kalu ditanya tentang landasan dalam mengamalkan ajaran-ajaran Islam, mereka menjawab landasanya adalah al-Quran dan as-Sunnah. Namun meskipun mereka mempunyai landasan yang sama, implementasi gagasan ini di lapangan berbeda antara satu kelompok dengan kelompok yang lainnya. Kelompok pertama, yang berusaha untuk mengamalkan ajaran-ajaran Islam dengan baik dan bersikap hati-hati dalam menyikapi tradisi dan budaya lokal, terutama yang dianggapnya berbau takhayul, khurafat, dan syirik. Bagi yang menerima pendapat ini, al-Quran dan as-Sunnah sudah mengatur peri kehidupan serta semua tata cara ritual dan kepercayaan untuk semua pemeluk agama Islam. Oleh karena itu bagi mereka, ritual-ritual dan kepercayaan-kepercayaan yang tidak diajarkan di dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul tidak perlu, dan bahkan haram dikerjakan. Kelompok kedua, kelompok moderat. Orang-orang yang berada dalam kelompok ini beranggapan bahwa dalam berdakwah, seorang dai atau mubaligh harus menggunakan al-hikam (cara-cara yang bijak). Oleh karena itu, dalam menghadapi masyarakat Jawa yang sudah mbalung sum-sum dengan tradisi dan adat istiadat lama tidak boleh digunakan cara-cara radikal yang justru dapat menjauhkan para mubaligh dari obyek dakwah. Kelompok ketiga, mereka yang dapat menerima sinkretisme secara keseluruhan.[6]


BAB III
KESIMPULAN

Secara etimologi, sinkretisme berasal dari perkataan syin dan kretiozein atau kerannynai,yang berarti mencampurkan elemen-elemen yang saling bertentangan. Adapun pengertiannya adalah suatu gerakan di bidang filsafat dan teologi  untuk menghadirkan sikap kompromi pada hal-hal yang agak berbeda dan bertentangan.

Munculnya Islam sinkretik dalam masyarakat Jawa: Pertama, pada waktu itu sejarah Islam tercatat dalam periode kemunduran. Kedua, pandangan hidup masyarakat Jawa sangat tepo seliro dan bersedia membuka diri serta berinteraksi dengan orang lain. Ketiga, sebelum Islam membumi di Jawa, yang membingkai corak kehidupan masyarakat adalah agama Hindu-Budha serta kepercayaan animisme maupun dinamisme.


BAB IV
PENUTUP

Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin. Demikianlah makalah yang dapat kami buat, kami menyadari akan keterbatasan pengetahuan kami dalam pembuatan makalah ini. Untuk itu, kami mengharap adanya kritik dan saran dari pembaca demi sempurnanya makalah kami yang selanjutnya. Kami mohon maaf atas segala kekurangan makalah yang kami buat ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.


DAFTAR PUSTAKA

Amin, MA, Drs. H. M. Darori. Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta:Gama Media, 2000



Catatan Kaki :


[1] Drs. H. M. Darori Amin, MA, Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta:Gama Media, 2000),  hlm 85-87
[2] Ibid, 87
[3] Ibid, 91-92
[5]Drs. H. M. Darori Amin, MA, Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta:Gama Media, 2000),  hlm 97-107
[6] Ibid, 108-111

Tuesday, April 9, 2013

PERIWAYATAN HADITS



Disusun oleh :
1. Vina Inayatul Maula    (124211008)
2.   Fathin Nabela              (124211009)


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Hadits merupakan sumbar warisan yang di tinggalkan Rasulullah SAW kepada umatnya untuk dapat menjadikannya pedoman setelah Al Qur’an, sehingga kedudukan hadits menjadi penting sebagai rujukan pengambilan hukum Islam setelah Al Qur’an. Untuk dapat menentukan apakah sebuah Hadits layak untuk menjadi rujukan dalam hukum Islam, maka memerlukan suatu cabang ilmu yang disebut Ulumul Hadits.

Nabi Muhammad SAW bukanlah seorang kepala Negara atau raja, tetapi beliau dihormati oleh para sahabatnya. Seluruh perbuatan serta tutur katanya menjadi perhatian para sahabat. Segala gerak-gerik beliau dijadikan contoh dan pedoman hidup bagi para sahabat. Karena itu, mereka sangat memperhatikan perilaku serta apa yang telah disabdakan Nabi SAW. Sebagai seorang nabi, tentu beliau memiliki teknik dan cara tersendiri untuk mencontohkan perilaku serta menyampaikan hadits kepada para sahabatnya. Menurut riwayat Imam Bukhari, Ibnu Mas’ud pernah berkata, “Untuk tidak melahirkan rasa jenuh di kalangan sahabat, Nabi SAW menyampaikan hadits-haditsnya dengan berbagai cara.”

Dalam konteks historis, periwayatan hadits tidak seberuntung Al-Qur’an yang memang sejak awal telah dilakukan kodifikasi dan pembukuan. Sementara kodifikasi hadits dilakukan lebih belakangan jauh setelah wafatnya Nabi SAW. Dengan demikian periwayatan hadits menjadi problematik dan banyak mengundang kritik dari para orientalis yang cukup tajam dan bahkan memandang terhadap otentisitasnya. Untuk itu, kajian dalam makalah ini ingin mengungkap dan menelusuri pengertian periwayatan hadits, metode periwayatan hadits, dan syarat-syarat periwayatan hadits.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian periwayatan dan kesaksian?
2.      Apa saja syarat-syarat dalam meriwayatkan hadits?
3.      Bagaimana tata cara periwayatan hadits?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian periwayatan dan kesaksian

                        Periwayatan secara etimologi diambil dari kata Al-Riwayat dalam bahasa Arab yang merupakan bentuk masdar dari kata kerja “rawa yarwi riwayatan” yang dapat berarti   al-naql (penukilan), Al-zikr (penyebutan), al-fatl (pintalan) dan al-istiqa (pemberian minum sampai puas), atau dalam istilah ini terkait dengan kegiatan menghimpun kitab-kitab hadis yang dikenal riwayat hadis. Dalam bahasa Indonesia periwayatan yang diserap dari bahasa Arab mempunyai arti cerita atau sejarah.    Adapun orang yang meriwayatkannya disebut dengan rawi, yang diriwayatkan disebut marwiy, rangkaian para periwayatanya yaitu sanad dan substansi yang setelah sanad dinamai matan.    
 
                        Sedangkan periwayatan hadits adalah proses penerimaan (naql dan tahammul) hadits oleh seorang rawi dari gurunya dan setelah dipahami, dihafalkan, dihayati, diamalkan (dhabth), ditulis dan disampaikan kepada orang lain sebagai murid dengan menyebutkan sumber pemberitaan riwayat tersebut.

                        Dalam proses ini terjadi dua peristiwa, yaitu tahammul dan ada’. Tahammul adalah cara penyampaian hadits dari seorang syaikh atau guru kepada muridnya. Sedangkan ada’ adalah proses penerimaan hadits oleh seorang murid dari syaikh atau gurunya. Dengan demikian, antara dua peristiwa di atas tidak bisa dipisahkan karena keduanya saling berkaitan.

Sedangkan pengertian syahadah atau kesaksian, secara etimologi mempunyai tiga arti, yaitu menghadiri atau mendapati, mengkhabarkan dan mengetahui.
Secara terminologi kesaksian adalah suatu khabar yang khusus, dimaksudkan untuk menjadi dasar putusan hakim. Demikian kata Al-Mazari dalam syarah Al Burhan. Sedangkan menurut Ibnu Faris kesaksian adalah mengkhabarkan yang disaksikan.[1]

Ulama umumnya berpendapat, persamaan periwayatan dan kesaksian terletak pada empat hal, yaitu pelakunya haruslah beragama islam, berstatus mukalaf (baligh dan berakal), bersifat adil dan bersifat dlabit. Dan semua itu menjadi syarat yang harus dipenuhi bagi periwayat hadis dan saksi. Oleh karena itu periwayat hadis pun bisa dikatakan saksi atas berita yang diriwayatkannya, seperti yang dikenal dalam ilmu sejarah, selama hal ini tidak disamakan persis dalam kesaksian perkara dikarenakan terdapat persamaan dan perbedaan dalam hal ini.

B.     Syarat-syarat dalam periwayatan Hadits

Semua ulama’ hadits, ushul dan fiqih mensyaratkan untuk orang yang dapat kita berhujjah dengan riwayatnya memenuhi persyaratan-persyaratan, yakni sebagai berikut:

1.      Islam

Pada waktu meriwayatkan suatu hadits, maka seorang perawi harus muslim, tidak dapat di terima riwayat orang kafir, walaupun dia bukan orang yang berdusta. Allah menyuruh kita berhati-hati menerima riwayat orang fasik, sebagaimana yang di terangkan dalam ayat 6 surat Al Hujurat:

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

2.      Sudah sampai umur (baligh)

Tidak dapat di terima riwayat anak-anak yang belum sampai umur, mengingat hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad Abu Daud dan Al Hakim dari Umar dan ‘Ali yaitu:

رُفِعَ القَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ الْمَجْنُوْنِ المَغْلُوْبِ عَلَى عَقْلِهِ حَتَّى يَبْرَأُ وَعَنِ النَا ئِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمُ (رواه ابوداود والنسإ)

Artinya:
“Diangkat kalam dari tiga orang: dari orang gila, yang di gagahi akalnya sehingga  dia sembuh, dari orang tidur sehingga ia bangun dan dari anak-anak sampai dia mimpi (baligh).” (HR. Abu Daud dan Nasa’i)

Sampai umur adalah dasar untuk menetapkan seseorang itu mempunyai paham dengan pengertian.
Para ulama’tidak menerima riwayat anak kecil adalah karena anak kecil belum menyadari akibat berdusta dan syara’ tidak membenarkan anak kecil menjadi wali terhadap dirinya sendiri dalam urusan keduniaan.

3.      Keadilan

Yaitu sifat yang tetap terhunjam pada seseorang yang bersifat dengan keadilan itu berlaku taqwa dan memelihara muru’ah, karenanya timbullah kepercayaan masyarakat kepadanya.

Disamping itu ia memelihara diri dari dosa dosa besar dan sebagian dosa kecil, seperti mencuri sesuatu makanan orang, serta keharusan menjauhi perbutan-perbuatan yang mubah yang merusakkan muru’ah, seperti makan sambil berjalan, berkemih dijalan besar, menggauli orang-orang yang rendah pekerti atau terlalu suka bergurau.

4.      Kedlabitan

Dlabith adalah perhatian perawi kepada yang didengar ketika dia menerimanya serta memahami apa yang didengarnya itu, sehingga ia menyampaikannya kepada orang lain.
Dlabith terbagi menjadi 2:
-          Dlabith shadar adalah perawi yang menghafalkan dengan baik
-          Dlabith kitab adalah perawi memelihara kitabnya dengan baik dari kemasukan sisipan ataupun sebagainya.

C.     Tata cara periwayatan Hadits

Berbagai keterangan sejarah telah menjelaskan bahwa menghafal merupakan cara utama dalam menjaga sunah, baik pada periode nabi, sahabat, maupun tabi’in. Hafalan-hafalan yang dilakukan oleh para periwayat hadits tentunya di dapatkan dari guru-guru mereka, tetapi bagaimana cara-cara mereka mendapatkan hadits (طرق التّحمّل) dari gurunya tersebut.

Dalam ilmu hadits ada istilah bentuk penyampaian (صيغة الأداء) yang digunakan untuk meriwayatkan atau menyampaikan hadits. Bentuk penyampaian dan periwayatan hadits tersebut berpengaruh pada tingkatan peiwayatan hadits nantinya.jika hadits di terima dengan cara sama’ (mendengar), maka nilainya akan lebih tinggi dibandingkan dengan penyampaian hadits dalam bentuk qira’ah (membaca), dan seterusnya. Selain itu, bentuk penyampaian periwayatan juga akan berpengaruh pada bentuk lafal penyampaian haditsnya. Misalnya, kata سَمِعْتُ “aku telah mendengar” dan حَدَّثَنِي  “telah bercerita kepadaku” adalah bentuk bentuk lafal periwayatan hadits dari seorang periwayat yang mendengarkan hadits secara langsung dari gurunya. Jadi, dalam periwayatan hadits ada beberapa lafal atau kata yang digunakan untuk meriwayatkan hadits.[2]

Jalan untuk meriwayatkan hadits ada delapan, yaitu as-sama’, al-qira’ah, al-munawalah, al-kitabah, al-i’lam, al-washiyyah, dan al-wijadah.
Berikut ini masing-masing penjelasannya:

1.     As-Sama’ (السَّمَاعُ)

Maksud periwayatan hadits dengan cara as-sama’ adalah seorang rawi menerima langsung periwayatan gurunya dengan cara mendengarkan bacaan dari hafalan atau tulisan sang guru. Dalam periwayatan bentuk as-sama’, biasanya seorang guru membacakan haditsnya, sedangkan murid mendengarkan dengan seksama untuk kemudian menulis apa yang telah ia dengar, atau hanya mendengar saja untuk kemudian menghafalnya.
Di dalam periwayatan yang berbentuk as-sama’, disyaratkan antara guru dan murid terjadi pertemuan. Namun, pertemuan tersebut tidak harus bertemu muka. Menurut pandangan jumhur ulama’, periwayatan hadits dengan adanya tabir (penghalang) yang memisahkan antara sang guru dan murid sudah dianggap sah dan tergolong periwayatn bentuk as-sama’. Syaratnya, yang di dengar sang murid benar-benar suara gurunya.
Periwayatan hadits dari belakang tabir pernah dicontohkan oleh Aisyah. Ketika meriwayatkan hadits, Aisyah berada di belakang tabir,kemudian para sahabat berpedoman pada suara tersebut dalam meriwayatkan hadits-hadits Aisyah.
Menurut jumhur ulama’, as-sama’ merupakan periwayatan yang paling tinggi dalam periwayatan hadits. Jika melihat pada masa Nabi, cara as-sama’ adalah cara yang sering dilakukan. Para sahabat mendengarkan dengan seksama apa yang dikatakan Nabi SAW, kemudian para sahabat saling mencocokkan hadits yang telah didapat dari Nabi SAW tersebut.
Kata atau lafal yang digunakan dalam penyampaian hadits dengan cara as-sama’ diantaranya adalah سَمِعْتُ ‘aku telah mendengar’ dan حَدَّثَنِي ‘telah menceritakan kepadaku’. Namun, jika yang meriwayatkan itu banyak, maka lafalnya adalah سَمِعْنَا ‘kami telah mendengar’ dan حَدَّثَنَا ‘telah menceritakan kepada kami. Kata-kata tersebut menunjukkan bahwa rawi mendengarkan hadits dari sang guru secara bersama-sama.    

2.     Al-Qira’ah (القِرَاءَةُ)

Al-Qira’ah adalah periwayatan hadits dengan cara seorang murid membacakan hadits kepada sang guru. Periwayatan tersebut biasanya disebut dengan istilah Al-Aradl. Disebut Al-‘Aradl, karena seorang rawi menyuguhkan bacaan haditsnya kepada sang guru, dan guru mendengarkan bacaan tersebut. Bisa jadi bacaan tersebut berasal dari hafalan atau buku perawi, dan sang guru mengikuti bacaan tersebut dengan hafalannya, memegang kitabnya sendiri, atau memegang kitab orang lain yang tsiqqah. Para ulama’ berbeda pendapat mengenai periwayatan hadits dengan cara al-qira’ah. Ada sebagian ulama’ yang menilai periwayatan hadits dengan cara al-qira’ah setingkat dengan periwayatan hadits dengan cara as-sama’. Tetapi, pendapat yang lebih kuat mengatakan bahwa periwayatan hadits dengan cara al-qira’ah tingkatannya lebih rendah dibandingkan dengan periwayatan hadits dengan cara as-sama’.
Ketika menyampaikan periwayatan hadits dengan cara al-qira’ah, perawi biasanya menggunakan kalimat: قَرَأْتُ فُلاَنًا ‘aku telah membaca kepada si fulan’ atau قَرَأْتُ عَلَيْهِ ‘aku telah membaca dihadapannya’ atau قُرِئَ عَلَى فُلاَنٍ وَاَنَا أَسْمَعُ ‘dibacakan oleh seseorang dihadapannya dan aku mendengarkannya’. Namun, yang umum dipakai menurut ahl hadits adalah lafal أَخْبَرَنَا ‘telah mengabarkan kepada kami’.

3.      Al-ijazah(الإِجَازَةُ)

Maksud periwayatan hadits dengan cara al-ijazah adalah izin meriwayatkan sesuatu tertentu kepada orang tertentu. Biasanya izin ini di berikan oleh seorang guru kepada muridnya untuk meriwayatkan suatu hadits dalam bentuk ucapan atau tulisan. Lafal ijazah yang digunakan oleh sang guru kepada muridnya adalah ”aku izinkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku demikian.”
Adapun macam-macam ijazah,yaitu:
Ø  Ijazah fi mu’ayyanin li mu’ayyanin, yaitu ijazah yang berarti pemberian izin untuk meriwayatkan suatu hadits tertentu kepada orang tertentu. Misalnya, seorang guru berkata, ”Aku ijazah-kan kepadamu Shahih Muslim.” Menurut pandangan ulama’, derajat ijazah ini memiliki tingkatan paling tinggi dibandingkan dengan ijazah lainnya.
Ø  Ijazah fi gairi mu’ayyanin li mu’ayyanin, yaitu ijazah yang berarti pemberian izin seorang guru kepada seseorang dengan tanpa menentukan apa yang di-ijazah-kannya. Misalnya, guru meng-ijazah-kan dengan lafal “Aku ijazah-kan kepadamu untuk meriwayatkan semua riwayatku”.
Ø  Ijazah gairi mu’ayyanin bi gairi mu’ayyanin, yaitu ijazah yang berarti pemberian izin seorang guru kepada siapa saja (tanpa ditentukan orangnya),dan tidak ditentukan pula apa yang di-ijazah-kannya. Misalnya, meng-ijazah-kan dengan lafal “Aku ijazah-kan semua riwayatku kepada semua orang pada zamanku.”
Ø  Syaih meng-ijazah-kan sesuatu yang ia terima dengan jalan ijazah kepada orang yang tertentu. Misalnya, ”Aku ijazahkan kepadamu apa-apa yang di-ijazahkan kepadaku”.

Kata-kata yang dipakai dalam menyampaikan riwayat lewat jalur ijazah adalah أَجَازَلِفُلاَنٍ ‘ia telah memberikan ijazah kepada si fulan’, حَدَّثَنَاإِجَازَةً ‘ia telah memberikan hadits dengan ijazah kepada kami’, أخْبَرَنَاإجَازَةً ‘telah mengabarkan kepada kami dengan cara ijazah’, atau أنْبَأنَاإجَازَةً ‘ia telah memberikan kepada kami dengan ijazah’

4.      Al-Munawalah (المُنَاوَلَةُ)

Munawalah artinya:memberikan, menyerahkan.
Yakni: ”Guru memberikan kitabnya kepada murid”,atau “ia menyuruh murid menyalin kitab itu”, atau “ia pinjamkan kitabnya itu”, atau “seorang rawi menyerahkan satu kitab kepada gurunya; sesudah guru memperhatikannya benar benar lalu ia kembalikannya kepada rawi tadi”.
Al-Munawalah ada dua macam, yaitu:
a.       Al-munawalah yang disertai dengan ijazah. Misalnya, seorang guru memberikan kitabnya kepada sang murid, lalu mengatakan kepadanya, “Riwayatkanlah kitab ini dari saya,” Kemudian kitab tersebut dibiarkan untuk dimilikinya atau dipinjamkan agar disalin.
b.      Al-munawalah yang tidak dibarengi dengan ijazah. Misalnya, seorang guru memberikan kitabnya kepada sang murid dengan hanya mengatakan, “Ini adalah riwayatku,” tanpa diikuti dengan perintah meriwayatkannya.
Menurut Ibnu Salah dan An-Nawawi, periwayatan dengan cara ini dianggap tidak sah. Para ahli hadits mencela orang-orang yang membolehkan riwayat dengan al-munawalah tanpa dibarengi ijazah.

Dalam redaksi hadits yang diterima dengan jalan al-munawalah terdapat kata-kata seperti: نَاوَلَنِيْ وَأجَازَنِي ‘ia telah memberikan munawalah dan ijazah kepadaku’, حَدَّثَنَامُنَاوَلَةًوَإجَازَةً ‘ia telah menceritakan kepada kami dengan munawalah dan ijazah’, atau أخْبَرَنَامُنَاوَلَةً ‘ia telah mengabarkan kepada kami dengan munawalah’.

5.      Al-Mukatabah (ألمُكَاتَبَةُ)

Periwayatan hadits dengan cara al-mukatabah adalah model periwayatan hadits dengan cara seorang guru menulis sendiri atau menyuruh orang lain menuliskan riwayatnya untuk diberikan kepada orang yang ada dihadapannya ataupun yang tidak hadir.
Al-mukatabah ada dua macam:
a.      Mukatabah al-maqrunah bi al-ijazah, yakni mukatabah yang disertai dengan ijazah. Misalnya, perkataan guru dengan lafal “Aku ijazahkan kepadamu apa yang aku tulis untukmu”, atau yang semisal dengannya.
Riwayat dengan cara ini adalah sahih, karena kedudukannya sama kuat dengan munawalah yang disertai ijazah.
b.      Mukatabah ghairu al-maqrunah bi al-ijazah, yakni mukatabah yang tidak disertai dengan ijazah. Misalnya, seorang guru menulis sebagian hadits untuk muridnya dan tulisan itu dikirimkan kepadanya, tetapi sang murid tidak diperbolehkan untuk meriwayatkannya.

      Kata-kata yang sering digunakan dalam riwayat dengan mukatabah misalnya, كَتَبَ إلَيَّ فُلاَنٌ ‘seseorang telah menulis untukku’.

6.      Al-I’lam (الإِعْلاَمُ)

Periwayatan hadits dengan cara al-i’lam adalah pemberitahuan sang guru kepada seorang muridnya bahwa hadits tertentu atau kitab tertentu adalah riwayatnya sendiri dari si fulan (guru seseorang), namun tidak disertakan izin untuk meriwayatkannya.
Para ulama’ berbeda pendapat tentang hukum meriwayatkan hadits dengan cara ini. Sebagian ulama’ membolehkan dan sebagian yang lain melarangnya. Sebagian ulama’ yang melarang beralasan bahwa kemungkinan sang guru mengetahui dalam hadits tersebut ada kecacatan, karenanya sang guru tidak member izin untuk meriwayatkannya.
Kata-kata yang digunakan untuk menyampaikan riwayat dengan cara ini misalnya أعْلَمَنِي شَيْخِي ‘guruku telah member tahu kepadaku’.

7.      Al-Washiyyah (الوَصِيَّةُ)

      Washiyyah artinya: memesan atau mewashiyati.
      Periwayatan hadits dengan cara al-washiyyah adalah model periwayatan hadits dengan cara seorang guru memberikan wasiat pada saat mendekati ajalnya atau pada saat mau mengadakan perjalanan kepada seorang rawi untuk meriwayatkan haditsnya, atau dengan memberikan sebuah kitab yang ia miliki.
Biasanya kata-kata yang digunakan dalam meriwayatkan hadits dengan cara wasiat adalah أوْصَى إلَيَّ فُلاَنٌ بِكِتَابٍsi fulan telah mewasiatkan kepadaku sebuah kitab’, atau حَدَّثَنِي فُلاَنٌ وَصيَّةً ‘si fulan telah bercerita kepadaku dengan sebuah wasiat’.

8.   Al-Wijadah (الوِجَادَةُ)

Wijadah artinya: mendapat.
Periwayatan hadits dengan cara al-wijadah yaitu: seorang rawi mendapat hadits atau kitab dengan tulisan orang yang meriwayatkannya, sedang hadits-hadits ini tidak pernah si rawi mendengar atau menerima dari yang menulisnya.
Para ulama’ berbeda pendapat mengenai hadits yang diriwayatkan lewat jalur wijadah. Kalangan ulama’ Malikiyyah tidak memperbolehkan hadits diriwayatkan dengan cara wijadah, sedangkan Imam Syafi’i memperbolehkannya.
Dalam menyampaikan hadits dengan cara wijadah, biasanya rawi menggunakan kalimat ‘Aku mendapatkan buku ini dari tulisan si fulan’, atau ‘Aku telah membaca tulisan si fulan’.
Ada yang berpandangan bahwa hadits yang diriwayatkan dengan cara wijadah tergolong hadits munqati’, karena rawi tidak menerima sendiri dari orang yang menulisnya.



BAB III
KESIMPULAN

ü  periwayatan hadits adalah proses penerimaan (naql dan tahammul) hadits oleh seorang rawi dari gurunya dan setelah dipahami, dihafalkan, dihayati, diamalkan (dhabth), ditulis dan disampaikan kepada orang lain sebagai murid dengan menyebutkan sumber pemberitaan riwayat tersebut.

ü  Syarat-syarat dalam periwayatan Hadits:
1.                  Islam
2.                  Sudah sampai umur (baligh)
3.                  Keadilan
4.                  Kedlabitan

ü  Tata cara periwayatan Hadits:
1. As-sama’
2. Al-qira’ah
3. Al-ijazah
4. Al-munawalah
5. Al-mukatabah
6. Al-I’lam
7. Al-washiyyah
8. Al-Wijadah


BAB IV
PENUTUP

Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin. Demikianlah makalah yang dapat kami buat, kami menyadari akan keterbatasan pengetahuan kami dalam pembuatan makalah ini. Untuk itu, kami mengharap adanya kritik dan saran dari pembaca demi sempurnanya makalah kami yang selanjutnya. Kami mohon maaf atas segala kekurangan makalah yang kami buat ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.


DAFTAR PUSTAKA

Hassan, A. Qadir. 2007. Ilmu Mushthalah Hadits. Diponegoro:Bandung

Khumaidi, Irham. 2008. Ilmu Hadits untuk Pemula. Artha Rivera:Jakarta

Suparta MA, Munzier. 2013. Ilmu Hadis. Raja Grafindo Persada:Jakarta

As-Shiddieqy, TM. Hasbi. 1994. Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits II. PT. Bulan Bintang:Jakarta



Foot note :
[1] TM. Hasbi Ash Shiddieqy. Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits II(Jakarta: PT Bulan Bintang, 1994), hlm 30-31
[2] Irham Khumaidi, Ilmu Hadits untuk Pemula (Jakarta Barat:CV Artha Rivera, 2008), hlm 124-125