Wednesday, May 22, 2013

AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM


Disusun Oleh :
1. Azka Lailatu Sa’adah (124211001)
2. Ahmad Miftah Farid (124211017)
3. Bahrul Labib (124211031)


        I.            PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG

Menurut Abdul Wahab Khallaf, kata adillah syar’iyyah (sumber hukum Islam), bersinonim dengan istilah adillah al-ahkam, ushul al-ahkam, al-mashadir al-tasyri’iyyah lil-al-ahkam.[1]
Para ulama’ membagi dalil hukum syara’ menjadi dua, 1) dalil yang disepakati (muttafaq), dan 2) dalil yang tidak disepakati (mukhtalaf). Dalil yang disepakati dibagi menjadi 4, Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan Qiyas. Mareka juga menyepakati bahwa keempatnya harus digunakan secara berurutan dan tidak melompat-lompat. Jika terjadi suatu peristiwa, maka dilihat lebih dulu hukumnya dalam al-Qur’an, jika tidak ditemukan dilihat hukumnya di dalam hadits, jika di dalam hadits belum juga ditemukan atau kurang jelas, maka mencari hukumnya dalam ijma’, jika belum ditemukan juga di dalam ijma’, maka berijtihad untuk mendapatkan hukumnya dengan menggunakan qiyas[2]. Allah SWT berfirman:
يا أيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر ذلك خير وأحسن تأويلا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa/4:59)
Selanjutnya dalil yang tidak disepakati (mukhtalaf), menurut Wahbah Zuhaeli dibagi menjadi tujuh, yaitu istihsan, maslahah mursalah (istislah), istishab, urf, mazhab sahabi, syar’u man qoblana, dan saddu al-zariah[3]. Tetapi, menurut Abdul Wahab Khallaf hanya ada enam, dengan menghilangkan saddu al-zariah, maka menurutnya keseluruhan adillah syar’iyyah berjumlah 10 macam[4].
Sebagai dalil muttafaq, al-Qur’an menempati urutan yang utama karena merupakan kalam Allah yang diturunkan oleh-Nya melalui perantaraan malaikat Jibril ke dalam hati Rasulullah Muhammad bin Abdullah dengan lafazh yang berbahasa Arab dan makna-maknanya yang benar, untuk menjadi hujjah bagi Rasul atas pengakuannya sebagai Rasulullah, menjadi undang-undang bagi manusia yang mengikuti petunjuknya, dan menjadi qurbah di mana mereka beribadah dengan membacanya[5].
Dan pada makalah ini, penulis akan memaparkan makna al-Qur’an, bagaimana kehujjahannya, dalalah al-Qur’an, serta isi kandungan dan hukum-hukum yang dimuat di dalamnya.

B.      RUMUSAN MASALAH

1.       Apakah pengertian al-Qur’an itu?
2.      Apa bukti kehujjahan al-Qur’an?
3.      Apa saja kandungan isi al-Qur’an?
4.      Apa  saja dalalah dari ayat-ayat al-Qur’an itu?
5.      Apa saja hukum-hukum yang ada di dalam al-Qur’an?

      II.            PEMBAHASAN

A.    Pengertian al-Qur’an

Lafadz al-Qur’an dalam bahasa Arab diambil dari kata Qara’a (قرأ) seperti lafadz Al-ghufran yang diambil dari kata ghafara (غفر). Dikatakan  qira’a, yaqra’u, qira’atan dan qur’anan ( قرأ- يقرؤ- قرأة-)[6]. Diantaranya adalah firman Allah SWT:
Dan dalam Kamus Ilmu Ushul Fikih, dikatakan bahwa lafadz al-Qur’an merupakan bentuk mashdar dari qara’a (قرأ) yang sepadan dengan kata fu’lan. Ada dua pengertian al-Qur’an dalam bahasa Arab, yairu qur’an (قرآن) berarti bacaan, dan apa yang tertulis padanya, maqru (مقرؤ), isim fa’il (subjek)dari qara’a (al-Qiyamah (75) ayat 17-18)[7].
Secara terminologi, ada beberapa definisi dari pengertian al-Qur’an, antara lain:
1.      Menurut ahli Ushul, al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Muhammad saw. yang ditulis dalam mushaf yang berbahasa Arab, telah dinukilkan (dipindahkan) kepada kita dengan jalan mutawatir, dimulai dengan Surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan Surah An-Nas, yang kita beribadah dengan membacanya.
2.      Ali Ash-Shabuni, membatasi pengertian al-Qur’an sebagai berikut:
“al-Qur’an adalah kalam Allah yang mengandung mukjizat yang diturunkan kepada Nabi atau Rasul-Nya yang penghabisan dengan perantaraan Malaikat Jibril yang ditulis pada mushaf-mushaf, dinukilkan kepada kita secara mutawatir, membacanya adalah ibadah, dimulai dengan Surah al-Fatihah dan diakhiri dengan Surah an-Nas[8].
3.      Menurut Abdul Wahab Khallaf, al-Qur’an ialah kalam Allah yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril dengan lafadz berbahasa Arab dangan makna yang benar sebagai hujjah bagi Rasul, sebagai pedoman hidup, dianggap ibadah membacanya dan urutannya dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri oleh surat an-Nas serta dijamin keasliannya[9].
Dari beberapa pengertian al-Qur’an di atas, secara umum al-Qur’an adalah wahyu atau firman Allah swt yang diturunkan kepada Rasulullah saw melalui perantaraan malaikat Jibril dengan menggunakan bahasa Arab, untuk pedoman bagi umat manusia, merupakan mukjizat Nabi Muhammad saw yang terbesar, dinukilkan kepada kita secara mutawatir dan dinilai ibadah bagi yang membacanya.
B.     Bukti Kehujjahan al-Qur’an

Abdul Wahhab Khallaf mengemukakan tentang kehujjahan al-Qur’an sebagai berikut: “Bukti bahwa al-Qur’an menjadi hujjah atas manusia yang hukum-hukumnya merupakan aturan-aturan yang wajib bagi manusia untuk mengikutinya, ialah karena al-Qur’an datang dari Allah swt. dan dibawa kepada manusia dengan jalan yang pasti yang tidak diragukan kebenarannya. Sedang bukti bahwa al-Qur’an itu datang dari Allah swt adalah bahwa al-Qur’an membuat orang-orang tidak mampu membuat atau mendatangkan sesuatu seperti al-Qur’an (kemukjizatan al-Qur’an).[10]
Bukti dari kemukjizatan al-Qur’an tidak dilihat dari segi lafadznya saja, tetapi juga makna dan isinya. Di dalamnya berisi rahasia-rahasia alam yang hingga kini masih banyak yang belum terungkap. Ayat-ayat di dalamnya merupakan kalam Allah yang indah yang tak dapat ditandingi  oleh siapapun (lihat QS (2):23, (28):49-50 ).
I’jaz, maksudnya menetapkan ketidakmampuan orang lain, tidak akan terealisir kecuali apabila tiga hal terpenuhi:
a.       Adanya tantangan, maksudnya permintaan untuk beradu, saling menjatuhkan, dan berlawanan.
b.      Adanya motivasi yang mendorong kepada penantang untuk mengajukan tantangan dan perlawanan.
c.       Tidak ada penghalang yang menghalanginya dari perlawanan ini[11].
Al-Qur’an telah lengkap dalam melakukan tantangan, dan terdapat pula motivasi bagi orang yang menantangnya untuk melawan, dan tidak suatu penghalang bagi mereka. Kendati demikian, mereka tidak sanggup melawannya dan juga mendatangkan yang semisal al-Qur’an[12].
Aspek kemukjizatan al-Qur’an yang dapat dicapai oleh akal, antara lain:
a.       Keharmonisan struktur redaksinya, maknanya, hukum-hukumnya, dan teori-teorinya (Q.S, an-Nisa’: 82).
b.      Persesuaian ayat al-Qur’an dengan teori ilmiah yang dikemukakan ilmu pengetahuan (Q.S, Fushshilat: 52-53).
c.       Pemberitahuan al-Qur’an terhadap berbagai peristiwa yang hanya diketahui oleh Allah Yang Maha Mengetahui terhadap hal-hal yang gaib (Q.S, Hud : 49).
d.      Kefasihan lafadz al-Qur’an, kepetahan redaksinya, dan kuatnya pengaruhnya[13].

C.     Isi Kandungan al-Qur’an

Berdasarkan terjemahan Departemen Agama RI, al-Qur’an terdiri dari 30 juz, 114 surat, 6.326 ayat, dan 324.345 huruf.
Kandungan pokok dalam al-Qur’an antara lain sebagai berikut:
Ø  Masalah tauhid, termasuk di dalamnya segala kepercayaan terhadap yang ghaib. Manusia diajak kepada kepercayaan yang benar, yaitu mentauhidkan Allah swt.
Ø  Ibadat, yaitu kegiatan-kegiatan dan perbuatan yang mewujudkan dan menghidupkan iman di dalam hati dan jiwa.
Ø  Janji dan ancaman (al-wa’du wal wa’id), yaitu janji dengan balasan yang baik/pahala bagi mereka yang berbuat baik, dan ancaman, yaitu siksa bagi mereka yang berbuat kejelekan. Janji dan ancaman di akhirat berupa surga dan neraka.
Ø  Riwayat, yaitu sejarah orang-orang terdahulu, baik itu sejarah bangsa-bangsa, tokoh-tokoh, maupun nabi-nabi utusan Allah swt.
Ø  Akhlak, yaitu perilaku yang harus dijadikan perhiasan oleh setiap mukallaf dengan menjalankan hal-hal yang utama dan menghindarkan diri dari hal-hal yang menghinakan.
Ø  Muamalah, yaitu hukum-hukum yang termasuk di dalamnya hukum badan pribadi, perdata, pidana,, hukum acara, hukum tata Negara, hukum internasional, hukum ekonomi, dan keuangan.
Berdasarkan turunnya, ayat al-Qur’an terbagi menjadi dua, yaitu;
·         Makiyyah, yaitu ayat-ayat yang diturunkan pada masa sebelum Rasul hijrah ke Madinah. Ayat makiyyah ini mempunyai cirri-ciri yang menonjol, yaitu; 1) kandungannya berbicara tentang masalah keimanan (akidah), dalam rangka meluruskan keyakinan umat pada masa Jahiliyah dan menanamkan ajaran tauhid. Karena tanpa mengajarkan tauhid terlebih dahulu syariat Islam akan sulit untuk diterima. Misalnya dalam Q.S al-Anbiya’ ayat 25;
وما أرسلنا من قبلك من رسول إلا نوحي إليه أنه لا إله إلا أنا فاعبدون
Artinya: “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.” 2) Berbicara tentang kisah-kisah umat terdahulu sebagai pelajaran bagi umat Nabi Muhammad SAW.
·         Madaniyah, yaitu ayat-ayat yang diturunkan pada masa setelah hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Ayat-ayat Madaniyah mempunyai ciri yaitu  berupa masalah hukum dengan berbagai aspeknya. Contohnya sebagai berikut:
o   Perintah membayar zakat (Q.S. al-Baqarah : 43)
وأقيموا الصلاة وآتوا الزكاة واركعوا مع الراكعين
Artinya: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.”
o   Perintah puasa (Q.S. al-Baqarah: 183)
يا أيها الذين آمنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
o   Perintah haji (Q.S. al-Baqarah: 196)
وأتموا الحج والعمرة لله
Artinya: “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah…
o   Larangan memakan harta orang lain dengan bathil (QS. al-Baqarah: 188):
ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل وتدلوا بها إلى الحكام لتأكلوا فريقا من أموال الناس بالإثم وأنتم تعلمون
Artinya: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.
o   Talak (QS. at-Talak: 1)
يا أيها النبي إذا طلقتم النساء فطلقوهن لعدتهن وأحصوا العدة واتقوا الله ربكم لا تخرجوهن من بيوتهن ولا يخرجن إلا أن يأتين بفاحشة مبينة وتلك حدود الله ومن يتعد حدود الله فقد ظلم نفسه لا تدري لعل الله يحدث بعد ذلك أمرا
Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.”
o   Tentang warisan (QS. an-Nisa’: 11-12)
o   Cara pembagian harta rampasan perang[14] (QS. al-Anfal: 1):
يسألونك عن الأنفال قل الأنفال لله والرسول فاتقوا الله وأصلحوا ذات بينكم وأطيعوا الله ورسوله إن كنتم مؤمنين
Artinya: “Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: harta rampasan perang kepunyaan Allah dan Rasul, oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu; dan taatlah kepada Allah dan rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman.

D.    Dalalah Ayat al-Qur’an

Dalil dalam bahasa Arab ad-dalil (الدليل) jamaknya al-adillah (الأدلة), dan secara terminologi berarti:
“petunjuk kepada sesuatu baik yang bersifat material maupun non material (maknawi).”
            Adapun pengertian dalil secara terminologi menurut ushul fiqh:
“Sesuatu yang dapat (mungkin) kita sampai dengan mempergunakan yang benar kepada sesuatu hasil yang bersifat khabar (hukum).”
            Wahbah az-Zuhaili, dalam Ushul al-Fiqh al-Islami, memberikan batasan dengan:
“Suatu petunjuk yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis, baik yang statusnya qath’I (pasti) maupun zhanni (relatif).[15]
            Nash-nash al-Qur’an seluruhnya bersifat qath’i dari segi kehadirannya dan ketetapannya, dan periwayatannya dari Rasulullah saw. kepada kita[16]. Artinya, semua ayat al-Qur’an yang kita baca adalah pada hakikatnya nash yang diturunkan oleh Allah swt. kepada Rasulullah saw., karena apabila surat atau ayat turun, maka Rasulullah saw. membacakan kemudian ditulis oleh para sahabat yang ditugaskan untuk menuliskannya, dan dihafal serta dibaca ketika shalat.
            Adapun nash-nash al-Qur’an itu dari segi dalalahnya terhadap hukum-hukum yang dikandungnya, maka ia terbagi menjadi dua bagian:
a.       Nash yang qath’i dalalahnya terhadap hukumnya,
b.      Nash yang zhanni dalalahnya terhadap hukumnya.
Nash yang qath’i dalalahnya ialah nash yang menunjukkan kepada makna yang pemahaman makna itu dari nash tersebut telah tertentu dan tidak mengandung takwil serta tidak ada peluang untuk memahami makna lainnya dari nash itu.
Misalnya firman Allah swt.:
ولكم نصف ما ترك أزواجكم إن لم يكن لهن ولد
Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kamu jika mereka tidak mempunyai anak.” (Q.S an-Nisaa: 12)
Ayat ini menjelaskan bahwa bagian suami dalam kondisi seperti ini adalah seperdua (qath’i).
Sedangkan nash yang zhanni dalalahnya adalah nash yang menunjukkan atas suatu makna, akan tetapi masih memungkinkan untuk ditakwilkan atau dipalingkan dari makna ini dan makna lainnya dimaksudkan darinya. Seperti firman Allah swt.:
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru’…” (QS. al-Baqarah: 228)
Kata quru’ dalam bahasa Arab disebut lafadz musytaraq yaitu satu kata yang memiliki dua makna atau lebih. Maka kata quru’ bermakna suci dan haid[17].

E.     Macam-macam Hukum al-Qur’an

Hukum yang dikandung oleh al-Qur’an itu ada tiga macam, yaitu[18];
Pertama: hukum-hukum I’tiqadiyah, yang berkaitan dengan hal-hal yang harus dipercaya oleh setiap mukallaf, yaitu mempercayai Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, dan hari akhir.
Kedua: hukum moralitas, yang berhubungan dengan sesuatu yang harus dijadikan perhiasan oleh setiap mukallaf, berupa hal-hal keutamaan dan menghindarkan diri dari hal yang hina.
Ketiga: hukum amaliyyah yang bersangkut paut dengan sesuatu yang timbul dari mukallaf, baik berupa perbuatan, perkataan, perjanjian hukum, dan pembelanjaan. Macam yang ketiga ini adalah fiqh al-Qur’an. Dan inilah yang dimaksud dengan sampai kepadanya dengan ilmu ushul fiqh.
Hukum-hukum amaliyyah di dalam al-Qur’an terdiri dari dua macam, yaitu;
§  Hukum-hukum ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, haji, nadzar, sumpah, dan ibadah-ibadah lainnya yang dimaksudkan untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya (habluminallah).
§  Hukum muamalat, seperti akad, pembelanjaan, hukuman, pidana, dan lainnya yang bukan ibadah dan dimaksudkan untuk mengatur hubungan antar sesama mukallaf, baik sebagai individu, bangsa, atau kelompok (habluminannas).
Menurut istilah modern, hukum muamalat telah dibagi menurut sesuatu yang berkaitan dengannya dan maksud yang dikehendakinya menjadi beberapa macam;
1.      Hukum keluarga, yaitu hukum yang berhubungan dengan keluarga, mulai dari pembentukannya, dan ia dimaksudkan untuk mengatur hubungan antara suami istri dan kerabat satu sama lain.
2.      Hukum perdata, yaitu hukum yang bertalian dengan perhubungan hukum antara individu-individu dan pertukaran mereka, baik berupa jual-beli, penggadaian, jaminan, persekutuan, utang piutang, dan memenuhi janji dengan disiplin. Hukum ini dimaksudkan untuk mengatur hubungan harta kekayaan individu dan memelihara hak masing-masing yang berhak.
3.      Hukum pidana, yaitu hukum yang berkenaan dengan tindak criminal yang timbul dari seorang mukallaf dan hukuman yang dijatuhkan atas pelakunya. Hukum ini dimaksudkan untuk memelihara kehidupan manusia, harta mereka, kehormatan mereka, dan hak-hak mereka, serta menentukan hubungan antara pelakunya, korban tindak kriminal, dan umat.
4.      Hukum acara, yaitu hukum yang berkaitan dengan pengadilan, kesaksian, dan sumpah. Hukum ini dimaksudkan untuk mengatur usaha-usaha untuk mewujudkan keadilan di antara manusia.
5.      Hukum perundang-undangan, yaitu hukum yang berhubungan dengan pengaturan pemerintahan dan pokok-pokoknya. Hukum ini dimaksudkan untuk menentukan hubungan penguasa dan rakyat, dan menetapkan hak-hak individu dan masyarakat.
6.      Hukum tata Negara, yaitu hukum yang bersangkutan dengan hubungan antara Negara Islam dengan negara lainnya, hubungan dengan orang-orang non-Islam yang berada di Negara Islam. Hukum ini dimaksudkan untuk menentukan hubungan Negara Islam dengan Negara non-Islam, baik dalam keadaan damai maupun dalam suasana peperangan, serta menentukan hubungan antara umat Islam dengan non-Islam di berbagai Negara Islam.
7.      Hukum ekonomi dan keuangan, yaitu hukum yang berhubungan dengan orang miskin, baik yang meminta-minta maupun yang tidak, berkenaan dengan harta orang kaya, dan pengaturan berbagai sumber dan perbankan. Hukum ini dimaksudkan untuk mengatur hubungan kekayaan antara orang-orang dan orang-orang kafir, dan antar Negara dan rakyat.
Menurut Muhammad Khuderi Bek dalam bukunya “Tarikh Tasyri’ al-Islami”, ada tiga prinsip yang melandasi hukum dalam al-Qur’an[19];
a.       Tidak memberatkan (عدم التدرج)
Prinsip ini mengandung arti bahwa hukum al-Qur’an itu bersifat memudahkan. Pelaksanaannya disesuaikan dengan tingkat kemampuan manusia. Sehingga hukum itu tidak menjadi beban. Prinsip ini didasari oleh banyak ayat al-Qur’an, diantaranya dalam surat al-Baqarah ayat 185:
يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر ….
Artinya: “… Allah menghendaki kemudahan darimu dan tidak menghendaki kesulitan…”
Contoh prinsip yang pertama ini antara lain hukum kebolehan berbuka puasa bagi orang yang sedang dalam perjalanan, dan hukum boleh melaksanakan shalat sesuai kemampuan.
b.      Menyedikitkan beban
Prinsip ini mengandung arti bahwa dalam melakukan perintah Allah swt. itu harus memperhatikan objek yang diperintahkan dengan tidak melakukan penambahan dan pengurangan, seperti dalam firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 102:

Artinya: “janganlah kamu bertanya tentang sesuatu yang jika dia diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu.”
Contoh dari prinsip kedua ini adalah kewajiban haji hanya satu kali seumur hidup bagi yang mampu.
c.       Berangsur-angsur
Salah satu keutamaan hukum Islam adalah cara penetapannya yang tidak sekaligus, tetapi secara berangsur-angsur dan bertahap, sehingga tidak memberatkan dan lebih memberikan kelonggaran. Karena al-Qur’an sangat memperhatikan proses perubahan sosial budaya yang berkembang di masyarakat. Contohnya dalam tahapan pengharaman khamr[20].

    III.            PENUTUP

A.      KESIMPULAN

1.      Al-Qur’an secara terminologi adalah mashdar yang bermakna qiro’ah (bacaan dan apa yang ditulis di dalamnya). Sedangkan makna al-Qur’an secara etimologi berarti kalam Allah swt. yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. dalam bahasa Arab yang dinukilkan kepada kita dengan jalan yang mutawattir, jika membacanya dihukumi ibadah, dan diawali dengan Surat Al-Fatihah dan diakhiri Surat an-Naas.
2.      Bukti kehujjahan Al-Qur’an adalah, al-Qur’an diturunkan dari Allah swt., disampaikan kepada manusia dengan jalan yang pasti dan tidak terdapat keraguan tentang kebenarannya tanpa ada campur tangan manusia dalam penyusunannya. Hal ini mengandung arti bahwa al-Qur’an merupakan mukjizat yang membuat manusia tidak mampu untuk mendatangkan yang semisalnya.
3.      al-Qur’an terdiri dari 30 juz, 114 surat, 6.326 ayat, dan 324.345 huruf. Kandungan isi dalam al-Qur’an yang utama yaitu;
a.       Tauhid, adalah tentang kepercayaan yang benar, yaitu pentauhidan terhadap keesaan Allah swt.
b.      Ibadat, berisi amalan-amalan yang memperkokoh keimanan seseorang.
c.       Janji dan ancaman, yaitu janji dengan pahala/balasan terhadap amalan yang baik yang dilakukan oleh seorang mukallaf, dan ancaman yang berupa peringatan bagi seseorang yang berbuat maksiat, berupa balasan dengan siksa/adzab.
d.      Riwayat, yaitu kisah-kisah umat terdahulu yang berisi hikmah.
e.       Akhlaq, adalah perilaku yang harus dijadikan perhiasan oleh seorang mukallaf.
f.       Muamalah, hukum-hukum yang termasuk di dalamnya hukum perdata, pidana, dan sebagainya.
Berdasarkan turunnya, kandungan isi al-Qur’an dibagi menjadi dua, yaitu;
a.       Makiyyah, yaitu ayat-ayat atau surat-surat dalam al-Qur’an yang turun selama periode sebelum hijrahnya Nabi ke Madinnah.  Berisi tentang ketauhidan kepada pengesaan Allah swt.
b.      Madaniyyah, yaitu ayat-ayat atau surat-surat dalam al-Qur’an yang turun selama periode setelah hijrahnya Nabi ke Madinnah. Berisi tentang hukum-hukum yang berlaku sampai saat ini.
4.      Nash-nash al-Qur’an seluruhnya bersifat qath’i dari segi kehadirannya dan ketetapannya, dan periwayatannya dari Rasulullah saw. kepada kita[21]. Nash-nash al-Qur’an dari segi dalalahnya dibagi menjadi dua;
a.       Nash-nash yang qath’I dalalahnya, yaitu jika suatu ayat dalam al-Qur’an yang maknanya qath’I (pasti) dan tidak memerlukan penjelasan dari sumber lain (missal: as-Sunnah).
b.      Nash-nash yang zhanni dalalahnya, adalah jika suatu ayat dalam al-Qur’an itu lafadznya pasti, tapi masih memerlukan penjelasan, karena merupakan kalimat yang masih memungkinkan untuk ditakwil.
5.      Hukum-hukum dalam al-Qur’an di antaranya;
1.      Hukum-hukm I’tiqadiyyah, yaitu hukum-hukum yang  berkaitan dengan keimanan seseorang.
2.      Akhlaq dan moral, yaitu sesuatu yang harus dijadikan perhiasan mukallaf dan menghindari hal-hal yang hina.
3.      Hukum-hukum amaliyyah, yaitu hukum-hukum yang bersangkutan dengan sesuatu yang timbul dari mukallaf (fiqh al-Qur’an)
Tiga prinsip yang melandasi hukum al-Qur’an;
a.       Tidak memberatkan: hukum-hukum dalam al-Qur’an bersifat memudahkan, pelaksanaannya disesuaikan dengan kemampuan seseorang.
b.      Menyedikitkan beban: dalam al-Qur’an, hukum-hukumnya memperhatikan objek dan tidak melakukan penambahan dan pengurangan.
c.       Berangsur-angsur: cara penetapan hukum-hukum dalam Islam tidak sekaligus, tapi berangsur-angsur dan bertahap.

B.      PENUTUP

Demikian makalah ini kami susun, penulis menyadari dalam makalah ini masih banyak kesan kekurangan dan jauh dari kesan sempurna. Oleh karena itu  kritik dan saran yang kontruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalh kami selanjutnya. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi siapa saja yang membaca dan membahasnya.

DAFTAR PUSTAKA

Mutholib Al Jabali Abdul, Al-Fiqhu wa Ushuluhu, Maktab Idarah as-Syu’un ad-Diniyyah, Jawa Tengah 2011
Prof. Wahhab Khallaf Abdul (terj. Drs. H. Moh. Zuhri, Dipl. TAFL, dkk), Ilmu Ushul Fiqh, Dina Utama, Semarang 1994
Drs. Shidiq Sapiudin, M.A., Ushul Fiqh, Kencana Predana Media Group, Jakarta 2011
Drs. Jumantoro Totok, M.A., Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag., Kamus Ilmu Ushul Fikih, Penerbit Amzah, Jakarta 2009
Drs. Umar Muin, Dkk., Ushul Fiqh I, Departemen Agama RI, Jakarta 1986




[1]  Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Mesir: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, tt., hlm. 20.
[2]  Ibid, hlm. 21.
[3]  Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, Damaskus: Daar al-Fikr, 1986, Cet. ke-1, Juz: 1, hlm. 417.
[4]  Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Mesir: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, tt., hlm. 22.
[5]  Abdul wahhab Khallaf, terj., Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama Semarang, 1994,  hlm. 18.
[6]  Ibid, hlm. 18
[7]  Drs. Totok Jumantoro, M.A., Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag., Kamus Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Penerbit Amzah 2009, hlm. 6
[8]  Ibid, hlm. 7
[9]  Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Mesir: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, tt., hlm. 23
[10]  Drs. Muin Umar, Dkk., Ushul Fiqh I, Jakarta: Departemen Agama RI, 1986, hlm. 70
[11]  Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama Semarang, 1994, hlm. 21
[12]  Ibid, hlm.21
[13]  Ibid, hlm. 26-33
[14]  Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2009, Cet. ke-3, hlm. 84-92
[15]  Drs. Totok Jumantoro, M.A., Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag., Kamus Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Penerbit Amzah 2009, hlm. 54-55
[16]  Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama Semarang, 1994, hlm. 36
[17] Ibid, hlm. 37-39
[18] Ibid, hlm. 34-36
[19] Drs. Sapiudin Shidiq, M.A, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Predana Media Group, cet. ke-1 2011, hlm. 49-52
[20]  Lihat Q.S. al-Baqarah: 219, Q.S. an-Nisaa: 43, Q.S. al-Maidah: 90
[21]  Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama Semarang, 1994, hlm. 36