Friday, April 25, 2014

Siapa Bilang Poligami Itu Sunnah?



Compiled by: ANDIKA MAULANA


I.                   PENDAHULUAN
Pada masa awal Islam, kenabian Muhammad SAW selain berfungsi sebagai penyampai firman Tuhan, juga sekaligus menjadi penafsir yang otoritatif terhadap Al-Qur’an dengan Hadits sebagai bentuk formalnya. Ketika muncul persoalan pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an pada masa itu, langsung ditanyakan kepada Nabi SAW. Atau, kalaupun ada sahabat yang turut serta menafsirkan, tafsir yang dihasilkannya harus mendapat cap Justified dari Nabi sebelumnya agar bisa operasional.
Sementara itu, kesadaran keagamaan kaum muslimin awal ketika itu masih kental dengan argumen-argumen dogmatis. Ketika muncul persoalan pemahaman Al-Qur’an, misalnya, hampir semuanya dikembalikan pada keyakinan adanya pelajaran (ibrah) atau hikmah yang diselipkan Allah dalam ayat-ayat tersebut. Ini membuktikan bahwa corak hermeneutk dalam memahami Al-Qur’an masih sering diliputi argumen dogmatis daripada penalaran kritis.
Baru kemudian setelah Nabi dan sahabat, sedikit demi sedikit persoalan hermeneutis mengemuka. Ini terkait dengan kebutuhan mendapatkan jawaban atas berbagai problem aktual yang belum pernah terjadi pada masa sebelumnya.
Oleh karena itu, pada makalah ini, pemakalah akan menguraikan pembaharuan pemikiran yang digagas oleh Fazlur Rahman dalam hukum Islam, khususnya mengenai hukum Poligami.

II.                POKOK PEMBAHASAN
A.     QS. An-Nisa’ (4): 3 dan Terjemahannya
B.     Tafsir QS. An-Nisa’ (4): 3 Menurut Jumhur Ulama
C.     Tafsir QS. An-Nisa’ (4): 3 Menurut Fazlur Rahman

III.             PEMBAHASAN
A.     QS. An-Nisa’ (4): 3 dan Terjemahannya

SDan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil[1], Maka (kawinilah) seorang saja[2], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

B.     Tafsir QS. An-Nisa’ (4): 3 Menurut Jumhur Ulama
Imam Syafi’i mengatakan, di dalam QS. An-Nisa’ ayat 3 tampak jelas bahwa – yang diseur oleh ayat ini adalah kaum laki-laki merdeka. Hal itu didasarkan pada firman Allah SWT, “Maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kalian miliki.” Sebab, hanya oran-orang merdeka saja yang memiliki budak. Sementara firman-Nya, “yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” Sebab, hanya orang yang memiliki banyak harta yang berbuat aniaya, sedang budak tidak memiliki harta.[3]
Imam Syafi’i juga mengungkapkan,
Malik memberi tahu kami, dari Ibnu Syihab bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda kepada seorang laki-laki dari Bani Tsaqif yang masuk Islam dalam keadaan memiliki sepuluh orang istri:
Pertahankan empat orang dan ceraikanlah yang lainnya.”
Ats-Tsiqqah bin ‘Ulayyah atau yang lainnya member tahu kami, dari Ma’mar, dari Ibnu Syihab, dari Salim, dari ayahnya bahwa Ghailan bin Salamah telah memeluk Islam dalam keadaan memiliki sepuluh orang istri. Maka Nabi SAW bersabda kepadanya:
“Pertahankan empat orang (istri) dan ceraikan atau tinggalkan yang lainnya.”
Imam Syafi’i mengatakan, “Dengan demikian, Sunah Rasulullah SAW menunjukkan bahwa Allah SWT telah membatasi pernikahan hanya dengan empat orang istri saja dan mengharamkan tindakan suami yang memadu lebih dari empat orang istri. Selain itu, Sunah Rasulullah SAW juga menunjukkan adanya hak pilih – bagi orang yang memiliki lebih dari empat orang istri – untuk memilih istri paling tua maupun yang paling muda, baik yang akadnya sekaligus maupun yang akadnya sendiri-sendiri, karena Allah SWT memaafkan mereka perihal akad yang sudah terlanjur dilakukan.”
Tidakkah Anda memperhatikan bahwa Nabi SAW tidak pernah menanyakan Ghailan tentang siapa saja di antara istri-istrinya yang pertama dinikahinya. Kemudian, sewaktu dia dan para istrinya memeluk islam, beliau mempersilakan kepadanya untuk tetap memperistri empat orang diantara mereka tanpa memberi persyaratan, istri-istri yang paling lebih dulu dia nikahi.
 Tidakkah Anda juga memperhatikan bahwa Naufal bin Mu’awiyah memberi tahu bahwa dia telah menceraikan istri-istri yang terlebih dulu dinikahinya. Hal itu menunjukkan bahwa akad nikah yang dilakukan pada masa jahiliah tetap sah, apalagi pada masa Islam.[4]
Demikianlah pendapat yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i, dan pendapat tersebut dianut oleh para pengikut mazhab Syafi’i dan mayoritas ulama.

C.     Tafsir QS. An-Nisa’ (4): 3 Menurut Fazlur Rahman
Poligami adalah persoalan di dalam hukum keluarga. Mayoritas ulama secara umum meyakini bahwa praktik beristri lebih dari satu dibolehkan dalam Islam. Ini dijustifikasi Al-Qur’an, bahkan diberi toleransi sampai empat istri.
Pandangan ini bagi Fazlur Rahman mereduksi keinginan Al-Qur’an itu sendiri. Yang diinginkan Al-Qur’an sesungguhnya bukan praktik beristri banyak. Praktik ini tidak sesuai dengan harkat yang telah diberikan Al-Qur’an kepada wanita. Status wanita yang selama ini cenderung disubordinasikan sebagai manusia nomor dua akan menjadi semakin kuat jika praktik poligami tetap diberlakukan.
Al-Qur’an menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan punya kedudukan dan hak yang sama. Maka pernyataan Al-Qur’an bahwa laki-laki boleh punya istri sampai empat orang hendaknya dipahami dalam nuansa etisnya secara komprehensif. Ada syarat yang diajukan oleh Al-Qur’an, yaitu menyangkut keadilan dalam rumah tangga. Syarat ini dalam asumsi Rahman sebenarnya merupakan indikasi kiasan untuk menggambarkan bahwa betapa laki-laki tidak sanggup melakukannya: memperlakukan istri-istrinya secara sama di hadapan suami.
Ayat Al-Qur’an yang kerap dikutip sebagai dalil untuk mengabsahkan praktik poligami adalah:
Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat.” (QS. An-Nisa’ (4): 3)
Untuk memahami pesan Al-Qur’an, penelusuran sosio-historis hendaknya dilakukan. Masalah ini muncul sebenarnya berkait dengan para gadis yatim. Dalam ayat sebelumnya (QS. An-Nisa’ (4): 2) dikatakan:     
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.
Al-Qur’an melarang keras para wali untuk memakan harta anak yatim. Tema seperti ini sudah disampaikan Al-Qur’an sejak di Makkah (QS. Al-An’am (6): 152; Al-Isra’ (17): 34) dan ditehaskan lagi ketika di Madinah (QS. Al-Baqarah (2): 220), 6, 10, dan 127). Setelah penekanan tidak dibenarkannya memakan harta para gadis yatim, Al-Qur’an kemudian membolehkan wanita para wali untuk mengawini mereka sampai empat orang. Tetapi menurut Rahman, ada satu prinsip yang sering diabaikan oleh ulama dalam hal ini, yaitu:
Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian” (QS. An-Nisa’ (4): 129).
“Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja” (QS. An-Nisa’ (4): 3).
Dari ayat-ayat tersebut disiratkan suatu makna bahwa sikap adil itu mustahil dijalankan oleh seorang laki-laki (suami) terhadap masing-masing istrinya. Dalam kasus ini, “Klausa tentang berlaku adil harus mendapat perhatian dan niscaya punya kepentingan lebih mendasar ketimbang klausa spesifik yang membolehkan poligami. Tuntunan untuk berlaku adil dan wajar adalah salah satu tuntutan dasar keseluruhan ajaran Al-Qur’an.
Jadi, pesan terdalam Al-Qur’an tidak menganjurkan poligami. Ia justru memerintahkan sebaliknya, monogami. Itulah ideal moral yang hendak dituju Al-Qur’an.[5]

IV.              KESIMPULAN
Kalau selama ini hukum Islam telah membenarkan praktik ini, menurut Rahman, hanya menunggu waktu yang tepat untuk menghapusnya. Ini tergantung pada kondisi sosial yang siap untuk menerimanya. Bukankah kehadiran pesan-pesan Al-Qur’an pada umumnya juga mengiringi tradisi dan budaya masyarakat di zamannya? Al-Qur’an menerima ketentuan hukum untuk beristri lebih dari satu (dua, tiga, atau empat) karena ketidakmungkinan menghapus praktik poligami seketika itu juga, mengingat praktik poligami jauh sebelum Islam datang sudah dikenal dan menjadi tradisi di kalangan masyarakat Arab. Praktik ini terus dipelihara hingga Al-Qur’an datang, seolah membenarkan praktik tersebut. Padahal, yang dipesankan secara sejati oleh Al-Qur’an tidak lain adalah monogami. Hidup yang umumnya disepakati oleh dua belah pihak, laki-laki dan perempuan.
Menurut Rahman, ideal moral Al-Qur’an harus berkompromi dengan kondisi aktual masyarakat Arab pada abad ke-7, ketika poligami berakar kuat dalam masyarakat, sehingga secara legal tidak bisa dicabut seketika sebab justru akan menghancurkan ideal moral itu sendiri. Dengan demikian, konsekuensi logis dari pernyataan-pernyataan Al-Qur’an adalah bahwa dalam situasi yang normal poligami dilarang. Namun, sebagai lembaga yang sudah terlanjur ada, poligami diakui secara hukum, dengan pertimbangan bahwa jika lingkungan sosial telah memungkinkan poligami akan dilarang. Menurut Rahman, ini diandaikan terjadi karena tidak seorang pun pembaharu, bila mau berhasil, dapat mengabaikan situasi riil di lapangan dan semata mengeluarkan pernyataan-pernyataan visioner. Celakanya, ini tidak dipahami oleh generasi Muslim yang datang belakangan, dan faktanya menggagalkan tujuan dasar (ideal moral) yang terkandung di dalamnya.[6]   

V.                 DAFTAR PUSTAKA
Al-Farran, Ahmad Musthafa, Tafsir Imam Syafi’i, diterjemahkan oleh Fedrian Hasmand, dkk., dari “Tafsir al-Imam asy-Syafi’i”, Jilid II, Jakarta: Almahira, cetakan 1, 2008.

Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, Yogyakarta: Jalasutra, Cet. 1. 2007.
  



[1] Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.

[2] Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh Para Nabi sebelum Nabi Muhammad s.a.w. ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja.
[3] Syaikh Ahmad Musthafa al-Farran, Tafsir Imam Syafi’i, diterjemahkan oleh Fedrian Hasmand, dkk., dari “Tafsir al-Imam asy Syafi’I”, Jilid II, (Jakarta: Penerbit Almahira, 2008), Cet. 1, h. 3-4.
[4] Ibid. h. 5-6.
[5] Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, (Yogyakarta: Jalasutra, 2007), Cet. 1, h. 75-77.
[6] Ibid. h. 77-78.