Saturday, June 7, 2014

METODE PENAFSIRAN AL-JABIRI


METODE PENAFSIRAN AL-QUR’AN
MUHAMMAD ABID AL-JABIRI

Sumber Gambar Disini

Compiled by: ANDIKA MAULANA


I.                   PENDAHULUAN
Pergeseran episteme (cara berfikir) ternyata tidak saja terjadi dalam dunia filsafat, tetapi juga dalam dunia tafsir. Hal ini merupakan keniscayaan sejarah, mengingat bahwa proses dan produk penafsiran juga dipengaruhi oleh kondisi sosio historis dan bahkan politik dari para mufassir yang berbeda-beda. Ini artinya produk tafsir harus dipandang seperti sebuah organism yang hidup dan berkembang.
Secara kategoris istilah tafsir dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
1.      Tafsir sebagai produk, ia merupakan hasil dialektika seorang mufassir dengan teks dan konteks (baca: realitas) yang tertuang dalam kitab-kitab tafsir, baik secara lengkap 30 juz, maupun yang hanya sebagian ayat al-Qur’an.
2.      Tafsir sebagai proses, ia merupakan aktifitas berfikir untuk menafsirkan objek (dalam hal ini teks al-Qur’an dan realitas). Sebagai proses maka ia bersifat dinamis untuk selalu “menghidupkan” teks secara terus menerus dan tidak pernah mengenal titik henti. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari keinginan seorang mufassir untuk mendialogkan teks al-Qur’an yang statis, dengan konteks yang selalu dinamis. Tafsir sesungguhnya bersifat dinamis dan merupakan proses yang tak pernah mengenal titik henti, terbukti secara historis kaum muslimin telah melakukan kajian tafsir, sejak Nabi Muhammad SAW, para sahabat, tabi’in dan bahkan hingga sekarang ini.[1]
Dalam makalah ini penulis ingin menguraikan epistemologi tafsir yang dirumuskan oleh pemikir muslim kontemporer Muhammad Abid al-Jabiri. Bagaimana epistemologi tafsir yang dirumuskan oleh beliau? Simaklah makalah kami berikut ini! 

II.                POKOK PEMBAHASAN
A.    Biografi Muhammad Abid Al-Jabiri
B.     Epistemologi Tafsir Muhammad Al-Jabiri

III.             PEMBAHASAN
A.    Biografi Muhammad Abid Al-Jabiri
Ø  Muhammad Abid Al-Jabiri
Muhammad Abid al-Jabiri adalah seorang intelektual muslim kontemporer yang sangat disegani banyak kalangan dan mempengaruhi banyak pemikiran generasinya, khususnya peminat studi-studi keislaman (Islamic studies). Ia dilahirkan di kota Feji (Fekik) Maroko pada tahun 1936. Ia meraih gelar doktoralnya dari Universitas Muhammad V Rabat Maroko, lantas menjadi dosen filsafat dan pemikiran Islam di Fakultas Sastra pada kampus yang sama.
Al-Jabiri, sebagaimana Hassan Hanafi, dikenal sangat produktif menghasilkan kritisi-kritisinya, baik dalam bentuk makalah, artikel lepas hingga buku utuh yang sangat serius. Produktivitasnya sama-sekali tidak pernah mengendurkan kualitas dan ketajaman karya-karyanya. Ia semakin dikenal ketika meluncurkan buku Takwin al-Aql al-Arabi yang sangat tebal yang merupakan edisi pertama dari trilogi Kritk Nalar Arab-nya (Naqd al-Aql al-Arabi). Ia member perhatian yang sangat dalam kepada diskursus sejarah dan tradisi melalui metodologi kritis khas post-strukturalisme (post modernism) yang sangat dipengaruhi oleh tradisi dekonstruksi filsafat Perancis.[2]
Ø  Karya-Karyanya
Karya-karyanya yang telah dipublikasikan secara luas adalah trilogi Kritik Nalar Arab (Takwin al-Aql al-Arabi, Bunyah al-Aql al-Arabi dan Al-Aql al-Siyasi al-Arabi), al-Khitab al-Arabi al-Mu’ashir, Isykaliyyah al-Fikr al-Arabi al-Mu’ashir, al-Turats wa al-Hadatsah, Wijhah Nazhr nahw I’adah bina Qadlaya al-Fikr al-Arabi al-Mu’ashir, al-Mas’alah al-Tsaqafiyah, Mas’alah al-Huwiyah dan al-Mutsaqqafun al-Arab fi al-Hadlarah al-Islamiyyah.
Kecuali karya-karya diatas tersebut, al-Jabiri juga pernah terlibat polemic panjang dengan Hassan Hanafi yang memancing beberapa intelektual lain, seperti George Tharabisyi, terlibat di dalamnya. Polemik tersebut  kemudian dibukukan dalam Hiwar al-Masyriq wa al-Maghrib.[3]
   
B.     Epistemologi Tafsir Muhammad Al-Jabiri
Pemikiran-pemikiran epistemologi dalam Islam, menurut al-Jabiri dapat diklasifikasikan kepada tiga model ‘wilayah epistemologi’, yaitu: bayani (eksplanatif), irfani (gnostik) dan burhani (demonstratif).
Ø  Bayani
Kata “bayani” berasal dari bahasa Arab, yang berarti penjelasan (eksplanasi). bagi Al-Jabiri, sistem epistemologi bayani adalah sistem yang paling awal dalam pemikiran Arab. Sistem ini sangat didominasi dalam ilmu-ilmu pokok seperti fiqh, tafsir, kalam, teori sastra non-filsafat. Epistemologi bayani bersumber dari nash (al-Qur’an dan Hadis), qiyas dan ijma’.

            Untuk mendapatkan pengetahuan, epistemologi bayani menempuh dua jalan. Pertama, berpegang pada redaksi (lafaz) dengan menggunakan kaidah bahasa Arab, seperti nahwu dan sharaf sebagai alat analisa. Kedua, menggunakan metode qiyas (analogi) dan inilah prinsip utama epistemologi bayani. Contoh qiyas adalah soal hukum meminum arak dari kurma. Arak dari perasan kurma disebut far’un (cabang) karena tidak ada ketentuan hukumnya dalam nash, dan ia akan diqiyaskan pada khamer. Khamer adalah ashl (pokok) sebab terdapat dalam teks (nash) dan hukumnya haram, alasannya (‘illah) karena memabukkan. Hasilnya, arak adalah haram karena ada persamaan antara arak dan khamer , yakni sama-sama memabukkan.

            Sistem epistemologi bayani ini menghasilkan pakem kombinatif untuk menafsirkan wacana dan menentukan syarat-syarat produksi wacana. Al-Jabiri menyimpulkan bahwa sistem ini dibangun oleh dua prinsip dasar. Pertama, diskontinuitas atau keterpisahan (al-infishal), dan kedua, konsep kontigensi atau kemungkinan (al-tajwiz). Prinsip-prinsip tersebut ter-manifestasi dalam teori substansi individu (tubuh, tindakan, sensasi, dan apapun yang terbentuk di dalamnya) didasarkan atas hubungan dan asosiasi yang kebetulan saja, tetapi tidak mempengaruhi dan berinteraksi. Teori ini sesungguhnya menafikan teori kausalitas atau ide tentang adanya hukum alam.

            Pendekatan bayani merupakan studi filosofis terhadap sistem bangunan pengetahuan yang menempatkan teks (wahyu) sebagai suatu kebenaran mutlak, Adapun akal hanya menempati kedudukan sekunder, yang bertugas menjelaskan dan membela teks yang ada. Dengan kata lain, bayani hanya bekerja pada tataran teks melebihi dataran akal. Oleh karena itu kekuatan pendekatan ini terletak pada bahasa baik pada dataran gramatikal dan struktur (nahwu, sharaf) maupun sastra (balagahah).

            Dalam konteks ini, bahasa tidak hanya sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai media transformasi budaya dan membentuk kerangka rujukan asasi kaum bayani. Salah satu implikasinya, lafadz dan makna menempati posisi terhormat, terutama dalam diskursus ushul fiqh. Melalui bayani penerapan analisis tekstual diharapkan dapat menggali landasan normativ al-Qur’an dan al-Hadis yang berkaitan dengan wacana agama.

            Pemikiran ini muncul dari sebuah pemikiran apa yang disebutnya sebagai “epistemologi budaya”. Maksudnya, pembahasan difokuskan pada akar-akar dan dasar-dasar pengetahuan, yaitu dalam bentuknya sebagai sistem dan sebagai mekanisme penalaran dan produksi pengetahuan dalam satu budaya tertentu. Dalam konteks ini, al-Jabiri berangkat dari asumsi yang mengakui pluralisme budaya sebagai kenyataan yang mendasar, mengakui bahwa masing-masing kebudayaan melahirkan satu sistem bahasanya sendiri, dan bahwa sistem pengetahuan dalam satu kebudayaan pasti berbeda sedikit banyaknya dengan sistem pengetahuan dalam kebudayaan lainnya. Dan asumsi ini juga mengakui bahwa bahasa memainkan peran yang fundamental dalam perbedaan tersebut.

            Al-Jabiri mengatakan bahwa bahasa Arab punya pengaruh yang sangat signifikan dalam membentuk pemikiran Islam-Arab dan mengarahkan segenap mekanisme dan prosedur penalarannya, meskipun itu bukan satu-satunya unsur pembentukannya. Nalar Arab adalah sebagai produk kebudayaan Islam-Arab yang terdiri dari tiga sistem pengetahuan atau epestime: episteme bahasa yang berasal dari kebudayaan Arab, episteme gnosis yang berasal dari tradisi Persia dan Hermetis, dan epistemologi rasional (burhani) yang berasal dari Yunani. Ketika mengangkat tema hubungan antara bahasa dan pemikiran dalam Islam-Arab, al-Jabiri bermaksud menggaris bawahi salah satu episteme atau sistem pengetahuan yang membentuk pemikiran Arab, episteme yang diolah oleh sebuah sistem bahasa di mana pemikiran tersebut menemukan peran dan fungsinya.

            Dalam kaitannya dengan bahasa ini, bisa diamati karakteristik yang khas dalam pola-pola hubungan antara bahasa dengan pemikiran dalam kebudayaan Arab dalam beberapa tingkatan. Di antaranya yang terpenting adalah aspek material bahasa Arab dan pandangan dunia yang dibawanya, bentuk gramatikal dan karakter logisnya, unsur-unsur keindahan bahasa dan bentuk penalarannya, serta metodologi kajian ilmiah dan mekanisme rasionalitasnya.

            Berdasarkan kenyataan bahwa bayani berkaitan dengan teks dan hubungannya dengan “realitas”, maka persoalan pokok yang ada di dalamnya adalah sekitar masalah lafadz-makna, dan ushul-furu’. Menurut al-Jabiri, persoalan lafaz makna mengandung dua aspek; teoritis dan praktis. Dari segi teori muncul tiga persoalan, (1) tentang makna suatu kata, apakah didasarkan atas konteksnya atau makna aslinya (tauqif), (2) tentang analogi bahasa, (3) soal pemaknaan al-asma’ al-syar’iyyah, seperti kata shalat, shiyam, zakat, dan lainnya.

            Pada masalah pertama, pemberian makna atas sebuah kata, muncul akibat adanya perdebatan antara kaum rasionalis dengan ahli hadis. Menurut Mu’tazilah yang rasionalis, suatu kata harus diberi makna berdasarkan konteks dan istilahnya, sementara bagi ahli sunnah, suatu kata harus dimaknai sesuai dengan makna asalnya.

            Ini sesuai dengan asumsi dasar pengetahuan Arab bahwa makna dan sistem berfikir lahir dari kata (teks), bukan teks yang lahir dari makna dan sistem berpikir. Ilmu nahwu (gramatika Arab) yang lahir dari asumsi ini, bertugas menjaga teks dari kemungkinan terjadinya penyimpangan makna. Pada perkembangan selanjutnya, diskursus nahwu bukan lagi sekedar berisi kaidah-kaidah bahasa yang mengatur ucapan dan tulisan secara benar, tetapi sekaligus juga berisi aturan-aturan berpikir, yang kemudian melahirkan pengetahuan bayani.

            Masalah kedua, tentang analogi bahasa, seperti kata nabidz (perasan gandum) dengan khamr (perasan anggur), atau kata sariq (pencuri benda) dengan nabasy (pencuri mayat) yang di kubur. Di sini para ulama memperbolehkan analogi, tapi hanya dari sisi logika bahasanya, bukan pada lafaz atau redaksinya. Sebab, masing-masing bahasa mempunyai istilah sendiri yang mempunyai kedalaman makna yang berbeda, sehingga jika di analogikan akan bisa merusak bahasa yang ada diantaranya.

            Masalah ketiga, pemaknaan atas al-asma’ al-syar’iyyah. Mu’tazilah berpendapat bahwa; pada beberapa hal, al-Qur’an bisa dimaknai lain dan pengertian yang berbeda, tidak harus sesuai dengan budaya Arab tempat ia diturunkan. Karena tak jarang al-Qur’an menngunakan istilah Arab, namun dimaknai berbeda dari makna asalnya. Sedangkan menurut al-Baqilani, al-Qur’an dimaknai harus sesuai dengan kebudayaan Arab. Karena al-Qur’an diturunkan dalam tradisi dan budaya Arab.

            Adapun hubungan kata-makna dalam tataran praktis, ia berkaitan dengan penafsiran atas wacana syara’. Ulama fiqh banyak mengembangkan masalah ini, baik dari aspek kedudukan sebuah kata, penggunaan, tingkat kejelasan maupun metodenya.

            Dalam hubungannya dengan soal ushul-furu’, menurut al-Jabiri, ushul disini tidak menunjuk pada dasar-dasar hukum fiqh, seperti, al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas, tetapi pengertian umum bahwa ia adalah pangkal (asas) dari proses penggalian pengetahuan. Ushul adalah ujung rantai dari hubungan timbal balik dengan furu’. Peran ushul dalam hubungannya dengan furu’ ada tiga:

1.  Ushul sebagai sumber pengetahuan yang cara mendapatkannya dengan istinbat. Istinbat merupakan upaya menggali untuk mendapatkan sesuatu yang belum ada, sehingga nash berkedudukan sebagai sumber pengetahuan.

2. Ushul sebagai sandaran bagi pengetahuan yang lain, yang cara penggunaannya dengan qiyas, baik dengan qiyas ‘illat seperti ahli fiqh. Atau qiyas dalalah seperti yang digunakan kaum teolog.

3. Ushul sebagai pangkal dari proses pembentukan pengetahuan, yang caranya dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul al-fiqh.[4]

Ø  Irfani
                Irfani (gnostik), kata ini semakna dengan makrifat, berarti pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman, sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang didapat lewat transformasi (naql) dan rasionalitas ( aql).

            Pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks seperti bayani, juga tidak atas rasio seperti burhani, tetapi pada kasyf atau intuisi, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan, termasuk dalam praktek tersebut adalah kalangan sufisme, pemikiran Syafi’i, fisafat Isma’ili, filsafat iluminasi Timur, dan tafsir al-Qur’an yang bercorak sufistik. Sistem epistemologi irfani didasarkan atas adanya perbedaan antara yang batin atau manifest dan yang zahir atau laten. Hal yang bersifat batin memiliki posisi tertinggi dalam herarki pengetahuan irfani.

            Irfani sebagai pengetahuan yang diperoleh melalui kasyaf dan ilham dikalangan sufi dianggap lebih tinggi daripada pengetahuan biasa yang diperoleh melalui usaha manusia dengan indera dan akal.

            Pendekatan irfani adalah penelitian dan perenungan yang mendalam disertai dengan ketajaman dan penajaman hati nurani, yang dibangun melalui munajat wa taqarrub ilallah banyak melaksanakan ibadah masyru’ah, tadabbur al-Qur’an, dan berakhlak karimah adalah upaya penguatan potensi kecerdasan spiritual. Di sini perlu penghayatan dan pengamalan keagamaan yang mendalam sebagai perangkat untuk memahami dan menjelaskan agama. Dalam pendekatan irfani ini terdapat unsur humanitas (rasa kemanusiaan), tetapi humanitas ilahiyyah, yakni rasa kemanusiaan yang timbul setelah banyak melakukan dalam munajat dan mujahadah kepada Allah swt. Orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam munajat dan mujahadah kepada Allah akan dibukakan hijab yang menutup antara dirinya dengan Allah, sehingga tidak ada lagi batas atau hijab.

            Melalui pendekatan irfani diharap dapat menangkap makna hakikat atau makna terdalam di balik teks dan konteks. Jika asumsi dasar atau paradigma bayani lebih melihat teks sebagai sebuah fenomena kebahasaan, sementara paradigma burhani lebih melihat teks sebagai sesuatu yang berkaitan dengan konteks, maka paradigma irfani lebih melihat teks sebagai sebuah simbol-simbol dan isyarat-isyarat yang menuntut pembacaan dan penggalian makna terdalam (bathin) dari simbol-simbol dan isyarat-isyarat tersebut dengan melibatkan kecerdasan emosional, kecerdasan social dan kecerdasan spiritual.

            Dalam konteks dialektik agama dan pluralitas seni tradisi atau budaya lokal, pendekatan irfani ini sebagaimana juga pendekatan burhani, memiliki dua tugas penting yaitu: (1), membaca makna-makna terdalam dari simbol-simbol dan isyarat-isyarat teks keagamaan (nushush al-diniyat); (2), membaca makna-makna terdalam dari simbol-simbol dan isyarat-isyarat yang terkandung dalam bentuk-bentuk seni tradisi atau budaya lokal.

            Sesuai dengan sasaran bidik irfani yang esoteric, isu sentral irfan adalah zahir dan batin, bukan sebagai konsep yang berlawanan tetapi sebagai pasangan. Teks keagamaan tidak hanya mengandung apa yang tersurat (zahir ) tetapi juga yang tersirat (batin). Aspek zahir teks adalah bacaannya (tilawah) sedang aspek batinnya adalah takwilnya. Jika dianalogikan dengan bayani, konsep zahir-batin ini tidak berbeda dengan lafaz-makna. Bedanya, dalam epistemologi bayani, seseorang berangkat dari lafaz menuju makna; sedangkan dalam irfani, seseorang justru berangkat dari makna menuju lafaz, dari batin menuju zahir. Menurut al-Jabiri, makna batin diungkap dengan cara I’tibar atau qiyas irfani. Contoh, qiyas yang dilakukan kaum Syi’ah yang meyakini keunggulan keluarga Imam Ali r.a atas Q.S al-Rahman, 19-22.” Dia membiarkan dua lautan mengalir dan bertemu; di antara keduanya ada batas yang tidak terlampaui dan dari keduanya keluar mutiara dan marjan”. Dalam hal ini, Ali dan Fatimah dinisbatkan pada dua lautan, Muhammad saw dinisbatkan pada batas (barzah), sedang Hasan dan Husein dinisbatkan pada mutiara dan marjan.

            Sedangkan qiyas al-Qusyairi dalam ayat yang sama adalah, dalam hati ada dua lautan, yakni khauf (takut) dan raja’ (harapan), dan dari sana keluar mutiara dan marjan, yakni ahwal al-shufiyah dan lathaif al-mutawaliyah. Diantaranya ada batas yang tak terlampaui, yakni pengawasan Tuhan atas ini dan itu. Artinya, konsep sufisme tentang khauf dan raja’ dinisbatkan pada kata ‘bahrain’ (dua lautan), sedang ahwal dan lathaif dinisbatkan pada mutiara dan marjan.[5]

Ø  Burhani
            Al-Burhani (demonstrative), secara sederahana, bisa diartikan sebagai suatu aktifitas berfikir untuk menetapkan kebenaran proposisi (qadliyah) melalui pendekatan deduktif (al-istintaj) dengan mengaitkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain yang telah terbukti kebenarannya secara aksiomatik (badhihi).

            Burhani adalah epistemologi yang didasarkan atas fakta yang disimpulkan, bersumber dari pemikiran Yunani (khususnya Aristoteles), tapi dia tidak hanya membatasi epistemologi ini hanya terhadap orang-orang yang mendasari analisanya pada logika. Perbedaannya dengan bayani yang membangun pemahaman tentang dunia berdasarkan prinsip diskontinutas dan kontingensi, dan ‘irfani yang mendasarkan pemahamannya pada prinsip korespodensi dan keserupaan, maka sistem epistemologi burhani didasarkan atas hubungan sebab akibat antara berbagai elemen, dengan demikian terciptalah gagasan tentang mungkinnya hukum alam. Al-Jabiri menyamakan sistem ini dengan rasioanlisme.

            Kebutuhan akan penggunaan metode burhani , didasarkan atas tuntutan kebutuhan yang ada; bahwa pada saat muncul banyak doktrin yang kurang lebih hiterodok yang datang dari Iran, Persia, India atau daerah pinggiran Islam, seperti Mazdiah, Manikiah, Materialisme, atau bahkan dari pusat Islam sendiri sebagai akibat dari pencarian bebas yang berubah bentuk menjadi pemikiran bebas seperti penolakan terhadap wahyu dan lainnya yang dikategorikan dalam istilah ‘ zindiq’ . Untuk menjawab serangan doktrin-doktrin ini, para sarjana muslim merasa perlu mencari sistem berpikir rasional dan argumen-argumen yang masuk akal, karena metode sebelumnya, bayani, tidak lagi memadai untuk menjawab persoalan-persoalan baru yang sangat beragam yang belum dikenal sebelumnya. Sarjana pertama yang mengenalkan dan menggunakannya metode burhani adalah al-Kindi (806-875 M).

            Burhani menyandarkan diri pada kekuatan rasio atau akal yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Bahkan, dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang sesuai dengan logika rasional. Pendekatan ini menjadikan realitas teks maupun konteks sebagai sumber kajian. Realitas tersebut meliputi realitas alam (kauniyyah), realitas sejarah (tarikhiyyah), realitas social (ijtima’iyyah), maupun realitas budaya (tsaqafiyyah). Dalam pendekatan ini, teks dan konteks, berada dalam satu wilayah yang saling berkaitan. Teks tidak berdiri sendiri, ia selalu terkait dengan konteks yang mengelilingi dan mengadakannya sekaligus konteks dari mana teks itu di baca dan ditafsirkan, sehingga pemahaman akan lebih kuat, untuk itu pemahaman terhadap realitas kehidupan social –keagamaan dan social keislaman menjadi lebih memadai apabila dipergunakan pendekatan-pendekatan sosiologi, antropologi, kebudayaan dan sejarah.

            Dengan mengandalkan kekuatan olah rasio, burhani telah berjasa dalam mengembangkan filsafat Islam. Juga telah membantu perkembangan epistemologi lain, seperti bayani lewat pemikiran fiqh seperti yang dilakukan al-Gazali (1058-1111 M) lewat al-mustashfa fi ‘ulum al-fiqh, dan membantu metode irfani seperti yang terjadi pada Ibnu ‘Arabi (1165-1240 M) lewat uraian tentang wahdat al-wujûd.

            Al-Jabiri melukiskan kejadian yang dialami umat Islam dalam sejarah pemikiran Ibn Rusyd. Pada masa lalu, seperti yang dialami pada masa Ibn Rusyd, tradisi pemikiran Islam adalah: pertama, tradisi kalam dan filsafat beserta ilmu-ilmunya; kedua, tradisi fiqh dan ushul fiqh; ketiga, tradisi tasawuf teoritik. Bila ditinjau dari dasar-dasar epistemologinya, yakni dasar-dasar yang melandasi produksi pengetahuan, ketiga jenis pemikiran tersebut bermuara pada satu titik temu, absennya pendekatan ilmiah-rasionalisme, baik dalam bentuk parsial seperti dalam tradisi filsafat model Ibn Sina dan filsafat illuminasionis, maupun keseluruhan, seperti terlihat dalam tradisi kalam, baik asy’ari maupun mu’tazilah. Dan juga dalam fiqh yang didominasi metode jadali. dan qiyas yang sama-sama menggunakan analogi yang bersifat zhanni, cuma dugaan dan bukan keyakinan. Sementara dalam tradisi tasawuf, yang dikenal dengan metodologi irfani yang mengabaikan akal dan tidak mengakui metode burhan.

            Menurut al-Jabiri, absennya rasionalisme berarti terjadinya pengingkaran terhadap prinsip kausalitas, atau paling tidak hal tersebut memarjinalkannya sebagai dasar berpikir yang diikuti secara ketat.

            Menurut suhrawardi (1154-1192), kekurangan rasionalisme burhani antara lain, (1), bahwa ada kebenaran-kebenaran yang tidak bisa dicapai oleh rasio atau didekati lewat burhani, (2), ada eksistensi di luar pikiran yang bisa di capai nalar tetapi tidak bisa dijelaskan burhani, seperti soal warna, bau, rasa . (3), prinsip burhani yang menyatakan bahwa atribut sesuatu harus didefinisikan oleh atribut lain akan menggiring pada proses tanpa akhir. Jelaslah, deduksi rasional (burhani) dan demonstrasi belaka tidak bisa menyingkap seluruh kebenaran dan realitas yang mendasari semesta.[6]

IV.             KESIMPULAN
Dari uraiain diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Muhammad Abid al-Jabiri adalah seorang intelektual muslim kontemporer yang sangat disegani banyak kalangan dan mempengaruhi banyak pemikiran generasinya, khususnya peminat studi-studi keislaman (Islamic studies). Ia dilahirkan di kota Feji (Fekik) Maroko pada tahun 1936.
            Bayani adalah sebuah model metodologi berpikir berdasarkan teks. Teks sucilah yang mempunyai otoritas penuh untuk memberikan arah dan arti kebenaran, sedangkan rasio hanya berfungsi sebagai pengawal bagi ter-amankannya otoritas teks tersebut.

            Irfani adalah model metodologi berpikir yang didasarkan atas pendekatan dan pengalaman langsung (direct experience) atas realitas spiritual keagamaan. Karena itu, berbeda dengan sasaran bidik bayani yang bersifat eksoteris, sasaran bidik irfani adalah aspek esoteric atau bagian batin teks, dan karena itu rasio digunakan untuk menjelaskan pengalaman-pengalaman spiritual tersebut.

            Burhani adalah model metodologi berpikir yang tidak didasarkan atas teks maupun pengalaman, melainkan atas dasar keruntutan logika. Pada tahap tertentu, keberadaan teks suci dan pengalaman spiritual bahkan hanya dapat diterima jika sesuai dengan aturan logis.

            Perbandingan ketiga epistemology ini, bayani menghasilkan pengetahuan lewat analogi realitas non-fisik atas realitas fisik (qiyas al-ghaib ala al-syahid) atau furu’ kepada asal; irfani menghasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan rohani pada Tuhan dengan penyatuan universal (kulliyat); burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya.

            Ketiga model epistemologi tersebut, dalam sejarahnya, telah menunjukkan keberhasilannya masing-masing. Nalar bayani telah membesarkan disiplin fiqh (hukum) dan teologi, irfani telah menghasilkan teori-teori besar dalam sufisme di samping kelebihannya untuk memahami orang lain, dan burhani telah menyampaikan filsafat dalam puncak pencapaiannya.

V.                DAFTAR PUSTAKA
Abid al-Jabiri, Muhammad, Farmasi Nalar Arab: Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius, diterjemahkan oleh Imam Khoiri dari “Takwin al-Aql al-Arabi”, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), Cet. I.

Jamil, M, “Pergeseran Epistemologi dalam Tradisi Penafsiran al-Qur’an,” Jurnal Ilmiah Abdi Ilmu, IV (Juni, 2011).

Abdul Basit, S.Pd.I., dalam sebuah artikel “Epistemologi Bayani, Irfani, dan Burhani Al-Jabiri dan Relevansinya Bagi Ilmu-Ilmu Keagamaan”, diakses pada hari Jum’at, 30 Mei 2014, pukul 09.45 WIB, dari laman http://al-falahbungas.blogspot.com/2009/05/epistemologi-bayani-irfani-dan-burhani.html.



[1] M. Jamil, “Pergeseran Epistemologi dalam Tradisi Penafsiran al-Qur’an,” Jurnal Ilmiah Abdi Ilmu, IV (Juni, 2011), h. 469-470.
[2] Muhammad Abid al-Jabiri, Farmasi Nalar Arab: Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius, diterjemahkan oleh Imam Khoiri dari “Takwin al-Aql al-Arabi”, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), Cet. I, h. 591.
[3] Ibid. h. 592.
[4] Abdul Basit, S.Pd.I., dalam sebuah artikel “Epistemologi Bayani, Irfani, dan Burhani Al-Jabiri dan Relevansinya Bagi Ilmu-Ilmu Keagamaan”, diakses pada hari Jum’at, 30 Mei 2014, pukul 09.45 WIB, dari laman http://al-falahbungas.blogspot.com/2009/05/epistemologi-bayani-irfani-dan-burhani.html.
[5]ibid.
[6] Ibid.