Thursday, November 27, 2014

7 GOLONGAN DALAM NAUNGAN ALLAH DI HARI KIAMAT

Sumber Gambar Disini

Compiled By: ANDIKA MAULANA

91 - (1031) حدثني زهير بن حرب ومحمد بن المثنى. جميعا عن يحيى القطان. قال زهير: حدثنا يحيى بن سعيد عن عبيدالله. أخبرني خبيب بن عبدالرحمن عن حفص بن عاصم عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم، قال:                                                                           
"سبعة يظلهم الله في ضله يوم لا ظل إلا ظله: الإمام العادل. وشاب نشأ بعبادة الله. ورجل قلبه معلق في المساجد. ورجلان تحابا في الله، اجتمعا عليه وتفرقا عليه. ورجل دعته امرأة ذات منصب وجمال، فقال: إني أخاف الله. ورجل تصدق بصدقة فأخفاها حتى لا تعلم يمينه ما تنفق شماله. ورجل ذكر الله خاليا، ففاضت عيناه".                                                                                          

91-(1031). Zuhair bin Harb dan Muhammad bin Al Mutsanna menceritakan kepadaku, kesemuanya {telah meriwayatkan} dari Yahya Al Qaththan. Zuhair berkata: Yahya bin Sa’id menceritakan kepada kami, dari Ubaidullah, Khubaib bin Abdirrahman mengabarkan kepadaku dari Hafsh bin Ashim, dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW, beliau telah bersabda, “Ada tujuh golongan yang kelak akan dinaungi Allah di bawah naungan-Nya pada sebuah hari dimana tidak ada lagi naungan kecuali hanya milik Allah: imam yang adil, pemuda yang tumbuh berkembang dengan menunaikan ibadah kepada Allah, seseorang yang hatinya senantiasa tertaut pada masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah dimana kedua berkumpul dan berpisah hanya karena-Nya, seorang lelaki yang diajak berbuat mesum seorang wanita yang memiliki kedudukan dan berparas cantik namun ternyata dia malah berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah’, seseorang yang bersedekah dengan tidak menunjukkannya secara transparan sehingga tangan kanannya tidak tahu apa yang telah diinfakan tangan kirinya, dan seseorang yang berdzikir kepada Allah di dalam keheningan sehingga dia mencucurkan air matanya.”[1]

(1031) وحدثنا يحيى بن يحيى. قال: قرأت على مالك عن خبيب بن عبدالرحمن، عن حفص بن عاصم، عن أبي سعيد الخدري (أو عن أبي هريرة) ؛ أنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم. بمثل حديث عبيدالله. وقال "ورجل معلق بالمسجد، إذا خرج منه حتى يعود إليه".                       

(1031). Dan, Yahya bin Yahya menceritakan kepada kami, dia berkata: Aku pernah membaca {riwayat hadits} di hadapan Malik, dari Khubaib bin Abdirrahman, dari Hafs bin Ashim, dari Abu Sa’id Al Khudri RA atau dari Abu Hurairah RA bahwa dia telah berkata, Rasulullah SAW telah bersabda sebagaimana riwayat Ubaidullah. Hanya saja {dalam riwayat jalur ini} beliau bersabda {dengan menggunakan redaksi}, “Dan seseorang yang tertaut hatinya dengan masjid ketika dia keluar dari tempat suci tersebut sehingga akan kembali lagi.”[2]

v  Keterangan Hadits
               Dari hadits di atas dapat diambil kesimpulan bahwa ada tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan (perlindungan) Allah SWT di hari kiamat, yaitu:
1.      Imam yang adil à Al Qadhi Iyadh mengatakan: Yang dimaksud dengan imam adalah semua orang yang mengurus kemaslahatan kaum muslimin, baik dia seorang pemimpin atau hakim. Alasan Rasulullah SAW menyebutkan imam adil sebagai kategori pertama, karena di tangan dialah kemaslahatan publik kaum muslimin berada dan dipertaruhkan.
2.      Pemuda yang tumbuh berkembang dengan menunaikan ibadah kepada Allah à Pemuda yang mendedikasikan usia pertumbuhannya untuk melakukan berbagai macam ibadah.
3.      Seseorang yang hatinya senantiasa tertaut pada masjid à Seorang pemuda yang sangat cinta kepada masjid sehingga senantiasa melakukan shalat berjamaah di dalamnya. Oleh karena itu, hendaklah kalimat tersebut tidak difahami sebagai orang yang senantiasa duduk di dalam masjid.
4.      Dua orang yang saling mencintai karena Allah dimana kedua berkumpul dan berpisah hanya karena-Nya à Dua orang yang berteman atas dasar cinta kepada Allah dan juga akan berpisah karena pertimbangan suci itu. Selama menjalin persahabatan, tidak ada pertimbangan lain di antara keduanya kecuali hanya karena Allah.
5.      Seorang lelaki yang diajak berbuat mesum seorang wanita yang memiliki kedudukan dan berparas cantik dan ternyata dia malah berkata: “Sesungguhnya aku takut kepada Allah.”
6.      Seseorang yang bersedekah dengan tidak menunjukkannya secara transparan sehingga tangan kanannya tidak tahu apa yang telah diinfakkan tangan kirinya à Kalimat hadits tersebut menerangkan tentang keutamaan menunaikan sedekah secara tidak terang-terangan. Menurut para ulama, hal ini berlaku untuk sedekah sunnah, dimana menunaikannya lebih utama untuk tidak diekspos. Karena cara itulah yang lebih berpotensi untuk ikhlas dan terhindar dari unsur riya’.
7.      Seseorang yang berdzikir kepada Allah di dalam keheningan sehingga dia mencucurkan air matanya à Dalam kalimat hadits tersebut terkandung penjelasan tentang keutamaan menangis karena takut kepada Allah SWT dan juga keutamaan untuk melakukan ketaatan maupun ibadah tidak secara demonstratif agar kesempurnaan ikhlas bisa diraih.[3]



[1] Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim (6), diterjemahkan oleh Wawan Djunaedi Soffandi dari “Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi,” Jilid 7, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2011), Cet. I, h. 360-361.
[2] Ibid. h. 361-362.
[3] Ibid. h. 363-368.

HADITS TENTANG PERSAUDARAAN

Sumber Gambar Disini

Compiled by: ANDIKA MAULANA


71 - (45) حدثنا محمد بن المثنى وابن بشار، قالا: حدثنا محمد بن جعفر. حدثنا شعبة. قال: سمعت قتادة يحدث عن أنس بن مالك، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال:                              
"لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه (أو قال لجاره) ما يحب لنفسه".                                 

      71-(45). Muhammad bin Al Mutsanna dan Ibnu Basysyar menceritakan kepada kami, keduanya berkata: Muhammad bin Ja’far menceritakan kepada kami, Syu’bah menceritakan kepada kami, dia berkata: Aku telah mendengar Qatadah meriwayatkan (hadits) dari Anas bin Malik, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Salah seorang dari kalian tidak beriman sampai dia mencintai saudaranya (atau beliau bersabda, “{mencintai} tetangganya)  sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.”[1]

72 - (45) وحدثني زهير بن حرب. حدثنا يحيى بن سعيد عن حسين المعلم، عن قتادة، عن أنس، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال:                                                                            
"والذي نفسي بيده! لا يؤمن عبد حتى يحب لجاره (أو قال لأخيه) ما يحب لنفسه".                    
      72-(45). Zuhair bin Harb menceritakan kepadaku, Yahya bin Sa’id menceritakan kepada kami, dari Husain Al Muallim, dari Qatadah, dari Anas, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Demi Dzat Yang jiwaku berada di tangan-Nya, seorang hamba tidak beriman sampai dia mencintai tetangganya (atau Rasulullah telah bersabda, “{sampai dia mencintai} saudaranya) sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.”[2]

v  Keterangan Hadits
      (Salah seorang dari kalian tidak beriman sampai dia mencintai saudaranya (atau beliau bersabda, “{mencintai} tetangganya)  sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri). Demikianlah redaksi yang disebutkan dalam riwayat Imam Muslim, yakni dengan menyebutkan kalimat liakhiihi atau lijaarihi. Dalam hal ini periwayat ragu di antara kedua lafazh tersebut. Demikian juga yang disebutkan dalam Musnad Abd bin Humaid, dimana dalam riwayat tersebut juga disebutkan lafadz diatas, karena sang periwayat merasa ragu.[3] Sedangkan dalam riwayat Imam Bukhari, hanya mencantumkan kalimat liakhiihi, tanpa ada unsur keraguan.[4]
      Para ulama berkata, “Makna hadits di atas adalah seseorang tidak akan memiliki keimanan yang sempurna, sebab pokok keimanan sudah bisa dicapai oleh seseorang sekalipun tidak memiliki sifat yang disebutkan di dalam hadits tersebut. Sedangkan makna mencintai saudaranya adalah pada hal-hal yang ada kaitannya dengan ketaatan dan sesuatu yang hukumnya mubah {boleh}. Keterangan ini bisa dilihat pada riwayat An-Nasa’i dalam hadits berikut, “{Salah seorang dari kalian tidak beriman} sampai dia mencintai saudaranya dalam hal kebaikan sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.”[5] 



[1] Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim (2), diterjemahkan oleh Wawan Djunaedi Soffandi dari “Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi,” Jilid 2, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010), Cet. I, h. 115.
[2] Ibid. h. 115-116.
[3] Ibid. h. 116.
[4] Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, Juz I, (ttt: Darul Fikr, ttt), h. 56-57.
[5] Imam An-Nawawi. Loc. cit. 

Monday, November 24, 2014

Pembeda Muslim Dan Kafir

Sumber Gambar Disini

Compiled by: ANDIKA MAULANA

I.               I.                   PENDAHULUAN
Tak kenal maka tak sayang. Peribahasa ini nampaknya menjadi sebab utama, kenapa banyak dari kaum muslimin tidak mengerjakan shalat. Tak usah jauh-jauh untuk melaksanakan sholat sunnah, sholat 5 waktu yang wajib saja mereka tidak kerjakan padahal cukup 10 menit waktu yang diperlukan untuk melaksanakan shalat dengan khusyuk. Padahal jika kita membaca hadits-hadits Nabi SAW yang berkaitan dengan orang meninggalkan shalat, kita akan mendapati informasi bahwa mereka termasuk orang kafir. Lebih tegas lagi sabda Nabi SAW, bahwa shalatlah pembeda antara seorang mukmin dan kafir.
Oleh karena itu, dalam tulisan yang singkat ini, kami akan mengemukakan pembahasan hukum meninggalkan shalat. Semoga dengan sedikit goresan tinta ini dapat memotivasi kaum muslimin sekalian untuk selalu memperhatikan rukun Islam yang teramat mulia ini.

II.                POKOK PEMBAHASAN
1.      Matan dan Terjemah Hadits Tentang Pembeda Muslim dan Kafir
2.      Syarah Hadits Tentang Pembeda Muslim dan Kafir

III.             PEMBAHASAN
1.      Matan dan Terjemah Hadits Tentang Pembeda Muslim dan Kafir
v  Hadits Pertama

            Abu Bakar bin Abu Syaibah dan Abu Kuraib, keduanya berkata: Abu Muawiyah menceritakan kepada kami, dari Al-A’masy, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Jika anak keturunan Adam membaca (ayat) as-Sajadah, lalu dia sujud, maka syetan menyingkir sambil menangis, lalu berkata, “Aduh celaka, --- dalam riwayat Abu Kuraib disebutkan dengan redaksi yaa wailii (aduh celaka aku) ---. Anak keturunan Adam telah diperintahkan untuk sujud, lalu bersujud, maka dia mendapatkan surga. Sedangkan aku telah diperintahkan untuk sujud, tetapi aku enggan (untuk bersujud), maka aku mendapatkan neraka.” (HR. Muslim No 81)[1]
            Zuhair bin Harb menceritakan kepadaku, Waki’ menceritakan kepada kami, Al-A’masy menceritakan kepada kami. Hanya saja (dalam riwayat tersebut disebutkan kalau) syetan berkata, “Lalu aku tidak menaati, maka aku mendapatkan neraka.”[2]

v  Hadits Kedua

            Yahya bin Yahya At-Tamimi dan Utsman bin Abu Syaibah menceritakan kepada kami, keduanya (meriwayatkan) dari Jarir. Yahya berkata: Jarir mengabarkan kepada kami, dari Al-A’masy, dari Abu Sufyan, dia berkata: Aku telah mendengar Jabir berkata: aku telah mendengar Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya (yang memisahkan) antara seorang laki-laki dengan kemusyrikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim No 82)[3]

            Abu Ghassan Al-Misma’i menceritakan kepada kami, Adh-Dhahhak bin Makhlad menceritakan kepada kami, dari Ibnu Juraij, dia berkata: Abu Az-Zubair mengabarkan kepadaku bahwa dia telah mendengar Jabir bin Abdillah berkata: Aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “(Yang memisahkan) antara seorang laki-laki dengan kemusyrikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat”[4]             

2.      Syarah Hadits Tentang Pembeda Muslim dan Kafir
      Hadits pertama dan kedua terdapat dalam Shahih Muslim no 81 dan 82. Maksud Imam Muslim menyebutkan kedua hadits ini adalah untuk menunjukkan bahwa ada beberapa hal yang jika ditinggalkan bisa mengakibatkan kekufuran, baik kufur dalam arti yang sebenarnya maupun kufur secara istilah. Adapun kekufuran Iblis yang disebabkan enggan untuk melakukan perintah sujud, maka dapat diketahui dari firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 34, “dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah dia termasuk golongan orang-orang kafir.” Menurut mayoritas ulama, makna ayat tersebut bahwa Iblis dalam ilmu Allah memang telah diketahui termasuk golongan orang-orang kafir. Namun sebagian ulama ada juga yang mengartikan ayat itu, “karena enggan bersujud” maka Iblis menjadi golongan orang-orang yang kafir. Hal ini sebagaimana pengertian firman Allah dalam surah Huud ayat 43, “dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.[5]
      Adapun orang yang meninggalkan shalat dan mengingkari kewajiban ibadah tersebut, maka menurut ijma’ kaum muslimin dia dianggap sebagai orang kafir, keluar dari agama Islam, kecuali apabila dia orang yang baru memeluk agama Islam dan tidak sempat bergaul dengan komunitas kaum muslimin sehingga belum menerima informasi tentang kewajiban shalat. Apabila dia meninggalkan shalat karena malas namun tetap yakin bahwa ibadah itu hukumnya wajib sebagaimana yang dilakukan banyak orang, maka para ulama berbeda pendapat mengenai statusnya. Menurut madzhab Malik, Syafi’i, dan mayoritas ulama salaf serta khalaf bahwa orang seperti ini tidak kafir, tetapi fasik dan disuruh untuk bertaubat. Jika dia mau bertobat, maka diampuni. Namun, apabila eggan bertaubat, maka dikenai hukuman mati, sebagaimana yang berlaku bagi pezina yang telah menikah. Namun ada juga sebagian ulama salaf yang menganggap bahwa orang seperti ini menjadi kafir. Pendapat ini diriwayatkan dari Ali bin Abu Thalib. Pendapat ini merupakan salah satu riwayat yang berasal dari Ahmad bin Hanbal. Pendapat yang kedua ini juga dikemukakan Abdullah bin Al-Mubarak dan Ishaq bin Rahawaih. Bahkan pendapat ini juga salah satu pendapat yang dianut para ulama madzhab Syafi’i.[6]
      Abu Hanifah, sebagian ulama Kufah, dan Al-Muzani, salah seorang ulama penganut madzhab Syafi’i memilih bahwa orang yang tidak shalat namun tetap meyakini kewajiban ibadah tersebut, maka tidak sampai menjadi kafir dan tidak perlu dihukum mati. Namun dia harus mendapatkan hukum ta’zir dan dikurung sampai dia mau mengerjakan shalat. Sedangkan sebagian ulama yang menganggap kafir berargumen dengan hadits yang kedua seperti yang disebutkan di atas dan menganalogikannya dengan kalimat tauhid. Kelompok ulama yang berpendapat bahwa mereka tidak perlu dibunuh juga berargumen dengan hadits,  “Tidak halal darah seorang muslim, kecuali karena salah satu dari tiga perkara.” Ketiga hal yang dimaksud ternyata tidak ada keterangan tentang meninggalkan shalat. Adapun para ulama yang berpendapat bahwa orang yang tidak shalat tidak sampai menjadi kafir berdalil dengan firman Allah dalam surah An-Nisa’ ayat 48, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” Mereka juga berdalil dengan sabda Rasulullah SAW, “Barangsiapa berkata: Tidak ada tuhan kecuali Allah, maka dia akan masuk surga,” --- “Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan mengetahui bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah, maka dia akan masuk surga,” --- “Tidak ada seorang hamba pun yang bertemu dengan Allah dengan (mengikrarkan) dua kalimat syahadat tanpa perasaan ragu, lalu dia dihalangi untuk masuk surga,” --- “Allah telah mengharamkan neraka atas orang yang mengucpkan tidak ada tuhan kecuali Allah,” dan banyak lagi hadits-hadits serupa yang mereka jadikan sebagai dalil.[7]
      Sedangkan sebagian ulama yang berpendapat bahwa orang-orang yang tidak shalat perlu dibunuh berdalil dengan firman Allah dalam surah At-Taubah ayat 5, “Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan,” dan sabda Nabi SAW, “Aku diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka mengatakan tiada tuhan kecuali Allah, mendirikan shalat, dan mengeluarkan zakat. Jika mereka telah melakukan hal itu, maka darah dan harta mereka terjaga dariku.”[8]
      Mereka mentakwilkan sabda Nabi SAW, “Yang memisahkan anatara seorang laki-laki dengan kemusyrikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat,” bahwa seorang hamba berhak mendapatkan siksa seperti orang kafir, yakni dihukum mati apabila meninggalkan shalat. Namun hal ini berlaku bagi orang yang menghalalkan perbuatan meninggalkan shalat. Namun, ada juga yang mengartikan hadits tersebut bahwa orang yang meninggalkan shalat telah melakukan perbuatan seperti orang-orang kafir.[9]
      “Jika anak keturunan Adam membaca (ayat) As-Sajadah.” Maksudnya, ketika membaca ayat-ayat As-Sajadah. Sedangkan kalimat “yaa wailahu” dalam redaksi hadits diatas merupakan salah satu bentuk etika dalam berbicara. Bentuk etika bicara yang dimaksud adalah ketika menceritakan keburukan pihak lain, lantas ada sebuah frasa yang menggunakan dhamir mutakallim (kata ganti orang pertama), maka orang yang bercerita hendaknya mengganti dhamir mutakallim tersebut. Tujuannya agar tidak terkesan kalau dia menjelekkan dirinya sendiri.[10]
      Dalam riwayat yang lain, kata “yaa wailahu” tersebut disebutkan dengan redaksi “yaa wailii.” Namun lafadz ini bisa juga dibaca “yaa wailaa.”[11]
      Sedangkan sabdanya, “(yang memisahkan) antara seorang laki-laki dengan kemusyrikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” Demikian redaksi yang terdapat dalam di dalam semua kitab rujukan Shahih Muslim, yakni dengan menggunakan huruf wawu sehingga berbunyi asy-syirk wa al-kufr. Sedangkan dalam kitab Sunan Ad-Darimi dengan menggunakan huruf aw sehingga berbunyi baina asy-syirk aw baina al-kufr.[12]
      Maksud “antara seseorang dan kemusyrikan adalah meninggalkan shalat” adalah bahwa sesuatu yang bisa mencegah kekufuran seseorang adalah mengerjakan shalat. Apabila seseorang telah meninggalkan shalat, maka tidak ada lagi tabir penghalang antara dirinya dengan kekufuran. Bahkan dia telah memasuki ruang kekufuran tersebut.[13]
      Redaksi “Inna baina ar-rajuli wa baina asy-syirki … “, redaksi tersebut menggunakan kata “ar-rajuli”, yang berarti seorang laki-laki. Itu bukan berarti untuk pengkhususan terhadap laki-laki, tetapi perempuan juga termasuk di dalamnya.[14]
      Selain dua hadits yang telah dijelaskan di atas, terdapat hadits-hadits lainnya yang membahas hal yang sama diantaranya sbb:

            Dari Buraidah RA, dari Nabi SAW beliau bersabda: “Ikatan janji di antara kami (umat Islam) dengan mereka (orang-orang kafir) adalah shalat. Maka barangsiapa yang meninggalkan shalat berarti ia kafir.” (HR. Tirmidzi No 2623 dan Ia berkata: “Hadits Hasan Shahih”)[15]

            Dari Syaqiq bin Abdullah seorang ulama tabi’in yang telah disepakati memiliki kelebihan rahimahullah berkata: “Para sahabat Nabi SAW tidak ada yang berpendapat tentang suatu perbuatan yang apabila ditinggalkan menjadikan kafir, kecuali shalat.” (HR. Tirmidzi No 2624 di kitab Iman dengan sanad shahih).[16]
                          
IV.             KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan sbb:
1.      Menurut pendapat kebanyakan ulama, orang yang membolehkan meninggalkan shalat adalah kafir. Sedangkan sebagian ulama berpendapat seperti redaksi hadits apa adanya, jadi orang yang tidak shalat (apa pun alasannya) berarti telah kafir. Mereka juga mengatakan, karena saat itu shalat merupakan tanda keislaman seseorang, maka barangsiapa tidak shalat berarti dia kafir.
2.      Menurut sebagian ulama, orang yang meninggalkan shalat karena lalai atau malas, maka dia tidak menjadi kafir, tapi harus dijatuhi hukuman mati. Sebagian ulama lain berpendapat, orang itu dijatuhi hukuman cambuk hingga mau shalat.
3.      Sebagian sahabat dan ulama berpendapat bahwa meninggalkan shalat, meskipun karena malas, adalah kekafiran dan murtad. Sedangkan kebanyakan ulama berpendapat bahwa orang yang meyakini shalat tidak wajib adalah kafir. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa meninggalkan shalat mengarah pada kekafiran, karena maksiat adalah pengantar kekafiran. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa hadits ini dan semacamnya merupakan peringatan keras, tidak mengarah pada pengkafiran orang yang meninggalkan shalat.

V.                DAFTAR PUSTAKA
Ad-Darimi, Imam, Sunan Ad-Darimi, Juz I, ttt: Dar Ihya As-Sunnah An-Nabawiyah, tt.
An-Nawawi, Imam, Syarah Shahih Muslim (2), diterjemahkan oleh Wawan Djunaedi                                Soffandi dari “Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi”, Jilid 2, Jakarta:                                 Pustaka Azzam, Cet. I, 2010.
                        , Riyadh ash- Shalihin, “Taqriz wa Taqdim Dr. Wahbah Zuhaili”, “Haqqaqahu wa Kharraja Ahaditsuhu wa ‘Allaqa alaihi Ali Abdul Hamid Abu al-Khair”, Beirut: Dar al-Khair, Cet. IV,  1999.
Ash-Shiddiqi Asy-Sayafi’i Al-Asy’ari Al-Makki, Muhammad bin ‘Allan, Dalil al-Falihin li Thuruqi Riyadh ash-Shalihin, Juz III, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, tt.



[1] Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim (2), diterjemahkan oleh Wawan Djunaedi Soffandi dari “Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi”, Jilid 2, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010), Cet. I, h. 245-246.
[2] Ibid. h. 246.
[3] Ibid. h. 246-247.
[4] Ibid. h. 247.
[5] Ibid. h. 247-248.
[6] Ibid. h. 248-249.
[7] Ibid. h. 249-250.
[8] Ibid. h. 250.
[9] Ibid. h. 250-251.
[10] Ibid. h. 251.
[11] Ibid.
[12]. Imam Ad-Darimi, Sunan Ad-Darimi, Juz I, (ttt: Dar Ihya As-Sunnah An-Nabawiyah, tt), h. 280.
[13] Imam An-Nawawi. Loc. Cit.
[14] Muhammad bin ‘Allan Ash-Shiddiqi Asy-Sayafi’i Al-Asy’ari Al-Makki, Dalil al-Falihin li Thuruqi Riyadh ash-Shalihin, Juz III, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, tt), h. 517.
[15] Imam An-Nawawi, Riyadh ash- Shalihin, “Taqriz wa Taqdim Dr. Wahbah Zuhaili”, “Haqqaqahu wa Kharraja Ahaditsuhu wa ‘Allaqa alaihi Ali Abdul Hamid Abu al-Khair”, (Beirut: Dar al-Khair, 1999), Cet. IV, h. 263.
[16] Ibid.

Hadzaf Dalam Al-Qur'an & Hadits

Sumber Gambar Disini

Compiled by: ANDIKA MAULANA

I.                   PENDAHULUAN
Ketika membaca al-Qur’an atau hadits, kita akan mendapati sebagian kata kerja yang membutuhkan objek (transitive verb) tidak terdapat objeknya. Ada juga sebagian kata kerja yang membutuhkan objek dan secara jelas disebutkan objeknya. Mungkin timbul pertanyaan dalam benak kita, kenapa ada sebagian kata kerja yang membutuhkan objek tidak disebutkan objeknya? Akan tetapi, ada juga sebagian kata kerja yang membutuhkan objek disebutkan objeknya?
Pada makalah ini, pemakalah akan membahas makna yang terkandung dalam kata kerja yang membutuhkan objek, namun objeknya tidak disebutkan. Selain itu, akan dibahas juga masalah penyisipan satu kata atau lebih yang digunakan untuk meluruskan/memperjelas makna, yang dilakukan oleh pakar-pakar bahasa. Penyisipan itu karena mereka berasumsi bahwa ada kalimat/kata yang tidak ditemukan dalam susunan itu.

II.                RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya : apakah makna yang terkandung dalam kata kerja yang ditiadakan objeknya ? Dan bagaimanakah cara penyisipan satu kata atau lebih yang digunakan untuk meluruskan/memperjelas makna, yang dilakukan oleh pakar-pakar bahasa?

III.             PEMBAHASAN

Peniadaan Objek Kalimat Menunjuk Pengertian Umum Yang Sepadan
      Apabila suatu kata kerja, atau yang mengandung arti kata kerja , dihubungkan dengan suatu objek tertentu, maka pengertiannya menjadi terbatas hanya pada kata kerja yang berkaitan. Akan tetapi jika objek kata kerja ataupun yang mengandung arti kata kerja itu ditiadakan (tidak disebutkan), maka kata tersebut menunjuk pengertian umum.[1] Contoh-contoh dibawah ini diharapkan dapat menerangkan secara konkret uraian yang dimaksud.
      Beberapa ayat al-Qur’an ditutup dengan kalimat “la’allakum ta’qilun” (agar kamu memikirkan). Objek kalimat ini memang tidak disebutkan. Hal ini untuk menunjuk pengertian yang umum, yaitu: agar kita memikirkan semua yang mengarahkan dan mengajarkan, memikirkan semua ayat al-Qur’an dan hikmah yang terkandung di dalamnya, dan berfikir tentang Allah beserta semua sifat-Nya.
      Demikian juga, dalam penutup beberapa ayat yang berbunyi “la’allakum tadzakkarun” (agar kamu mengingat), yaitu agar kamu tetap mengingat dan menyadari, bahwa setiap kali secara fisik kita merasa berhadapan dengan sunnatullah dan tanda-tanda kebesaran Allah, hendaknya kita berpikir pula tentang semua yang akan memberikan kemaslahatan pada kehidupan kita, baik bersifat keagamaan maupun keduniaan.
      Pengertian serupa terdapat dalam kalimat penutup ayat yang berbunyi “la’allakum tattaqun” (agar kamu bertakwa), yaitu agar kamu bertakwa kepada (waspada dan menjaga diri) terhadap semua yang wajib diwaspadai, baik dari kelalaian dan ketidaktahuan maupun dari musuh yang akan menjerumuskan ke lembah dosa dan pendurhakaan kepada Allah SWT. Dengan menerapkan kaidah “peniadaan objek kalimat menunjuk pengertian umum”, dapat dikatakan, semua makna yang sepadan dalam pengertian kata berpikir, mengingat dan bertakwa, adalah bagian dari pengertian ayat-ayat diatas.
      Contoh lainnya dapat ditemukan pada surah al-Baqarah (2): 183:
  
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,”
Berdasarkan kaedah di atas, pengertian takwa menunjuk pada semua makna yang berkaitan dengan hikmah dalam puasa, yaitu agar kamu waspada dan menjaga diri dari segala yang diharamkan Allah, baik perkataan kotor dan perbuatan keji, maupun segala sifat buruk dan jahat lainnya. Agar menjauhi segala larangan dan yang membatakan puasa; Agar waspada terhadap segala yang dimurkai Allah, serta berprilaku sebagai orang yang bertakwa.[2]

Hadzaf
Dalam konteks kejelasan makna dari suatu susunan kata, pakar-pakar bahasa tidak segan untuk menyisipkan satu kata atau lebih guna meluruskan/memperjelas makna. Penyisipan itu karena mereka berasumsi bahwa ada kalimat/kata yang tidak ditemukan dalam susunan itu (Hazef).[3]
Penyisipan tersebut bisa jadi indikatornya ditemukan dalam susunan kalimat/ayat atau rangkaian ayat-ayat, bisa juga diluarnya. Sebagai contoh firman Allah SWT dalam QS. Yunus (10): 67. Disana dinyatakan:

“Dialah yang menjadikan malam bagi kamu supaya kamu beristirahat padanya dan siang terang benderang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang mendengar.
Di sini ulama menyisipkan – dalam benak/penafsirannya – kalimat sehingga maksud ayat ini setelah penyisipan adalah: Dialah yang menjadikan malam bagi kamu (gelap) supaya kamu beristirahat padanya dan (menjadikan) siang terang benderang (supaya kamu mencari karunia Allah).”
Penjelasannya sebagai berikut. Ayat di atas berbicara tentang dua hal yang bertolak belakang, yakni siang dan malam. Pada penggalan yang berbicara tentang malam tidak disebutkan kata gelap, tetapi karena pada penggalan yang berbicara tentang siang disebutkan terang benderang, maka menjadi wajar disisipkan kata gelap ketika menjelaskan tentang malam. Demikian juga sebaliknya. Ketika berbicara tentang malam disebutkan salah satu tujuannya, yaitu beristirahat, maka sangat wajar disisipkan kalimat supaya kamu mencari karunia Allah pada penggalan berikutnya. Hal yang semacam ini banyak ditemukan dalam al-Qur’an.
Contoh penyisipan yang berindikator dari luar ayat adalah firman Allah dalam QS. Al-Baqarah (2): 184;

 “Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan, maka hendaklah dia menghitung (untuk menggantinya) pada hari-hari yang lain.”
Jika kita berpegang pada bunyi teks ayat diatas, maka yang musafir dan yang sakit tidak diizinkan berpuasa dan diwajibkan buat mereka berpuasa pada hari yang lain sebanyak hari-hari perjalanan/sakitnya.
Makna ini tidak sejalan dengan tuntunan Rasul SAW yang membolehkan seorang musafir atau yang sakit untuk berpuasa. Atas dasar itu, maka perlu ada penyisipan kalimat antara “dalam perjalanan” dan “wajib baginya berpuasa dst” sisipan tersebut adalah kalimat “bila ia tidak berpuasa”.
 Tentu saja melakukan penyisipan ini harus berdasar pemahaman yang utuh terhadap ayat, baik yang berkaitan dengan kata yang digunakannya maupun rangkaian kata-katanya serta mengetahui pula keterangan-keterangan yang shahih, baik dari Rasul SAW maupun selain dari beliau yang memiliki kompetensi.[4]

IV.             KESIMPULAN
Apabila suatu kata kerja, atau yang mengandung arti kata kerja , dihubungkan dengan suatu objek tertentu, maka pengertiannya menjadi terbatas hanya pada kata kerja yang berkaitan. Akan tetapi jika objek kata kerja ataupun yang mengandung arti kata kerja itu ditiadakan (tidak disebutkan), maka kata tersebut menunjuk pengertian umum.
Dalam konteks kejelasan makna dari suatu susunan kata, pakar-pakar bahasa tidak segan untuk menyisipkan satu kata atau lebih guna meluruskan/memperjelas makna. Penyisipan itu karena mereka berasumsi bahwa ada kalimat/kata yang tidak ditemukan dalam susunan itu (Hazef).
Tentu saja melakukan penyisipan ini harus berdasar pemahaman yang utuh terhadap ayat, baik yang berkaitan dengan kata yang digunakannya maupun rangkaian kata-katanya serta mengetahui pula keterangan-keterangan yang shahih, baik dari Rasul SAW maupun selain dari beliau yang memiliki kompetensi

V.                DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, Abd. Rahman, Kaidah-Kaidah Tafsir, Jakarta: Amzah, 2010.
Shihab, M. Quraish, Kaedah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda                  Katahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Qur’an, Tangerang: Lentera Hati, 2013.



[1] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A., Kaedah-Kaedah Tafsir, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 67. 
[2] Ibid. h. 67-68.
[3] M. Quraish Shihab, Kaedah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Katahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Qur’an, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 104-105.
[4] Ibid. h. 105-106.