Monday, February 15, 2016

TAUBAT


Sumber Gambar Disini

Compiled by: ANDIKA MAULANA


A.     PENDAHULUAN

Jika manusia ingin mengikuti jejak Rasulullah SAW, maka hendaklah ia mendekat (taqarub) pada Allah sebatas kemampuannya.
  
162. Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.(QS. Al-An’am : 6 : 162)

Jika manusia ingin masuk dalam makna Islam, maka bagaimana ia harus memulai?
Apa langkah pertamanya?
Bagaimana jalannya?
Lalu kemana ia pergi?
Buah apa yang diharapkannya?
Dan manfaat apa yang akan dihasilkannya setelah itu?
Haruslah ia memulai dengan masuk dalam aturan al-Qur’an al-Kariem!
Sedang masuk dalam al-Qur’an al-Kariem berarti ia bertekad meninggalkan segala yang tidak berasal dari al-Quran al-Kariem.
Hal inilah yang dinamakan istilah ke-Islam-an atau peraturan yang bersifat ke-Qur’an-an.
Dalam al-Qur’an Allah telah menyuruh bertaubat, kadang-kadang mewajibkannya.
Yang pasti bahwa taubat adalah batu pertama di jalan menuju Allah, dan merupakan penyerahan diri kepada Allah.
Abu Ya’qub Yusuf bin Hamdan As-Susiy – Semoga Allah merahmatinya mengatakan :
“kedudukan pertama dari orang-orang yang memusatkan diri dalam ibadah kepada Allah SWT adalah “Taubat”.”[1]

B.     POKOK PEMBAHASAN

1.      Hakikat dan Definisi Taubat
2.      Syarat-Syarat Taubat
3.      Kewajiban dan Keutamaan Taubat
4.  Perintah Bertaubat Dalam QS. At-Tahrim Ayat 8 Beserta Penafsirannya Menurut M. Quraish Shihab Dalam Kitab Tafsirnya Al-Mishbah
5.      Pembagian Manusia dari Segi Konsisten dalam Bertaubat Menurut Imam Al-Ghazali


PEMBAHASAN
1.      Hakikat dan Definisi Taubat

Ketahuilah bahwa taubat adalah pengertian yang menghimpun tiga komponen berikut.
a.       Ilmu
b.      Hal (kondisi)
c.       Amal Perbuatan

Komponen pertama (ilmu) akan menghasilkan komponen kedua (hal), dan komponen kedua (hal) akan menghasilkan komponen ketiga (amal).

Ilmu adalah mengetahui bahaya yang muncul dari dosa. Di sisi lain, dosa dapat menjadi hijab (penghalang) antara seorang hamba dan Penciptanya yang dicintai. Apabila seseorang telah mengetahui hal ini dengan penuh keyakinan di dalam hati, maka akan muncul rasa sedih ketika sesuatu yang dicintai hilang dari dirinya.

Apabila hati merasa kehilangan sesuatu, maka ia akan bersedih dan merasa sakit, apabila kehilangan itu disebabkan karena perbuatan, maka sakit yang disebabkan perbuatan itu dinamakan penyesalan (nadaman).

Apabila untuk mengobati rasa sakit itu hati ingin melakukan sesuatu untuk mengobatinya, maka hal itu dinamakan keinginan (qashad) dan kehendak (iradah) untuk melakukan suatu perbuatan, baik yang berkaitan dengan masa sekarang (hal), masa yang telah lalu (madhi) maupun masa yang akan datang (istiqbal). Adapun qashad dan iradah yang berkaitan dengan masa sekarang (hal) yaitu dengan meninggalkan perbuatan maksiat yang pernah dilakukannya, sedangkan yang berkaitan dengan masa yang akan datang (istiqbal) yaitu dengan berniat akan meninggalkan perbuatan maksiat hingga ia meninggal dunia. Yang berkaitan dengan masa lalu (madhi) yaitu dengan mengganti atau menqadha ibadah-ibadah yang ia tinggalkan pada masa lalu.

Semua ini harus diawali dengan Ilmu karena dengan ilmu akan membawa ke arah kebaikan, yaitu dengan melahirkan iman dan yaqin. Imam adalah mempercayai bahwa dosa merupakan racun yang menghancurkan, sedangkan yaqin adalah meyakinkan apa yang dpercayai dan menghilangkan keraguan bahwa dosa itu adalah racun yang menghancurkan. Pada akhirnya akan membuahkan cahaya hati yang dapat merasakan penyesalan atas kemaksiatan yang pernah dilakukannya dan merasakan bahwa kemaksiatan itu telah menjadikan hijab (penghalang) antara ia dan Allah Zat yang sangat dicintainya.

Taubat juga sering diartikan dengan penyesalan. Selanjutnya, buah dari penyesalan itu adalah meninggalkan apa yang membuatnya menyesal lalu mengganti dengan hal-hal yang tidak membuatnya menyesal. Rasulullah SAW bersabda :
“Penyesalan adalah taubat.” (Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan Hakim)
Dengan pengertian ini dikatakan bahwa taubat adalah mencairkan apa yang ada di dalam hati karena kesalahan yang pernah dilakukan, hal ini terjadi karena semata-mata rasa sakit.

Dikatakan pula, “Taubat adalah api yang menyala di dalam hati.”
Dikatakan pula, “Taubat adalah melepaskan pakaian kepalsuan dan mengenakan pakaian kesetiaan.”

Sahal bin Abdillah at-Tastari berkata, “Taubat adalah mengganti perbuatan tercela dengan perbuatan terpuji. Hal ini tidak dapat terealisasi kecuali dengan menyendiri, diam, dan makan makanan yang halal.” Ia seakan-akan mendefinisikan taubat dengan makna ketiga (amal perbuatan)

Definisi taubat yang diberikan oleh para ulama sangat banyak sekali, akan tetapi dengan mengerti tiga makna taubat (ilmu, hal (kondisi), dan amal perbuatan), maka akan dapat mencakup seluruh definisi yang diberikan para ulama. Sesungguhnya mengetahui hakikat permasalahan lebih penting daripada mengetahui definisi-definisi secara tekstual.[2]

2.      Syarat-Syarat Taubat

Imam Nawawi dalam sebuah kitabnya “Riyadh al-Sholihin” mengatakan:
Para Ulama mengatakan: Taubat dari setiap dosa adalah wajib. Namun jika maksiat seorang hamba kepada Tuhannya (yang tidak ada kaitannya dengan manusia), maka taubatnya harus memenuhi 3 syarat berikut:
a.       Agar manusia meninggalkan maksiat itu.
b.      Agar manusia menyesali perbuatannya.
c.       Agar manusia bertekad untuk tidak akan mengulang kekeliruan untuk selama-lamanya.

Jika salah satu dari ketiga syarat ini tidak dipenuhi maka taubatnya tidak sah.

Dan apabila maksiat itu ada kaitannya dengan manusia maka syaratnya ada 4, yaitu sebagai berikut:
a.       Agar manusia meninggalkan maksiat itu.
b.      Agar manusia menyesali perbuatannya.
c.       Agar manusia bertekad untuk tidak akan mengulang kekeliruan untuk selama-lamanya.
d.      Agar manusia membersihkan diri dari hak orang lain.

Apabila berupa harta atau semacamnya maka ia harus mengembalikannya kepada pemiliknya. Apabila berupa hukum atau tuduhan berzina maka ia harus mematuhi hukumnya atau minta ampunan dsb.[3]

3.      Kewajiban dan Keutamaan Bertaubat

Ketahuilah bahwa kewajiban bertaubat sudah sangat jelas dalam Al-Qur’an dan Hadits, di antaranya :

“…dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nur : 31)

Ini merupakan perintah untuk bertaubat secara umum.

“ Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, “ (QS. At-Tahrim : 8)

            Arti Nashuhah adalah murni semata-mata karena Allah tanpa ada hal-hal yang mengotorinya.

Ayat Al-Qur’an yang menunjukkan tentang keutamaan taubat, diantaranya:
  
“…Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah : 222)

            Rasulullah SAW bersabda yang artinya :

“sesungguhnya Allah sangat berbabahagia dengan taubat seorang hamba yang mukmin daripada kebahagiaan seorang laki-laki ketika berada di daerah yang sangat berbahaya (tandus) bersama kudanya, dan ia membawa makan dan minuman yang diletakkan di atas kuda tersebut. Lalu ia meletakkan kepalanya ke tanah dan tidur dengan nyenyak, saat ia terbangun ternyata kudanya telah hilang (bersama perbekalannya) maka ia mencarinya sampai ia merasakan sangat panas dan kehausan serta penderitaan lainnya, lalu ia berkata, “Lebih baik aku kembali ke tempat tadi dan tidur sampai menunggu kematianku.” Maka diletakkan kepalanya diatas tangannya untuk menunggu kematian menjemputnya. Ketika terbangun, ia melihat kudanya beserta perbekalannya sudah kembali dan ada di hadapannya. Sesungguhnya kegembiraan Allah hamba-Nya bertaubat lebih besar dari pada kegembiraan orang yang kehilangan kudanya itu.” (HR. Bukhari Muslim)

            Di dalam riwayat lain disebutkan bahwa orang itu sangat gembira sekali dan mengucapkan perkataan yang sebenarnya bertujuan untuk bersyukur kepada Allah, “Aku adalah Tuhan-Mu, dan engkau adalah hambaku.”[4]

4.      Perintah Bertaubat Dalam QS. At-Tahrim Ayat 8 Beserta Penafsirannya Menurut M. Quraish Shihab Dalam Kitab Tafsirnya Al-Mishbah

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai”(QS. At-Tahrim: 8)

Tafsirannya

Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya)”, sehingga mencakup masa lalu dengan menyesali dosa, masa kini dengan menghentikannya dan masa yang akan datang dengan tekad tidak melakukannya tidak pula ingin melakukannya. Jika taubat kamu seperti itu, pasti --- berdasar kemurahan Allah dan janji-Nya --- Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawah istana-istana dan pepohonan-pepohonan-Nya sungai-sungai.

Kata Nashuhan berarti yang bercirikan Nushh. Dari kata ini lahir kata nasihat, yaitu upaya untuk melakukan sesuatu­---baik perbuatan maupun ucapan---yang membawa manfaat untuk yang dinasihati. Kata ini juga bermakna tulus/ikhlas.

Taubat disifati dengan kata tersebut mengilustrasikan taubat itu sebagai sesuatu yang secara ikhlas menasihati seseorang agar ia tidak mengulangi kesalahannya. Karena taubat yang nashuh adalah yang pelakunya tidak terbetik lagi dalam benaknya keinginan untuk mengulangi perbuatannya karena setiap saat ia diingatkan dan dinasihati oleh taubatnya.

Menurut al-Qurthubi, taubat yang nashuh adalah yang memenuhi empat syarat, sbb:
a.       Istighfar dengan lisan,
b.      Meninggalkan dosa dengan anggota badan,
c.       Memantapkan niat untuk tidak mengulanginya,
d.      Dan meninggalkan semua teman buruk

Ada lagi yang berkata, taubat yang nashuh adalah yang menjadikan Anda menghadap Allah dengan wajah tanpa membelakangi-Nya sebagaimana ketika berbuat dosa, membelakangi-Nya tanpa sedikit pun menghadapkan wajah kepada-Nya.

Kata “asa” biasa digunakan dalam arti boleh jadi atau mudah-mudahan. Tetapi, bila ia dinisbatkan kepada Allah, ia mengandung makna kepastian. [5]

5.      Pembagian Manusia dari Segi Konsisten dalam Bertaubat Menurut Imam Al-Ghazali

Orang yang bertaubat dibagi menjadi empat tingkatan:
a.       Seseorang yang bertaubat dari kemaksiatannya dengan totalitas dan konsisten hingga ia meninggal dunia. Selain itu, ia membayar seluruh ibadah-ibadah yang ditinggalkannya, tidak tebersit sedikitpun di dalam hatinya untuk kembali kepada perbuatan maksiat, kecuali kemaksiatan yang tidak mungkin dihindari oleh manusia biasa dan hanya dapat dilakukan oleh para nabi saja. Inilah yang disebut dengan istiqamah dalam bertaubat. Taubat seperti ini disebut taubat nasuha, yaitu seorang yang bersungguh-sungguh melakukan kebaikan dan mengganti perbuatan jeleknya dengan perbuatan baik. Sedangkan nafsu yang dimilikinya disebut dengan an-nafsul muthma’innah, yang akan kembali kepada Allah dengan penuh keridhaan.
b.      Seseorang yang bertaubat dengan konsisten mengerjakan ibadah-ibadah yang wajib dan meninggalkan dosa-dosa besar. Akan tetapi, ia terkadang masih tergelincir dalam perbuatan dosa yang bukan didasari kesengajaan dan bukan pula ada keinginan untuk melakukannya, melainkan dorongan atas gejolak dosa-dosa yang pernah ia lakukan. Ia sendiri sangat mencela perbuatan itu dan terus memohon kepada Allah untuk menjauhkan dirinya dari perbuatan tersebut. Nafsu yang dimilikinya disebut an-nafsul al-lawwamah, yaitu mencela perbuatan maksiat yang ia lakukan tanpa sengaja. Tingkatan ini termasuk tingkatan yang tinggi meskipun berada dibawah tingkatan pertama. Tingkatan ini yang banyak dilakukan oleh orang-orang yang bertaubat. Hal itu karena kemaksiatan yang dilakukan telah menyatu di dalam kehidupannya, sehingga sulit untuk melepasnya secara total. Oleh karena itu, ia harus memperbanyak melakukan kebaikan agar timbangan (mizan) kebaikannya lebih berat daripada dosanya.
c.       Seseorang yang bertaubat dengan konsisten dalam beberapa lama, akan tetapi dalam perjalanannya, ia kadang dikalahkan oleh syahwat, sehingga melakukan perbuatan dosa dengan sengaja. Meskipun begitu, ia tetap berusaha untuk mengerjakan ketaatan dan meninggalkan perbuatan dosa walaupun ia dapat melakukannya (perbuatan dosa), serta mengalahkan syahwatnya. Ia sangat berharap agar diberikan kekuatan oleh Allah untuk melepaskan dirinya dari pengaruh syahwat, misalnya dengan mengucapkan , “sekiranya saya tidak melakukan perbuatan itu, saya akan benar-benar bertaubat dan berusaha (mujahadah) mengalahkan syahwat.” Akan tetapi syahwat selalu menggodanya dan mengajaknya untuk menunda-nunda taubat. Syahwat seperti ini disebut an-nafsu al-musawwilah (nafsu yang selalu menggoda)
d.      Seseorang yang bertaubat hanya sesaat kemudian lalu kembali lagi melakukan kemaksiatan, tanpa ada keinginan lagi untuk bertaubat atau tidak ada perasaan bersalah dan menyesal atas perbuatan yang dikerjakannya, akan tetapi ia telah tenggelam dalam kenikmatan syahwatnya. Orang seperti ini digolongkan mushirrin (orang yang selalu melakukan dosa). Nafsu ini disebut dengan an-nafsu al-amarah bi as-su’ (nafsu yang selalu mengajak kepada perbuatan maksiat). Orang seperti ini ditakutkan akan meninggal dunia dalam keadaan su’ul khatimah. Meskipun semua ini dikembalikan kepada Allah.

Mungkin saja Allah memberikan hidayah kepadanya sehingga ia meninggal dalam ketaatan da ketauhidan lalu terhindar dari siksa api neraka. Semua ini tidaklah musathil karena mungkin saja ia pernah melakukan suatu perbuatan baik sehingga Allah memberikan hidayah dan ampunan kepadanya sebelum ia meninggal dunia. Atau juga Allah membiarkannya tenggelam dalam kemaksiatannya hingga ia meninggal dalam su’ul khatimah.[6]


KESIMPULAN

                        Dari uraian di atas dapat di ambil kesimpulan sbb:

Ø  Taubat memiliki arti: berhenti melakukan kemaksiatan dan kembali menuju ketaatan.
Ø  Taubat adalah amalan yang sangat dicintai Allah SWT

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah : 222)

Ø  Taubat hukumnya wajib atas setiap mukmin

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sunga” (QS. At-Tahrim: 8)

Ø  Taubat bisa mendatangkan kemenangan

“dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nur : 31)

Ø  Menurut al-Qurthubi, taubat yang nashuh adalah yang memenuhi empat syarat, sbb:

a.       Istighfar dengan lisan,
b.      Meninggalkan dosa dengan anggota badan,
c.       Memantapkan niat untuk tidak mengulanginya,
d.      Dan meninggalkan semua teman buruk




DAFTAR PUSTAKA

1.      Mahmoud, Abdul Halim. 1999. Hal Ihwal Tasauf : Analisa Tentang Al-Munqidz Min al-Dhalal. Jakarta : Daarul Ihya.
2.      Hawwa, Sa’id. 2005. Tazkiyatun Nafs : Intisari Ihya Ulumuddin. Terj. Tim Kuwais : Abdul Amin, Lc, dkk. Jakarta : Darus Salam.
3.      Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta : Lentera Hati.




[1] Dr. Abdul Halim Mahmoud. Hal Ihwal Tasauf : Analisa Tentang Al-Munqidz Min al-Dhalal. Jakarta : Darul Ihya. 1999. Hlm. 228.

[2] Sa’id Hawwa. Tazkiyatun Nafs : Intisari Ihya Ulumuddin. Terj. Tim Kuwais : Abdul Amin, Lc, dkk. Jakarta : Darus Salam. 2005. Hlm.
[3]Dr. Abdul Halim Mahmoud. Op.cit. Hlm. 233-234.
[4] Sa’id Hawwa. Op.cit. hlm. 416-417.
[5] M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Volume 14. Jakarta : Lentera Hati. 2002. Hlm.  178-180.

[6] Sa’id Hawwa. Op.cit. hlm. 427-430.

ZAKAT


Sumber Gambar Disini

Compiled by: ANDIKA MAULANA


A.    PENDAHULUAN
Zakat merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam yang digunakan untuk membantu masyarakat lain, menstabilkan ekonomi masyarakat dari kalangan bawah hingga kalangan atas, sehingga dengan adanya zakat umat Islam tidak ada yang tertindas karena zakat dapat menghilangkan jarak antara si kaya dan si miskin. Oleh karena itu, zakat sebagai salah satu instrumen negara dan juga sebuah tawaran solusi untuk membangkitkan bangsa dari keterpurukan. Zakat juga sebuah ibadah mahdhoh yang diwajibkan bagi orang-orang Islam, namun diperuntukkan bagi kepentingan seluruh masyarakat.
Zakat merupakan suatu ibadah yang dipergunakan untuk kemaslahatan umat sehingga dengan adanya zakat kita dapat mempererat tali silaturahmi dengan sesama umat Islam maupun dengan umat lain.
Oleh karena itu, kesadaran untuk menunaikan zakat bagi umat Islam harus ditingkatkan baik dalam menunaikan zakat Fitrah yang hanya setahun sekali pada bulan Ramadhan, maupun zakat Maal yang seharusnya dilakukan sesuai dengan ketentuan zakat dalam yang telah ditetapkan baik harta, hewan ternak, emas, perak dan sebagainya.

B.     POKOK PEMBAHASAN
1.      Pengertian Zakat
2.      Hukum Zakat
3.      Hikmah Zakat
4.      Syarat Wajib Zakat
5.      Niat adalah Syarat Sah Pelaksanaan Zakat
6.      Rukun Zakat
7.      Macam-Macam Harta Yang Wajib Dizakati

PEMBAHASAN
1.      Pengertian Zakat
Abu Abdillah Muhammad bin Qasim Asy-Syafi’i di dalam kitabnya Fath al-Qarib mendefinisikan zakat secara bahasa dengan makna “Menambah”. Sedang menurut istilah syara’ ialah nama bagi suatu harta tertentu menurut cara-cara yang tertentu, kemudian diberikan kepada sekelompok orang yang tertentu pula.[1]
Sedangkan Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh al-Sunnah mengatakan, “Zakat merupakan nama dari sesuatu hak Allah yang dikeluarkan seseorang kepada fakir miskin.” Dinamakan zakat dikarenakan mengandung harapan untuk mendapatkan berkah, membersihkan dan memupuk jiwa dengan berbagai kebaikan.[2]
Adapun asal makna zakat itu adalah tumbuh, suci dan berkah. Allah SWT berfirman:
    
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[3] dan mensucikan[4] mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (Q.S. At-Taubah (9): 103)

2.      Hukum Zakat
Zakat merupakan salah satu dari lima rukun Islam dan disebutkan secara beriringan dengan kata shalat pada 82 ayat di dalam al-Qur’an. Allah telah menetapkan hukum wajib atas zakat sebagaimana dijelaskan di dalam al-Qur’an, Sunnah Rasul, dan Ijma’ ulama kaum muslimin.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas RA dan Jamaah bahwa tatkala Nabi SAW mengutus Mu’adz bin Jabal RA untuk menjadi qadhi di Yaman, beliau bersabda:
Engkau akan mendatangi suatu kaum dari golongan ahli kitab. Langkah awal yang mesti dilakukan, hendaklah engkau menyeru mereka untuk mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah. jika mereka menerima itu, beri tahu bahwa Allah SWT telah mewajibkan mereka supaya mengerjakan shalat lima waktu dalam sehari semalam. Jika ini telah mereka taati, sampaikanlah bahwa Allah SWT telah mewajibkan zakat pada harta benda mereka yang dipungut dari orang-orang kaya dan diberikan kepada orang-orang miskin diantara mereka. Jika hal ini mereka penuhi, hendaklah engkau menghindari harta benda mereka yang berharga dan hindarilah doa orang yang teraniaya karena tidak ada batas tabir antara dirinya dan Allah.
Zakat diwajibkan secara mutlak sejak era Mekkah, yaitu pada masa awal perkembangan Islam. Tidak dibatasi berapa besar harta yang wajib dikeluarkan zakatnya dan tidak pula jumlah yang harus dizakatkan. Semua itu diserahkan kepada kesadaran dan kemurahan hati kaum muslimin. Setelah itu, pada tahun kedua setelah hijriah, menurut keterangan yang masyhur, mulai ditetapkan besar dan jumlah tiap jenis harta yang harus dizakatkan.[5]

3.      Hikmah Zakat
Zakat adalah salah satu rukun Islam yang telah diwajibkan Allah pada tahun kedua hijriah. Allah telah mengumpamakan orang-orang yang membelanjakan hartanya di jalan Allah dengan firman-Nya:  
Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran Tinggi yang disiram oleh hujan lebat, Maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. jika hujan lebat tidak menyiraminya, Maka hujan gerimis (pun memadai). dan Allah Maha melihat apa yang kamu perbuat. (Q.S. Al-Baqarah (2): 265)
Allah berfirman, bahwasannya orang yang membelanjakan (harta) untuk memperoleh ridho-Nya, seperti halnya orang yang bercocok tanam di sebuah kebun yang berada di dataran tinggi, kemudian disiram oleh hujan yang deras, maka kebun itu mendatangkan hasil dua kali lipat dalam satu tahun. Oleh karena hujan itu menjadi sebab adanya hasil, maka Allah Ta’ala berfirman, apabila kebun ini tidak disiram hujan lebat, tentu akan disiram hujan gerimis, yaitu hujan yang biasanya turun menyiram tempat-tempat yang tinggi seperti gunung-gunung dan bukit-bukit di dataran tinggi. Dan apabila terkena embun, cukuplah embun itu menggantikan hujan. Maka kebun itu tidak akan kehilangan sebab yang mendatangkan buah, baik hujan itu turun atau tidak. Demikian pula halnya dengan membelanjakan harta. Yakni orang yang membelanjakan hartanya di jalan Allah akan memperoleh hasil berupa pahala yang berlipat ganda. Hasil ini berbeda ukurannya selama kebun itu mendapat siraman, baik berupa hujan lebat ataupun hujan gerimis. Dan pertumbuhan ini adalah pemahaman dari ayat yang mencakup pahala yang berlipat ganda dan harta yang berkembang disebabkan oleh zakat. Diriwayatkan dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda:
Seseorang yang memiliki kambing tetapi tidak mengeluarkan zakatnya, melainkan jatuh tersungkur di atas tanah pada hari kiamat dicengkeram oleh binatang dengan kuku-kukunya dan ditanduk dengan tanduknya.”
Diriwayatkan dari Nabi SAW bahwasannya beliau bersabda mengenai halo rang-orang yang enggan membayar zakat kambing, unta, sapid an kuda: “Seorang diantara kamu yang memiliki dua ribu ekor kambing, akan datang pada hari kiamat dengan seekor kambing yang berak di atas pundaknya, kemudian orang itu memanggil ya Muhammad, ya Muhammad, maka saya menjawab: saya tidak diberi hak oleh Allah, bukankah dahulu telah aku sampaikan kepadamu? Dan apabila seorang diantara kamu memiliki dua ribu ekor unta, ia akan dating di hari kiamat dengan seekor unta yang melenguh di atas baunya. Kemudian ia memanggil, ya Muhammad, ya Muhammad. Maka saya menjawab: saya sama sekali tidak diberi hak oleh Allah, bukankah dahulu telah aku sampaikan kepadamu? Apabila seorang diantara kamu memiliki dua ribu ekor  kuda, ia akan dating di hari kiamat dengan seekor kuda yang meringkik di atas baunya. Kemudia ia memanggil, ya Muhammad, ya Muhammad, maka saya menjawab: sedikitpun Allah tidak memberikan hak kepadaku, bukankah dahulu telah aku sampaikan kepadamu?
Mu’adz RA berkata: “tidak ada sesuatupun di dunia ini yang lebih baik dari pada dua. Sepotong roti yang mengenyangkan perut lapar, dan kata-kata yang melapangkan hati orang yang berduka cita”.
Telah disebutkan di dalam kitab al-Bada’i sebagai berikut: “Memberikan zakat tergolong membantu orang yang lemah, menolong orang yang berduka cita, dan menguatkan orang yang lemah dalam rangkai menunaikan kewajiban mengesakan dan beribadah kepada Allah Azza Wajalla serta untuk mendapatkan sarana menunaikan kewajiban. Yang kedua, zakat itu mensucikan jiwa orang yang mengeluarkan zakat dari dosa, membersihkan akhlak dengan kedermawanan dan meninggalkan kekikiran. Karena jiwa itu diciptakan bersifat kikir terhadap harta. Hingga ia terbiasa dengan sifat dermawan dan ikhlas menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.
Yang ketiga, Allah SWT melimpahkan karunia kepada orang-orang kaya keutamaan, kekayaan melimpah ruah untuk kebutuhan pokok, dan bermacam-macam kenikmatan khusus bagi mereka. Hingga mereka bersenang-senang menikmati kehidupan. Mensyukuri nikmat adalah wajib, baik menurut akal maupun hukum. memberikan zakat kepada kaum fakir termasuk syukur nikmat, maka bersyukur adalah wajib.[6]

4.      Syarat Wajib Zakat
a.       Merdeka
Menurut kesepakatan ulama, zakat tidak wajib atas hamba sahaya, karena hamba sahaya tisak mempunyai hak milik.
b.      Islam
Menurut Ijma’, zakat tidak wajib atas orang kafir, karena zakat merupakan ibadah mahdhoh yang suci, sedangkan orang kafir bukan orang yang suci.
c.       Baligh dan berakal.
Keduanya dipandang sebagai syarat oleh madzhab Hanafi. Dengan demikian, zakat tidak wajib diambil dari harta anak kecil dan orang gila, sebab keduanya tidak termasuk dalam ketentuan orang yang wajib mengerjakan ibadah; seperti shalat dan puasa, sedangkan menurut jumhur, keduanya bukan merupakan syarat.
d.      Harta yang dikeluarkan adalah harta yang wajib dizakati
Harta yang mempunyai criteria ini ada lima jenis, yaitu:
1.      Uang, emas, perak, baik berbentuk uang logam maupun kertas.
2.      Barang tambang dan barang temuan.
3.      Barang dagangan
4.      Hasil tanaman dan buah-buahan
5.      Menurut jumhur, binatang ternak yang merumputi sendiri, atau menurut madzhab Maliki, binatang ternak yang diberi makan oleh pemiliknya.
e.       Harta yang dizakati telah mencapai nishab atau senilai dengannya.
Maksudnya nishab yang ditentukan oleh syara’ sebagai tanda kayanya seseorang dan kadar-kadar yang mewajibkannya zakat.
f.       Harta yang dizakati adalah milik penuh.
Para fuqaha berbeda pendapat apa yang dimasud dengan harta milik. Apakah yang dimaksud dengannya harta milik yang sudah berada di tangan sendiri, ataukah harta milik yang hak pengeluarannya berada di tangan seseorang, ataukah harta yang dimilikinya secara asli.
Madzhab Hanafi, berpendapat bahwa yang dimaksud dengannya ialah harta yang dimiliki secara utuh dan berada di tangan sendiri yang benar-benar dimilikinya.
Madzhab Maliki, berpendapat bahwa yang dimaksud dengannya ialah harta yang dimilikinya secara asli dan hak pengeluarannya berada di tangan pemiliknya.
Madzhab Syafi’i, berpendapat bahwa yang dimaksud dengannya ialah harta yang dimiliki secara asli, penuh dan ada hak untuk mengeluarkannya.
Madzhab Hanbali, berpendapat bahwa yang dimaksud dengannya ialah harta yang dimiliki secara asli dan bisa dikeluarkan sesuai dengan keinginan pemiliknya.
g.      Kepemilikan harta telah mencapai setahun, menurut hitungan qamariyah.
Pendapat tersebut berdasarkan Ijma’ para tabi’in dan fuqaha. Tahun yang dihitung ialah tahun qamariyah, bukan tahun syamsiyah dan pendapat ini disepakati. Penentuan tahun qamariyah ini berlaku untuk semua hukum Islam, seperti puasa dan haji. Mengenai masa tercapainya satu tahun ini, para fuqaha memiliki beberapa pendapat yang saling mendekati.
Menurt madzhab Maliki, tibanya masa satu tahun menjadi syarat untuk zakat emas, perak, perdagangan, dan binatang ternak.
Menurut madzhab Hanafi, nishab yang disyaratkan harus sempurna antara dua sisi tahun, baik pada pertengahan tahun tersebut terdapat bulan yang nishab hartanya sempurna maupun tidak.
Menurut madzhab Syafi’i, seperti halnya madzhab Maliki, sampainya masa setahun (haul) menjadi syarat dalam zakat uang perdagangan, dan binatang ternak.
Menurut madzhab Hanbali, tibanya masa haul menjadi syarat dalam zakat emas, perak, binatang ternak, dan barang dagangan.
h.      Harta tersebut bukan merupakan hasil hutang.
Madzhab Hanafi berpendapat bahwa uatang yang berkaitan dengan hak para hamba, seperti utang nazar, kafarat dan haji tidak mencegah kewajiban zakat.
Madzhab Hanbali berpendapat bahwa utang mencegah kewajiban zakat untuk harta-harta yang tak terlihat (maksudnya emas, perak, uang dan barang-barang dagangan).
Madzhab Maliki berpendapat bahwa utang menggugurkan kewajiban zakat emas dan perak yang tidak diperdagangkan, secara menguntungkan, kendatipun utang tersebut merupakan utang yang bisa ditangguhkan.
Madzhab Syafi’i dalam qaul jadidnya, berpendapat bahwa utang yang menghabiskan harta-harta yang akan dizakati atau mengurangi hitungan nishabnya, tidak menggugurkan kewajiban zakat.
i.        Harta yang akan dizakati melebihi kebutuhan pokok.
Madzhab Hanafi mensyaratkan agar harta yang wajib dizakati terlepas dari utang dan kebutuhan pokok, sebab, orang yang sibuk mencari harta untuk kedua hal ini sama dengan orang yang tidak mempunyai harta.[7]

5.      Niat adalah Syarat Sah Pelaksanaan Zakat
Zakat merupakan ibadah. Agar ibadah zakat menjadi sah, seseorang yang ingin mengeluarkan zakat disyaratkan berniat. Caranya ialah hendaklah seseorang yang membayar zakat itu menunjukkan tanda-tanda keridhaannya kepada Allah SWT dan mengharapkan pahala dari-Nya. Adapun di dalam hati, hendaklah ia menanamkan suatu tekad bahwa itu merupakan zakat yang diwajibkan atas dirinya.
Malik dan Syafi’i mensyaratkan niat itu hendaklah ketika membayar. Menurut Abu Hanifah, niat itu wajib ketika membayarkan zakat atau membebaskan diri dari kewajiban. Adapun Ahmad membolehkan memajukan niat itu dari waktu membayar dengan syarat masih dalam waktu yang tidak terlalu lama.[8]

6.      Rukun Zakat
Rukun zakat adalah mengeluarkan sebagian dari nishab (harta), dengan melepasakn kepemilikan terhadapnya, menjadikannya sebagian milik orang fakir, dan menyerahkannya kepadanya atau harta tersebut diserahkan kepada wakilnya; yakni imam atau orang yang bertugas untuk memungut zakat.[9]

7.      Macam-Macam Harta Yang Wajib Dizakati
Islam mewajibkan zakat pada emas, perak, hasil tanaman, buah-buahan, barang-barang perdagangan, binatang ternak, barang tambang, dan barang temuan (harta karun).
1.      Zakat Mata Uang, Emas, dan Perak
Dalil wajib zakat emas dan perak adalah berdasarkan firman Allah SWT:
   
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih,
Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, Maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu." (Q.S. At-Taubah (9): 34-35)
Wajib mengeluarkan zakat emas dan perak, baik berupa mata uang, kepingan emas, maupun emas mentah, jika masing-masing benda tersebut sudah sampai satu nishab, waktunya cukup setahun, dan si pemilik bebas dari utang dan keperluan-keperluan pokok kehidupannya.
2.      Zakat Perniagaan
Sebagian ulama dari kalangan sahabat, tabi’in, dan para fuqaha berpendapat bahwa wajib mengeluarkan zakat perniagaan. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu dawud dan Baihaqi dari Samurah bin Jundub,
Setelah itu, sesungguhnya Nabi SAW menyuruh kami mengeluarkan (zakat) dari barang-barang yang kami sediakan untuk perniagaan.”
Di dalam kitab al-Manar dinyatakan, “Jumhur ulama Islam menyatakan wajibnya zakat barang-barang perniagaan, tetapi tidak dijumpai keterangan tegas dari Kitab Suci maupun Sunnah Nabi. Akan tetapi, dalam masalah ini terdapat beberapa riwayat yang saling menguatkan dengan pertimbangan yang bersandarkan kepada nash bahwa barang-barang perniagaan yang diedarkan demi meraih keuntungan adalah sama dengan uang, emas, dan perak, di mana kewajiban zakatnya berdasarkan harga atau nilainya kecuali nishab itu berubah dan tidak menentu antara harga, yaitu uang, dan barang dihargai, yaitu barang.
Seandainya zakat perniagaan itu tidak wajib, tentulah semua atau sebagian besar saudagar-saudagar itu akan dapat memperdagangkan uang mereka dan mencari jalan agar nishab uang, emas, dan perak itu tidak pernah menjalani masa satu tahun sehingga mereka tidak perlu mengeluarkan zakatnya untuk selama-lamanya.
3.      Zakat Tanaman dan Buah-Buahan
Allah SWT telah mewajibkan zakat tanaman dan buah-buahan berdasarkan firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. (Q.S. Al-Baqarah (2): 267)
Dalam ayat tersebut, zakat disebut sebagai nafkah.
Allah Ta’ala berfirman:
   
Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila Dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.
Ibnu Abbas mengatakan, “yang dimaksud dengan “haknya” ialah zakat yang diwajibkan.” Ia berkata lagi, “Sepersepuluh atau seperduapuluh”.
4.      Zakat Ternak
Ada beberapa hadits shahih yang menegaskan wajib mengeluarkan zakat dari komoditas unta, sapi, dan kambing. Ulama bahkan telah berijma bahwa wajib zakat pada binatang ternak.
Dalam kewajiban zakat ternak itu disyaratkan sebagai berikut:
a.       Mencapai satu nishab.
b.      Berlangsung selama satu tahun.
c.       Hendaklah ternak tersebut merupakan hewan yang digembalakan. Artinya, makan rumput yang tidak memerlukan biaya sepanjang waktu setahun itu.
Adapun yang termasuk dalam zakat ternak adalah:
1.      Zakat Unta
2.      Zakat Sapi dan Kerbau
3.      Zakat Kambing
5.      Zakat Rikaz dan Barang Tambang
Yang dimaksud Rikaz disini adalah harta terpendam dari masa pra Islam.
Dalil wajib zakat rikaz dan barang tambang adalah hadits yang diriwayatkan oleh Jamaah dari Abu Hurairah:
“Nabi SAW bersabda, “Melukai binatang itu tidak dapat dituntut, begitu juga menggali sumur dan barang tambang, dan zakat rikaz ialah seperlima.”[10]

KESIMPULAN
1.      Abu Abdillah Muhammad bin Qasim Asy-Syafi’i di dalam kitabnya Fath al-Qarib mendefinisikan zakat secara bahasa dengan makna “Menambah”. Sedang menurut istilah syara’ ialah nama bagi suatu harta tertentu menurut cara-cara yang tertentu, kemudian diberikan kepada sekelompok orang yang tertentu pula.
Sedangkan Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh al-Sunnah mengatakan, “Zakat merupakan nama dari sesuatu hak Allah yang dikeluarkan seseorang kepada fakir miskin.” Dinamakan zakat dikarenakan mengandung harapan untuk mendapatkan berkah, membersihkan dan memupuk jiwa dengan berbagai kebaikan.
2.      Zakat merupakan salah satu dari lima rukun Islam dan disebutkan secara beriringan dengan kata shalat pada 82 ayat di dalam al-Qur’an. Allah telah menetapkan hukum wajib atas zakat sebagaimana dijelaskan di dalam al-Qur’an, Sunnah Rasul, dan Ijma’ ulama kaum muslimin.
3.      Telah disebutkan di dalam kitab al-Bada’i sebagai berikut: “Memberikan zakat tergolong membantu orang yang lemah, menolong orang yang berduka cita, dan menguatkan orang yang lemah dalam rangkai menunaikan kewajiban mengesakan dan beribadah kepada Allah Azza Wajalla serta untuk mendapatkan sarana menunaikan kewajiban.
Yang kedua, zakat itu mensucikan jiwa orang yang mengeluarkan zakat dari dosa, membersihkan akhlak dengan kedermawanan dan meninggalkan kekikiran. Karena jiwa itu diciptakan bersifat kikir terhadap harta. Hingga ia terbiasa dengan sifat dermawan dan ikhlas menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.
Yang ketiga, Allah SWT melimpahkan karunia kepada orang-orang kaya keutamaan, kekayaan melimpah ruah untuk kebutuhan pokok, dan bermacam-macam kenikmatan khusus bagi mereka. Hingga mereka bersenang-senang menikmati kehidupan. Mensyukuri nikmat adalah wajib, baik menurut akal maupun hukum. memberikan zakat kepada kaum fakir termasuk syukur nikmat, maka bersyukur adalah wajib.
4.      Syarat Wajib Zakat
a.       Islam
b.      Merdeka
c.       Baligh dan berakal
d.      Harta yang dikeluarkan adalah harta yang wajib dizakati
e.       Harta yang dizakati telah mencapai nishab atau senilai dengannya
f.       Harta yang dizakati adalah milik penuh
g.      Kepemilikan harta telah mencapai setahun, menurut hitungan qamariyah
h.      Harta tersebut bukan merupakan hasil hutang
i.        Harta yang akan dizakati melebihi kebutuhan pokok.
5.      Zakat merupakan ibadah. Agar ibadah zakat menjadi sah, seseorang yang ingin mengeluarkan zakat disyaratkan berniat. Caranya ialah hendaklah seseorang yang membayar zakat itu menunjukkan tanda-tanda keridhaannya kepada Allah SWT dan mengharapkan pahala dari-Nya. Adapun di dalam hati, hendaklah ia menanamkan suatu tekad bahwa itu merupakan zakat yang diwajibkan atas dirinya.
6.      Rukun zakat adalah mengeluarkan sebagian dari nishab (harta), dengan melepasakn kepemilikan terhadapnya, menjadikannya sebagian milik orang fakir, dan menyerahkannya kepadanya atau harta tersebut diserahkan kepada wakilnya; yakni imam atau orang yang bertugas untuk memungut zakat.
7.      Macam-macam harta yang wajib dizakati
a.       Zakat mata uang, emas, dan perak
b.      Zakat perniagaan
c.       Zakat tanaman dan buah-buahan
d.      Zakat ternak
e.       Zakat rikaz dan barang tambang

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad bin Qasim Asy-Syafi’I, Abu Abdillah. Tanpa Tahun. Fath al-Qarib. Terj. Drs. H. Imron Abu Amar. Kudus: Menara Kudus.
Sabiq, Sayyid. 2006. Fiqh al-Sunnah. Terj. Nor Hasanuddin, Lc, MA, Dkk. Jakarta: Pena Pundi Aksara.
Al-Jurjawi, Syeikh Ali Ahmad. 1992. Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu. Terj. Drs. Hadi Mulyo dan Drs. Shobahussurur. Semarang: CV. Asy-Syifa’.
Al Zuhaily, Wahbah. 1995. Zakat Kajian Berbagai Mazhab. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.


[1] Abu Abdillah Muhammad bin Qasim Asy-Syafi’i. Fath al-Qarib. Terj. Drs. H. Imron Abu Amar. Kudus: Menara Kudus. Tanpa Tahun. Hlm. 158.
[2] Sayyid Sabiq. Fiqh al-Sunnah. Terj. Nor Hasanuddin, Lc, MA, Dkk. Jakarta: Pena Pundi Aksara. 2006. Hlm. 497.
[3] Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda.
[4] Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta benda mereka.
[5] Sayyid Sabiq. Fiqh al-Sunnah. Terj. Nor Hasanuddin, Lc, MA, Dkk. Jakarta: Pena Pundi Aksara. 2006. Hlm. 497-498.
[6] Syeikh Ali Ahmad al-Jurjawi. Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu. Terj. Drs. Hadi Mulyo dan Drs. Shobahussurur. Semarang: CV. Asy-Syifa’. 1992. Hlm. 152-154.
[7] Wahbah al Zuhaily. Zakat Kajian Berbagai Mazhab. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 1995. Hlm. 97-114.
[8] Sayyid Sabiq. Fiqh al-Sunnah. Terj. Nor Hasanuddin, Lc, MA, Dkk. Jakarta: Pena Pundi Aksara. 2006. Hlm. 510-511.
[9] Wahbah al Zuhaily. Zakat Kajian Berbagai Mazhab. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 1995. Hlm. 97.
[10] Sayyid Sabiq. Fiqh al-Sunnah. Terj. Nor Hasanuddin, Lc, MA, Dkk. Jakarta: Pena Pundi Aksara. 2006. Hlm. 515-560.