Compiled by: ANDIKAMAULANA
A. PENDAHULUAN
Kata
Muhkam terambil dari kata hakama. Kata ini berkisar maknanya pada
“menghalangi”. Seperti hukum, yang berfungsi menghalangi
terjadinya penganiayaan, demikian juga hakim.
Kendali bagi hewan dinamai hakamah, karena ia menghalangi hewan
mengarah ke arah yang tidak diinginkan. Muhkam
adalah sesuatu yang terhalangi/bebas dari
keburukan. Bila anda menyifati satu bangunan dengan kata ini, maka itu
berarti bangunan tersebut kokoh dan indah, tidak memiliki kekurangan. Bila susunan
kalimat tampil dengan indah, benar, baik, dan jelas maknanya, maka kalimat
itupun dilukiskan dengan muhkam.
Seluruh
ayat al-Qur’an bersifat muhkam. Allah
melukiskannya sebagai:
Alif
laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta
dijelaskan secara terperinci[1],
yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu, (QS.
Hud (11): 1)
Allah
juga memperkenalkan al-Qur’an sebagai:
Allah telah menurunkan Perkataan
yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi
berulang-ulang[2],
gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian
menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk
Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. dan
Barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun.
(QS.
Az-Zumar (39): 23)
Kata
Mutasyabih terambil dari akar kata asy-Syabah yang bermakna serupa (tapi tak sama). Yang dimaksud
oleh ayat az-Zumar di atas adalah ayat-ayat
al-Qur’an serupa dalam keindahan dan ketepatan susunan redaksinya serta
kebenaran informasinya.
Di
tempat lain, Allah berfirman:
Dia-lah yang menurunkan Al kitab
(Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat[3],
Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat[4].
(QS.
Ali Imran (3): 7)
Yang
dimaksud dengan Mutasyabih pada ayat
Ali Imran ini adalah “samar”. Ini
adalah pengembangan dari makna keserupaan di atas. Memang keserupaan dua hal atau lebih, dapat menimbulkan kesamaran dalam
membedakannya masing-masing.[5]
B. POKOK PEMBAHASAN
1. Bagaimana
penjelasan kaedah tafsir yang berbunyi, “Dilihat dari satu sisi, seluruh ayat
al-Qur’an bersifat muhkam (jelas,
tegas, mudah dipahami, dan terperinci maksudnya). Jika ditinjau dari sisi lain,
dapat dikatakan bahwa seluruh makna al-Qur’an bersifat mutasyabih (serupa, samar, perlu penjelasan, dan tidak mudah
dipahami). Akan tetapi, dari sisi lain dapat pula dikatakan bahwa sebagian ayat
bersifat muhkam dan sebagian lagi mutasyabih?
PEMBAHASAN
Dilihat dari satu sisi, seluruh
ayat al-Qur’an bersifat muhkam
(jelas, tegas, mudah dipahami, dan terperinci maksudnya). Jika ditinjau dari
sisi lain, dapat dikatakan bahwa seluruh makna al-Qur’an bersifat mutasyabih (serupa, samar, perlu
penjelasan, dan tidak mudah dipahami). Akan tetapi, dari sisi lain dapat pula dikatakan
bahwa sebagian ayat bersifat muhkam
dan sebagian lagi mutasyabih. Allah
sendiri menyifati kitab suci itu dengan ketiga sifat diatas. Ayat yang
menegaskan al-Qur’an itu bersifat muhkam,
antara lain, pada surah Hud (11): 1:
Alif
laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta
dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha
Bijaksana lagi Maha tahu,
Maksud ayat ini ialah, al-Qur’an
adalah al-haq (kebenaran), yang
disusun dengan sangat sistematis, mencapai puncak kerapian dan kebijaksanaan.
Al-Qur’an adalah kebenaran. Di dalamnya tidak dijumpai pertentangan dan
perselisihan. Semua perintah yang terdapat di dalamnya berisi kebaikan,
petunjuk, keberkatan, dan kemaslahatan. Sedangkan larangannya berangkat dari
semua yang mengandung keburukan, kemudaratan, prilaku tercela, dan perbuatan
jahat.
Bahwa al-Qur’an bersifat
mutasyabih, dinyatakan di dalam surat az-Zumar (39): 23:
Allah
telah menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang mutasyabih.
Maksud mutasyabih disini ialah, serupa kebaikan, kebenaran, nilai
petunjuk, dan kebenarannya. Al-Qur’an mengemukakan berbagai pengertian yang
bermanfaat, menjernihkan akal, menyucikan qalbu,
serta menunjukkan dan mengajarkan kemaslahatan dalam segala keadaan dan
situasi. Kata-kata yang digunakannya merupakan kata-kata yang paling rapi dan
efisien. Sedangkan pengertian yang dikandungnya adalah pengertian terbaik.
Sifat mutasyabih (keserupaan) al-Qur’an dapat digambarkan dengan mengutip
ayat al-Qur’an itu sendiri, yaitu ketika al-Qur’an menjelaskan sifat
buah-buahan yang berasal dari tanam-tanaman dan tumbuh-tumbuhan. Tumbuhan itu
memberikan kenikmatan serta manfaat bagi tubuh dan pertumbuhan bagi manusia.
Pada surah al-An’am (6): 141 al-Qur’an menyatakan:
Dan
Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung,
pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang
serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya).
Dapat pula sifat mutasyabih al-Qur’an diserupakan dengan
keterangan tentang sifat kenikmatan dan buah-buahan di surge, sebagaimana disebutkan
dalam surah al-Baqarah (2): 25:
Dan
sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa
bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya.
Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan
: "Inilah yang pernah diberikan kepada Kami dahulu." mereka diberi
buah-buahan yang serupa (hampir sama).
Adapun ayat al-Qur’an yang
menyatakan sebagian ayat bersifat mutasyabih
dan sebagian lagi bersifat muhkam
terdapat pada surat Ali Imran (3): 7:
Dia-lah
yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada
ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain
(ayat-ayat) mutasyaabihaat.
Dijelaskan juga, orang-orang yang
berkeyakinan teguh karena pemahamannya mantap dan mendalam tentang Allah,
keyakinan tersebut tidak dapat digoda, digoyahkan oleh hawa nafsu, dan sifat mutasyabih yang terdapat dalam
al-Qur’an. Mereka semantap dan sekukuh gunung, karena merujukkan ayat-ayat mutasyabih kepada ayat-ayat muhkam. Dengan demikian semua ayat
al-Qur’an mereka pandang sebagai ayat-ayat muhkam.
Sikap yang mereka pegang adalah: Kullun
min ‘indi Rabbina (semua berasal dari Tuhan kami).
Sikap yang mereka tunjukkan itu
melukiskan keyakinan bahwa setiap yang berasal dari Allah tidak akan saling
bertentangan. Jika makna suatu ayat bersifat mutasyabih di suatu tempat, maka makna itu dijelaskan di tempat
yang lain oleh ayat muhkam, sehingga
semuanya menjadi jelas, tidak ada yang saling bertentangan.
Beberapa ayat al-Qur’an menyebutkan
Allah Maha Kuasa terhadap segala sesuatu. Apa saja yang dikehendaki-Nya pasti
terjadi, dan apa saja yang tidak dikehendaki-Nya pasti tidak terjadi; Dialah
yang member petunjuk atau menyesatkan manusia. Ayat-ayat yang menyebutkan hal
ini antara lain, terdapat pada surah al-Baqarah (2): 20:
Sesungguhnya
Allah berkuasa atas segala sesuatu.
Dalam surah an-Nahl (16): 40:
Sesungguhnya
Perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya
mengatakan kepadanya: "kun (jadilah)", Maka jadilah ia.
Dalam surah al-Fathir (35): 8:
Maka
Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa
yang dikehendaki-Nya.
Apabila hanya membaca sekelompok
ayat di atas, dapat timbul dugaan bahwa pernyataan yang terdapat di dalamnya
bertentangan dengan hikmah Allah SWT. Seolah-olah Allah member petunjuk atau
menyesatkan hamba-Nya secara acak dan tanpa sebab yang jelas. Akan tetapi,
dugaan tersebut dihapuskan oleh ayat-ayat lain yang menjelaskan: Petunjuk
diberikan Allah melalui sebab-sebab yang dilakukan oleh orang yang mendapat
petunjuk itu, dan menjadi predikat dirinya. Ayat yang menjelaskan hal ini,
antara lain: surah al-Ma’idah (5): 16:
Dengan
kitab Itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan
keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu
dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan
menunjuki mereka ke jalan yang lurus.
Adapun orang-orang “yang
disesatkan” Allah, karena mereka sendiri telah menjadikan setan sebagai
pelindung mereka. Firman Allah pada surah al-A’raf ayat (7): 30:
Sebahagian
diberi-Nya petunjuk dan sebahagian lagi telah pasti kesesatan bagi mereka.
Sesungguhnya mereka menjadikan syaitan-syaitan pelindung (mereka) selain Allah,
dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk.
Demikian juga ditegaskan pada surah
ash-Shaff (61): 5:
Maka
tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka[6];
dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.
Sebenarnya jika diperhatikan lebih
jauh, salah satu sebab timbulnya paham Jabariyyah
ialah, karena para penganut paham tersebut terlalu menekankan salah satu aspek
saja dari pengertian ayat-ayat al-Qur’an. Mereka cenderung hanya berpegang pada
ayat-ayat yang menjelaskan kekuasaan mutlak Tuhan. Padahal banyak ayat lain
yang menunjukkan bahwa Allah tidak memaksa hamba-hamba-Nya untuk melakukan
ataupun meninggalkan sesuatu. Ayat-ayat tersebut menjelaskan manusia bertindak
berdasarkan pilihan dan qudrah
(kemampuan bertindak) yang mereka miliki. Al-Qur’an dengan tegas menisbahkan
perbuatan-perbuatan manusia kepada manusia sendiri, baik perbuatan jahat maupun
baik.
Sebaliknya paham Qadariyyah timbul karena para
penganutnya terlalu menekankan perhatian pada ayat-ayat yang menjelaskan adanya
qudrah dan kebebasan manusia. Mereka
menafikan kaitan antara qudrah dan
kebebasan memilih manusia pada satu sisi, dan kehendak mutlak Allah pada sisi
lain. Padahal di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menunjukkan bahwa qudrah Allah mencakup segala sesuatu,
yang di dalamnya termasuk segala perbuatan dan sifat manusia. Surah al-Kahfi
(18): 23-24:
Dan
jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: "Sesungguhnya aku akan
mengerjakan ini besok pagi,
Kecuali
(dengan menyebut): "Insya Allah"[7].
dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan Katakanlah: "Mudah-mudahan
Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada
ini".
Pada surah al-Insan (76): 30
al-Qur’an menegaskan pula:
Dan
kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Akan tetapi, jika kedua kelompok
ayat di atas dibaca dan dipahami secara seimbang, proporsional, dan
terintegrasi satu sama lain, maka semua ayat dan nas yang disebutkan di atas
tidak saling bertentangan. Karena semua ayat yang diterangkan di atas adalah al-haq (kebenaran), setiap muslim mesti
meyakini dan mengimaninya.
Dengan membaca dan memahami kedua
kelompok ayat di atas secara seimbang dan holistic, dapat dikatakan, maksud
ayat-ayat di atas ialah, perbuatan patuh atau maksiat manusia terhadap
Tuhan-Nya benar-benar dilakukan manusia itu sendiri. Dengan kata lain,
perbuatan tersebut berdasar atas pilihan, kehendak, kekuasaan, dan kekuatan
yang diberikan Allah kepada manusia. Sedangkan daya untuk membuat pilihan,
keputusan, kekuasaan, dan kekuatan melakukan perbuatan patuh atau maksiat itu,
Allah yang menciptakannya.[8]
KESIMPULAN
Kita menjadi mengerti, bahwa
ayat-ayat yang bersifat umum di sebagian al-Qur’an, diterangkan oleh ayat-ayat al-Qur’an
lainnya. Yang belum jelas di satu ayat, ditegaskan oleh ayat lainnya. Ayat-ayat
yang mutasyabih di satu bagian
al-Qur’an, menjadi muhkam karena
dijelaskan oleh ayat-ayat lainnya.
Adapun ayat-ayat perintah atau
larangan yang sudah dikenal dan dimengerti oleh masyarakat, seperti shalat dan
zakat, atau larangan berzina dan berlaku zalim, tidak lagi dipandang sebagai mutasyabih, walaupun perintah atau
larangan tersebut dinyatakan secara umum saja. Fungsi ayat-ayat tersebut lebih
bersifat mengarahkan, menyadarkan dan meluruskan pandangan, serta menegaskan
sesuatu yang sebelumnya diragukan pengertian atau kedudukan hukumnya.[9]
DAFTAR
PUSTAKA
Shihab, M. Quraish.
2013. Kaedah Tafsir: Syarat, Ketentuan,
dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Qur’an.
Tangerang: Lentera Hati.
Dahlan,
Abd. Rahman. 2010. Kaidah-kaidah Tafsir.
Jakarta: Amzah.
[1] Maksudnya: diperinci atas
beberapa macam, ada yang mengenai ketauhidan, hukum, kisah, akhlak, ilmu
pengetahuan, janji dan peringatan dan lain-lain.
[2] Maksud berulang-ulang di sini ialah hukum-hukum,
pelajaran dan kisah-kisah itu diulang-ulang menyebutnya dalam Al Quran supaya
lebih kuat pengaruhnya dan lebih meresap. sebahagian ahli tafsir mengatakan
bahwa Maksudnya itu ialah bahwa ayat-ayat Al Quran itu diulang-ulang membacanya
seperti tersebut dalam mukaddimah surat Al Faatihah.
[3] Ayat yang muhkamaat ialah ayat-ayat yang terang dan
tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah.
[4] Termasuk dalam pengertian ayat-ayat mutasyaabihaat:
ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti
mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam; atau ayat-ayat
yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang
berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat,
surga, neraka dan lain-lain.
[5] M. Quraish Shihab. Kaedah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan
yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Qur’an. Tangerang:
Lentera Hati. 2013. Hlm. 209-210.
[6]
Maksudnya karena mereka
berpaling dari kebenaran, Maka Allah membiarkan mereka sesat dan bertambah jauh
dari kebenaran.
[7]
Menurut riwayat, ada beberapa orang
Quraisy bertanya kepada Nabi Muhammad s.a.w. tentang roh, kisah ashhabul kahfi
(penghuni gua) dan kisah Dzulqarnain lalu beliau menjawab, datanglah besok pagi
kepadaku agar aku ceritakan. dan beliau tidak mengucapkan insya Allah (artinya
jika Allah menghendaki). tapi kiranya sampai besok harinya wahyu terlambat
datang untuk menceritakan hal-hal tersebut dan Nabi tidak dapat menjawabnya.
Maka turunlah ayat 23-24 di atas, sebagai pelajaran kepada Nabi; Allah
mengingatkan pula bilamana Nabi lupa menyebut insya Allah haruslah segera
menyebutkannya kemudian.
[8] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A. Kaidah-kaidah Tafsir. Jakarta: Amzah.
2010. Hlm. 38-43.
[9] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A. Kaidah-kaidah Tafsir. Jakarta: Amzah.
2010. Hlm. 43-44.