Disusun Oleh :
1. Ahliyatul Yumna
2. Umi Latifa Anwar
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Agama adalah
sesuatu pedoman bagi kehidupan manusia untuk mencapai kesejahteraan dunia dan
akhirat. Adapun kebudayaan adalah suatu produk aktifitas atau hasil kreasi manusia untuk menciptakan
kerukunan, kebahagiaan, dan kesejahteraan yang dianggap pantas dan baik oleh
masyarakat tersebut. Corak kebudayaan dipengaruhi oleh agama dan sebaliknya
pemahaman agama dipengaruhi oleh tingkat kebudayaan (dalam hal ini kecerdasan).
Islam hanyalah satu, namun kebudayaan Islam
tidaklah satu. Begitu banyak dan bervariasi sesuai dengan kondisi ruang dan
waktu juga masa para pencipta dan pengembang kebudayaan tersebut.
Dalam kehidupan
keberagamaan, kecenderungan untuk memodifikasi Islam dengan kebudayaan Jawa
telah melahirkan berbagai macam produk baru terutama pada hasil interelasi
nilai budaya Jawa dan Islam terhapad aspek ritual.
B.
Rumusan Masalah
1.
Pengertian
Interelasi Nilai Budaya Jawa dan Islam
2.
Interelasi
Nilai Budaya Jawa dan Islam dalam Aspek Ritual
3.
Contoh-contoh
Interelasi Nilai Budaya Jawa dan Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Interelasi Nilai Budaya Jawa dan Islam
Dalam KBBI,
Interelasi adalah hubungan satu sama lain. Jadi, Interelasi yang dimaksud di
sini berarti hubungan antara nilai-nilai ajaran atau kebudayaan Jawa dengan
budaya Islam.
Agama di dalam
memainkan perannya terhadap masyarakat mempunyai dimensi-dimensi keyakinan,
praktek, pengalaman, pengetahuan dan konsekuensi-konsekuensi praktek keagamaan,
mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan orang untuk
menunjukkan komitmen terhadap agamanya.
B.
Interelasi antara Nilai Budaya Jawa dan Islam dalam Aspek Ritual
Peoses Akulturasi budaya Jawa dan Islam
Proses akulturasi budaya Islam dan
Jawa tentunya tidak lepas dari proses penyebarannya. Islam masuk di jawa secara
damai tanpa paksaan. Para muballigh dalam mengislamkan tanah Jawa agar
nilai-nilai Islam diserap menjadi bagian dari budaya Jawa menggunakan dua
pendekatan, yaitu:
1.
Islamisasi budaya Jawa Mengislamkan budaya Jawa, yaitu budaya jawa ditampakkan agar
bercorak Islam. Dalam arti, Islam mempengaruhi nilai-nilai budaya Jawa.
Misalnya, dalam selametan kematian, kepercayaan-kepercayaan dari agama
Hindu-Budha maupun animisme-dinamisme yang dulunya menggunakn sesajen untuk
pemujaan, dalam perkembangan berikutnya para walisongo memasukkan nila-nilai
islam yang mana melalui mengubah mantera-mantera yang ada dalam selametan
tersebut dengan berbagai doa seperti, tahlil, tahmid, tasbih. Ini juga berlaku
untuk selametan yang lain.
2.
Jawanisasi Islam Menjawakan budaya Islam yaitu upaya penginternalisasian nilai-nilai
islam melalui cara penyusupan ke dalam buadaya Jawa. Berarti Islam dipengaruhi
oleh nilai-nilai budaya Jawa. Misalnya, penggunaan kata sekaten yang
pada awalnya syahadatain, pada nama-nama orang banyak dipakai nama
Durahmah, Durrazak yang aslinya Abdurrahman, Abdul Razak, karena mereka
kesusahan dalam mengucapkan jika menggunakan bahasa arab.
Dalam ajaran
agama Islam pada umumnya, kegiatan-kegiatan ritualistik adalah sesuatu yang
harus dikerjakan bagi para pemeluknya. Kegiatan ritualistik ini meliputi
berbagai bentuk ibadah, sebagaimana yang tersimpul dalam rukun Islam. Inti dari
aktivitas tersebut adalah doa yang ditujukan kepada Allah SWT untuk mencapai
ridlo-Nya.
Mayoritas bagi
orang Jawa beranggapan bahwa dalam hidup ini penuh dengan upacara-upacara.
Upacara-upacara itu pada awalnya dilakukan untuk menghindari pengaruh buruk
dari kekuatan ghaib yang nantinya akan mengganggu kelangsungan hidup seseorang.
Dalam kepercayaan lama, upacara tersebut dilakukan dengan menggunakan sesaji
untuk disajikan kepada daya kekuatan ghaib seperti roh-roh, makhluk-makhluk
halus dan dewa-dewa. Akan tetapai, seiring berjalannya waktu Islam datang
dengan luwes memberikan corak baru pada upacara-upara itu dengan nama selmatan
atau kenduren. Prosesi penyelenggaraan ritual disebut selamatan, berasal
dari bahasa Arab salama yang mengalami desimilasi menjadi selamatan.
Di dalam selamatan
tersebut pokok dari kegiatannya adalah doa (dongo) yang biasanya dipimpin oleh
orang yang mempunyai pengetahuan lebih tentang Islam, seperti modin atau
kiai desa. Orang yang menyelenggarakan atau shohibul hajat selamatan
tersebut menyiapkan beberapa makanan inti berupa nasi tumpeng, ingkung ayam
yang ditambah umbarape yang lain untuk dihidangkan bagi para peserta selamatan,
dan juga ketika pulang juga akan mendapat makanan yang dibungkus atau dalam
istilah orang Jawa berkat. Jumlah yang hadir dalam selamatan
disesuaikan dengan tingkat pentingnya selamatan tersebut.
Tujuan dari ritual bagi masyarakat
Jawa tidak lain hanyalah untuk mencari barakah, yang biasanya orang jawa
menggunakan ngalap berkah (berharap memperoleh rahmat, keselamatan, dan kebahagiaan dari ritual tersebut). Upacara atau ritual
dalam pelaksanaannya mengandung adanya suatu yang bersifat sakral, suci, dan mistik.
Skaral di sini berarti mengarah pada suatu keyakinan dalam berfikir yang
didasari mitologi, artinya bahwa kesakralan itu “dimitoskan”[1]. Sebagian
orang Jawa yang beragama Islam menganggap makam sebagai suatu yang disakralkan
jika makam tersebut adalah makam wali, atau penyebar Islam yang diyakini memiliki
kelebihan-kelebihan supranatural. Misalnya, sunan bonang yang dapat mengubah
buah kelapa menjadi koin emas, Maulana Ishaq dapat menyembuhkan putri
Blambangan dengan kekuatan ghaib, Sultan Agung dapat berjamaah di Makkah.
Suci, dalam hal ini dari awal sampai
akhir diadakannya ritual mengandung kesucian. Artinya, dari orang, barang, dan
tempat yang akan menjadi prosesi ritual harus dalam keadaan suci. Misalnya
saja, dalam penyucian beras harus ke sumur wali, atau masjid daerah
tersebut. Orang yang mencucinya harus dalam keadaan suci (baik dari hadats
besar maupun kecil) bahkan harus lepas dari haidl, begitu juga orang yang
memasak.
Mistik, ini terjadi pada manusia atau benda
yang memiliki kekuatan yang diyakini sebagai kekuatan yang lebih dibanding
dengan manusia atau benda lainnya.[2] Misalnya,
terdapat sosok manusia yang memiliki kelebihan di bidang tertentu yang bersifat
supranatural (wali). Para wali itu memiliki mistifikasi yang berbeda-beda,
sebut saja sunan Bonang yang memiliki misteri lebih besar di banding dengan
Ibrahim Asmaraqandi, padahal beliau adalah kakeknya. Mistifikasi juga perlu
suatu ruang untuk bertahan, seperti halnya mimbar dan ruang imaman masjid
syaikh Ibrahim akan tetap terus dilestarikan meskipun masjid tersebut sudah
mengalami beberapa kali renovasi. Semua ini bertumpu dengan alasan agar tetap
mendapat keberkahan dari pembuat masjid
pendahulu.
Pandangan tentang mitologi dan
mistifikasi di atas terhadap makam, sumur, dan masjid pada hakikatnya merupakan
keberadaan alam sebagai subjek. Karena aura dari keunikan, misteri, dan
kekuatan alam tersebut menjadikan fenomena yang bukan profan (duniawi).
Namun, ritual-ritual semacam ini
jarang menjadi suatu ritual yang sakral. Akan tetapi, llebih kepada suatu
tontonan yang sangant unik dan menarik.
Pada dasarnya, Islam adalah agama
damai yang tidak mengenal kasta sebagaimana Hindu-Budha. Akan tetapi, pada
realitanya terdapat beberapa golongan yaitu abangan, santri dan priyayi.
Walaupun sebagian besar orang Jawa memeluk agama Islam, tetapi masih terdapat
beberapa ragam dalam pengalaman ajaran Islam.
C.
Contoh-contoh Interelasi antara Nilai Budaya Jawa dan Islam
1.
Ritus Lingkaran hidup
Dalam ritus lingkaran hidup, ada berbagai ritual, diantaranya:
a.
Selametan Kelahiran
Tingkeban / Mitoni
Tingkeban adalah selametan
waktu kehamilan berusia tujuh bulan. Selametan ini diselenggarakan di
rumah ibu si calon ibu. Pokok dari selametan ini adalah membaca surat al-Fatihah tiga kali,
surat al-ikhlas, surat al-‘alaq, dan surat an-nas masing-masing satu kali.
Selain itu, juga membaca Al-Qur’an surat Maryam dan surat Yusuf. Pembacaan
surat maryam dimaksudkan jika nanti anak yang dilahirkan perempuan memiliki kesucian
seperti kesucian Maryam. Sedangkan surat Yusuf dimaksudkan jika anaknya
laki-laki maka akan menjadi manusia seperti Nabi Yusuf. Ada juga berjanjenan
dengan harapan bahwa bayi yang akan
dilahirkan kelak mempunyai akhlak seperti akhlakul karimah Nabi Muhammad.
Jika hamil pertama, selametan tersebut
dilakukan dengan rujakan (yang dicampuri sabut kelapa muda, gula merah, dan
jeruk), nasi uduk yang di atasnya ada umbarapenya, kembang tujuh macam atau
yang lazim disebut dengan kembang setaman (kembang melati, gading, kenanga,
kantil, empon-empon, mawar, dan matahari), dan bubur merah putin. Semuanya itu
di taruh dalam takir ( berbentuk
seperti perahu) terbuat dari daun pisang, masing-masing dua takir.
Bagi orang kaya
di daerah Tuban, selametan menjadi persoalan yang kompleks selametan
tingkeban in dimulai dari sore hari sekitar jam 4. Upacara dimulai
dengan sungkeman. Kemudian si calon ibu
ganti pakain dari kain kebaya yang dililitkan sampai sebatas dada bagian atas, selanjutnya
dimandikan oleh orang tua, mertua, dan terakhir suami dengan kembang tujuh
rupa. Acara dilanjutkan dengan memasukkan kelapa muda (cengkir) kedalam pakaian
isteri oleh suami untuk dijatuhkan. Jika cengkir itu pecah menandakan bayinya
perempuan dan jika tidak pecah menandakan bayi berkelamin laki-laki. Acara
belum selesai. Setelah ganti pakaian kering. Setelah itu, dilanjutkan dengan
dodolan dawet duwit kereweng stelah si calon ibu ganti pakaian kering berjualan dawet dengan menggunakan uang
pecahan genting. Dawet melambangkan rezeki yang melimpah seperti dawet, dan
uang pecahan genting melambangkan jenis koin emas yang berwarna menyala. Baru malam
harinya dilakukan selametan sebagaimana umumnya.
Rangkaian prosesi selametan ini yang pertama adalah seluruh bahan selametan
biasanya ditempatkan di antara tengah-tengah peserta yang hadir dengan
membentuk suah lingkaran dan duduk sila, kemudian modin atau kiai
desa membuka acara dengan mengantarkan maksud dan tujuan selametan tersebut
sesuai dengan shohibul hajat, yang nantinya semua acara dipimpin oleh modin
tersebut. Dilanjutkan dengan membaca berbagai do’a sebagaimana telah disebutkan
diatas. Sebagai pertanda akan pulang, dibagikannya berkat kepada para
undangan yang telah dimasukkan ke dalam tas kresek. Selang beberapa
waktu, modin mengucapkan bacaan: Allahumma Shalli ‘ala Syayyidina Muhammad
(semoga Allah memberikan keselamatan pada baginda Muhammad) sembari dengan
bersalam-salaman.
Brokohan/
Babaran
Brokohan atau babaran adalah upacara syukuran kelahiran bayi, untuk
menandai bahwa bayi dilahirkan dengan selamat. Selanjutnya, setelah bayi
dimandikan, kemudian diadzankan oleh sang bapak, karena dan segera dukun mengambil tali pusar
dan tembuni bayi dibungkus dengan kain putih kemudian dimasukkan ke dalam kendi
dengan digarami kemudian dikubur di luar rumah. Yang terakhir, dukun itu
meletakkan bayi di atas meja yang rendah dan menggebrak meja tiga kali untuk
mengejutkan si bayi, agar kelak ia tidak mudah kaget atau jatuh sakit. Pada
saati itu juga dukun memperkenalkan kepada si bayi ke dalam kehidupan manusia :
“ Dengan nama Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha penyayang. Saya
bermaksud mengejutkan bayi ini yang dilahirkan dari rahim ibunya. Dan kewajiban
agama yang sudah ditetapkan (yakni
Islam). Tiada Tuhan melainkan Allah. Dan Muhammad adalah utusan Allah. Allah
Allah Allah.”
Pada malam harinya, baru diadakan
selametan dengan mengundang tetangga sekitar dan
saudara-saudaranya.
Pasaran
Lima atau tujuh hari setelah kelahiran bayi, dilakukan
selametan pemberian nama dan pemotongan
rambut. Dalam tradisi Islam, ritual ini disebut dengan korban akikah,
ditandai dengan penyembelihan berupa kambir dua ekor jika bayinya laki-laki,
dan satu ekor kambing jika bayinya perempuan. Untuk selametan ini
biasanya diikuti dengan prosesi bacaan sebagaimana waktu ketika selametan
tingkeban.
Ketika sampai pada acara berjanjen, ditengah acar ini terdapat
mahalul qiyam di mana seluruh peserta berdiri. Pada saat inilah sang bapak
membawa si bayi untuk dihadapkan ke seluruh peserta untuk mengoleskan air
kelapa ke kepala bayi, ibunya hanya boleh melihat dari dalam rumah. Air kelapa
di-nisbah-kan dengan air zam-zam, air
kalapa dianggap sebahai air suci. Seluruh bahan selametan seperti
bubur merah dan nasi tumpeng dibagikan kepada para peserta sebagi tambahan nasi
berkat. Setelah terbagi semua mereka boleh pulang ke rumah masing-masing.
Selapanan
Pada saat genap 36 hari, diadakanlah selametan selapanan
dengan bubur dan tumpeng. Bubur yang
dibuat biasanya berwarna merah dan putih untuk melambangkan warna dalar yang
mengalir pada tubuh si bayi dan tumpeng melambangkan tingginya keinginan yang
hendak dicapai. Ketika anak sudah mencapai
usia tujuh atau delapan bulan, dilakukan bancaan bubur dan sego adem.
Ini menandai tumbuhnya gigi anak tersebut. juga didapati upacara tedak sitik
atau medun lemah ketika anak berusia tujuh bulan.
b.
Selametan Khitan
Khitanan disebut juga sunatan
adalah ritual yang menandakan anak
lelaki telah berani menantang kehidupan. Ritual khitan ini sebagai
bentuk perwujudan secara nyata tentang pelaksanaan hukum Islam. Untuk
pelaksanaannya, bisa anak ketika berusia 4 sampai 15 tahun, tergantung dari
tradisi masyarakatnya. Bagi
masyarakat tertentu, biasanya khitanan diselenggarakan sehari setelah
perayaan. Pada acara ini biasanya dibersamakan dengan kegiyatan duwe gawe
yang terkadang dilaksanakan secara
besar-besaran yang berekonomi tinggi. Bahkan juga diadakan arak-arakan jaran
jenggo atau nanggap barongan. Kuda
dihias dan anak yang akan disunat dinaikan kuda itu, kemudian diarak
keliling desa bahkan sering kali menyewa
jalan utama lintas kabupaten untuk
kegiatan tersebut. Para tamu undangan lazimnya membawa sumbangan dalam bentuk
uang bagi laki-laki, bahan-bahan mentah
atau matang dan juga uang bagi tamu undangan perempuan. Dilanjutkan pada malam
harinya terdapat pertunjukan seperti, wayang kulit, dangdutan, pengajian
dan khotmil Qur’an. Akan tetapi, semua itu dikembalikan selera dari
shohibul hajat.
Setelah rentetan acara di atas, ditutup dengan doa bersama. Acara
doa bersama tersebut seperti halnya selametan pada umumnya yang dipimpin
oleh modin atau kiai desa. Kemudian berbagai sesajen diletakkan
di sekitar pojok rumah untuk makhluk-makhluk halus.
Pagi harinya, dukun atau dokter diminta datang oleh orangtua
si anak tersebut untuk men-khitan anaknya, terkadang dari pihak keluaraga yang
mengantarkan anaknya yang akan dikhitan ke rumah dukun atu dokter.
c.
Selametan Perkawinan
Upacara
perkawinan dilaksanakan ketika pasangan muda-mudi akan memasuki kehidupan rumah
tangga. Upacara ini ditandai secara khas dengan pelaksanaan syari’at Islam
yakni aqad nikah (ijab qobul) yang dilakkan oleh pihak wali mempelai
wanita dengan pihak mempelai pria dan disaksikan oleh dua orang saksi. Tahap
yang pertama dalam ritual ini adalah ketuk pintu atau dalam istilah jawa nekokke,
nyumuk, atau ndhodhok lawang. Pada tahap ini, orangtua dari pihak
laki-laki datang bersilaturrahmi sekaligus menanyakan apakah anak perempuannya
sudah ada yang melamar atau belum kepada orangtua dari pihak perempuan dengan
membawa parsel atau panganan. Jika memang belum, maka dari pihak
laki-laki akan melakukan lamaran resmi.
Tahapan selanjutnya yakni lamaran resmi, dalam lamaran
itu keluarga pihak pria mengunjungi keluarga pihak perempuan untuk saling tukar
basa-basi formalitas kosong yang sudah menjadi keahlian orang Jawa dulu. Ayah
dari pihak laki-laki mungkin akan membuka pebincangan dengan uapan seperti “
embun di pagi hari berarti hujan di malam hari”, yang maksudnya bahwa soal yang
nantinya akan diperbincangkan adalah masalah yang “ dingin”. Atau langsung
kepada pokok persoalan dengan mengatakn bahwa ayah tadi ingin menjadi besan
tuan rumah, dengan mengawinkan anak laki-lakinya dengan anak perempuan tuan
rumah.
Setelah itu diadakan sebuah pertemuan yang direncanakan di rumah
gadis itu, di mana calon dari mempelai laki-laki dan
perempuan beserta para calon mertua. Pertemuan ini disebut dengan nontoni,
ini ditandai dengan kepura-puraan yang sama dari keduanya. Mula-mula si gadis
diminta oleh ibunya untuk menghidangkan teh kepada sang jejaka tanpa berbicara
sama sekali, dan jejaka memandang untuk memperoleh suatu kesan tentang si gadis
tersebut, ia akan mengataknnya ketika perjalanan pulang dan pernikahan pun
diatur.
Lain halnya prosesi lamaran di Jawa Timur yang menurut adat
tradisi bahwa yang melamar adalah keluarga dari pihak perempuan kepada
keluarga pihak laki-laki. Karena jika yang melamar laki-laki dianggap kurang
jantan atau cemen. Dengan demikian, dengan adanya perbedaan tradisi
tersebut jika dari jawa timur yang kebetulan mendapatkan jodoh dari Jawa tengah
sebaiknya diharapkan ada musyawarah bagiamana baiknya dari kedua belah pihak
yang bersangkutan untuk mencapai prosesi yang harmonis.
Tardisi masyarakat jawa pada umumnya, anak laki-laki harus
memberikan dua macam hadiah perkawinan
kepada pihak perempuan. Paningset - yang biasanya berupa pakaian dan
perhiasan, sasrahan - biasanya berupa satu sampai dua ekor kebau atau
sapi dan perabotan rumah tangga. Akan tetapi, zaman sekarang tradisi seperti
sudah jarang dilakukan oleh daerah tertentu walaupun ada juga daerah lainnya
masih menggunakannya.
Pada tahap ketiga dilaksanakan selametan perkawinan yang dilakukan
pada malam hari menjelang upacara yang
sebenarnya. Selametan ini biasa disebut dengan midodareni. Acara selametan
tersebut sama seperti selametan yang lain. Dalam acar ini
pengantin perempuan menggunakan pakaian yang sederhana. Di sini si gadis akan
duduk tanpa bergerak samasekali selama beberapa jam hingga tengah malam,
sehingga pada saat itu di mana seorang bidadari akan turun dan memasukinya.
Itulah sebabnya semua pengantin pada hari pernikahannya terlihat jauh lebih
cantik dibandingkan hari-hari biasanya.
Keesokan harinya pengantin laki-laki, wali dari pengantin
perempuan, dan modin datang ke KUA. Sang wali secara resmi meminta na’ib
untuk menikahkan anak perempuannya dengan pengantin laki-laki. Substansi
upacara ini adalah akad nikah yang bisa
diselenggarakan di rumah mempelai wanita atau KUA. Upacara ini dipimpin oleh
Na’ib yang menjadi wakil dari bapak mempelai wanita untuk membimbing prosesi
pernikahan sehingga perkawinan dua insan lain jenis tersebut abash.
Tiba di rumah mempelai perempuan, pesta yang sebenarnya sedang akan
dimulai. Ditandai dengan adanya janur kuning yang dilengkungkan membentuk busur setengah lingkaran dipasang
pada pintu masuk pelataran. Sebuah sesajen khusus juga tidak lupa ditaruh di
tempat-tempat tertentu dengan harapan prosesi pernikahan yang sedang diselenggarakan berjalan dengan
lancar tanpa ada gangguan. Menurut tradisi, keduanya berdandan layaknya seorang
permaisuri dan pangeran. Pada saat yang telah dipilih, pengantin perempuan
muncul dari rumah diikuti dengan dua anak perempuan sedangkan pengantin
laki-laki masuk dari luar diiringi pula oleh dua anak laki-laki. Kedua mempelai
masing-masing menggenggam gulungan kecil daun sirih dan begitu jarak di antara
semakin dekat, mereka saling melempar daun sirih tersebut.
Setelah perbuatan itu dilakukan, pengantin laki-laki memecahkan
telur (putihnya melambangkan hilangnya kesucian dan kuningnya melambangkan pecahnya
selaput dara) serambi pengantin perempuan berlutut membasuh kaki pria itu
dengan air bunga. Tindakan yang terakhir ini, yang menggambarkan pengabdiannya
kepada suami. Namun, di daerah tertentu terkadang tidak diadakannya perbuatan
tadi karena dianggap tidak sesuai dengan ide mutaakhir mengenai kedudukan yang
setingkat antara pria dan wanita. Kemudian kedua mempelai masuk ke rumah, lalu
duduk di tempat yang sudah ditentukan (dekorasi).
Dengan demikian, para tamu undangan selain memberikan sumbangan,
juga bisa melihat kedua mempelai tersebut.
d.
Selametan Kematian
Upacara yang bernada
sedih adalah upacara kematian. Ada serangkaian selametan di sini, yaitu:
tujuh hari (mitung dino), empat puluh hari (petangpuluhe), seratus hari
(nyatus), setahun (pendak), dan seribu hari (nyewu dino). Setelah prosesi
memandikan, mengkafani, mengkafani, dan menguburkan, setiap malam hari selam
tujuh hari diadakan selametan mitung dino, yaitu kirim doa dengan
didahului bacaan tasybih, tahmid, takbir, tahlil, dan shalawat Nabi yang semua
rentatan bacaan tersebut dinamai dengan tahlilan. Rangkaian bacaan
tersebut berlaku sama halnya ketika 40 harinya, seratus harinya, setahun dan
seribu harinya.
Jika terjadi
kematian di suatu keluarga, maka hal yang pertama dilakukan adalah memanggil
modin, selanjutnya menyampaikan berita kematian di daerah sekitar. Pemakaman
orang Jawa dilaksanakan secepat mungkin sesudah kematian. Walaupun keluarganya
terkadang menundanya mungkin hanya beberapa jam seandainya ada anggota keluarga
yang harus diitunggu dari tempat yang jauh, namun mereka tidak akan menundanya
terlalu lama. Alasannya, bahwa roh orang yang meninggal itu berkeliaran tak
menentu (seringkali dibayangkan sebagai seekor burung) sampai jasadnya
dikuburkan, dan ini berbahaya bagi setiap orang, khususnya bagi keluarga yang
ditinggalkan.[3]
Para tetangga segera
meninggalkan pekerjannya untuk me-layat ke rumah keluarga yang tertimpa
kematian setelah mendengar berita kematian itu. Menurut tradisi, setiap
perempuan membawa beras dan segera ditanak untuk selametan. Sedangkan
orang laki-laki membawa alat-alat pembuat alat nisan, usungan untuk membawa
mayat ke makam (krenda), dan potongan papan untuk diletakkan di liang lahad.
Ritul kematian ini biasanya identik adanya penggolongan
sosial, di mana jika orang yang meninggal dikenal sebagai tokoh agama di desa
tertentu atau derajat sosialny tinggi, tak berlebihan jika yang menghadiri
upacara kematiannya adalah seluruh tokoh desa itu atau dari lura desa, bahkan
Bupati dan jajarannya juga hadir. Akan tetapi, jika yang meninggal rakyat biasa
bukan keturunan orang kaya walaupun aktif dalam beribadah, maka yang datang di
acara kematiannya juga tidak banyak. Pihak dari tokoh-tokoh desa pun tidak
semuanya hadir, apalagi Bupati.
Setelah mayat
selesai dimandikan dan dikafani, kemudian mayat di bawa ke masjid atau mushalla
terdekat untuk dishalatkan yang dipimpin oleh kiai desa. Dilanjtkan
dengan adanya sambutan yang berisi wejangan atau petuah kepada para
hadirin dari kiai desa tersebut seperti: misalnya, sebut saja namanya
Pak Fakhruddin
“ apakah Pak Fakhruddin orang Islam ?”, maka serempak para hadirin menyatakan
“ya”, “apakah Pak Fakhruddin orang baik ?” Jawaban hadirin semuanya menyatakan
“ya”, “apakah hadirin mau memaafkan
kesalahan Pak Fakhruddin ?” Jawabannya “ya”, dan “jika Pak Fakhruddin memiliki
hutang, apakah saudara mau menyelesaikannyapada ahli baitnya (keluarga yang
ditinggalkan) ?” Semua menyatakan “ya”. Kemudian keranda yang berisi jenazah
Pak Fkhruddin tadi diangkat oleh empat orang menuju pemakaman yang telah
disediakan. Semua ini biasanya beralaku hanya untuk orang yang terkemuka di masyarakatnya.
Sedangkan untuk rakyat biasa ( selain tokoh agama) sambutannya tidak panjang, hanya
memohon maafkan atas segala kesalahn mayat dan mendoakan agar amalnya di terima
Allah.
Malam harinya,
diadakanlah ngaji wong mati (membaca Al-Qur’an untuk orang mati)
berlansung selama tujuh hari. Ngaji wong mati dilakukan kembali pada
hari ke-40 dari kematiannya, demikian seterusnya, 100 hari, pendak (setahun),
dan 1000 harinya.
2.
Upacara Hari Besar Islam
Bentuk selametan
lain yang tidak berkaitan dengan lingakaran hidup adalah upacara hari-hari
besar yang dilaksanakan berdasarkan mengikuti kalender Islam, yakni yang
bersangkutan dengan bulan-bulan Islam.
Berikut adalah
macam-macam selametan hari-hari besar Islam yang diakui orang Jawa:
a.
Suronan
Syuro atau
Muharram merupakan bulan pertama dalam
tahun Hijriyah, yang mana orang Jawa biasanya menyebutkan dengan istilah selametan
tompo tahun. Yaitu selametan yang menandai pergantian tahun.
Mengenai tata cara
upacaranya yang benar menurut islam adalah:
Melakukan puasa 1 hari diakhir bulan besar atau diakhir tahun.
Kemudian kira-kira ba’da sholat asar atau magribagar berdoa akhirussanah,
selanjutnya pada tanggal satu syuro memberikan sedekah kepada anak-anak yatim
sambil dielus-elus kepalanya. Pada saat itulah anak yatim diminta untuk
mendoakan. Selain itu juga makan yang enak-enak, berbeda dengan biasanya. Hal
ini dimaksudkan untuk menghormati bulan syuro. Pada tanggal 1-10, Nabi
menganjurkan agar umatnya melakukan puasa. Selametan biasanya dilakukan di
masjid atau di mushalla setelah shalat maghrib dengan membawa bubur suro dan
juga pembacaan manaqib dilanjutkan tahlilan. Menurut kiai
Irchamni, bulan asyuro memiliki makna penting, sebab:
“Tanggal 10 syuro terdapat peristiwa besar, antara lain: diterima
taubatnya Nabi Adam, surutnya banjir besar Nabi Nuh, selamatnya nabi Ibrahim
ketika dibakar Namrud, lepasnya Nabi Musa dari kejaran tentara Fir’aun, dan
keluarnya Nabi Yunus dari perut ikan di dasar laut. Itulah sebabnya bulan syuro
diperingati sebagai hari baik.”[4]
Menurut critanya,
suatu ketika di tanggal 10 syuro Nabi bekumpul dengan orang Yahudi. Ketika itu
Nabi menyodorkan makanan kepadanya. Orang Yahudi itu menolak dan menyatakan dia
sedang berpuasa. Dia berpuasa karena menghormati terlepasnya Nabi Musa dari
kejaran bala tentara Fir’aun. Nabi kemudian menganjurkan umat Islam supaya
berpuasa 2 hari, biar tidak sama dengan puasanya orang Yahudi.
b.
Shafaran
Bulan shafar
adalah bulan kedua Hijriyah. Syaikh Ad-Dairoh menyatakan, “menurut sebagian
ulama ahli ma’rifat, setiap tahun ada 230.000 musibah yang diturunkan ke
dunia, dan semua musibah itu diturunkan pada hari rabu terakhir bulan Shafar (rebo
wekasan). Maka hari itu merupakan hari yang paling berat dibanding
hari-hari yang lain selama satu tahun. Dan Al-Firdaus, Syaikh Al-Buni
mengatakan, “Sesungghunya Allah SWT menurunkan musibah ke tempat di antara
langit dan bumi pada hari rabu terakhir bulan shafar, kemudian malaikat yang
bertugas menerimatersebut menyerahkan kepada malaikat yang bertugas di bumi
yang bernama Quthubul Ghouts agar membagi seluruh alam. Maka segala
sesuatu yang terjadi, kematian, kesialan, kesusahan dan sebaginya tiada lain
berasal dari musibah yang dibagikan oleh Malaikat yang bernama Quthubul
Ghouts.”[5]
Maka dari itu,
dianjurkan untuk melaksanakan amalan-amalan agar selamt dari bencana tersebut
dengan tetap berkeyakinan bahwa hanya Allah SWT yang memberikan selamat.
Amalan-amalan tersebut diantaranya:
Shalat dan berdo’a
Menjalankan shalat
sunnah 4 rakaat (dengan dua kali salam), dan setiap rakaatnya setelah membaca
surat Al-Fatihah kemudian membaca surat Al-Kautsar 17 kali, surat Al-Ihlas 5
kali, surat Al-Falaq 1 kali dan surat An-Nas 1 kali, dan sesudah salam membaca
do’a:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم ، وَ
صَلَّى اللهُ تَعَالىَ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَ صَحْبِهِ
وَسَلَّمَ، اَللهُمَّ يَا شَدِيْدَ الْقُوَى، وَ يَا شَدِيْدَ الْمِحَالِ يَ
عَزِيْزُ ذَ لَّتْ لِعِزَّتِكَ جَمِيْعُ خَلْقِكَ، إِكْفِنِيْ عَنْ جَمِيْعِ
خَلْقِكَ، يَا مُحْسِنُ يَا مُجَمِّلُ، يَا مُتَفَضِّلُ يَا مُنْعِمُ يَا
مُكْرِمُ، يَا مَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّ اَنْتَ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ
الرَّاحِمِيْنَ، اَللهُمَّ بِسِرِّ الْحَسَنِ وَاَخِيْهِ، وَجَدِّ هِ وَاَبِيْهِ
اِكْفِنِيْ شَرّ هَذَا الْيَوْمِ وَمَا يُنْزَلُ فِيْهِ يَا كَافِيْ،
فَسَيَكْفِيْكَهُمُ اللهُ وَهُوَ ااسَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ، وَحَسْبُنَ اللهُ وَنِعْمَ
الْوَكِيْلُ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ اِلاَّ باِاللهِ الْعَظِيْمِ، وَصَلَّى
اللهُ عَلَى سَيِّدِ نَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.
Minum air salamun
Sesudah
melakukan shalat tersebut, sebaiknya menulis ayat sebagai berikut di kertas.
Setelah ditulis semua lalu dilebur dengan air yang agak banyak supaya nanti
bisa diminum oleh orang-orang atau anak-anak yang tidak bisa menjalankan shalat.
سَلاَمٌ قَوْلاً مِنْ رَبٍّ الرَّحِيْمِ،
سَلاَمُ عَلَى نُوْحٍ فِيْ العَا لَمِيْنَ، سَلاَمٌ عَلَى اِبْرَاهِيْمَ، سَلاَمٌ عَلَى
مُوْسَى وَ هَارُوْنَ، سَلاَمٌ عَلَى اِلْيَا سِيْنَ، سَلاَمٌ عَلَيْكُمْ طِبْتُمْ فَادْخُلُوْهَا خَا لِدِيْنَ، مِنْ
كُلِّ اَمْرٍ سَلاَمٌ هِيَ مَطْلَعِ الْفَجْرِ.
Menurut
sebagian Ulama, menganjurkan untuk membaca surat Yasin, ketika sampai pada
lafazh :
سَلاَمٌ قَوْلاً مِنْ رَبٍّ الرَّحِيْمِ
Maka,
ayat tersebut diulangi 313 kali, dan kemudian dilanjutkan sampai selesai.
c.
Muludan atau Udukan
Pada hari itu menurut tradisi, pada bulan itu Nabi
dilahirkan dan meninggal dunia. Dari tanggal 1-11 biasanya diadakan berjanjen
setelah shalat maghrib. Kemudian pada
tanggal 12 maulud, selametan ini ditandai dengan ayam utuh dan panganan
(jajan), biasanya upacara ini
diselenggarakan di langgar atau dimasjid-masjid.
d.
Rejeban
Yaitu selametan
meraykan mi’raj atau perjalanan Nabi menghadap Tuhan dalam satu malam. Prosesi
perayaannya sama dengan prosesi muludan. Acara ini dilaksanakan pada tanggal 27
rajab. Namun di daerah terkadang juga ada semacam pengjian untuk lebih
meramaikan acara tersebut.
e.
Ruwahan atau Megenga
Selametan ini dimaksudkan untuk menandai masuknya bulan puasa. Megeng
artinya adalah menahan, yakni menahan hawa nafsu agar puasa yang
diselenggarakan pada bulan puasa akan mencapai tujuannya.
Ruwah, nama
bulan itu berasal dari kata arab “arwah” yang artinya jiwa orang yang sudah
meninggal. Sebagaimana layaknya slametan kematian, yaitu ditandai
oleh panganan dari tepung beras (apem) yang merupakan lambang orang jawa
untuk kematian. Sebelum acara selametan orang pergi kemakam untuk menyebarkan
bunga di kuburan orang tuanya. Dan roh orang tuanya dianggap hadir dalam slametan
untuk makan bau panganan. Orang juga mandi keramas untuk menyucikan diri
menghadapi puasa. Dan upacara ini dilaksanakan pada tanggal 29 dibulan ruwah.
f.
Syawalan/Kupatan
Selametan ini dilakukan tujuh hari setelah hari raya Idul Fitri. Selamatan
ini ditandai dengan adanya pembuatan kupat dan lepet yang
sebagian akan dibawa ke masjid, rumah kepala desa, atau tempat tertentu yang
dianggap layak oleh kaum laki-laki untuk bahan selametan.
g.
Besaran
Acara ini
diselenggarakan pada tanggal 10 besar (dzul Hijjah) dengan maksud penghormatan
terhadap pengorbanan Nabi Ibrahim dan hari Jemaah haji berkumpul di makkah
untuk melakasanakan korban.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Penjelasan tentang hubungan antara budaya Jawa dengan Islam
terlihat baik secara tersirat maupun tersurat, yang mana telah begitu menyatu
dalam tradisi masyarakat Islam yang mengaku orang Jawa tidak mau meninggalkan
praktek Jawanya. Upaya akomodasi-akomodasi mulai ditemukan, sehingga akulturasi
dengan adanya perbedaan budaya bisa menciptakan kedewasaan masyarakat dalam beragama.
Upaya itu telah dilakukan sejak Islam mulai disebarkan oleh para mubaligh yang
tergabung dalam Walisongo dan dilanjutkan oleh para ulama-ulama setelahnya,
serta dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari oleh orang Jawa Islam. Upaya itu
masih berproses hinggga dewsa ini. Sebagian dari nilai-nilai Islam itu
telah menjadi bagian dari budaya Jawa,
kendatipun di sana- sini warisan nilai-nilai budaya pa-Islam masih tampak meski
dalam wadah yang kelihatan Islami.
DAFTAR PUSTAKA
Greertz, Clifford. Abangan,
Santri, Priyayi dalam Maysarakat Jawa. 1989. Dunia Pustaka Jaya : Jakarta
Amin, Darori, dkk. Islam dan
Budaya Jawa. 2000. Gama Media : Yogyakarta
Syam, Nur. Islam Pesisir.
2005. LkiS Pelangi Aksara: Yogyakarta
Maftuh, Ashef.Arwaniyah.2012.Mubarokatan
Thoyyibah: Kudus
[1] Mitos
adalah kisah yang dirasakan masyarakat sebagai peristiwa yang sesungguhnya
terjadi di masa lalu, meskipun tidak didukung oleh pembuktian kritis. Mitos ini
berkesan memberi pelajaran moral dan juga memberi jawaban terhadap
ketidaksesuaian logika dengan tata nilai yang berlaku.
[2] Dr.Nur
Syam,Islam pesisir,hal.260
[3] Clifford
Greettz,Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa,hal.92
[4] Nur
syam., Islam pesisir,hal.180
[5]
Lihat.Maftuh Asef,Arwaniayah.hal.81
mas mbak saya ijin kopi pasti ya...
ReplyDeleteSilahkan, semoga bermanfaat :)
ReplyDeletembak makasih makalhnya dapat membantu saya,,,,
ReplyDeletesaya mnta ijinnya kopas ya mbak mas...
terrma kash sekali
ReplyDelete