Disusun oleh :
1. Fathin Nabela
2. Ahmad Zamroni
3. Alfian Suhendarsyah
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Ilmu ushul fikih
sebenarnya merupakan suatu ilmu yang tidak bisa diabaikan oleh seorang mujtahid
dalam upayanya memberi penjelasan mengenai nash-nash syari’at Islam, dan dalam
menggali hukum yang tidak memiliki nash. Ilmu ini juga merupakan suatu ilmu
yang ditemukan sebagai seorang hakim dalam usaha memahami materi undang-undang
secara sempurna, dan dalam menerapkan undang-undang itu dengan praktik yang
dapat menyatakan keadilan serta sesuai dengan makna materi yang diperlukan oleh
ulama’ fikih dalam melakukan pembahasan, pengkajian, penganalisaan dan
membandingkan antara beberapa madzhab dan pendapat.
Dalam ilmu ushul fikih ini terdapat banyak sekali pembahasan,
diantaranya adalah ‘urf yang akan kami coba diskusikan yang mana budaya atau ’urf
sebagai salah satu bagian dari ushul fiqh, apa yang mendasari ulama untuk
menjadikan hal tersebut sebagai salah satu pijakan hukum, bagaimana mereka
mengaplikasikannya di dalam kehidupan nyata masyarakat, hal yang tentunya tidak
semudah dengan apa yang sedang kita diskusikan, karena tidak semua ulama’
setuju, walaupun juga tidak sedikit yang tetap menjadikannya sebagai pijakan
hukum.
B.
Rumusan
Masalah
a. Pengertian ‘urf secara etimologi dan terminologi
b. Macam-macam ‘urf
c. Kedudukan ‘urf sebagai dalil Syara’
d. Syarat-syarat ‘urf
e. Kaidah-kaidah fikih yang berkaitan dengan ‘urf
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
‘Urf
Kata ‘urf secara etimologi yaitu, sesuatu yang di pandang baik dan diterima
oleh akal sehat. Adapun dari segi terminologi kata ‘urf mengandung makna:
مَااعْتَادَهُ النَّاسُ وَسَارُوْا عَلَيْهِ مِنْ
كُلِّ فِعْلٍ شَاعَ بَيْنَهُمْ, اَوْ لَفْظٌ تَعَارَفُوْا اِطْلاَ قَهُ عَلَي مَعْنَي
خَاصٍّ لاَ تَأَ لَّفَهُ اللُّغَةُ وَلاَ يَتَبَا دَرُ غَيْرَهُ عِنْدَ سِمَاعِهِ.
“sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka
mengikutinya dalam bentuk setiap perbuatan yang populer diantara mereka,
ataupun suatu kata yang biasa mereka kenal dengan pengertian tertentu, bukan
dalam pengertian etimologi, dan ketika mendengar kata itu, mereka tidak
memahaminya dalam pengertian lain”.
Kata ‘urf dalam pengertian terminologi sama dengan istilah al ‘adah
(kebiasaan), yaitu:
مَا اسْتَقَرَّ فِيْ النُّفُوْسِ مِنْ حِجَّةِ العُقُوْلِ وَتَلَقَّتْهُ
الطَّبَاعُ السَّلِيْمَةُ بِالقَبُوْلِ
“sesuatu yang telah mantap di dalam jiwa dari segi
dapatnya diterima oleh akal yang sehat dan watak yang benar”.[1]
Sedangkan menurut Abdul Karim Zaidah, istilah ‘urf berarti ialah sesuatu yang telah dikenali oleh masyarakat dan merupakan
kebiasaan dikalangan mereka baik berupa perkayaan, perbuatan atau
pantangan-pantangan dan juga bisa disebut dengan adat. Menurut istilah ahli
syara’, tidak ada perbedaan antara ‘urf dan adat (adat kebiasaan). Namun dalam
pemahaman biasa diartikan bahwa pengertian ‘urf lebih umum dibanding dengan
pengertian adat karena adat disamping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah
biasa dikerjakan dikalangan mereka, seakan-akan telah merupakan hukun tertulis,
sehingga ada sangsi-sangsi terhadap orang yang melanggarnya.[2]
Contohnya adat perbuatan,
seperti kebiasaan umat manusia berjual beli dengan tukar menukar secara
langsung, tanpa bentuk ucapan akad. Adat ucapan seperti kebiasaan manusia
menyebut al walad secara mutlak berarti anak laki-laki, bukan anak perempuan
dan kebiasaan mereka, juga kebiasaan mereka untuk tidak mengucapkan kata daging
sebagai ikan. Adat terbentuk dari kebiasaan manusia menurut derajat mereka,
secara umum maupun tertentu. Berbeda dengan ijma’, yang terbentuk dari
kesepakatan para mujtahid saja, tidak termasuk manusia secara umum. [3]
B.
Macam-macam ‘Urf
‘Urf atau adat itu ada dua macam, yaitu adat yang benar dan adat yang
rusak. Adat yang benar adalah kebiasaan yang dilakukan manusia, tidak
bertentangan dengan dalil syara’, tidak menghalalkan yang haram dan tidak
membatalkan kewajiban. Sedangkan adat yang rusak adalah kebiasaan yang
dilakukan oleh manusia tetapi bertentangan dengan syara’, menghalalkan yang
haram atau membatalkan kewajiban.[4]
Penggolongan
macam-macam adat atau ‘urf itu juga dapat dilihat dari beberapa segi:
1. Ditinjau dari segi materi yang biasa dilakukan. Dari segi ini ‘urf ada dua
macam:
a. ‘Urf qauli, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata atau
ucapan. Contohnya, kata Waladun secara etimologi artinya “anak” yang
digunakan untuk anak laki-laki atau perempuan. Berlakunya kata tersebut untuk
perempuan karena tidak ditemukannya kata ini khusus untuk perempuan dengan
tanda perempuan (Mu’annats). Penggunaan kata Walad itu untuk anak
laki-laki dan perempuan, (mengenahi waris atau harta pusaka) berlaku juga dalam
al-Qur’an, seperti dalam surat an-Nisa’ (4): 11-12. Seluruh kata walad
dalam kedua ayat tersebut yang disebutkan secara berulang kali, berlaku untuk
anak laki-laki dan perempuan.
b. ‘Urf fi’li, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan. Umpamanya; (1) jual
beli barang-barang yang enteng (murah dan tidak begitu bernilai) transaksi
antara penjual dan pembeli cukup hanya menunjukkan barang serta serah terima
barang dan uang tanpa ucapan transaksi (akad) apa-apa. Hal ini tidak menyalahi
aturan akad dalam jual beli. (2) kebiasaan saling mengambil rokok di antara
sesama teman tanpa adanya ucapan meminta dan memberi, tidak dianggap mencuri.
2. Dari segi ruang lingkup penggunaannya
a.
Adat
atau ‘urf umum, yaitu kebiasaan yang telah umum berlaku di mana-mana, hampir di
seluruh penjuru dunia, tanpa memandang negara, bangsa dan agama. Umpamanya:
menganggukkan kepala tanda menyetujui dan menggelengkan kepala tanda menolak
atau meniadakan. Kalau ada orang berbuat kebalikan dari itu, maka dianggap aneh
atau ganjil.
b.
Adat atau ‘urf khusus, yaitu kebiasaan yang
dilakukan oleh sekelompok orang tertentu atau pada waktu tertentu; tidak
berlaku di semua tempat dan sembarang waktu. Contohnya, orang Sunda menggunakan
kata “paman” hanya untuk adik dari ayah; sedangkan orang Jawa menggunakan kata
“paman” itu untuk adik dan kakak dari ayah.
3. Dari segi penilaian baik dan buruk:
a.
Adat
yang shahih, yaitu adat yang berulang ulang dilakukan, diterima oleh
orang banyak, tidak bertentangan dengan agama, sopan santun dan budaya yang
luhur. Contohnya, memberi hadiah kepada orang tua dan kenalan dekat dalam
waktu-waktu tertentu, mengadakan acara halal bihalal (silaturrahmi) saat
hari raya; memberi hadiah sebagai suatu penghargaan atas suatu prestasi.
b.
Adat
yang fasid, yaitu adat yang berlaku di suatu tempat meskipun merata
pelaksanaannya, namun bertentangan dengan agama, undang-undang negara daan
sopan santun. Contohnya, berjudi untuk merayakan suatu peristiwa; pesta dengan
menghidangkan minuman haram; membunuh anak perempuan yang baru lahir; kumpul
kebo (hidup bersama tanpa nikah).[5]
C.
Kedudukan ‘Urf sebagai
dalil Syara’
Para ulama’ sepakat bahwa ‘urf shahih dapat dijadikan dasar hujjah
selama tidak bertentangan dengan Syara’. Ulama’ Malikiyyah terkenal dengan
pernyataan mereka bahwa amal ulama’ Madinah dapat dijadikan hujjah, demikian
pula ulama’ Hanafiyah menyatakan bahwa pendapat ulama’ Kufah dapat dijadikan
dasar hujjah. Imam Syafi’i terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadidnya. Ada suatu kejadian tetapi beliau menetapkan
hukum yang berbeda pada waktu beliau masih berada di Makkah (qaul qadim) dengan
setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga
madzhab itu berhujjah dengan ‘urf. Tentu saja ‘urf fasid tidak mereka jadikan
sebagai dasar hujjah.
Adapun kehujjahan ‘urf sebagai dalil syara’ didasarkan atas
argumen-argumen berikut ini:
a.
Firman
Allah pada surah al-A’raf ayat 199
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
Artinya:
“Jadilah
engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah
dari pada orang-orang bodoh”.
Melalui ayat di atas Allah memerintahkan kaum muslimin untuk
mengerjakan yang ma’ruf. Sedangkan yang disebut sebagai ma’ruf itu sendiri
ialah, yang dinilai oleh kaum muslimin sebagai kebaikan, dikerjakan
berulang-ulang, dan tidak bertentangan dengan watak manusia yang benar, yang
dibimbing oleh prinsip-prinsip umum ajaran Islam.
b.
Ucapan
sahabat Rasulullah SAW; Abdullah bin Mas’ud:
فَمَا رَاَهُ المُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَارَاَهُ
المُسْلِمُوْنَ سَيْئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيْئٌ
Artinya:
“Sesuatu
yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik di sisi Allah, dan sesuatu
yang mereka nilai buruk maka ia buruk di sisi Allah”.
Ungkapan Abdullah bin Mas’ud di atas, baik dari segi redaksi maupun
maksudnya, menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan baik yang berlaku di dalam
masyarakat muslim yang sejalan dengan tuntunan umum syari’at Islam adalah juga
merupakan sesuatu yang baik di sisi Allah. Sebaliknya, hal-hal yang
bertentangan dengan kebiasaan-kebiasaan yang dinilai baik oleh masyarakat, akan
melahirkan kesulitan dan kesempitan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal dalam
pada itu, Allah berfirman pada surat al-Maidah ayat 6:
مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَٰكِنْ
يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَشْكُرُونَ
Artinya:
“Allah
tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur”.[6]
Adat yang benar, wajib diperhatikan dalam pembentukan hukum Syara’
dan putusan perkara. Seorang mujtahid harus memperhatikan hal ini dalam
pembentukan hukumnya dan bagi hakim juga harus memperhatikan hal itu dalam
setiap putusannya. Karena apa yang sudah diketahui dan dibiasakan oleh manusia adalah
menjadi kebutuhan mereka, disepakati dan ada kemaslahatannya.
Adapun adat yang rusak, maka tidak boleh diperhatikan, karena
memperhatikan adat yang rusak berarti menentang dalil Syara’ atau membatalkan
hukum Syara’.
Hukum yang didasarkan pada adat akan berubah seiring perubahan
waktu dan tempat, karena masalah baru bisa berubah sebab perubahan masalah
asal. Oleh karena itu, dalam hal perbedaan pendapat ini para ‘ulama fikih
berkata: “Perbedaan itu adalah pada waktu dan masa, bukan pada dalil dan
alasan.[7]
D. Syarat-syarat ‘Urf
Tidak semua ‘urf bisa dijadikan sandaran hukum. Akan tetapi,
harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
1. ’Urf itu berlaku umum. Artinya, ‘urf itu dipahami oleh semua lapisan
masyarakat, baik di semua daerah maupun pada daerah tertentu. Oleh karena itu,
kalau hanya merupakan ‘urf orang-orang tententu saja, tidak bisa
dijadikan sebagai sebuah sandaran hukum.
2. Tidak
bertentangan dengan nash Syar’i, yaitu ‘Urf yang selaras dengan nash Syar’i. ‘Urf ini harus dikerjakan,
namun bukan karena dia itu ’urf, akan tetapi karena dalil tersebut.
Misalnya:
‘Urf di masyarakat bahwa seorang suami harus
memberikan tempat tinggal untuk istrinya. ‘Urf semacam ini berlaku dan harus
dikerjakan, karena Allah SWT berfirman:
أَسْكِنُوهُنَّ
مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا
عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى
يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ
أُخْرَى
Artinya:
“Tempatkanlah
mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan
janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika
mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah
kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan
musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu
menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”.(QS.
Ath-Thalaq
[65]:6)
3. ‘Urf
itu sudah berlaku sejak lama, bukan sebuah ‘urf baru yang barusan
terjadi. Misalnya:
Maknanya kalau ada seseorang yang mengatakan demi
Allah, saya tidak akan makan daging selamanya. Dan saat dia mengucapkan kata tersebut yang
dimaksud dengan daging adalah daging kambing dan sapi. Lalu lima tahun kemudian ‘urf masyarakat
berubah bahwa maksud daging adalah semua daging termasuk daging ikan. Lalu
orang tersebut makan daging ikan, maka orang tersebut tidak dihukumi melanggar
sumpahnya karena sebuah lafadh tidak didasarkan pada ‘urf yang muncul
belakangan.
4. Tidak
berbenturan dengan tashrih. Jika sebuah ‘urf berbenturan dengan tashrih
(ketegasan seseorang dalam sebuah masalah), maka ‘urf itu tidak berlaku.
Misalnya:
Kalau seseorang bekerja di sebuah kantor dengan
gaji bulanan Rp. 500.000,- tapi pemilik kantor tersebut mengatakan bahwa gaji
ini kalau masuk setiap hari termasuk hari Ahad dan hari libur. Maka
wajib bagi pekerja tersebut untuk masuk Setiap hari maskipun ‘urf masyarakat
memberlakukan hari Ahad libur.
5. ‘Urf
tidak berlaku atas sesuatu yang telah disepakati
Hal ini sangatlah penting karena bila ada ’urf yang
bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh para ulama (dalam hal ini
’Ijma) maka ’urf menjadi tidak berlaku, terlebih bila ’urfnya bertentangan
dengan dalil Syar’i.[8]
E.
Kaidah-kaidah Urf
Di terimanya ‘urf
sebagai landasan pembentukan hukum memberi peluang lebih luas bagi dinamisasi
hukum islam. Sebab, di samping banyak masalah-masalah yang tidak tertampung
oleh metode-metode lainnya seperti qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah yang
dapat di tampung oleh adat istiadat ini, juga ada kaidah yang menyebutkan bahwa
hukum yang pada mulanya di bentuk oleh mujtahid berdasarkan ‘urf, akan berubah
bilamana ‘urf itu berubah.
Inilah yang di maksud oleh para ulama, antara lain
ibnu al-Qoyyim al-Jauziyah (w. 751 H) bahwa tidak diingkari adanya perubahan
hukum dengan adanya perubahan waktu dan tempat “ تغيير الأحكام بتغييرالأزمان والأمكنة” maksud ungkapan ini adalah bahwa hukum-hukum fikih yang tadinya dibentuk
berdasarkan adat istiadat yang baik, hukum itu akan akan berubah bilamana adat
istiadat itu berubah.
Ada beberapa kaidah fikhiyyah yang berhubungan dengan ‘urf, diantaranya
adalah:
1. Adat itu adalah hukumالعَادَةُ
المُحْكَمَةُ
2. Apa yang telah ditetapkan oleh syara’ secara umum tidak ada ketentuan yang
rinci di dalamnya dan juga tidak ada dalam bahasa, maka ia dikembalikan pada ‘urf. Abdul Hamid Hakim mendasarkan dua
kaidah atas ayat 199 surat Al-A’raf:
أمْرٌ بِالعُرْفُوْا عَرَضْنَا الجَهِلِيْنَ
“Suruhlah orang
mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang bodoh”.
3. Tidak diingkari bahwa perubahan hukum disebabkan oleh perubahan zaman dan
tempat.
لاَ تغيرالأحكام بتغيير الأزمنة والامكنة
4. Yang baik itu jadi ‘urf seperti yang disyaratkan jadi syarat
المعروف عرفا كالمشروط شرطا
5. Yang ditetapkan melalui ‘urf seperti yang ditetapkan melalui nash
الثابت بالعرف كالثابت بالنص
Tapi perlu diperhatikan bahwa hukum disini bukanlah seperti hukum yang ditetapkan
melalui al-Qur’an dan Sunnah akan tetapi hukum yang ditetapkan melalui ‘urf itu
sendiri.
BAB III
KESIMPULAN
Kata ‘Urf secara etimologi berarti “ sesuatu yang di pandang baik dan
diterima oleh akal sehat”. Sedangkan Menurut istilah
ahli syara’, tidak ada perbedaan antara “Urf dan adat (adat kebiasaan). Namun
dalam pemahaman biasa diartikan bahwa pengertian ‘Urf lebih umum dibanding
dengan pengertian adat.
Macam-macam adat atau al ‘Urf:
1. Ditinjau dari segi materi:
a.
‘Urf qauli
b.
‘Urf fi’li
2. Ditinjau dari segi ruang lingkup:
a.
‘Urf umum
b.
‘Urf
khusus
3. Ditinjau dari segi penilaian baik dan buruk:
a.
‘Urf shahih
b.
‘Urf fasid
Adat yang benar, wajib diperhatikan dalam pembentukan hukum syara’
dan putusan perkara.Adapun adat yang rusak, maka tidak boleh diperhatikan,
karena memperhatikan adat yang rusak berarti menentang dalil syara’ atau
membatalkan hukum syara’.
Dalam mengambil hukum ‘urf ini juga ada syarat-syarat yang harus
dipenuhi, karena tidak semua ‘urf bisa dijadikan hukum, diantaranya adalah:
a.
’Urf itu berlaku umum
b.
Tidak bertentangan dengan nash syar’i
c.
‘Urf itu sudah berlaku sejak lama
d.
Tidak berbenturan dengan tashrih
e. ‘Urf
tidak berlaku atas sesuatu yang telah disepakati.
Ada beberapa kaidah fikhiyyah yang berhubungan dengan ‘urf, diantaranya adalah:
1. Adat itu adalah hukum
2. Apa yang telah ditetapkan oleh syara’ secara umum tidak ada ketentuan yang
rinci di dalamnya dan juga tidak ada dalam bahasa, maka ia dikembalikan pada
‘urf.
3. Tidak diingkari bahwa perubahan hukum disebabkan oleh perubahan zaman dan
tempat.
4. Yang baik itu jadi ‘urf seperti yang disyaratkan jadi syarat
5. Yang ditetapkan melalui ‘urf seperti yang ditetapkan melalui nash
BAB IV
PENUTUP
Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin. Demikianlah makalah yang dapat kami
buat, kami menyadari akan keterbatasan pengetahuan kami dalam pembuatan makalah
ini. Untuk itu, kami mengharap adanya kritik dan saran dari pembaca demi
sempurnanya makalah kami yang selanjutnya. Kami mohon maaf atas segala
kekurangan makalah yang kami buat ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin, Prof. Dr. H. Amir. 2011. Ushul Fikih 2. Prenada
Media Grup:Jakarta
Khallaf, Abdul Wahhab. 1977. Ilmu Ushul Fikih (Kaidah Hukum
Islam). Pustaka Amani:Jakarta.
Umar, Drs. Muin, dkk. 1986. Ushul Fiqh 1. Depag RI: Jakarta.
Dahlan, M. A, Dr. H. Abd. Rahman. 2011. Ushul Fiqh. Amzah:
Jakarta
http://viewislam.wordpress.com/2009/04/15/urf-sebagai-salah-satu-metode-ushul-fiqih-dalam-meng-istimbath-setiap-permasalahan-dalam-kehidupan/.
[1] Dr. H.
Abd. Rahman Dahlan, M.A, Ushul Fiqh, Jakarta:Amzah, hlm, 209.
[2]Drs. Muin
Umar dkk, Ushul Fiqh 1, Jakarta:Depag RI, hlm. 150.
[3] Prof.
Dr. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (kaidah hukum Islam),
Jakarta:Pustaka Amani, hlm. 117.
[4]Ibid.
[5] Prof.
Dr. H. Amin Syarifuddin, Ushul Fikih 2, Jakarta:Prenada Media Grup, hlm.
389-392.
[6] Dr. H.
Abd. Rahman Dahlan, M.A, Ushul Fiqh, Jakarta:Amzah, hlm. 212-213
[7] Prof.
Dr. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (kaidah hukum Islam),
Jakarta:Pustaka Amani, hlm. 118-119.
[8]http://viewislam.wordpress.com/2009/04/15/urf-sebagai-salah-satu-metode-ushul-fiqih-dalam-meng-istimbath-setiap-permasalahan-dalam-kehidupan/.
No comments:
Post a Comment
Pembaca Yang Baik Selalu Meninggalkan Jejak Yang Baik :)
Jangan Lupa Like Dan Komentarnya :)