Compiled by: ANDIKAMAULANA
I.
PENDAHULUAN
Kata "penghimpunan al-Qur'an (Jam'
al-Qur'an) terkadang dmaksudkan sebagai "pemeliharaan dan penjagaan dalam
dada" (penghafalan), dan terkadang dimaksudkan sebagai "penulisan
seluruhnya, huruf demi huruf, kata demi kata, ayat demi ayat dan surat-demi
surat" (penulisan). Yang kedua ini medianya adalah shahifah-shahifah dan
lembaran-lembaran lainnya. Sedang yang pertama medianya adalah hati dan dada.
Selanjutnya, penghimpunan al-Qur'an dalam pengertian "penulisannya"
pada masa awal berlangsung tiga kali. Pertama, pada masa Nabi SAW. Kedua, pada
masa kekhalifahan Abu Bakar RA. Dan ketiga, pada masa kekhalifahan Utsman RA.
Pada kali yang terakhir kali itulah, dilakukan penyalinan menjadi beberapa
mushhaf dan dikirim ke berbagai daerah.[1]
Pada makalah kami ini, insya Allah kami akan
menjelaskan pengumpulan al-Qur'an dalam arti "penghafalan di lubuk
hati" dan penghimpunan al-Qur'an dalam arti "penulisan" yang
medianya shahifah-shahifah dan lembaran-lembaran lainnya.
II.
POKOK PEMBAHASAN
1. Pengertian Jam' Al-Qur'an.
2. Penghimpunan Al-Qur'an dalam Arti Penghafalan
pada Masa Rasulullah SAW.
3. Penghimpunan Al-Qur'an dalam Arti Penulisan
Al-Qur'an pada Masa Rasulullah SAW.
4. Penghimpunan Al-Qur'an pada Masa Abu Bakar RA.
5. Penghimpunan Al-Qur'an pada Masa Utsman RA.
6. Utsman RA Membakar Mushhaf.
III. PEMBAHASAN
A.
Pengertian Jam' Al-Qur'an.
Di dalam kamus 'Ulum
al-Qur'an dikenal istilah Jam' al-Qur'an. Istilah ini, menurut Dr. Shubhiy
Shalih dalam Mabahits fi 'Ulum al-Qur'an mempunyai dua pengertian, yaitu
al-hifzhu (menghafal) dan al-kitabah, yakni menulis al-Qur'an
pada benda-benda yang dapat ditulis.[2]
Istilah Jam'
al-Qur'an bisa juga digunakan untuk salah satu pengertian dibawah ini:
1. Menghafal al-Qur'an di lubuk hati. Oleh karena
itu, para penghafal al-Qur'an disebut juga Jamma' al-Qur'an.
2. Menuliskannya pada alat-alat yang tersedia,
akan tetapi ayat-ayat dan surah-surah tersebut terpisah-pisah; atau
ayat-ayatnya tersusun, tetapi surah-surahnya terpisah-pisah. Masing-masing
surah tertulis pada lembaran-lembaran kulit.
3. Menuliskannya secara bersambung ayat-ayatnya
dan tersusun surah-surahnya di dalam satu mushhaf.
4. Memindahkan dan menuliskannya berdasarkan satu
qira'at yang mutawatir di dalam suatu mushhaf.
Aplikasi
pengertian-pengertian tersebut berjalan lebih dari satu periode. Untuk
pengertian pengumpulan yang pertama, yaitu penghafalan di lubuk hati, maka dada
Rasulullah SAW dan dada-dada para sahabat RA merupakan lauh (tempat menulis) yang
di dalamnya terukir al-Qur'an pada masanya. Penghafalannya telah dilakukan oleh
ratusan orang muslim.
Pengertian yang
kedua, terlaksana pada masa Rasulullah SAW dan pada masa sebagian sahabat,
sedangkan pengertian yang ketiga terlaksana pada masa Abu Bakar RA, setelah
wafatnya Rasulullah SAW. Adapun pengertian yang keempat, adalah pengertian yang
dilakukan oleh khalifah Utsman bin'Affan RA.[3]
B.
Penghimpunan Al-Qur'an dalam Arti Penghafalan
pada Masa Rasulullah SAW.
Al-Qur'an turun
kepada Nabi SAW. Mulanya, perhatian beliau tertuju sepenuhnya kepada
penghafalan terhadapnya, kemudian beliau membacakannya kepada orang-orang,
sedikit demi sedikit agar mereka juga mampu menghafalnya dengan baik.
Pertimbangannya yang sangat mendesak adalah karena beliau seorang Nabi ummi
yang diutus oleh Allah SWT kepada masyarakat yang ummi pula. Allah SWT
berfirman:
Dia-lah yang
mengutus kepada kaum yang ummi seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan
ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan
Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam
kesesatan yang nyata, (QS. Al-Jumu’ah: 2)
Salah satu watak
ummi adalah mengerahkan segenap kekuatan hafalannya terhadap apa yang
dianggapnya penting. Lebih-lebih bila mereka diberi kekuatan hafalan yang
lebih, maka akan membuat mereka lebih mudah menghafal. Demikian pula, bangsa
Arab sewaktu al-Qur'an turun. Mereka memiliki watak-watak ke-Arab-an yang khas,
yang antara lain cepat hafal dan keenceran hati, sehingga hati mereka merupakan
senjata, akal mereka merupakan lembaran-lembaran nasab dan sejarah mereka, dan
hafalan-hafalan mereka merupakan buku-buku sya'ir dan kebanggaan mereka.
Kemudian turunlah al-Qur'an, yang mengagetkan mereka dengan kejelasannya,
menarik perhatian mereka dengan kekuatannya, dan mempengaruhi mereka dengan
kebaikan redaksi dan pengertiannya. Al-Qur'an berhasil membangkitkan kehidupan
baru mereka, setelah mereka sadar bahwa al-Qur'an adalah spirit hidup.
Sedangkan Nabi SAW,
antusias untuk menghafal al-Qur'an dan mendorong beliau untuk menggerakkan
lidah , meski dalam kondisi yang amat berat menghadapi wahyu dan Jibril sedang
turun. Rasul SAW melakukan hal itu demi mendapatkan hafalan yang cepat, karena
khawatir ada satu kata atau satu huruf yang terlewatkan. Nabi SAW terus
melakukan hal seperti itu, sampai Allah SWT menenangkan hati beliau dengan
berjanji akan menghimpun al-Qur'an ke dalam hati beliau dan membuat beliau
mudah membaca serta memahami pengertiannya. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman
kepada beliau:
16. janganlah
kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat
(menguasai)nya.[4]
17. Sesungguhnya
atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya.
18. apabila Kami
telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.
19. Kemudian,
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya.
(QS. Al-Qiyamah: 16-19)
Di dalam surat Thaha, Dia berfirman:
Maka Maha Tinggi
Allah raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al
qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu[5], dan Katakanlah: "Ya Tuhanku,
tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan." (QS.
Thaha: 114)
Dari sinilah, Nabi
SAW menjadi penghimpun al-Qur'an di dalam hati beliau yang mulia, tuan para
hafidz pada masa beliau, dan rujukan kaum muslimin mengenai segala persoalan
yang menyangkut al-Qur'an dan ilmu-ilmunya. Beliau membacakannya kepada
masyarakat sedikit demi sedikit, sebagaimana yang diperintahkan oleh Tuhannya.
Dengan al-Qur'an itulah, beliau menghidupkan malam dan menghiasi shalat. Jibril
AS setiap tahun membacakan ulang dihadapan beliau sekali. Dan pada tahun
terakhir, dua kali. Aisyah dan Fatimah RA berkata: kami mendengar Rasulullah
SAW bersabda: "Sesunguhnya Jibril membacakan al-Qur'an kepadaku sekali
setiap tahun. Dan pada tahun ini, dia membacakannya kepadaku sebanyak dua kali.
Saya yakin ini pertanda ajalku (telah dekat)."[6]
C.
Penghimpunan Al-Qur'an dalam Arti Penulisan
Al-Qur'an pada Masa Rasulullah SAW.
Kami mengatakan
bahwa mula-mula perhatian Rasulullah SAW dan para sahabatnya tertuju pada penghimpunan
al-Qur'an ke dalam hati, yakni dengan cara menghafalnya, dengan pertimbangan
mendesak, beliau merupakan seorang Nabi yang ummi yang diutus kepada umat yang
ummi pula. Tambahan lagi, alat-alat tulis tidaklah mudah mereka dapatkan pada
waktu itu. Oleh karena itu, tumpuan kepada hafalan melebihi tumpuan pada
tulisan. Di samping itu, sudah menjadi tradisi bangsa Arab waktu itu,
menjadikan lembaran dada dan hati mereka sebagai media modifikasi syair-syair,
silsilah keluarga, kebanggaan-kebanggaan dan hari-hari mereka.
Akan tetapi
al-Qur'an memang mendapatkan perhatian lengkap, dari Nabi SAW dan para sahabat.
Perhatian mereka untuk menghafalnya tidak memalingkan mereka dari perhatian
untuk menulis dan menggoreskannya. Tetapi tentu saja sesuai dengan kemampuan
sarana-sarana tulis waktu itu.
Rasulullah SAW
sendiri telah mengangkat beberapa penulis wahyu. Setiap kali ada wahyu yang
turun, beliau menyuruh mereka menulisnya, demi memperkokoh dokumentasinya,
disamping menambah keterpercayaan dan kehati-hatian terhadap Kitabullah Ta'ala,
sehingga penulisan mendukung hafalan dan goresan mengukuhkan ucapan.
Para penulis itu
diambil dari sahabat pilihan, antara lain Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali,
Muawiyah, Abban ibn Sa'id, Khalid ibn al-Walid, Ubay ibn Ka'b, Zaid ibn Tsabit,
Tsabit ibn Qais dan lain-lain. Rasulullah SAW selalu memberikan bimbingan
mengenai letak ayat itu harus ditulis. Mereka menulisnya pada sarana yang mudah
mereka dapatkan, seperti pelapah kurma, batu-batu tipis, lembaran terbuat dari
kulit atau yang lain, potongan-potongan kulit, tulang-tulang belikat dan
lain-lain. Kemudian tulisan-tulisan itu diletakkan di rumah Rasulullah SAW.
Demikianlah, masa kenabian telah paripurna, dan al-Qur'an telah dihimpun
sempurna melalui cara seperti itu. Hanya saja, ia belum ditulis dalam
shahifah-shahifah atau mushaf-mushaf . Ia tertulis berserakan, di atas
tulang-tulang dan yang sejenisnya.
Diriwayatkan dari
Ibn Abbas, katanya: Rasulullah SAW, jika turun kepada beliau suatu surat, maka
beliau akan memanggil sebagian orang yang akan menulisnya. Lalu beliau
bersabda: "Letakkanlah surat ini pada tempat yang menyebutkan begini dan
begini." Dan dari Zaid ibn Tsabit juga meriwayatkan, katanya: kami berada
di sisi Rasulullah SAW, menyusun al-Qur'an dari lempengan-lempengan batu."
Penyusunan itu
merupakan kegiatan meruntutkan ayat-ayat sesuai dengan bimbingan Nabi SAW hasil
pengajaran langsung dari Jibril AS. Diriwayatkan, bahwa Jibril AS berkata:
"Letakkanlah yang ini ditempat ini." tak pelak lagi, bahwa Jibril
tidak akan mengetahui hal itu kecuali dari Allah SWT.
Pendeknya, al-Qur'an
telah tertulis seluruhnya pada masa Rasulullah SAW. Hanya saja, sebagian
sahabat juga menulis ayat-ayat yang telah terhapus bacaannya dan yang
diriwayatkan melalui khabar ahad. Bahkan kadang-kadang ada yang menulisnya
secara tidak runtut. Al-Qur'an pada masa itu belum dihimpun di dalam
shahifah-shahifah atau mushaf-mushaf.[7]
D.
Penghimpunan Al-Qur'an pada Masa Abu Bakar RA.
Al-Qur’an
seluruhnya rampung ditulis pada masa Rasulullah SAW masih hidup, hanya saja
ayat-ayat dan surah-surahnya masih terpisah. Orang pertama yang menghimpun
al-Qur’an sesuai kehendak Rasulullah adalah Abu Bakar ash-Shiddiq. Abu
‘Abdullah al-Muhasabi mengatakan dalam buku Fahmus
Sunnah: “Penulisan al-Qur’an bukan soal baru, karena Rasulullah SAW sendiri
telah memerintahkan penulisannya. Tapi ketika itu masih tercecer pada berbagai
lembaran kulit dan daun., tulang-tulang unta dan kambing yang kering, atau pada
pelepa kurma. Kemudian, Abu Bakar ash-Shiddiq memerintahkan pengumpulannya
menjadi sebuah naskah. Juga naskah al-Qur’an yang tertulis pada
lembaran-lembaran kulit yang terdapat di dalam rumah Rasulullah SAW saat itu
masih dalam keadaan terpisah-pisah. Kemudian dikumpulkan oleh seorang sahabat,
lalu diikatnya dengan tali agar tidak ada yang hilang.
Abu
Bakar memerintahkan kodifikasi al-Qur’an seusai perang Yamamah, tahun ke 12 H,
perang antara muslimin dan kaum murtad (pengikut Musailamah al-Kadzab yang
mengaku dirinya nabi baru) di mana 70 penghafal al-Qur’an di kalangan sahabat
Nabi gugur. Melihat kenyataan itu “Umar bin Khattab RA merasa sangat khawatir,
lalu mengusulkan supaya diambil langkah untuk usaha kodifikasi al-Qur’an.
Bukhari meriwayatkan sebuah hadits di dalam shahihnya, bahwa Zaid bin Tsabit RA
menceritakan kesaksiannya sendiri sebagai berikut:
“Di
saat berkecamuknya perang Yamamah, Abu Bakar minta supaya aku dating kepadanya.
Setibanya aku di rumahnya, kulihat ‘Umar bin Khattab sudah berada di sana. Abu
Bakar lalu berkata: ‘Umar datang kepadaku melaporkan bahwa perang Yamamah
bertambah sengit dan banyak para penghafal al-Qur’an yang gugur. Ia khawatir kalau-kalau
peperangan yang dahsyat itu akan mengakibatkan lebih banyak lagi para penghafal
al-Qur’an gugur. Karena itu ia berpendapat supaya sebaiknya aku segera
memerintahkan kodifikasi al-Qur’an. Kukatakan kepada ‘Umar: “Bagaimana mungkin
kita melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah SAW? ‘Umar
menyahut: “Demi Allah, itu (kodifikasi al-Qur’an) adalah kebajikan.” ‘Umar
berulang-ulang mendesak dan pada akhirnya Allah membukakan dadaku sehingga aku
sependapat dengannya.” Dalam kesaksian itu Zaid bin Tsabit lebih jauh
mengatakan: “Abu Bakar berkata kepadaku: “Engkau seorang muda, cerdas dan
terpercaya. Dahulu engkau bertugas sebagai pencatat wahyu, membantu Rasulullah.
Dan seterusnya engkau mengikuti al-Qur’an, karena itu laksanakanlah tugas
menghimpun (kodifikasi) al-Qur’an. Demi Allah kata Zaid lebih lanjut – seumpama
orang membebani kewajiban kepadaku untuk memindahkan sebuah gunung, kurasa
tidak lebih berat daripada perintah kodifikasi al-Qur’an yang diberikan
kepadaku! Kukatakan kepada Abu Bakar RA: “Bagaimana kita boleh melakukan
sesuatu pekerjaan yang tidak dilakukan oleh Rasulullah SAW? Abu Bakar menjawab:
Demi Allah, pekerjaan itu adalah kebajikan! Abu Bakar terus-menerus mengimbau
sampai Allah membukakan dadaku sebagaimana Allah telah membukakan dada Abu
Bakar dan ‘Umar. Kemudian aku mulai bekerja menelusuri ayat-ayat dan kuhimpun
dari catatan-catatan pelapah kurma, batu-batu (tembikar) dan di dalam dada para
penghafal al-Qur’an. Akhir surah at-Taubah kutemukan pada Abu Khuzaimah
al-Anshari, tidak ada pada orang lain, yaitu firman Allah:
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat
terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan)
bagimu, Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin.
Jika mereka berpaling (dari keimanan), Maka
Katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. hanya
kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang
agung". (QS.
At-Taubah: 128-129)
Lembaran-lembaran
al-Qur’an itu berada pada Abu Bakar hingga wafatnya, kemudian pindah ke tangan
‘Umar dan setelah ‘Umar wafat seluruh lembaran disimpan Hafshah binti ‘Umar.[8]
E.
Penghimpunan Al-Qur'an pada Masa Utsman RA.
Bukhari
dalam Shahihnya mengetengahkan sebuah hadits dengan isnad-nya Ibnu Syihab,
bahwa Anas bin Malik memberitahukan kepadanya (Ibnu Syihab): Ketika pasukan
Syam bersama pasukan Irak berperang membela dakwah agam Islam di Armenia dan
Adzerbeidzan, Hudzaifah bin al-Yaman datang menghadap khalifah ‘Utsman.
Hudzaifah mengutarakan kekhawatirannya tentang perbedaan bacaan al-Qur’an di
kalangan muslimin. Kepada ‘Utsman, Hudzaifah berkata: “Ya Amirul mu’minin,
persatukanlah segera umat ini sebelum mereka berselisih mengenai Kitabullah
sebagaimana yang terjadi di kalangan Yahudi dan nasrani”. Khalifah ‘Utsman
kemudian mengirim sepucuk surat kepada Hafshah, berisi permintaan agar Hafshah
mengirimkan mushaf yang disimpannya untuk disalin menjadi bebarapa naskah.
Setelah itu kemudian mushaf akan dikembalikan lagi. Hafshah lalu mengirimkan
mushaf yang disimpannya kepada khalifah ‘Utsman. Khalifah kemudian
memerintahkan Zaid bin Tsabit, ‘Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al-‘Ash dan ‘Abdurrahman
bin al-Harits bin Hisyam supaya bekerja bersama-sama menyalin mushaf menjadi
beberapa naskah. Kepada tiga orang Quraiys di antara mereka itu ‘Utsman
berpesan: “Kalau terjadi perbedaan antara kalian dan Zaid bin Tsabit mengenai
suatu tentang al-Qur’an, maka tulislah menurut dialek Quraiys, karena al-Qur’an
diturunkan dalam bahasa mereka”. Mereka lalu bekerja melaksanakan tugas itu
hingga berhasil menyalin mushaf menjadi beberapa naskah. Setelah itu mushaf
asli dikembalikan kepada Hafshah, sedangkan beberapa naskah salinannya dikirim
ke berbagai kawasan Islam. Bersamaan dengan itu khalifah memerintahkan supaya
semua catatan tentang ayat-ayat al-Qur’an atau mushaf-mushaf lain yang
bertebaran di kalangan muslimin, segera dibakar.[9]
F.
Utsman RA Membakar Mushhaf.
Utsman, melalui
"Panitia Empat" yang dibentuknya, berhasil menyalin dan menggandakan
mushaf. Mushaf-mushaf itu dikirimkan ke beberapa wilayah kekuasaannya. Kini
tinggal satu lagi usaha, yaitu membakar mushaf lainnya. Ia khawatir kalau-kalau
mushaf yang bukan salinan "Panitia Empat" itu tetap beredar. Padahal
pada mushaf-mushaf yang peredarannya dikhawatirkan itu terdapat kalimat yang
bukan al-Qur'an karena merupakan catatan khusus sahabat-sahabat tertentu. Di
sana terdapat juga beberapa kalimat yang merupakan tafsiran, dan bukan kalam
Allah.
Utsman memutuskan
agar mushaf-mushaf yang beredar adalah mushaf yang memenuhi persayaratan
berikut.
1. Harus terbukti mutawtir, tidak ditulis
berdasarkan riwayat ahad.
2. Mengabaikan ayat yang bacaannya di nasakh dan
ayat tersebut tidak diyakini dibaca kembali di hadapan Nabi pada saat-saat
terakhir.
3. Kronologi surah dan ayat seperti yang dikenal
sekarang ini, berbeda dengan Mushaf Abu Bakar yang susunan surahnya berbeda
dengan Mushaf Utsman.
4. Sistem penulisan yang digunakan Mushaf mampu
mencakupi qiraat yang berbeda sesuai dengan lafadz-lafadz al-Qur'an ketika
turun.
5. Semua yang bukan termasuk al-Qur'an
dihilangkan. Misalnya yang ditulis di mushaf sebagian sahabat di mana mereka
juga menulis makna ayat di dalam mushaf, atau penjelasan nasikh-mansukh.
Bagaimana dengan
mushaf Abu Bakar? Setelah dipinjam untuk disalin, Utsman megembalikannya kepada
Hafshah. Mushaf itu tetap berada ditangannya hingga ia wafat. Dalam bukunya Mabahits
fi 'Ulum al-Qur'an, Dr. Shubhiy Shalih yang mengutip keterangannya dari
kitab Al-Mashahif, karya Ibnu Abi Daud, menurunkan riwayat sebagai berikut:
"Marwan telah berusaha mengambilnya (mushaf) dari tangannya (Hafshah)
untuk kemudian membakarnya, tetapi ia (Hafshah) tidak mau menyerahkannya. Sampai
ketia ia (Hafshah) wafat, Marwan mengambil mushaf tersebut dan
membakarnya."
Bila dianalisis baik
keengganan Hafshah menyerahkan mushaf maupun Marwan yang bersikeras meminta
Mushaf yang ada pada Hafshah dapat dimengerti. Hafshah enggan menyerahkan
Mushaf Abu Bakar yang ia terima dari ayahnya, Umar; karena ia tahu, mushaf
itulah yang disalin oleh Utsman untuk disebarluaskan ke beberapa daerah.
Sementara Marwan berkeinginan agar masyarakat hanya mengenal satu mushaf, demi
persatuan. Marwan tahu bahwa penulisan Mushaf Utsman dilakukan dengan
menggunakan kaedah-kaedah tertentu tetapi memperhatikan qiraat-qiraat yang
dibenarkan Rasulullah SAW.[10]
IV. KESIMPULAN
Kata "penghimpunan al-Qur'an (Jam'
al-Qur'an) terkadang dimaksudkan sebagai "pemeliharaan dan penjagaan dalam
dada" (penghafalan), dan terkadang dimaksudkan sebagai "penulisan
seluruhnya, huruf demi huruf, kata demi kata, ayat demi ayat dan surat-demi
surat" (penulisan). Yang kedua ini medianya adalah shahifah-shahifah dan
lembaran-lembaran lainnya. Sedang yang pertama medianya adalah hati dan dada.
Selanjutnya, penghimpunan al-Qur'an dalam pengertian "penulisannya"
pada masa awal berlangsung tiga kali. Pertama, pada masa Nabi SAW. Kedua, pada
masa kekhalifahan Abu Bakar RA. Dan ketiga, pada masa kekhalifahan Utsman RA.
Pada kali yang terakhir kali itulah, dilakukan penyalinan menjadi beberapa
mushhaf dan dikirim ke berbagai daerah.
Mengenai penghimpunan al-Qur’an dalam arti
“penghafalan” nya dengan mantap di dalam hati, telah dikaruniakan Allah SWT
kepada Rasul-Nya lebih dulu sebelum kepada orang lain. Beliaulah manusia yang
pertama kali yang hafal al-Qur’an. Setelah itu beliau mengajarkannya kepada
para sahabatnya.
Seiring
dengan hafalan Rasulullah dan para sahabatnya, kiranya perlu untuk mencatat
al-Qur’an sebagai tumpuan untuk umat beliau. Oleh karena itu selain
memerintahkan para sahabatnya untuk menghafal al-Qur’an, beliau juga
memerintahkannya untuk mencatat wahyu. Sebagaimana diketahu, Rasulullah mempunyai beberapa orang pencatat
wahyu. Diantaranya, empat orang sahabat yang kemudian menjadi khalifah rasyidun
(Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan Ali RA), Muawiyah, Zaid bin Tsabit, Khalid bin
al-Walid, Ubay bin Ka’a dan Tsabit bin Qais. Beliau menyuruh mereka mencatat
setiap wahyu yang turun, sehingga al-Qur’an rampung ditulis pada masa
Rasulullah SAW.
Sepeninggal
Rasulullah, kepemimpinan dipegang oleh khalifah Abu Bakar. Pada masa Abu bakar
banyak bermunculan orang-orang yang murtad. Dalam sejarah tercatat bahwa beliau
memerangi orang-orang yang murtad, dan dalam peperangan tersebut mengakibatkan
banyak para penghafal al-Qur’an yang gugur. Oleh karena itu, Umar mengusulkan
agar al-Qur’an dihimpun dalam satu mushaf supaya al-Qur’an tidak hilang seiring
dengan gugurnya para sahabat yang hafal al-Qur’an. Abu Bakar pun memerintahkan
Zaid bin Tsabit untuk menghimpun al-Qur’an. Sejarah mencatat bahwa hanya butuh
satu tahun Zaid bin Tsabit pun rampung menghimpun al-Qur’an. Setelah khalifah
Abu Bakar wafat, Mushaf berpindah ke tangan ‘Umar. Mushaf tersebut tetap berada
di tangan ‘Umar sampai beliau wafat. Sepeninggal ‘Umar, Mushaf tersebut
dipegang oleh putri beliau Hafshah.
Pada
waktu khalifah ‘Utsman, Islam telah tersebar luas dan keadaan semakin ramai,
timbulah perbedaan dalam qiraat. Tiap daerah mengguanakan qiraatnya
masing-masing. Melihat kenyataan ini, khalifah ‘Utsman merasa perlu untuk
menyatukan umat supaya tidak terjadi perpecahan dikalangan umat. Oleh karena
itu, ‘Utsman pun memerintahkan empat orang sahabat untuk membuat satu mushaf
yang menjadi patokan bagi umat Islam. Beliaupun mengirim surat kepada Hafshah
dengan tujuan meminjam Mushaf yang disimpannya untuk dijadikan acuan dalam
penulisan Mushaf ‘Utsmani.
Utsman, melalui "Panitia Empat" yang
dibentuknya, berhasil menyalin dan menggandakan mushaf. Mushaf-mushaf itu
dikirimkan ke beberapa wilayah kekuasaannya. Kini tinggal satu lagi usaha,
yaitu membakar mushaf lainnya. Ia khawatir kalau-kalau mushaf yang bukan
salinan "Panitia Empat" itu tetap beredar. Padahal pada mushaf-mushaf
yang peredarannya dikhawatirkan itu terdapat kalimat yang bukan al-Qur'an
karena merupakan catatan khusus sahabat-sahabat tertentu. Di sana terdapat juga
beberapa kalimat yang merupakan tafsiran, dan bukan kalam Allah.
V.
DAFTAR
PUSTAKA
Hermawan, Acep. 2011. Ulumul Qur’an: Ilmu untuk Memahami Wahyu. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Al-Aththar, Dawud.
1994. Mujaz Ulum al-Qur’an. Terj. Afif
Muhammad dan Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka Hidayah.
Abdul Adzim Al-Zarqani,
Syeikh Muhammad. 2002. Manahil Al-‘Urfan
Fi ‘Ulum Al-Qur’an 1. Terj. Drs. H.M. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq, S.
Ag. Jakarta: Gaya Media Pratama.
As-Shalih, Subhi. 2011.
Mabahits fi Ulumil Qur’an. Terj. Tim
Pustaka Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus.
[1] Syeikh
Muhammad Abdul Adzim Al-Zarqani. Manahil
Al-‘Urfan Fi ‘Ulum Al-Qur’an 1. Terj. Drs. H.M. Qadirun Nur dan Ahmad
Musyafiq, S. Ag. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002. Hlm. 259.
[2] Acep
Hermawan, M. Ag. Ulumul Qur’an: Ilmu
untuk Memahami Wahyu. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2011. Hlm. 64-65.
[3] Dr.
Dawud Al-Aththar. Mujaz Ulum al-Qur’an.
Terj. Afif Muhammad dan Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka Hidayah. 1994.
Hlm. 153-154.
[4]
Maksudnya: Nabi Muhammad s.a.w. dilarang
oleh Allah menirukan bacaan Jibril a.s. kalimat demi kalimat, sebelum Jibril
a.s. selesai membacakannya, agar dapat Nabi Muhammad s.a.w. menghafal dan
memahami betul-betul ayat yang diturunkan itu.
[5]
Maksudnya: Nabi Muhammad s.a.w. dilarang
oleh Allah menirukan bacaan Jibril a.s. kalimat demi kalimat, sebelum Jibril
a.s. selesai membacakannya, agar dapat Nabi Muhammad s.a.w. menghafal dan
memahami betul-betul ayat yang diturunkan itu.
[6] Syeikh
Muhammad Abdul Adzim Al-Zarqani. Manahil
Al-‘Urfan Fi ‘Ulum Al-Qur’an 1. Terj. Drs. H.M. Qadirun Nur dan Ahmad
Musyafiq, S. Ag. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002. Hlm. 259-265.
[7]
Ibid. 265-267.
[8] Dr.
Subhi As-Shalih. Mabahits fi Ulumil
Qur’an. Terj. Tim Pustaka Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2011.
Hlm. 93-99.
[9]
Ibid. hlm. 99-114.
[10]
Acep Hermawan, M. Ag. Ulumul Qur’an: Ilmu untuk Memahami Wahyu. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. 2011. Hlm. 77-78.
No comments:
Post a Comment
Pembaca Yang Baik Selalu Meninggalkan Jejak Yang Baik :)
Jangan Lupa Like Dan Komentarnya :)