Friday, April 12, 2013

SINKRETISME SEBAGAI CIRI ISLAM JAWA



Disusun oleh :
1. Vina Inayatul Maula    (124211008)
2.   Fathin Nabela            (124211009)



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Menelisik sejarah Jawa yang menjadi tempat untuk didatangi bangsa-bangsa lain, dan kemudian menjadi tempat penyebaran dan tumbuh kembangnya agama-agama besar dunia, maka membuktikan bahwa budaya dan peradaban Jawa ramah dan toleran terhadap budaya dan peradaban lain.

Salah satu dari sifat masyarakat Jawa adalah bahwa mereka religius dan bertuhan. Sebelum agama-agama besar datang ke Indonesia, khususnya Jawa, mereka sudah mempunyai kepercayaan adanya Tuhan yang melindungi dan mengayomi mereka. Dan keberagaman ini semakin berkualitas dengan masuknya agama-agama besar seperti Hindu, Budha, Islam, Katholik dan protestan ke Jawa. Namun dengan pengamatan selintas dapat diketahui bahwa dalam keberagamaan rata-rata masyarakat Jawa adalah nominalis, dalam arti bahwa mereka tidak bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ajaran-ajaran agamanya. Ada diantara mereka yang benar-benar serius dalam melaksanakan ajaran-ajaran agamanya. Ada juga yang berusaha serius tetapi ada hambatan-hambatan khusus, seperti ewuh dengan lingkungan yang tidak mendukung, takut dikatakan sok semuci dan sebagainya, membuat mereka kurang serius dalam mengekspresikan keagamaannya secara utuh.

Dengan ini berakibat kepada beberapa hal, yang antara lain mudahnya mereka untuk tergiur dalam mengadopsi kepercayaan, ritual dan tradisi dari agama lain, termasuk tradisi asli pra Hindu Budha yang dianggap sesuai dengan alur pemikiran mereka. Dengan demikian, secara sadar atau tidak, mereka telah melakukan sinkretisasi antara ajaran Islam dengan ajaran-ajaran dari luar Islam (Budha, Hindu dan kepercayaan asli).[1]

B.     Rumusan Masalah
1.      Pengertian sinkretisme
2.      Munculnya Islam sinkretik dalam masyarakat Jawa
3.      Contoh-contoh sinkretisme


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Sinkretisme

Secara etimologi, sinkretisme berasal dari perkataan syin dan kretiozein atau kerannynai, yang berarti mencampurkan elemen-elemen yang saling bertentangan. Adapun pengertiannya adalah suatu gerakan di bidang filsafat dan teologi  untuk menghadirkan sikap kompromi pada hal-hal yang agak berbeda dan bertentangan. Simuh menambakan bahwa sinkretisme dalam beragama adalah suatu sikap atau pandangan yang tidak mempersoalkan benar salahnya suatu agama, yakni suatu sikap yang tidak mempersoalkan murni atau tidaknya suatu agama. Bagi yang menganut paham ini semua agama dipandang baik dan benar. Oleh karena itu, mereka berusaha memadukan unsur-unsur yang baik dari berbagai agama, yang tentu saja berbeda antara satu dengan lainnya, dan dijadikannya sebagai suatu aliran, sekte dan bahkan agama.[2]

Di kalangan masyarakat Jawa terdapat orang-orang muslim yang benar-benar berusaha menjadi muslim yang baik, dengan menjalankan perintah agama dan menjauhi larangannya. Disamping itu juga terdapat orang-orang yang mengakui bahwa diri mereka muslim, tetapi dalam kesehariannya tampak bahwa ia kurang berusaha untuk menjalankan syariat agamanya dan hidupnya sangat diwarnai oleh tradisi dan kepercayaan lokal.

Dalam menerangkan keberagaman masyarakat muslim Jawa, Koentjaraningrat membagi mereka menjadi dua, yaitu agama Islam Jawa dan agama Islam santri. Yang pertama, kurang taat kepada syari’at dan bersikap sinkretis yang menyatukan unsure-unsur pra Hindu, Hindu dan Islam. Sedangkan yang kedua lebih taat dalam menjalankan ajaran-ajaran agama Islam dan bersifat puritan (orang yang hidup saleh dan menganggap kemewahan dan kesenangan sebagai dosa). Namun demikian, meski tidak sekental pengikut agama Islam Jawa dalam keanekaragamaan, para pemeluk Islam santri juga masih terpengaruh oleh animisme, dinamisme dan Hindu Budha.[3]

B.     Munculnya Islam sinkretik dalam masyarakat Jawa

Membaca lahirnya sinkretisme Islam-Jawa ada baiknya jika dihubungkan dengan masuknya Islam di Jawa. Ada tiga hal yang sangat penting untuk diketahui berkaitan dengan latar belakang sejarah sinkretisme Islam-Jawa. Pertama, pada waktu itu sejarah Islam tercatat dalam periode kemunduran. Runtuhnya Dinasti Abbasiyah oleh serangan Mongol pada 1258 M., dan tersingkirnya Dinasti Al-Ahmar (Andalusia/Spanyol) oleh gabungan tentara Aragon dan Castella pada 1492 M menjadi pertanda kemunduran politik Islam. Begitu juga arus keilmuan dan pemikiran Islam saat itu terjadi stagnasi (kemacetan).

Hal ini berpengaruh pada tipologi penyiaran Islam yang elastis dan adaptif terhadap kekuatan unsur-unsur local, mengingat kekuatan Islam baik secara politik maupun keilmuan sedang melemah. Bertepatan pada akhir abad XV di mana terjadi Islamisasi secara besar-besaran di tanah Jawa, maka metode dakwah Islam seperti pada umumnya waktu itu bercorak apresiatif dan toleran terhadap budaya dan tradisi setempat.

Kedua, pandangan hidup masyarakat Jawa sangat tepo seliro dan bersedia membuka diri serta berinteraksi dengan orang lain. Menurut Marbangun Hardjowirogo, masyarakat Jawa lebih menekankan sikap atau etika dalam berbaur dengan seluruh komponen bangsa yang bermacam-macam suku dan bahasa, adat dan termasuk agama. Karena manusia Jawa sadar bahwa tak mungkin orang Jawa dapat hidup sendiri. Pandangan demikian senada dengan filsafat Tantularisme khas Jawa yang mengajarkan humanisme dalam segala bidang dan menentang segala bentuk ekslusivisme (paham yang mempunyai kecenderungan untuk memisahkan diri dengan masyarakat) dan sektarianisme (semangat membela suatu sekte atau mazhab, kepercayaan, atau pandangan agama yang berbeda dari pandangan agama yang lebih lazim diterima oleh para penganut agama tersebut).

Ketiga, sebelum Islam membumi di Jawa, yang membingkai corak kehidupan masyarakat adalah agama Hindu-Budha serta kepercayaan animisme maupun dinamisme. Hindu, Budha, animisme maupun dinamisme yang menjadi sistem kepercayaan atau agama tentunya (sesuai agama-agama lain) telah mengajarkan konsep-konsep religiusitas yang mengatur hubungan menusia dengan Tuhan yang diyakini sebagai pencipta alam.

Bahwasanya pada dasarnya semua system kepercayaan maupun agama telah membangun nilai-nilai universal tentang tatanan hubungan manusia dengan Tuhan maupun dengan sesamanya, merupakan esensi dan substansi ajaran yang terserap dalam tradisi-tradisi lokal di tanah Jawa. Hal ini secara langsung mempengaruhi pemikiran masyarakat Jawa terhadap nilai baru yang bernama Islam. Untuk meneropong universalisme budaya dan agama Jawa terhadap substansi ajaran agama lain, dapat kita lihat dengan mendekatkan ajaran-ajaran tersebut, yakni Hindu, Budha, animisme dan dinamisme yang menjadi prinsip keberagamaan masyarakat Jawa Pra-Islam.

Tiga hal inilah yang melatarbelakangi masuknya Islam di tanah Jawa, terhitung cukup mudah dan bisa berinteraksi secara damai dengan masyarakat. Tetapi di samping itu tidak terlepas pula peran besar Walisongo yang menggunakan metode yang toleran dan akomodatif terhadap budaya dan agama Jawa.

Pada masa awal sinkretisasi Islam-Jawa, agama Islam lebih dulu kuat di pedesaan. Setelah itu, baru kemudian Islam masuk ke ranah perpolitikan. Berdirinya Kerajaan Demak pada abad XVI sekaligus sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa adalah bukti usaha penyiaran Islam yang dipelopori oleh Walisongo dengan membangun kekuatan politik. Dan secara keseluruhan model-model etika menghormati kepercayaan yang sudah ada ditekankan sekali, dan sinkretisme-lah metode yang paling tepat pada waktu itu untuk menyebarkan Islam.[4]

C.     Contoh-contoh sinkretisme

Untuk lebih mengkongkritkan pengertian dan pemahaman tentang masalah sinkretisme, berikut ini diuraikan beberapa contoh:

a.       Penggabungan antara dua agama atau aliran atau lebih
    Menggabungkan dua agama atau lebih dimaksudkan untuk membentuk suatu aliran baru, yang biasanya merupakan sinkretisasi antara kepercayan (lokal Jawa) dengan ajaran agama Islam dan agama lainnya.
Sebagai contoh dari langkah ini adalah ajaran Ilmu Sejati yang diciptakan oleh Raden Sujono alias Prawirosudarso, yang berasal dari Madiun. Menurut pengakuannya, ajaran Ilmu Sejati diasaskan pada kesucian yang dihimpun dari ajaran Islam, Kristen, dan Budha. Dan apabila ajaran tersebut diteliti dengan seksama, akan terlihat bahwa pengakuannya tidak salah. Sebagai contoh, aliran ini mengajarkan sadat (syahadat) yang berbunyi sebagai berikut: “Ashadu Allah ananingsun, anane ambekan, anane rasul, anane johar. Wa ashadu anane urip, anane mukamad, anane nur, nur tegese padhang, johar tegese padhang, mukamad lan rasul iku tegese cahya, nur johar tegese padhang”.

b.      Bidang ritual
Bagi masyarakat tradisional, pergantian waktu dan perubahan fase kehidupan adalah saat-saat genting yang perlu dicermati dan diwaspadai. Untuk itu mereka mengadakan crisis rites dan rites de passage, yaitu upacara peralihan yang berupa slametan, makan bersama (kenduri), prosesi dengan benda-benda keramat dan sebagaimya. Begitu pula sebelum Islam datang, di kalangan masyarakat Jawa sudah terdapat ritual-ritual keagamaan. Hal ini diwujudkan dalam bentuk slametan yang berkait dengan siklus kehidupan, seperti kelahiran, kematian, membangun dan pindah rumah, menanam dan memanen padi, serta penghormatan terhadap roh para leluhur dan roh halus. Ketika Islam datang ritual-ritual ini tetap dilanjutkan, hanya isinya diubah dengan unsur-unsur dari ajaran Islam. Maka terjadilah islamisasi Jawaisme (keyakinan dan budaya Jawa).

1.      Upacara Midodareni

Upacara Midodareni misalnya, adalah suatu ritual yang dilangsungkan pada malam hari menjelang hari perkawinan. Ritual ini dimaksudkan sebagai usaha keluarga pengantin untuk mendekati para bidadari dan roh halus supaya melindungi kedua calon pengantin dari marabahaya yang menganggu jalannya perkawinan dan hari-hari sesudahnya. Dikalangan muslim yang taat dalam beragama, ritual ini diisi dengan pembacaan barzanji, kalimat toyyibah, dan tahlil. Tapi dikalangan masyarakat yang kurang taat dalam beragama, acara ini digunakan sebagai alasan untuk mengadakan lek-lekan dan keplek sampai pagi.

2.      Upacara brokohan dan sepasaran

Dalam Islam, ketika seorang bayi lahir, ayah ibunya disyariatkan untuk melaksanakan aqiqah, dengan menyembelih seekor kambing kalau yang dilahirkan perempuan, dan dua ekor kambing kalau yang dilahirkan laki-laki. Namun kenyataan menunjukkan masyarakat muslim Jawa tidak melaksanakan perintah ini. Sebagai gantinya mereka mengadakan upacara brokohan (diadakan setelah bayi lahir ke dunia ni dengan selamat) dan sepasaran (ketika bayi berusia lima hari), dengan harapan dan doa, agar anak yang dilahirkan tersebut akan menjadi orang linuwih di kemudian hari.

c.       Dalam doa dan mantera

Salah satu jasa Sunan Makhdum Ibrahim, yang dikenal sebagai Sunan Bonang, dalam menyebarkan Islam di Jawa adalah mengganti nama-nama dewa-dewa yang terdapat dalam mantera-mantera dan doa dengan nama nabi, malaikat, dan tokoh-tokoh terkenal di dalam Islam. Dengan cara ini diharapkan masyarakat berpaling dari memuja dewa-dewa dengan menggantinya dengan tokoh-tokoh yang berasal dari dunia Islam.
Berikut ini adalah dua contoh mantera dan doa.

1.      Mantera atau doa untuk mendapatkan keperkasaan jasmani:
Bismillahirrohmanirrohim
“jabarail sumurup maring Fatimah.fatimah sumurup maring badandu.kapracaya dening Allah ta’ala.cikantik macan putih dudu macan putih.mangko iki macan putih saking Allah.ia ilaha illa’llah Muhammad Rosulu’llah”.
Doa ini dibaca setelah mandi 14 kali dalam semalam dan memakan 80 biji botor(biji kecipir).

2.      Mantera atau doa untuk dapat menghilang.
Bismillhirrohmanirrohim.
“Cur mncur cahyaning Allah,sungsum balung rasaning pangeran,getting daging rasaning pangeran,otot lamat-lamat rsaning pangeran.kulit wulu rasaning pangeran,iya ingsun mancuring allah jatining manungsa,ules pulih Muhammad lungguhku, allah,nek putih rasaning nyawa,badan allah sangkalebet putih iya ingsun nagara sampurna. .

d.      Menggabungkan agama dengan budaya local

Yang dimaksud dalam konteks ini adalah melaksanakan syari’at Islam dengan kemasan budaya Jawa. Berbakti kepada orang tua adalah wajib. Dalam melaksanakan syari’at ini masyarakat Jawa biasanya menggunakan media sungkem. Begitu pula dalam rangka memperingati Idul Fitri, masyarakat menyiapkan hidangan kupat dan lontong. Secara keratabasa, ‘kupat’ dapat diartikan ngaku lepat. Sedangkan lontong dapat diartikan olone kothong.[5]

D.    Reaksi terhadap Usaha Sinkretisasi

Dalam mengahadapi sinkretisasi ajaran-ajaran Islam dengan tradisi Jawa pra-Islam, paling tidak telah muncul tiga pendapat. Di kalangan masyarakat Jawa terdapat orang-orang muslim taat, yang kalu ditanya tentang landasan dalam mengamalkan ajaran-ajaran Islam, mereka menjawab landasanya adalah al-Quran dan as-Sunnah. Namun meskipun mereka mempunyai landasan yang sama, implementasi gagasan ini di lapangan berbeda antara satu kelompok dengan kelompok yang lainnya. Kelompok pertama, yang berusaha untuk mengamalkan ajaran-ajaran Islam dengan baik dan bersikap hati-hati dalam menyikapi tradisi dan budaya lokal, terutama yang dianggapnya berbau takhayul, khurafat, dan syirik. Bagi yang menerima pendapat ini, al-Quran dan as-Sunnah sudah mengatur peri kehidupan serta semua tata cara ritual dan kepercayaan untuk semua pemeluk agama Islam. Oleh karena itu bagi mereka, ritual-ritual dan kepercayaan-kepercayaan yang tidak diajarkan di dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul tidak perlu, dan bahkan haram dikerjakan. Kelompok kedua, kelompok moderat. Orang-orang yang berada dalam kelompok ini beranggapan bahwa dalam berdakwah, seorang dai atau mubaligh harus menggunakan al-hikam (cara-cara yang bijak). Oleh karena itu, dalam menghadapi masyarakat Jawa yang sudah mbalung sum-sum dengan tradisi dan adat istiadat lama tidak boleh digunakan cara-cara radikal yang justru dapat menjauhkan para mubaligh dari obyek dakwah. Kelompok ketiga, mereka yang dapat menerima sinkretisme secara keseluruhan.[6]


BAB III
KESIMPULAN

Secara etimologi, sinkretisme berasal dari perkataan syin dan kretiozein atau kerannynai,yang berarti mencampurkan elemen-elemen yang saling bertentangan. Adapun pengertiannya adalah suatu gerakan di bidang filsafat dan teologi  untuk menghadirkan sikap kompromi pada hal-hal yang agak berbeda dan bertentangan.

Munculnya Islam sinkretik dalam masyarakat Jawa: Pertama, pada waktu itu sejarah Islam tercatat dalam periode kemunduran. Kedua, pandangan hidup masyarakat Jawa sangat tepo seliro dan bersedia membuka diri serta berinteraksi dengan orang lain. Ketiga, sebelum Islam membumi di Jawa, yang membingkai corak kehidupan masyarakat adalah agama Hindu-Budha serta kepercayaan animisme maupun dinamisme.


BAB IV
PENUTUP

Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin. Demikianlah makalah yang dapat kami buat, kami menyadari akan keterbatasan pengetahuan kami dalam pembuatan makalah ini. Untuk itu, kami mengharap adanya kritik dan saran dari pembaca demi sempurnanya makalah kami yang selanjutnya. Kami mohon maaf atas segala kekurangan makalah yang kami buat ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.


DAFTAR PUSTAKA

Amin, MA, Drs. H. M. Darori. Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta:Gama Media, 2000



Catatan Kaki :


[1] Drs. H. M. Darori Amin, MA, Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta:Gama Media, 2000),  hlm 85-87
[2] Ibid, 87
[3] Ibid, 91-92
[5]Drs. H. M. Darori Amin, MA, Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta:Gama Media, 2000),  hlm 97-107
[6] Ibid, 108-111

No comments:

Post a Comment

Pembaca Yang Baik Selalu Meninggalkan Jejak Yang Baik :)

Jangan Lupa Like Dan Komentarnya :)