Disusun Oleh :
1. Azka Lailatu Sa'adah
2. Anam Muzakka
I.
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Melihat
kenyataan sekarang ini, belum terlihat jelas upaya mewujudkan nilai sila-sila Pancasila
secara sungguh-sungguh. Tidak pernah sepenuh hati dilaksanakan secara konkret. Jangankan
dilaksanakan dengan kesungguhan, keinginan membicarakannya saja cenderung ogah-ogahan.
Pancasila terkesan seperti ditelantarkan.
Sebaliknya,
godaan menggantikannya sebagai ideologi negara tidak pernah surut meski tidak
selalu terbuka. Upaya diam-diam, pelan-pelan, dan terselubung lebih berbahaya
ketimbang terbuka karena lazimnya sulit diantisipasi. Godaan menggantikannya
dengan ideologi lain, ditambah ketidakseriusan mewujudkannya, membuat posisi
Pancasila sebagai dasar negara benar-benar terjepit.
Lebih
memprihatinkan lagi, dan sungguh tidak adil jika Pancasila sampai dijadikan
kambing hitam atas segala kemacetan dalam bidang ekonomi, sosial, keamanan, dan
politik selama ini. Segala kegagalan mewujudkan Indonesia yang sejahtera dan
berkeadilan antara lain karena tidak ada kesungguhan mewujudkan pembangunan
yang mengacu pada nilai-nilai visioner Pancasila.
Upaya
perwujudan nilai-nilai Pancasila selama ini terkesan hanya setengah hati. Tidak
banyak yang peduli jika Pancasila diganggu oleh ideology lain. Lemahnya
dukungan juga terlihat pada wacana tentang Pancasila yang cenderung melemah.
Kalaupun Pancasila dibahas, semakin dilakukan jauh di pinggiran, dalam
ruang-ruang sempit dan pengap, jauh dari pesona dan sensasi panggung, yang
memang dibajak oleh para petualang politik yang hidup dari oportunitas harian.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Pengertian Pancasila
2.
Permasalahan-permasalahan dalam Pancasila dan penyelesaiannya.
3.
Relevansi Pancasila di masyarakat Indonesia
II.
PEMBAHASAN
Pancasila secara etimologi terdiri dari kata panca yang berarti
lima dan kata kata sila berarti aturan, sehingga istilah pancasila berarti lima
aturan. Sedangkan secara terminologi berarti lima sila atau aturan yang menjadi
atau aturan yang menjadi ideologi bangsa dan negara, pedoman bermasyarakat, dan
pandangan hidup atau kepribadian bangsa dan negara Indonesia. Artinya,
pancasila adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia yang memberikan kekuatan kepada
bangsa Indonesia, dan memberikan bimbingannya dalam kesejahteraan hidp baik
lahir maupun batin.
Artian pancasila secara dalam atau radiks atau filsafati, bahwa
istilah Pancasila diartikan sebagai ideologi, dasar negara, dan dasar kehidupan
atau filsafat bangsa atau Negara Indonesia. Sebagai pandangan hidup, Pancasila
harus mampu membeikan semangat, memberikan keyakinan, arah berfikir, dan
harapan masa depan yang lebih baik.
Artian Pancasila secara reflektif, bahwa nilai-nilai Pancasila
harus dapat diimplementasikan atau direalisasikan atau dihayati dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara sesuai makna sila-sila Pancasila yang dirumuskan
sebagai berikut:
Sila ke I : Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila ke II : Kemanusiaan yang adil dan beradab
Sila ke III : Persatuan Indonesia
Sila
ke IV : Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan
Sila
ke V : Keadilan sosial bagi
seluruh bangsa Indonesia
1. perkembangan permasalahan mengenai pancasila
Sepanjang sejarah perkembangan pemikiran mengenai
pancasila yang bersifat evolutif dan kompleks. Kita catat ada lima permasalahan
mengenai pancasila: (1) masalah sumber; (2) masalah tafsir; (3) masalah
pelaksanaan; (4) masalah apakah pancasila itu subject to change; dan (5)
problem evolusi dan kompleksitas didalam pemikiran mengenai pancasila.
Masalah sumber adalah mengenai sumber dalam arti
sumber pengenal (kenbron), yaitu sumber dari mana dapat dijumpai pancasila itu.
Masalah ini antara lain terungkap dari plobematik mengenai naskah pancasila
yang otentik. Hal ini terjadi karena adanya banyak naskah yang memuat uraian
mengenai pancasila dan banyak pendapat yang berbeda-beda mengenai sumber
pancasila .
Masalah tafsir menjadi tampak jelas ketika pemikiran
mengenai pancasila memasuki fase refleksi dan fase kritik. Dipertanyakan:
apakah pancasila itu dan apakah yang dimaksudkan dengan masing-masing sila di
dalam pancasila tersebut. mengenai hal ini pun terdapat pendapat yang
heterogen.
Problem pelaksanaan timbul karena sebagai ideologi
nasional, dasar negara dan sumber hukum, Pancasila memerlukan pelaksanaannya.
Masalah ini menjadi semakin urgen pada waktu terdapat pemikiran mengenai pelaksanaan pancasila secara murni
dan konsekuen, dimana pembangunan nasional dipandang sebagai pengamalan dari
pancasila. Sejauh manakah pancasila itu dapat dipandang sebagai dan menjadi
ideologi pembangunan.
Masalah apakah Pancasila “subject to change” juga
terungkap sebagai bagian dari perkembangan pemikiran yang menjadi kritis dan
refleksif mengenai Pancasila. Sifat pemikiran yang evolutif terkait dengan
kemungkinan terjadinya perubahan. Di samping itu problem tersebut juga dipacu
oleh terjadinya interaksi antara berbagai aliran ideology yang ikut membentuk
perkembangan pemikiran mengenai Pancasila itu, yang mempunyai dampaknya didalam
perkembangan masyarakat dan kebudayaan Indonesia.
Semua itu menunjukkan bahwa didalam sejarah
perkembangan pemikiran mengenai Pancasila itu terjadi rangkaian dialogyang
terus-menerus antara permasalahan-permasalahan di satu pihak dengan
jawaban-jawabannya masing-masing di lain pihak, suatu hal yang sebenarnya
merupakan hakikat setiap sejarah pemikiran.
2. Dua jalur pemecahan permasalahan mengenai pancasila
Dari sejarah pemikiran mengenai Pancasila sebagaimana
dikemukakan didepan dapat terlihat bahwa dialog antara permasalah-permasalahan
mengenai pancasila dan jawaban-jawaban terhadap masalah itu, berkembang melalui
dua jalur utama: (1) jalur hukum kenegaraan ;dan (2) jalur akademik.
Bonneff dan kawan-kawannya, di dalam studi mengenai
Pancasila membagi pemikiran mengenai Pancasila itu kedalam dua lingkup.
Pertama: pancasila sebagai pemikiran politik ( le pancasila , projet politique )
Kedua :
Pancasila sebagai pemikiran filosofis (
le pancasila, projet philosophique )
Pembagian pemikiran mengenai Pancasila menjadi dua
jalur tersebut memang tampak dari sejarah.
Pancasila sebagai bagian dari gerakan kebangkitan
nasional dan gerakan kemerdekaan bangsa Indonesia,adalah pemikiran politik yang
terjadi pada masa itu. Ketika Pancasila selanjutnya mendapatkan penuangannya
dalam bentuk konstitusi sebagai dasar negara, Pancasila menjadi dasar pemikiran
untuk politik, hukum dan kehidupan kenegaraan, yang tidak terlepas dari sejarah
politik, hukum dan negar Republik Indonesia. Pancasila sebagai acuan bagi
pemegan kekuasaan politik di Indonesia sejak tahun 1945.
Dialog yang memuat permasalahan-permasalahan politik
mengenai pancasila dengan jawaban-jawaban terhadapnya itu dapat dilihat dengan
menelusuri sejarah konstitusi dan sejarah politik kenegaraan Republik
Indonesia. Akan tetapi dialog itu tidak semata-mata terkait dengan
keputusan-keputusan hukum dan kenegaraan saja. Pemikiran-pemikiran mengenai
Pancasila terjadi didalam masyarakat luas, secara formal dan sistematis terjadi
didalam perkembangan pemikiran akademik, ditanggapi serta diolah oleh
aliran-aliran pemikiran yang ada didalam masyarakat dan kebudayaan Indonesia,
sehingga Pancasila dapat disebut sebagai masalah filsafat.
Konstatasi
Bonneff mengenai Pancasila sebagai pemikiran filosofis juga mempunyai
dasarnya di dalam sejarah. Namun demikian mengenai hal ini perlu dikemukakan
beberapa catatan, terutama karena istilah filosofis yang digunakan itu dapat
menimbulkan pertanyaan apakah segala jenis pemikiran sistematik mengenai pancasila
tercakup didalamnya? Di dalam pemikiran yang terjadi di luar jalur hukum
kenegaraan itu, tidak hanya terdapat pemikiran filosofis, akan tetapi juga
pemikiran ideologis ilmiah dan theologis. Untuk itu penggunaan istilah akademis
menurut kami adalah lebih sesuain.
Pemikiran akademis meliputi pemikiran-pemikiran
sistematis mengenai Pancasila, baik yang bersifat ilmiah, theologis maupun
filosofis.
3. Mekanisme pemikiran politik kenegaraan dan mekanisme
pemikiran akademis
walaupun terdapat interdependensi antara perkembangan
pemikiran mengenai pancasila di dalam jalur politik kenegaraan di satu pihak
dan dalam jalur akademis di lain pihak, antara keduanya terdapat perbedaan.
Di dalam jalur politik kenegaraan, orang berpikir
untuk kepentingan mengambil keputusan praktis. Di dalam jalur akademik orang
berpikir untuk sampai kepada kesimpulan kebenaran, ketetapan dan kepastian yang
dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Jalur akademis mempunyai sifat
terbuka untuk diskusi berkepanjangan sedang jalur politik kenegaraan mempunyai
sifat decisif praktis terhadap perkembangan masyarakat.
Jalur politik kenegaraan itu mempunyai mekanisme yang
diatur oleh Undang-Undang Dasar. Hukum dapat dipandang antara lain sebagai
metodologi kerjayang menjadi dasar berpijak pemikiran-pemikiran mengenai
Pancasila di dalam jalur politik kenegaraan. Di dalam jalur politik kenegaraan
, kata akhir itu perlu dicapai, untuk diambil keputusan-keputusan sebagai dasar
tindakan nyata. Sebaliknya perkembangan pemikiran didalam jalur akademis mempunyai
metodologi tersendiri, sesuai dengan jenis-jenis pemikiran yang dikembangkannya
dalam rangka menemukan kebenaran dan kepastian-kepastian akademis. Didalam
jalur akademis, pemikiran itu tidak pernah sampai kepada kata akhir, dan karena
itu tidaklah dimaksudkan untuk membuat
keputusan praktis.
Maka dari itu kesimpulan-kesimpulan akademis tidak
selalu menjadi ketetapan-ketetapan politik kenegaraan. Sebaliknya
ketetapan-ketetapan politik kenegaraan tidak merupakan kesimpulan-kesimpulan
akademis. Ketetapan politik kenegaraan dapat berkedudukan sebagai bahan untuk
dimasukkan dalam pengolahan pemikiran akademis.
c.
Relevansi Pancasila di masyarakat Indonesia
1)
Sila I: Ketuhanan Yang Maha Esa
Kekerasan
yang merebak dalam berbagai bentuk terjadi semakin seporadis dengan tingkat
semakin massif, dari yang fisik hingga simbolis, mengindikasikan berkembang
suburnya sisi kekerdilan manusia; cara berpikir dan bertindak atas nama
ideologi agama, tetapi sebenarnya membenarkan doktrin sempit agama. Itu karena
yang kita hadapi tidak hanya krisis identitas, tetapi juga krisis intelektual
dan hati nurani yang mencerminkan krisis karakter bangsa.
Munculnya
perda-perda syariah bermasalah menyangkut praksis keberagamaan, merebaknya
partai-partai politik berdasarkan agama, menunjukan belum selesai tuntasnya
hubungan agama dan negara, yang menyangkut dua hal pokok: pertama, hubungan negara
dan agama, dan kedua, implementasi prinsip negara berketuhanan dan
berkonstitusi.
Dalam
pemaknaan keberagaman-pluralisme-multikulturalisme sebagai toleransi dan
kerukunan hidup beragama terbentang tarik-ulur. Ketika kita menerima sejumlah
agama resmi, berarti eksistensi agama-agama itu diakui sebagai kompetitor yang
sah dalam menyebarkan dan menjalankan agama masing-masing. Sudah dengan
sendirinya terjadi gesekan di antara agama yang satu dengan lainnya, tetapi
juga dalam agama-agama itu sendiri.[3]
Refleksi
dari nilai Ketuhanan dalam Pancasila itu sendiri sangat penting untuk
dikembangkan, seperti sikap saling peduli, saling tenggang rasa, dan
menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai kepercayaan masing-masing umat
beragama yang ada di Indonesia dan yang diakui tadi, serta tidak saling
mengganggu dan memaksakan suatu agama/kepercayaan kepada umat lain.[4]
2)
Sila II: Kemanusiaan yang adil dan beradab
Terlalu
banyak contoh kekerasan komunal di negeri ini, terutama sejak era reformasi
bergulir. Konflik-konflik sosial di berbagai pelosok Tanah Air kerap menghiasi
layar kaca stasiun televisi mengisi halaman muka surat kabar, internet, dan
siaran radio. Tak jarang karena persoalan sepele, seperti kasus kerusuhan di
Ambon, merambat dan meluas menjadi pertikaian antar etnis yang berlarut-larut.
Di tengah massa yang marah, nilai-nilai; Kemanusiaan yang adil dan beradab;
hanya tinggal sebaris kata-kata.
Bagus
Takwin, ahli psikologi sosial dari UI, tidak percaya sifat-sifat buruk itu
melekat pada manusia-manusia Indonesia. Katanya, masyarakat Indonesia pada
dasarnya bukan masyarakat pemarah. Kalaupun muncul kekerasan, hal itu lebih
disebabkan oleh akumulasi kekesalan dan reaksi terpendam yang berkepanjangan.
Kalau
segi sifat baik itu mulai tenggelam dalam keseharian hidup bermasyarakat, pasti
ada sesuatu yang keliru pada pengelolaan bangsa ini. Euforia reformasi yang
lebih menonjolkan sisi negatif perilaku anak-anak bangsa, antara lain ditandai
munculnya konflik sosial di sejumlah tempat dalam berbagai tingkatan, seolah
meniadakan semangat mulia yang terkandung dalam sila kedua Pancasila:
Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Semangat
yang diusung para pendiri bangsa ketika merumuskan sila kedua ini tentulah
berangkat pada kenyataan sejarah. Bangunan rumah bersama baik secara politik
maupun kultural bernama Indonesia itu dengan Pancasila sebagai lapiknya,
dijelmakan sebagai sesuatu yang diidamkan untuk kepentingan bersama.[5]
Kemanusiaan
adalah bentuk lain dari semangat menghargai satu sama lain, sosok yang toleran,
yang dalam perilaku sehari-hari didasarkan pada kepentingan bersama sebagai
sesama anak bangsa. Refleksi nilai kemanusiaan ini adalah menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan (humanisme), dan mengembangkan kepedulian, serta
mengembangkan semangat gotong-royong demi kehidupan bersama.[6]
3)
Sila III: Persatuan Indonesia
Persatuan,
itulah gagasan yang terus hidup menyertai perjalanan bangsa Indonesia hingga
sekarang. Ada titik-titik dalam perjalanan itu di mana kita merasa telah
mencapainya, tetapi tidak sedikit pula titik di mana kita merasa kehilangan.
Meski telah dirumuskan, dan coba diimplementasikan, pada dasarnya persatuan
masih harus dilihat sebagai hal yang rapuh.
Pengalaman
melalui era pasca-Reformasi, yang justru diwarnai konflik antar etnik,dan
merebaknya perilaku agresif oleh ormas dan lainnya yang tampak sulit menenggang
perbadaan dan keragaman, meyakinkan kita bahwa persatuan Indonesia bukan hal
yang bersifat “sekali jadi, lalu abadi.”
Dihadapkan
pada pelbagai tantangan tradisional (yang terkait dengan sulitnya bersatu
karena amat beragam) dan tantangan modern (yang dipicu oleh globalisasi yang memengaruhi
gaya hidup dan pemikiran), pemimpin bangsa mau tak mau dituntut lebih rajin
memberi teladan nyata dalam pembangunan kebangsaan. Salah satu yang urgen
adalah pembangunan kapasitas bangsa di bidang penyelesaian konflik, yang-di
tengah makin kisruhnya berbagai urusan kebangsaan- tampak tak tertangani.[7]
Baragam
atau homogen, setiap bangsa membutuhkan persatuan agar bangsa ini tetap eksis
dan berjaya. Dan refleksinya untuk “Persatuan Indonesia” adalah kesanggupan dan
kerelaan berkorban entah itu dari para petinggi dan juga masyarakat Indonesia
secara keseluruhan untuk berkorban demi kebersatuan bangsa dan negara.[8]
4)
Sila IV; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan
Seiring
berjalannya waktu, bangsa Indonesia melangkah dalam membangun demokrasi.
Diawali dengan demokrasi parlementer atau liberal (1950-1959), demokrasi
terpimpin (1959-1966) di bawah Soekarno, menuju demokrasi Pancasila (1967-1998)
di bawah control Soeharto. Ketiga model demokrasi itu tidak berakhir dengan
baik. Pasca-Orde Baru, demokrasi sedang mencari bentuknya, entah menuju
demokrasi liberal atau model lain.
Apa
yang sebenarnya terjadi dalam eksperimen demokrasi Indonesia? Prof. Azyumardi
Azra, Guru Besar UIN Jakarta, menyebut euphoria demokrasi tidak berjalan
sejajar dengan peningkatan pemahaman soal demokrasi itu sendiri. Kebebasan
kerap disalahartikan sebagai “kebebasan tanpa aturan” (lawlessness freedom)
dan tanpa kepatuhan pada hukum.
Gejala
kekerasan yang terjadi menunjukkan masih jauhnya pemahaman demokrasi sebagai art
of compromise. Demokrasi tidak cukup bisa dikembangkan sendiri. Ia harus
dikembangkan secara terencana dan membutuhkan pendidikan kewarganegaraan yang
akan mencakup democracy education, civic education, dan citizenship
education.
Di
mana musyawarah? Pancasila sebagai dasar Negara menyinggung pula soal demokrasi
dalam sila keempat: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan”. Bagi Muhammad Hatta ada lima unsur demokrasi khas
Indonesia, yakni rapat, mufakat, gotong-royong, hak mengajukan protes bersama,
dan hak menyingkir dari wilayah kekuasaan raja yang tidak adil.
Diskursus
soal kerakyatan dan musyawarah-mufakat perlu dimunculkan. Pendidikan demokrasi
menjadi keniscayaan di tengah pergerakan demokrasi yang tak terkontrol. Esensi
musyawarah-mufakat yang terkandung dalam Pancasila perlu dibumikan.[9]
5)
Sila V: Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Tidak
ada persatuan, kedamaian, dan kemakmuran yang merata tanpa keadilan.
Ketidakadilan membuat frustasi, lalu memicu manusia berkonflik dan berperilaku
anarki.
Di
jalan raya misalnya, ketidakadilan masih sangat terasa. Tidak ada ruang bagi
pejalan kaki, jalur khusus motor dan sepeda. Kalau di jalan raya saja masih belum
tampak, bagaimana keadilan bisa tumbuh subur di wilayah dan aspek kehidupan
yang tidak terlihat, padahal nyata terasa jauh dalam hati nurani rakyat.
Keadilan
dalam konteks aturan, kebijakan, tindakan, dan perlakuan pemimpin terhadap
rakyatnya dapat membuat masyarakat leluasa bermusyawarah dan bermufakat mencari
solusi persoalannya. Keadilan akan membuat bangsa lebih mudah menyatukan
kekuatan membangun kemakmurannya yang bermartabat.[10]
Refleksinya,
manusia Indonesia diharapkan mengembangkan sikap adil, dimulai dari diri
sendiri, kemudian mendarah daging dan berkembang menuju kepada keadilan yang
lebih meluas lagi.[11]
III.
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Tak
mudah mencintai Indonesia sekarang ini jika cita-cita berdirinya Republik
Indonesia yang menjadi ukuran kecintaan kita kepadanya seperti yang ditulis
dengan susah payah oleh para pendiri RI dalam Pembukaan UUD ’45, yaitu
“mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia
yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.”
Jadi,
apakah kemerdekaan itu? Perjuangan untuk membebaskan manusia dari penindasan,
dominasi, dan penghinaan oleh manusia lainnya. Mendudukkan pemenuhan hak-hak
sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya setiap warga Negara.
Membandingkan
cita-cita kemerdekaan dengan realitas sosial kita selama ini adalah upaya
membangkitkan kesadaran kritis. Jadi, bagaimana cara mencintai Indonesia? Kata
Sutan Sjahrir dalam Renungan Indonesia, “Aku cinta pada negeri ini,
terutama barangkali karena aku selalu mengenal mereka sebagai pihak yang
menderita, pihak yang kalah.” Karena itu, optimislah dan jangan pernah letih
mencintai Indonesia.
B.
PENUTUP
Demikian makalah
ini kami susun, penulis menyadari dalam makalah ini masih banyak kesan
kekurangan dan jauh dari kesan sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang kontruktif sangat kami
harapkan demi kesempurnaan makalah kami selanjutnya. Semoga makalah ini bisa
bermanfaat bagi siapa saja yang membaca dan membahasnya.
IV.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Drs.
Asmoro, M.Hum., Paradigma Baru Filsafat Pancasila dan Kewarganegaraan,
Penerbit Rasail, Semarang 2008
Penerbit Buku
Kompas, Rindu Pancasila, Kompas Media Nusantara, Jakarta 2010
A.M.W.
Pranarka, Sejarah Pemikiran tentang Pancasila, CSIS, Jakarta 1985
[1] Drs. Asmoro Achmadi, M.Hum, Paradigma
Filsafat Pancasila dan Kewarganegaraan, Jakarta, Penerbit Rasail, cet. th
2008, hal. 10-14
[2] Pranarka, A.M.W, Sejarah
Pemikiran Tentang Pancasila, CSIS, Jakarta 1985, hal.
[4] Drs. Asmoro Achmadi, M.Hum, Paradigma
Filsafat Pancasila dan Kewarganegaraan, Jakarta, Penerbit Rasail, cet. th
2008, hal. 11
[6] Drs. Asmoro Achmadi, M.Hum, Paradigma
Filsafat Pancasila dan Kewarganegaraan, Jakarta, Penerbit Rasail, cet. th
2008, hal. 12
[8] Drs. Asmoro Achmadi, M.Hum, Paradigma
Filsafat Pancasila dan Kewarganegaraan, Jakarta, Penerbit Rasail, cet. th
2008, hal. 12
[10] Ibid, hal. 157-160
[11] Drs. Asmoro Achmadi, M.Hum, Paradigma
Filsafat Pancasila dan Kewarganegaraan, Jakarta, Penerbit Rasail, cet. th
2008, hal. 13
Terima kasih bapak atas makalahnya dapat menambah pengetahuan saya tentang pemaknaan Pancasila.
ReplyDeleteTrimakasi atas makalanya.
ReplyDelete