Compiled by: ANDIKAMAULANA
A.
PENDAHULUAN
Semenjak Nabi
Ibrahim as diperintahkan Allah SWT untuk mengumandangkan panggilan haji, sejak
saat itu pula hingga kini, ibadah haji telah dikenal_minimal oleh setiap
Muslim_sebagai kewajiban yang ditetapkan oleh Allah SWT bagi setiap yang mampu.
Jika demikian,
panggilan atau katakanlah undangan untuk melaksanakan haji telah diterima oleh
semua manusia, lebih-lebih umat Islam. Karenanya, keliru ucapan sebagian orang
yang enggan berkunjung ke rumah-Nya sambil berkata: “Tidak! Semua Muslim telah
mendapat panggilan. Bukankah semua telah mengetahui bahwa haji adalah kewajiban
bagi yang mampu?
Keliru pula
orang yang menduga bahwa haji adalah panggilan Nabi Ibrahim as. Tidak! Haji
adalah panggilan Ilahi, dank arena itu pula jamaah haji dinamai Dhuyuf ar-Rahman (Tamu-tamu Allah SWT
Yang Maha Pengasih). Bukankah mereka berkunjung ke Baitullah (Rumah Allah)?
Tuan rumah yang baik pastilah menyambut baik pula setiap tamunya. Tuan rumah
yang pemurah akan menyediakan segala sesuatu yang menyenangkan tamunya, selama
sang tamu tulus bertamu, bersikap wajar dan berucap baik. Janganlah Allah SWT
sebagai tuan rumah, manusia terhormat pun demikian.[1]
Pada makalah
kali ini, Insya Allah kami akan mencoba menguraikan sedikit tentang Haji dan
Umrah, yang akan kami sistematiskan pembahasannya dirumusan masalah dibawah
ini.
B.
POKOK PEMBAHASAN
1. Definisi
Haji dan Umrah
2. Syarat-syarat
Haji dan Umrah
3. Hukum-Hukum
A’mal Haji dan Umrah
PEMBAHASAN
1.
Definisi
Haji dan Umrah
Syeikh Muhammad bin Qasim Asy-Syafi’i Rahmatullahi
‘Alaihi Waridlwanuhu, dalam kitabnya Fath al-Qarib mendefinisikan haji secara
bahasa dengan arti “menuju”. Sedangkan menurut Syara’ ialah “menuju tanah
Mekkah karena menjalankan Ibadah.[2]
Sementara itu, Dr. Wahbah al-Zuhaily dalam kitabnya
al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, mendefinisikan haji secara bahasa dengan arti
“sembarang maksud”. Beliau pun mengutip pendapatnya al-Khalil, “Haji itu
bermaksud banyak terhadap siapa yang diagungkan”. Menurut syara’ (hukum Islam),
haji bermaksud mengunjungi ka’bah untuk menunaikan perbuatan tertentu atau
menziarahi tempat tertentu pada waktu tertentu dengan perbuatan tertentu.
Ziarah adalah berpergian. Tempat tertentu adalah Ka’bah dan ‘Arafah. Waktu
tertentu adalah bulan-bulan haji, yaitu Syawal, Dzulqaidah, Dzulhijjah (10 hari
darinya). Setiap pekerjaan itu ada waktu-waktu khususnya. Menurut jumhur,
thawaf contohnya dimulai dari sejak fajar pada hari Nahr. Perbuatan tertentu
contohnya seseorang melakukan ihram untuk niat haji menuju tempat-tempat tertentu.[3]
Umrah menurut bahasa bermakna ziarah. Menurut
pendapat yang lain, umrah bermakna menuju suatu tempat yang ramai. Disebut
demikian, karena umrah dilaksanakan sepanjang umur. Sedangkan menurut syara’,
umrah bermakna mengunjungi ka’bah untuk melaksanakan ibadah (nusuk), thawaf dan
sa’i. umrah tidak mencakup haji, sedangkan haji mencakup umrah.[4]
2.
Syarat-Syarat
Haji dan Umrah
Syarat-syarat haji dan umrah. Syarat-syarat itu ada
yang bersifat umum yaitu meliputi laki-laki dan wanita, atau syarat-syarat khusus
untuk wanita. Jika syarat-syarat itu telah terpenuhi, wajiblah melaksanakan
haji. Jika syarat tidak terpenuhi, tidak wajib pula haji.
Syarat Umum, diantaranya;
a. Syarat
wajib, syarat sah dan syarat menunaikannya, yaitu Islam dan berakal;
b. Syarat
wajib dan memenuhi bukan syarat sahnya, yaitu balig dan merdeka;
c. Syarat
wajib saja, yaitu istitha’ah (mampu)
Syarat-syarat
ini akan diterangkan sebagai berikut:
1. Islam
Haji
tidak wajib bagi orang kafir, tidak dituntut selama ia kafir di dunia, dan haji
tidak sah baginya, karena ia tidak berhak untuk menunaikan ibadah. Jika orang
kafir naik haji, kemudian ia Islam, maka wajib baginya haji secara Islam, serta
haji semasa ia kafir tidak dianggap.
2. Taklif
(Balig dan Berakal)
Haji
tidak wajib bagi anak kecil dan yang hilang akal, karena keduanya tidak
dituntut hukum syara’. Keduanya tidak wajib menunaikan haji. Juga haji atau
umrah tidak sah bagi yang hilang akalnya karena ia tidak mampu untuk ibadah.
3. Merdeka
Haji
tidak wajib bagi hamba, sebab haji merupakan ibadah yang memakan waktu panjang.
Ia berhubungan dengan lamanya perjalanan juga disyaratkan mampu mengadakan
bekal dan kendaraan. Dan si hamba akan menyia-nyiakan segala hak tuannya, maka
haji tidak wajib baginya seperti tidak wajibnya jihad.
4. Kesanggupan
Badan, Harta dan Keamanan yang Menjamin Haji
Menurut
Hanafiyah Istitha’ah itu meliputi tiga hal; yaitu mampu secara badan, harta dan
jaminan keamanan. Kemampuan badan seperti kesehatan. Tidak perlu pergi haji
bagi orang yang sakit atau yang berpenyakit menahun (tidak sembuh-sembuh),
orang jompo, lumpuh, dll.
Adapun
kemampuan harta adalah memiliki harta lebih dan kendaraan. Diperkirakan bekal
pergi dan pulang serta kendaraan merupakan kelebihan setelah kebutuhan rumah
tangga yang pasti seperti pakaian, alat-alat rumah tangga pembantu dan yang
lainnya. Karena dari nafkah keluarganya yang wajib diberi nafkah setelah
kepulangannya.
Adapun
mampu dalam jaminan keamanan, yaitu perjalanan cukup menjamin keselamatan
sekalipun dengan sogokan, sebab kemampuan haji tidak akan positif tanpa
keamanan. Keamanan itu syarat wajib, menurut riwayat imam Abu Hanifah. Menurut
sebagian, termasuk syarat melaksanakannya.[5]
Syarat-syarat Khusus bagi Wanita
a. Disertai
suaminya atau mahramnya
Jika salah satu dari
keduanya tidak ada, maka ia tidak wajib haji. Hal ini sesuai dengan hadits,
“wanita tidak boleh pergi bertigaan, kecuali disertai mahramnya”, dan hadits,
“seorang istri tidak boleh pergi haji kecuali dengan istrinya.
b. Tidak
dalam keadaan beriddah karena di thalaq atau wafat
Allah telah melarang
wanita yang sedang iddah untuk pergi keluar, dengan firmannya, “janganlah kamu
keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka diizinkan keluar,….”
(Q.S. 65: 1). Sebab pelaksanaan haji mungkin dapat dilakukan pada tahun lain.
Adapun pelaksanaan haji yang beriddah, wajib pada waktu khusus yaitu setelah
dithalaq atau ditinggal mati suaminya. Terpenuhinya kedua syarat tersebut lebih
utama.[6]
3.
Hukum-Hukum
A’mal Haji dan Umrah
a.
A’mal
Haji
1. Ihram:
Yaitu niat haji atau umrah atau keduanya seperti orang mengatakan: “Saya niat
haji atau umrah dan saya ihram haji (umrah) karena Allah Ta’ala. Bila
meghajikan atau mengumrahkan orang lain, ia mengatakan: “Saya niat haji atau
umrah atas nama fulan dan ihram atas namanya karena Allah Ta’ala. Kemudian ia
membaca Talbiyyah seusai shalat dua rakaat ihram.
2. Memasuki
Mekkah dari sebelah atasnya, yaitu kadaa’ kemudian masuk masjidil haram dari
pintu Bani Syaibah lalu melakukan thawaf qudum dari mulai rukun aswad.
3. Thawaf,
yaitu ada tiga; thawaf qudum, ‘ifadah dan thawaf wada.
4. Sa’I
antara Shafa dan Marwah.
5. Wuquf
di Arafah dan Mina. Keluar menuju Mina pada tanggal 8 Dzulhijjah yaitu pada
hari tarwiyah. Disana melaksanakan sholat Dzuhur, Ashar serta Mabit (menginap)
kemudian pergi menuju ‘Arafah setelah terbit matahari, lalu menjama’ antara
Dzuhur dan Ashar beserta imam di Masjid Namiroh atau masjid lainnya.
Selanjutnya berwuquf di ‘Arafah ketika orang melakukannya.
6. Mabit
di Muzdalifah, yaitu tempat antara Mina dan ‘Arafah. Jamaah haji kumpul di
Muzdalifah selama batas waktu terbit fajar malam Ied, mereka melaksanakan
shalat fajar di Masjidil Haram, yaitu batas akhir tanah Muzdalifah, mereka
melakukan wuquf untuk bertadharu’ dan berdoa kemudian bertolak dari Muzdalifah
menuju Mina sebelum terbit matahari
7. Melontar
beberapa jumrah. Pada hari nahr seorang haji melontar jumrah Aqobah ula setelah
terbit matahari dengan tujuh kerikil. Dan melontar tiga jumrah lainnya pada
hari di Mina yaitu hari kedua ‘Ied, ketiga dan keempatnya. Setiap kali jumrah,
melontar dengan tujuh kerikil, mulai dengan jumrah ula yang berdekatan dengan
masjid Khaif dari arah ‘Arafah. Kemudian jumrah wustha selanjutnya jumrah
Aqabah antara tergelincir dan terbenam matahari.
8. Bercukur
dan menggunting rambut. Bercukur lebih utama untuk pria dan wanita menggunting
rambut, tidak mencukurnya serta memotong seluruh rambutnya sebatas ujung jari,
dan berdoa ketika bercukur hal ini dilaksanakan pada hari nahr setelah melontar
jumrah dan menyembelih hewan qurban bila wajib. Selanjutnya menuju Mekkah untuk
melakukan thawaf ifadah sebagai thawaf fardhu.
9. Menyembelih
hewan qurban setelah melontar jumrah. Dan boleh bercukur sebelum qurban dan
qurban sebelum jumrah, serta boleh menyembelih qurban sebelum terbit matahari.
10. Thawaf
wada, thawaf ini disunatkan menurut Malikiyah dan wajib menurut jumhur.
Penduduk Mekkah dan penduduk lainnya yang bermukim di sana tidak disuruh thawaf
wada. Menurut Malikiyah, bila dating haid setelah thawaf ifadah, wanita mesti
pergi sebelum thawaf wada.[7]
b.
A’mal
Umrah
1. Ihram
2. Thawaf
3. Sa’I
antara bukit Shafa dan Marwah, dan
4. Bercukur
atau menggunting rambut[8]
c.
Rukun
Haji
Dalam
ibadah haji, rukun adalah sesuatu yang apabila tidak dikerjakan sesuai
ketentuannya, maka ibadah haji tidak sah.[9]
Rukun-rukun
haji itu ada 4 (empat), yaitu:
1. Ihram
yang disertai dengan niat, yakni niat masuk menunaikan haji.
2. Wuquf
di tanah Arafah, yang dimaksudkan ialah datangnya orang yang ihram haji dalam
waktu yang sebentar saja sesudah condongnya matahari pada hari tanggal 9 Dzulhijjah
dengan syarat, bahwa orang yang wuquf itu ahli ibadah, tidak gila dan tidak
pula ayan.
3. Thawaf
di Baitullah (Ka’bah) sebanyak 7 kali putaran. Thawaf tersebut dimulai dari
arah Hajar Aswad, seluruh badannya ditepatkan (ketika memulai) pada Hajar Aswad
itu. Seandainya seseorang memulai Thawaf selain dari arah Hajar Aswad, maka
Thawafnya ini tidak ada artinya.
4. Sa’I
antara Shafa dan Marwah sebanyak 7 kali.
Adapun
syaratnya Sa’i, yaitu hendaknya seseorang memulai pada permulaan Sa’inya dari
Shafa dan mengakhirinya di Marwah. Dan dihitung perginya orang dari Shafa ke
Marwah satu kali, kemudian kembalinya dari Marwah ke Shafa dihitung lagi satu
kali
“Shafa” dengan dibaca pendek, pengertiannya ialah bagian
pinggir dari bukit Abi Qubaisy. Sedang “Marwah” dengan dibaca fathah Mimnya
artinya ialah nama bagi suatu tempat yang sudah terkenal di negeri Mekkah.
Dan masih ada lagi beberapa rukun haji, seperti mencukur
atau menggunting rambut. Hal ini jika memang kami menjadikan masing-masing dari
keduanya sebagai ibadah (rukun) dan yang demikian itu adalah pendapat yang
masyhur.
Jika kami berkata, bahwa sesungguhnya masing-masing dari
keduanya itu sebagai usaha memperbolehkan perkara yang dilarang, maka keduanya
bukanlah termasuk dari golongan rukun-rukun haji.[10]
d.
Rukun
Umrah
Adapun
rukun-rukunnya Umrah itu ada 3 perkara sebagaimana menurut sebagian keterangan,
tetapi menurut sebagian keterangan lain rukun-rukun umrah itu ada 4 perkara,
yaitu:
1. Ihram
2. Thawaf
3. Sa’i
4. Mencukur
atau menggunting rambut (menurut salah satu dari dua pendapat)
Mengikuti
salah satu dari dua pendapat itu adalah lebih unggul, seperti keterangan yang
baru saja disebutkan di muka. Jika tidak mengikuti maka berarti mencukur atau
menggunting rambut itu tidak termasuk ke dalam rukun-rukun umrah.[11]
e.
Wajib
Haji
Wajib,
dalam ibadah haji atau umrah, adalah sesuatu yang jika dibaikan_ secara
keseluruhan, atau tidak memenuhi syaratnya_maka haji atau umrah tetap sah,
tetapi orang yang bersangkutan harus melaksanakan sanksi yang telah ditetapkan.
Adapun
hal-hal yang bersifat wajib dalam konteks ibadah haji adalah:
1. Berihram
di Miqat
2. Berada
di Muzdalifah setelah pertengahan malam walau sejenak
3. Berada
di Mina pada malam hari-hari Tasyriq
4. Melontar
jamarat pada setiap hari-hari Tasyriq
5. Menghindari
apa yang diharamkan dalam konteks berihram.[12]
f.
Sunnah-Sunnah
Haji dan Umrah
Secara garis besar
sunnah-sunnah yang dianggap penting adalah:
1. Mandi,
memakai haruman ketika ihram dan shalat dua rakaat ihram.
2. Membaca
talbiyah seusai ihram dan sesudah tiap-tiap shalat.
3. Thawaf
qudum menurut jumhur, bahkan wajib menurut Malikiyah.
4. Shalat
dua rakaat thawaf menurut Syafi’iyah dan Hanabilah. Menunaikannya wajib menurut
Hanafiyah dan Malikiyah.
5. Mabit
di Mina pada malam Arafah, melaksanakan shalat lima waktu di Mina pada hari
Tarwiyah.
6. Mabit
di Muzdalifah pada malam nahar sampai kelihatan siang sebelum terbit matahari
adalah sunat menurut Hanafiyah. Hanabilah mengatakan bahwa mabit di Muzdalifah
adalah wajib. Wajibnya itu selama berhentinya melakukan perjalanan, menurut
Malikiyah. Dan menurut Syafi’iyah, mabit di Muzdalifah cukup dengan hanya
beberapa saat pada pertengahan malam.
7. Mabit
di Mina pada malam-malam Tasyriq sunat menurut Hanafiyah, dan wajib menurut
imam lainnya, yaitu bagi yang tidak berhalangan, demi mengikuti sunnah Rasul SAW
yang diriwayatkan Abu Dawud.
8. Al-Tahshib,
yaitu singgah di lembah Muhashab setelah nafar dari Mina menuju Mekkah di
antara dua bukit pekuburan Hajun. Hal ini sunnah menurut Hanafiyah dan
Hanabilah dan dianjurkan menurut yang lainnya. Serta disepakati semuanya, bahwa
hal itu tidak termasuk salah satu manasik yang mesti dilaksanakan.
9. Khutbah
haji, yaitu satu kali khutbah ba’da Dzuhur. Kecuali khutbah Arafah yaitu dua
khutbah sebelum shalat setelah zawal.[13]
KESIMPULAN
1.
Syeikh Muhammad bin Qasim Asy-Syafi’i
Rahmatullahi ‘Alaihi Waridlwanuhu, dalam kitabnya Fath al-Qarib mendefinisikan
haji secara bahasa dengan arti “menuju”. Sedangkan menurut Syara’ ialah “menuju
tanah Mekkah karena menjalankan Ibadah.
Sementara itu, Dr.
Wahbah al-Zuhaily dalam kitabnya al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, mendefinisikan
haji secara bahasa dengan arti “sembarang maksud”. Beliau pun mengutip
pendapatnya al-Khalil, “Haji itu bermaksud banyak terhadap siapa yang
diagungkan”. Menurut syara’ (hukum Islam), haji bermaksud mengunjungi ka’bah
untuk menunaikan perbuatan tertentu atau menziarahi tempat tertentu pada waktu
tertentu dengan perbuatan tertentu.
2. Syarat-Syarat
Haji
Syarat Umum,
diantaranya;
a) Syarat
wajib, syarat sah dan syarat menunaikannya, yaitu Islam dan berakal;
b) Syarat
wajib dan memenuhi bukan syarat sahnya, yaitu balig dan merdeka;
c) Syarat
wajib saja, yaitu istitha’ah (mampu)
Syarat-syarat Khusus
bagi Wanita
a) Disertai
suaminya atau mahramnya
b) Tidak
dalam keadaan beriddah karena di thalaq atau wafat
3. Hukum
A’mal Haji dan Umrah
Rukun Haji
a. Ihram
b. Wukuf
di Arafah
c. Thawaf
al-Ifadhah
d. Sa’i
antara Shafa dan Marwah
e. Menggundul
atau bercukur rambut
f. Tertib/
Berurutan
Wajib Haji
1. Berihram
di Miqat
2. Berada
di Muzdalifah setelah pertengahan malam walau sejenak
3. Berada
di Mina pada malam hari-hari Tasyriq
4. Melontar
jamarat pada setiap hari-hari Tasyriq
5. Menghindari
apa yang diharamkan dalam konteks berihram
Rukun Umrah
1. Ihram
2. Thawaf
3. Sa’i
4. Mencukur
atau menggunting rambut
Sunnah-sunnah Haji dan
Umrah
1. Mandi,
memakai haruman ketika ihram dan shalat dua rakaat ihram.
2. Membaca
talbiyah seusai ihram dan sesudah tiap-tiap shalat.
3. Thawaf
qudum menurut jumhur, bahkan wajib menurut Malikiyah.
4. Shalat
dua rakaat thawaf menurut Syafi’iyah dan Hanabilah. Menunaikannya wajib menurut
Hanafiyah dan Malikiyah.
5. Mabit
di Mina pada malam Arafah, melaksanakan shalat lima waktu di Mina pada hari
Tarwiyah.
6. Mabit
di Muzdalifah pada malam nahar sampai kelihatan siang sebelum terbit matahari
adalah sunat menurut Hanafiyah. Hanabilah mengatakan bahwa mabit di Muzdalifah adalah
wajib. Wajibnya itu selama berhentinya melakukan perjalanan, menurut Malikiyah.
Dan menurut Syafi’iyah, mabit di Muzdalifah cukup dengan hanya beberapa saat
pada pertengahan malam.
7. Mabit
di Mina pada malam-malam Tasyriq sunat menurut Hanafiyah, dan wajib menurut
imam lainnya, yaitu bagi yang tidak berhalangan, demi mengikuti sunnah Rasul
SAW yang diriwayatkan Abu Dawud.
8. Al-Tahshib,
yaitu singgah di lembah Muhashab setelah nafar dari Mina menuju Mekkah di
antara dua bukit pekuburan Hajun. Hal ini sunnah menurut Hanafiyah dan
Hanabilah dan dianjurkan menurut yang lainnya. Serta disepakati semuanya, bahwa
hal itu tidak termasuk salah satu manasik yang mesti dilaksanakan.
9. Khutbah
haji, yaitu satu kali khutbah ba’da Dzuhur. Kecuali khutbah Arafah yaitu dua
khutbah sebelum shalat setelah zawal
DAFTAR PUSTAKA
Quraish Shihab, M. 2012. Haji dan Umrah bersama M. Quraish Shihab: Uraian Manasik, Hukum, Hikmah
& Panduan Meraih Haji Mabrur . Tangerang: Lentera Hati.
Muhammad bin Qasim Asy-Syafi’I, Abu Abdillah. Tanpa
Tahun. Fath al-Qarib. Terj. Drs. H. Imron
Abu Amar. Kudus: Menara Kudus.
Al Zuhaily, Wahbah. 2006. Al-Fiqhul Islamy Wa Adillatuhu. Terj. Prof. KH. Masdar Helmy.
Bandung: Pustaka Media Utama.
[1] M. Quraish Shihab. Haji dan Umrah bersama M. Quraish Shihab:
Uraian Manasik, Hukum, Hikmah & Panduan Meraih Haji Mabrur . Tangerang:
Lentera Hati. 2012. Hlm. 47-48.
[2]
Abu Abdillah Muhammad bin
Qasim Asy-Syafi’i. Fath al-Qarib. Terj.
Drs. H. Imron Abu Amar. Kudus: Menara Kudus. Tanpa Tahun. Hlm. 198.
[3]
Dr. Wahbah
al Zuhaily. Al-Fiqhul Islamy Wa
Adillatuhu. Terj. Prof. KH. Masdar Helmy. Bandung: Pustaka Media Utama.
2006. Hlm. 167.
[4]
Ibid. hlm. 168.
[5] Ibid. hlm. 177- 189.
[6] Ibid. hlm. 189-190.
[7] Ibid. hlm. 225-226.
[8] Ibid. hlm. 226.
[9] M.
Quraish Shihab. Haji dan Umrah bersama M.
Quraish Shihab: Uraian Manasik, Hukum, Hikmah & Panduan Meraih Haji Mabrur
. Tangerang: Lentera Hati. 2012. hlm. 227.
[10] Abu Abdillah Muhammad bin Qasim
Asy-Syafi’i. Fath al-Qarib. Terj. Drs. H.
Imron Abu Amar. Kudus: Menara Kudus. Tanpa Tahun. Hlm. 200-202.
[11] Ibid. hlm. 202.
[12] M.
Quraish Shihab. Haji dan Umrah bersama M.
Quraish Shihab: Uraian Manasik, Hukum, Hikmah & Panduan Meraih Haji Mabrur
. Tangerang: Lentera Hati. 2012. hlm. 242-262.
[13] Dr.
Wahbah al Zuhaily. Al-Fiqhul Islamy Wa
Adillatuhu. Terj. Prof. KH. Masdar Helmy. Bandung: Pustaka Media Utama.
2006. Hlm. 331-333.
No comments:
Post a Comment
Pembaca Yang Baik Selalu Meninggalkan Jejak Yang Baik :)
Jangan Lupa Like Dan Komentarnya :)