(EXISTENSIALISME,
FENOMENOLOGI, & FILSAFAT HIDUP)
Compiled by: ANDIKAMAULANA
I.
PENDAHULUAN
Pada
kira-kira tahun 1890 dimulailah suatu zaman yang baru, yang dalam banyak hal
berbeda dengan zaman yang mendahuluinya, tetapi yang masih ada juga
kesinambungannya. Abad ke-20 masih juga dijiwai oleh pandangan bahwa yang
paling baik untuk menemukan kebenaran di bidang filsafat adalah cara yang
dengan sadar meninggalkan apa yang telah dapat disumbangkan oleh para pemikir
yang terdahulu di bidang itu. Dengan demikian sifat individualistis yang telah
tampak pada abad ke-19 menjadi berlarut-larut, sehingga sering sukar sekali
untuk mengerti pangkal pemikiran para ahli piker itu.
Pada
umumnya pada bagian pertama abad ke-20 terdapat bermacam-macam aliran yang
berdiri sendiri-sendiri dan yang terdapat di bermacam-macam Negara.
Masing-masing menyebarkan pengaruh yang mendalam dalam masyarakat di
sekitarnya. Pada zaman parohan pertama abad ke-20 umpamanya terdapat aliran
Pragmatisme di Inggris dan Amerika, Filsafat Hidup di Prancis dan Jerman,
Fenomenologi dan masih ada lain-nya lagi.[1]
II.
POKOK
PEMBAHASAN
Di
dalam makalah ini kita tidak akan membicarakan semua aliran yang ada. Kita akan
membatasi diri pada beberapa aliran saja, sbb:
1. Filsafat
Eksistensialisme
2. Fenomenologi
Edmund Husserl
3. Filsafat
Hidup Bergson
III.
PEMBAHASAN
A.
Filsafat
Eksistensialisme
Setelah
selesai Perang Dunia Kedua, penulis-penulis Amerika (terutama wartawan)
berbondong-bondong pergi menemui filosof eksistensialisme, misalnya mengunjungi
filosof Jerman Martin Heidegger (lahir 1839) di gubuknya yang terpencil di
Pegunungan Alpen sekalipun ia telah bekerja sama dengan Nazi. Tatkala seorang
filosof eksistensialisme, Jean Paul Sartre (lahir 1905), mengadakan perjalanan
keliling Amerika, dia disebut oleh surat-surat kabar Amerika sebagai the king of Existensialism. Bila
cerita-cerita sandiwaranya dipentaskan, orang telah menyiapkan ambulans untuk
mengangkut penonton yang jatuh pingsan. Demikianlah sekadar penggambaran
kehebatan filsafat eksistensialisme. Sayangnya filsafat ini sulit dipahami oleh
pemula. Marilah kita mulai dengan memperhatikan lebih dulu definisi
eksistensialisme.
Tidak
mudah membuat definisi eksistensialisme. Kesulitannya ialah karena existensialism embraces a variety of style
and convictions (Encyclopedia Americana: 10;762). Kaum eksistensialis
sendiri tidak sepakat mengenai rumusan tentang apa sebenarnya eksistensialisme
itu. Sekalipun demikian, ada sesuatu yang disepakati: baik filsafat eksistensi
maupun eksistensialisme sama-sama menempatkan cara wujud manusia sebagai tema
sentral.
Kata
dasar eksistensi (existency) adalah exist yang berasal dari kata latin ex yang berarti keluar dan sistere yang berarti berdiri. Jadi,
eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Pikiran semacam ini
dalam bahasa Jerman disebut dasein. Da berarti di sana, sein berarti berada. Berada bagi manusia selalu berarti disana, di
tempat. Tidak mungkin ada manusia tidak bertempat. Bertempat berarti terlibat
dalam alam jasmani, bersatu dengan alam jasmani. Akan tetapi, bertempat bagi
manusia tidaklah sama dengan bertempat bagi batu atau pohon. Manusia selalu
sadar akan tempatnya. Dia sadar bahwa ia menempati. Ini berarti suatu
kesibukan, kegiatan, melibatkan diri. Dengan demikian, manusia sadar akan
dirinya sendiri. Jadi, dengan keluar dari
dirinya sendiri manusia sadar tentang dirinya sendiri; ia berdiri sebagai aku atau pribadi.
Apa
yang dapat diambil dari uraian singkat itu? Yang dapat dimabil antara lain
ialah bahwa cara berada manusia itu menunjukkan bahwa ia merupakan kesatuan
dengan alam jasmani, ia satu susunan dengan alam jasmani, manusia selalu
mengonstruksi dirinya dalam alam jasmani sebagai satu susunan. Karena manusia
selalu mengonstruksi dirinya, jadi ia tidak pernah selesai. Dengan demikian,
manusia selalu dalam keadaan membelum; ia selalu sedang ini atau sedang itu.
Jadi, manusia selalu menyedang. Sartre menyatakan bahwa hakikat beradanya
manusia bukan etre (ada), melainkan a etre (akan atau sedang). Jadi, manusia
itu selalu membangun ada-nya.
Filsafat
eksistensi tidak sama persis dengan filsafat eksistensialisme. Yang dimaksud
dengan filsafat eksistensi adalah benar-benar sebagaimana arti katanya, yaitu
filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral. Ini adalah
satu ragam filsafat. Tokoh-tokoh yang dapat dogolongkan ke dalam filsafat
eksistensi telah banyak terdapat sebelum lahirnya filsafat eksistensialisme.
Adapun yang dimaksud dengan filsafat eksistensialisme rumusan lebih sulit
daripada eksistensi.
Eksistensialisme
menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda lain tidaklah sama. Manusia berada
di dunia; sapi dan pohon juga. Akan tetapi, cara
beradanya tidak sama. Manusia berada
di dalam dunia; ia mengalami beradanya di
dunia itu; manusia menyadari dirinya berada di dunia itu. Manusia juga menghadapi dunia, menghadapi dengan
mengerti yang dihadapinya itu. Manusia mengerti guna pohon, batu, dan slah satu
di antaranya ialah mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti. Apa arti semua ini?
Artinya ialah bahwa manusia adalah subjek. Subjek artinya yang menyadari, yang sadar. barang-barang yang disadarinya disebut objek.[2]
B.
Fenomenologi
Edmund Husserl
Filsafat
zaman kita dipengaruhi secara mendalam oleh fenomenologi yang diajarakan oleh
Edmund Husserl (1859-1938). Seperti halnya kaum neo-kantian, Husserl bertolak
dari filsafat ilmu. Husserl, yang tadinya seorang ahli matematika, memandang
perlu untuk memberikan dasar kefilsafatan yang semakin lanjut kepada
masalah-masalah teoretik yang diajukan. Dalam hal ini ia sampai pada keinsyafan
yang tegas, bahwa setiap pendekatan mengenai masalah-masalah tersebut harus
dimulai dengan menemukan cara yang khas untuk memahami fenomena-fenomena.
Fenomenologi berkembang sebagai metode untuk mendekati fenomena-fenomena dalam
kemurniaanya. Gagasan ini merupakan pedoman yang tetap dalam seluruh
perkembangan yang dialami oleh fenomenologi Husserl.
Apakah
fenomena itu? Segala sesuatu yang dengan sesuatu cara tertentu tampil dalam
kesadaran kita. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu
yang nyata, yang berupa gagasan maupun yang berupa kenyataan. Yang penting
ialah pengembangan suatu metode, yang tidak memalsukan fenomena, melainkan
dapat mendeskripsikan seperti penampilannya. Untuk keperluan itu orang hendak
memusatkan perhatiaannya kepada fenomena tersebut tanpa prasangka sama sekali.
Seorang fenomenolog hendak menanggalkan segenap teori, praanggapan serta
prasangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana adanya.
Tetapi
sesungguhnya usaha kembali kepada barangnya sendiri ini tetap merupakan usaha
kembali kepada barangnya, seagaimana penampilannya dalam kesadaran. Barang yang
tampil dalam kesadaran itulah fenomena. Bagi Husserl pada masa pertama
ajarannya mengenai fenomenologi, ini tidak berarti bahwa barang-barang tersebut
hanya merupakan bentuk penampilan kesadaran, seperti yang dikatakan idealisme.
Karena jika demikian halnya, berarti sudah mendasarkan pada diri atas suatu
teori tertentu, sedangkan fenomenologi justru harus bersifat prateoritik. Yang
demikian ini juga tidak berarti bahwa Husserl ingin menjadi seorang realis:
sesungguhnya fenomenologi menempati kedudukan sebelum terdapatnya pembedaan antara
realisme dengan idealisme.
Usaha
kembali kepada fenomena ini memerlukan pedoman metodik. Kiranya tidak mungkin
untuk melukiskan fenomena-fenomena sampai kepada hal-hal yang khusus satu demi
satu, dan seandainya mungkin, juga tidak aka nada gunanya. Yang pokok ialah
menangkap hakikat fenomena-fenomena. Karenanya metode tersebut harus begitu
rupa, sehingga dapat menyisihkan hal-hal yang tidak hakiki, dan agar hakikat
ini dapat mengungkapkan dirinya sendiri. Yang demikian ini bukan suatu
abstraksi, melainkan suatu intuisi mengenai hakikat. Bagi Husserl masalah
metode ini begitu mendasarnya, sehingga dalam karya-karyanya metodik ini
senantiasa mendapat tempat yang utama. Hal ini berlaku baik dalam karyanya Logische Untersuchengen (1900-01), yang
di dalamnya untuk pertama kalinya dimuat rencana fenomenologi, maupun dalam
karya-karyanya yang kemudian. Dalam karya-karya yang diterbitkan sesudah ia
meninggal, kita dapati penerapan-penerapan metode ini secara lebih kongkret
pada berbagai bidang kenyataan yang ada.[3]
C. Filsafat Hidup Bergson
Pada
abad yang ke-19 dan awal abad ke-20 ilmu pengetahuan dan tehnik berkembang
dengan cepat, yang mengakibatkan perkembangan industrialisasi yang cepat juga.
Hal ini menjadikan segala pemikiran orang diarahkan kepada hal-hal yang bendani
saja. Akal manusia dipakai untuk menyelidiki segala sesuatu. Segala sesuatu di
analisa, dibongkar dan ditafsirkan, serta disusun kembali. Juga ilmu yang
menyelidiki jiwa manusia (psikologi) berbuat demikian. Baik jagat raya maupun
manusia dipandang sebagai mesin, yang terdiri dari banyak bagian, yang
masing-masing menempati tempatnya sendiri-sendiri, serta yang bekerja menurut
hukum yang telah ditentukan bagi masing-masing bagian itu. Demikianlah juga
halnya dengan manusia. Roh bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Kerjanya
disebabkan karena akibat proses-proses bendani yang berjalan karena keharusan,
seperti umpamanya: ginjal harus mengeluarkan air kencing, jantung harus memompa
darah, otak harus mengeluarkan buah pikiran, dan lain sebagainya.
Salah
satu reaksi terhadap pandangan yang demikian itu adalah filsafat hidup, yang
salah seorang penganutnya adalah HENRI
BERGSON (1859-1941), seorang yang berdarah campuran Perancis dan Yahudi,
semula ia belajar Matematika dan Fisika. Tetapi karena justru kecakapannya
untuk menganalisa itulah ia segera dihadapkan dengan persoalan-persoalan Metafisika
yang tersembunyi di belakang tiap ilmu pengetahuan. Hal ini menyebabkan dia
berpaling ke filsafat.
Banyak
buah tulisannya, di antaranya: Essai sur
les donnees immediate de la conscience, atau “Karangan mengenai hal-hal
yang langsung ditemui dalam kesadaran” (1889), yang diterbitkan dalam bahasa
inggris di bawah judul Time and Free
Will, atau “Waktu dan Kehendak Bebas”; L’Evolution
creatrice, atau “Evolusi yang Kreatif” (1907); Les Deux sources de la morale et de la religion, atau “Kedua sumber
kesusilaan dan agama” (1932).
Semula
Bergson mengagumi Spencer, tetapi makin ia mendalami ajaran Spencer makin
ragu-ragu ia terhadap kebenaran ajaran yang mengemukakan, bahwa hidup berasal
dari benda atau materi yang tanpa hidup.
Menurut
Bergson, hidup adalah suatu tenaga eksplosif yang telah ada sejak awal dunia,
yang berkembang dengan melawan penahanan atau penentangan materi (sesuatu yang
lamban yang menentang gerak, yang oleh akal dipandang sebagai materi atau
benda). Jikalau gerak perkembangan hidup itu digambarkan sebagai gerak ke atas,
maka materi adalah gerak ke bawah, yang menahan gerak ke atas itu. Dalam
perkembangannya sebagai gerak ke atas hidup menjumpai penahanan gerak ke bawah
itu. Hal ini mengakibatkan hidup terbagi-bagi menuju arus yang menuju ke banyak
jurusan, yang sebagian ditundukkan oleh materi, sedang bagian yang lain tetap
memiliki kecakapannya untuk berbuat secara bebas dengan terus berjuang keluar
dari genggaman materi. Bergson yakin akan adanya evolusi, tetapi tidak seperti
yang diajarkan Darwin, yang menggambarkan evolusi sebagai perkembangan segaris,
yang satu sesudah yang lain, dengan manusia sebagai puncaknya. Menurut Bergson
evolusi adalah suatu perkembangan yang menciptakan, yang meliputi segala
kesadaran, segala hidup, segala kenyataan, yang dalam perkembangannya itu terus
menerus menciptakan bentuk-bentuk yang baru dan menghasilkan kekayaan yang
baru. Evolusi ini tidak terikat kepada keharusan seperti keharusan yang
tersirat di dalam hukum sebab akibat yang mekanis. Evolusi, demikian Bergson,
bukan bergerak ke satu arah di bawah dorongan suatu semangat hidup yang
bersifat tumbuh-tumbuhan perkembangan itu kandas dalam bentuk-bentuk yang tanpa
kesadaran; pada binatang perkembangan itu berhenti dalam naluri, sedang pada
manusia perkembangan itu berlangsung sampai pada akal.
Yang
disebut naluri adalah tenaga bawaan kelahiran guna memanfaatkan alat-alat
organis tertentu dengan cara tertentu. Kerjanya terjadi otomatis, tanpa memberi
tempat kepada spontanitas atau pembaharuan (karena naluri burung membuat
sarangnya). Naluri semata-mata diarahkan kepada kepentingan kelompok atau
rumpunnya. Oleh karena itu sifat individual ditaklukkan kepada sifat kelompok
(semut, lebah, dll).
Manusia
memiliki akal, yaitu kecakapan untuk menciptakan alat-alat kerja bagi dirinya
dan secara bebas dapat mengubah-ubah pembuatan alat-alat kerja itu. Akal
mencakapkan manusia untuk menyadarkan diri akan kepentingan-kepentingan
individu. Akan tetapi kala tidak dapat dipakai untuk menyelami hakikat yang
sebenarnya dari segala kenyataan. Sebab akal adalah hasil perkembangan, yaitu
perkembangan dalam rangka proses hidup. Akal timbul karena proses penyesuaian
manusia. Dengan akalnya manusia dapat menyesuaikan diri dengan dunia
sekitarnya. Oleh karena itu akal memiliki fungsi yang praktis. Itulah sebabnya
akal tidak dapat menyelami hakikat yang sebenarnya dari segala kenyataan. Dalam
hidup yang praktis itu akal harus mempergunakan pengertian-pengertian guna
mengabadikan perubahan-perubahan yang ada. Padahal pengertian-pengertian adalah
gagasan-gagasan yang tak bergerak, yang telah membeku, yang merusak hakikat
kenyataan yang dirumuskan dalam pengertian itu. Kerja akal sama seperti kerja
alat potret, yang mengabadikan gerak-gerak yang dipotret dalam gambar yang
mati. Oleh karena itu akal berguna sekali bagi pemikiran ilmu fisika dan
mekanika, tetapi tidak berguna bagi penyelaman ke dalam hakikat segala sesuatu.
Guna
menyelami hakikat segala kenyataan diperlukan intuisi, yaitu suatu tenaga
rohani, suatu kecakapan yang dapat melepaskan diri dari akal, kecakapan untuk
menyimpulkan serta meninjau dengan sadar. Intuisi adalah naluri yang telah
mendapatkan kesadaran diri, yang telah dicakapkan untuk memikirkan sasarannya
serta memperluas sasaran itu menurut kehendak sendiri tanpa batas. Intuisi
adalah suatu bentuk pemikiran yang berbeda dengan pemikiran akal, sebab
pemikiran intuisi bersifat dinamis. Fungsi intuisi ialah untuk mengenal hakikat
pribadi atau “aku” dengan lebih murni dan untuk mengenal hakikat seluruh
kenyataan. Hakikat yang sebenarnya, baik dari “aku” maupun dari “seluruh
kenyataan” oleh intuisi dilihat sebagai “kelangsungan murni” atau “masa murni”,
yang keadaannya berbeda sekali dengan “waktu” yang dikenal akal.
Demikianlah
filsafat hidup Bergson yang besar sekali pengaruhnya di Perancis.[4]
IV.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Eksistensialisme
menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda lain tidaklah sama. Manusia
berada di dunia; sapi dan pohon juga. Akan tetapi, cara beradanya tidak sama.
Manusia berada di dalam dunia; ia mengalami
beradanya di dunia itu; manusia menyadari dirinya berada di dunia itu.
Manusia juga menghadapi dunia,
menghadapi dengan mengerti yang dihadapinya itu. Manusia mengerti guna pohon,
batu, dan slah satu di antaranya ialah mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti.
Apa arti semua ini? Artinya ialah bahwa manusia adalah subjek. Subjek artinya yang menyadari, yang sadar. barang-barang
yang disadarinya disebut objek.
2. Apakah
fenomena itu? Segala sesuatu yang dengan sesuatu cara tertentu tampil dalam
kesadaran kita. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu
yang nyata, yang berupa gagasan maupun yang berupa kenyataan. Yang penting
ialah pengembangan suatu metode, yang tidak memalsukan fenomena, melainkan
dapat mendeskripsikan seperti penampilannya. Untuk keperluan itu orang hendak
memusatkan perhatiaannya kepada fenomena tersebut tanpa prasangka sama sekali.
Seorang fenomenolog hendak menanggalkan segenap teori, praanggapan serta
prasangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana adanya.
3. Bergson
(1859-1941) kenyataan yang selalu “menjadi” hanya dapat dicapai dengan intuisi,
tak dapat dinyatakan dengan pengertian-pengertian yang abstrak. Sangat besar
pengaruhnya.
V.
DAFTAR
PUSTAKA
Delfgaauw,
Bernard. 2001. De Wijsbegeerte Van De 20e
Eeuw. Filsafat Abad 20 (Edisi Indonesia). Terj. Drs. Soejono Soemargono.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Hadiwijono, Harun.
1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2.
Yogyakarta: kanisius.
Tafsir,
Ahmad. 2003. Filsafat Umum (Akal dan Hati
Sejak Thales Sampai Capra). Bandung: Remaja Rosdakarya.
[1]
Dr.
Harun Hadiwijono. Sari Sejarah Filsafat
Barat 2. Yogyakarta: kanisius. 1980. Hlm. 130.
[2]
Prof.
Dr. Ahmad Tafsir. Filsafat Umum (Akal dan
Hati Sejak Thales Sampai Capra). Bandung: Remaja Rosdakarya. 2003. Hlm.
217-222.
[3]
Dr.
Bernard Delfgaauw. De Wijsbegeerte Van De
20e Eeuw. Filsafat Abad 20 (Edisi Indonesia). Terj. Drs. Soejono
Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana. 2001. Hlm. 104-106.
[4]
Dr.
Harun Hadiwijono. Sari Sejarah Filsafat
Barat 2. Yogyakarta: kanisius. 1980. Hlm. 135-139.
No comments:
Post a Comment
Pembaca Yang Baik Selalu Meninggalkan Jejak Yang Baik :)
Jangan Lupa Like Dan Komentarnya :)