Sumber Gambar Disini
Compiled by: ANDIKA MAULANA
I.
PENDAHULUAN
Pergumulan pemahaman nash baik terhadap al-Qur’an
maupun Hadis Nabi Saw., terus berlangsung dan mengkristal pada dua model
pendekatan yang cukup besar yaitu pendekatan tekstual dan kontekstual.
Sementara pihak menganggap lahirnya pendekatan
kontekstual baru muncul abad 20-an, namun sebenarnya jauh pada masa Nabi Saw.
dan sahabatnya pemahaman ini telah ada, demikian pula pada generasi- generasi
selanjutnya.
Dalam dunia ulumul Qur’an dan tafsir al-Qur’an,
perkembangan tafsir Al-Qur’an baik secara tekstual maupun kontekstual demikian
pesat dan mendapatkan perhatian banyak pihak hingga lahir karya-karya di bidang
ini yang tidak terbilang jumlahnya. Sementara pada bidang hadis dan ulumul
hadis, perhatian tersebut masih terbatas terutama pada aspek pemahaman terhadap
hadis Nabi Saw (fiqh al-hadis), padahal ulama masa awal telah banyak melahirkan
produk pemahamannya dalam karya tulis yang dikenal kemudian sebagai kitab
syarah hadis.
Lebih lanjut, kitab-kitab syarah hadis (sebagai produk
ulama dalam memahami hadis) tidak dapat dilepaskan dari pengaruh para syarih
(orang yang memberikan penjelasan itu sendiri), baik pada kapasitas keilmuan,
latar belakang kultur, masa dan tempat serta kepentingan-kepentingan lain yang
turut mewarnai proses pen-syarah-an tersebut, sehingga tidak sedikit perbedaan
yang muncul antara pen-syarah-an ulama tertentu dengan ulama lain di samping
persamaan-persamaan yang dimiliki.
Di antara mereka ada yang mencukupkan pada
pen-syarah-an yang simpel (memberikan keterangan sedikit kepada bagian teks
yang musykil saja), namun ada pula yang memberikan pen-syarah-an yang “jelimet”
(memberikan penjelasan secara rinci dari unsur bahasa, hikmah, dan lainnya dari
seluruh sanad hingga seluruh matan hadis yang ada).
Berangkat dari fenomena di atas, kitab syarah hadis
tak terhitung jumlahnya, dengan argumen bahwa dimungkinkan di setiap negara dan
di setiap masa telah bermunculan syarah hadis sesuai dengan “bahasa” mereka.
Salah satu kitab syarah hadis yang cukup besar, namun belum banyak dikenal di
tengah masyarakat adalah ‘Umdat al-Qari karya Badr al-Din al-‘Aini, kitab ini
mensyarahi Shahih al-Bukhari, bahkan kitab syarah Shahih al-Bukhari lainnya
yang lebih terkenal seperti Fath al-Bari karya Ibn Hajar al-‘Asqalani banyak
menyandarkan pensyarahannya terhadap kitab ini.[1]
Untuk mengenal lebih jauh sosok Badr al-Din al-‘Aini
berikut model pemahaman hadisnya, pemakalah kemukakan penjelasannya sebagai
berikut.
II.
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Badr al-Din al-‘Aini
Nama
lengkap Badr al-Dinn al-‘Aini adalah Mahmud bin al-Qadli Syihab al-Din Ahmad
bin Musa bin Ahmad bin al-Husain bin Yusuf bin Mahmud, dengan sandaran
madzhabnya al-Hanafi, kemudian nasabnya al-‘Aini al-Mishri, ber-kunyah Abu
Muhammad juga Abu al-Tsana’ dan bergelar al-Faqih Badr al-Din.
Badr
al-Din al-‘Aini lahir 762 H, tepatnya pada bulan Ramadlan di Durabkeiken dan
tumbuh di ‘Ainatab. Ayahnya (Syihab al-Din Ahmad bin Musa) adalah seorang qadli
di ‘Ainatab yang meninggal pada tahun 784 (pada saat Badr al-Din telah
berumur 22 tahun).
Melalui
didikan orang tuanya, Badr al-Din al-‘Aini sudah menghafal al-Qur’an dan
tafaqquh (mendalami ajaran agama) sejak dini, sehingga matang dalam memahami
Islam. Pengetahuan agamanya disamping ia peroleh dari ayahnya juga dari
beberapa ulama yang hidup di wilayahnya pada masa itu.
Perjalanan
Ilmiah Badr al-Din al-‘Aini dimulai dari ‘Ainatab, baru kemudian ia melakukan
rihlah ‘ilmiyyah (menimba ilmu) ke Halb dan berguru kepada al-‘Allamah Jamal
al-Din Yusuf bin Musa al-Multhi al- Hanafi. Selanjutnya menuju Quds dan berguru
kepada al-‘Ala’ al-Sairami, kemudian ke Kaero pada tahun 788 H.
Di
Kaero inilah, Badr al-Din al-‘Aini mewarisi keahlian ayahnya yaitu menjadi
seorang Qadli, hal ini disinyalir karena Badr al-Din al-‘Aini di damping
dikenal sebagai faqih juga memiliki kedekatan dengan Raja, dan dalam memegang
jabatan ini Badr al-Din al-‘Aini bertahan hingga tahun 842 H.
Badr
al-Din al-‘Aini memiliki kemampuan dua bahasa yang populer pada saat itu di
wilayah Timur Tengah, yaitu bahasa Arab dan bahasa Turki. Keilmuannya didukung
oleh banyaknya buku dalam berbagai bidang ilmu agama yang ia kuasai mulai dari
tafsir, fiqh, hadis, bahasa, nahwu, tashrif, tarikh dan lainnya, karenanya
wajar bila wawasan ilmunya cukup luas khususnya di bidang bahasa.[2]
B.
Karya-Karya
Badr al-Din al-‘Aini
Badr
al-Din al-‘Aini wafat pada tahun 855 H, tepatnya malam Selasa pada tanggal 4
Dzul Hijjah di Kaero Mesir. Beberapa peninggalan berharga dari karya mu’allif
ini antara lain:[3]
1. al-Binayah fi syarh
al-Hidayah li al-Marhaniyani
2. Tarikh al-Ukamsarah
3. Tarikh al-Badr fi
Awshaf ahl al-‘Ashr
4. Hasyiyah ‘ala syarh
Ibn al-Mushannif li al-Alfiyyah
5. Al-Hawi syarh
Qashidah al-Sawi fi al-‘Arudl
6. Durar li al-Bihar
al-Zahirah fi Nudhum al-Bihar al-Zakhirah li Hisam al- Rahawi
7. Al-Durar al-Fakhirah
syarh al-Bihar al-Zahirah
8. Ramz al-Haqa’iq fi
syarh Kanz al-Daqa’iq
9. Zain al-Majalis
‘Alim al-Salam
10. Siyar
al-Anbiya’
11. Sirah al-Mulk
al-Asyraf
12. Sirah al-Mulk
al-Dhahir Thughrul
13. Sirah al-Mulk
al-Muayyad
14. Syarh sirah
al-Muglatha
15. Syarh
al-Syafiyah li Ibn al-Hajib
16. Syarh ‘Arudl
li Ibn al-Hajib
17. Syarh Quth’ah
min Sunan Abi Dawud
18. Thabaqat
al-Hanafiyyah
19. Thabaqat
al-Syu’ara’
20. ‘Aqd al-Jaman
fi Tarikh ahl al-Zaman
21. al-‘Ilm al-Haib
fi syarh al-Kalam al-Thayyib li Ibn Taimiyyah
22. ‘Umdat
al-Qari fi syarh al-Jami’ al-Shahih li al-Bukhari
23. Faraid
al-‘Awa’id fi Ihtishar syarh al-Syawahid li al-Alfiyyah
24. Kasf al-Litsam
fi syarh Sirah Ibn Hisyam
25. al-Masa’il
al-Badriyyah al-Muntakhab min Fatawa al-Dhahiriyyah
26. al-Mutajammi’
fi syarh al-Majma’ li Ibn al-Sa’ati
27. Masyarih
al-‘Usur fi al-khuthabi wa al-mawa’idhi
28. Maghani al-Akhbar
fi Rijal Ma’ani al-Atsar
29. al-Maqashid
al-Nahwiyyah fi syarh Syawahid syuruh li al-Alfiyyah
30. Malah
al-Arwah fi Syarh al-Marah
31. Minhah
al-Suluk syarh Tuhfah al-Muluk fi al-Furu’
32. Mizan al-Nushush
fi ‘ilm al-‘Arudl
33. Nakhab
al-Afkar fi Tanqih Mabani al-Akhbar syarh Ma’ani al-Atsar
34. Nihayah
al-Bayan syarh ‘ala al-Hidayah li al-Marghaniyani
C.
Sekilas
tentang Umdatul Qari
Pensyarahan
hadis sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya merupakan proses transformasi
pemahaman (fiqh al-hadits) dari budaya lisan ke budaya tulis, artinya bahwa
pada awalnya penjelasan hadis banyak berlangsung secara safahi (lisan),
kemudian berkembang kepada penuangan dari hasil pemahaman tersebut kepada media
tulisan yang kemudian dikenal sebagai kitab syarh.
Salah
satu hazanah kitab syarah hadis Nabi Saw karya Badr al-Din al- ‘Aini adalah
kitab ‘Umdat al-Qari. Kitab ini mensyarahi Shahih al-Bukhari karya Imam
al-Hafidh Abu ‘Abd Allah Muhammad bin Isma’il al-Ju’fi al- Bukhari (w. 256 H)
-sebagai kitab himpunan hadis yang shahih pertama kali di antara kutub
al-Sittah, Imam al-Nawawi dalam Syarah Muslim yang dikutip Haji Khalifah
menyatakan bahwa ulama sepakat bahwa kitab yang paling shahih setelah al-Qur’an
adalah Shahihani (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim), di antara keduanya
Shahih al-Bukhari yang lebih utama.
Ulama
banyak yang memberikan apresiasi terhadap kitab Shahih al- Bukhari ini
diantaranya bukti adalah munculnya kitab-kitab syarah (penjelasan) atas kitab
ini baik masih berupa naskah (makhthuth) maupun yang telah diterbitkan
(mathbu’), lebih rinci dapat dilihat dalam kitab Kasyf al-dhunun karya Haji
Khalifah. Salah satunya adalah Umdat al-Qari karya Badr al-Din al-‘Aini.[4]
Tentang karya Badr al-Din al-‘Aini ini, kitabnya
memiliki nama lengkap Umdat al’Qari syarh Shahih al-Bukhari. Secara khusus Badr
al-Din al-‘Aini dalam rangka menuliskan kitab ini, ia telah melakukan lawatan
sebelumnya ke negeri Selatan al-Nadiyah yaitu sebelum tahun 800 H dalam
rangka memperoleh pengetahuan yang langka seperti mempelajari kitab al-Lalali
al-Zawahir yang terkait dengan menampilkan rahasia kitab Shahih al-Bukhari
tersebut.
Kemudian
dia kembali ke Mesir dan membuat syarah atas kitab Ma’ani al-Atsar karya
al-Imam Abu Ja’far Amad bin Muhammad bin Salamah al-Thahawi, kemudian
mensyarahi Sunan Abi Dawud al-Sijistani, baru kemudian setelah selang beberapa
waktu ia mensyarahi kitab Shahih al- Bukhari.
Badr al-Din al-‘Aini menyatakan bahwa ada beberapa
hal yang ia hasilkan dari pensyarahan kitab Shahih al-Bukhari ini, antara lain:
1. Memahami keunggulan yang tersembunyi di dalamnya
bahwa sebuah ilmu adalah pemberian Allah.
2. Penampakan dari ilmu Allah tersebut patut
disyukuri agar ditambahkan nikmatnya oleh Allah yaitu dengan menyebarluaskan
ilmu itu kepada ummat.
3.
Banyaknya do’a dari para sahabat dalam penulisan kitab syarah hadis ini turut
mendorong terwujudnya penjelasan yang simpel tapi jelas.[5]
D.
Langkah
Pemahaman Hadis Badr al-Din al-‘Aini
Para
syarih (pensyarah hadis) pada umumnya memberikan komentar atau penjelasan suatu
hadis dalam kitab himpunan hadis tertentu dengan menggunakan sistematika yang beragam,
ada yang sangat rinci (tafshili), ada pula yang ringkas atau terbatas pada kata
ataupun kalimat tertentu (wajiz). Tentang sistematika pensyarahan Badr al-Din
al-‘Aini dalam ‘Umdat al-Qari ini secara garis besar dapat digambarkan sebagai
berikut:
1.
Muqaddimah Kitab, di antaranya memuat puji-pujian kepada Allah, shalawat,
urgensi sunnah Nabi dan pentingnya pemahaman terhadapnya, penyendaran (isnad)
Badr al-‘Aini terhadap imam al- Bukhari (melalui dua jalur), beberapa informasi
di sekitar Shahih al- Bukhari mulai dari; penamaan, peringkat kitabnya di
jajaran kitab hadis, status hadisnya, jumlah hadisnya, pembaban, rawi-rawi yang
terlibat di dalamnya (5 Thabaqat), rawi yang dikritik, status syawahid dan
mutabi’ hadis-hadisnya, penetapan nama-nama yang sering digunakan al-Bukhari
serta status hadis yang tanpa sanad di dalamnya.
2.
Penjelasan kitab ataupun bab. Dalam hal ini Badr al-Din al-‘Aini menyatakan
bahwa “sudah menjadi kewajiban mushannif dalam memulai karyanya untuk
menuliskan 3 hal (risalah): basmalah, hamdalah dan shalawat, ada pula yang
menyatakan 4 yaitu ditambahkan tentang betapa penting dan terpujinya ilmu yang
sedang ditulis tersebut”. Kemudian tentang penamaan kitab atau bab, mulai dari
bayan al-tarjamah (penjelasan maksud isi), bayan al-lughah (telaah bahasa),
bayan al-sharf (telaah sharafiyyah), bayan al-i’rab (telaah I’rab), bayan
al-ma’ani (telaah makna), bayan al-bayan (telaah bayani), bayan tafsir (telaah
penafsiran ayat), bayan tashdir al-bab bi al-ayat al-madzkurah (telaah argumentasi
penggunaan ayat sebagai awal bab yang dimaksud). Secara umum sistematika
penjelasan di atas konsisten digunakan Badr al-Din al-‘Aini, hanya saja
penjelasan yang telah diberikan pada bagian-bagian awal tidak diulangi kembali
bada bagian-bagian selanjutnya. Di samping itu penjelasan terhadap kitab
ataupun bab tersebut tidak semuanya diberikan penjelasan dari point perpoint,
melainkan yang dianggap perlu mendapatkan penjelasan sesuai sub tema pada
point-point tersebut saja.
3.
Penjelasan hadis yang terdiri dari penjelasan sanad berikut matannya, dalam hal
ini sistematika yang digunakan Badr al-Din al-‘Aini sebagai berikut.
Setelah mengemukakan hadis
secara lengkap, Badr al-Din al-‘Aini memulai penjelasannya dengan beberapa
judul telaah (sebagaimana pada point sebelumnya) antara lain bayan ta’alluq
al-hadits bi al-ayah (telaah korelasi hadis dengan ayat yang dikemukakan
sebelumnya), bayan ta’alluq al-hadits bi al-tarjamah (telaah korelasi hadis
dengan maksud isinya), bayan rijalihi (telaah rawi yang ada di dalam hadis
tersebut), bayan dlabth al-rijal (telaah kepastian personal rawi melalui
penyebutan yang tepat seperti al-humaidi dengan al-hamid), bayan al-ansab
(telaah nasab terutama bila ada dua nama yang sama), bayan fawaid tata’allaq bi
al-rijal (telaah manfaat yang terkait dengan informasi rawi), bayan lathaif
isnadihi (telaah dari seluk beluk periwayatan di dalam rangkaian sanad hadis),
bayan nau’ al-Hadits (telaah jenis hadis, seperti keterangan tentang mutawatir
atau ahad-nya hadis, ittishal atau inqitha’-nya sanad, musnad ila al-Nabi atau
mauqufan dan sejenisnya), bayan ta’addud al-hadits fi al- shahih (telaah jumlah
hadis tersebut dalam shahih al-Bukhari ini, lihat contoh), bayan man akhrajahu
ghairuh (telaah mukharrij lain yang mengutip hadis yang dimaksud), bayan
Ikhtilaf lafdhihi (telaah perbedaan lafadh hadis), bayan ikhtiyarihi hadza fi
al-bidayah (telaah argumen pemilihan hadis ini sebagai pendahuluan), bayan
al-Lughah (telaah bahasa), bayan al-i’rab (telaah i’rab), bayan
al-ma’ani (telaah makna), bayan al-bayan (telaah bayani), bayan al-badi’
(telaah keindahan sastranya), al-as’ilah wa al-ajwibah (perbincangan di
sekitar hadis), bayan al-sabab wa al-maurud (telaah sebab munculnya
hadis), faedah (beberapa manfaat hadis), bayan al-sharf (telaah sharaf),
istinbath al-Ahkam (hukum yang dapat ditarik dari nash ini), hukm al-hadits
(status hadis), bayan ikhtilaf al-riwayat (telaah berbagai perbedaan riwayat),
serta Tambahan lain pada keterangan rijal yang ada di dalam sanad maupun matan
hadis, antara lain Badr al-Din al-‘Aini juga memberikan keterangan tentang 1)
bayan al-asma’ al-waqi’qh fihi (telaah nama yang dikutip dalam hadis), 2)
bayan al-asma’ al-mubhamah (telaah nama yang samar), 3) bayan asma’ al- amakin
fihi (telaah nama-nama tempat yan dikutip di dalamnya).
Sebagaimana penjelasan pada bab ataupun kitab, dalam
konteks penjelasan hadis inipun Badr al-Din al-‘Aini secara umum menggunakan
secara konsisten sistematika penjelasan point-perpoint di atas,
hanya saja penjelasan yang telah diberikan pada bagian-bagian awal tidak
diulangi kembali bada bagian-bagian selanjutnya. Di samping itu penjelasan
terhadap rijal ataupun matan hadis tersebut tidak semuanya diberikan penjelasan
dari point ke point, melainkan yang dianggap perlu mendapatkan penjelasan
sesuai sub tema pada point-point tersebut saja.
Disamping itu ada beberapa penamaan sub tema dari
penjelasan Badr al-Din al-‘Aini ini yang digabungkan, misal gabungan antara dua
sub tema bayan ta’addud al-hadits dengan bayan man akhrajahu ghairuhu, kemudian pada sub tema bayan al-ma’ani denan
bayan al-bayan. Ada pula dari bentuk sub
tema mufrad diganti dalam bentuk jama’ seperti bayan al-lughah menjadi bayan al-lughat.[6]
E.
Pendekatan
dan Corak Syarah
Berdasarkan
pembacaan terhadap sistematika pensyarahan di atas, tampak sekali nuansa
lughawi (corak kebahasaan) mendominasi pensyarahan yang dilakukan oleh Badr
al-Din al-‘Aini.
Misalnya
dalam menjelaskan nama bab ataupun kitab yang termuat dalam Shahih al-Bukhari
hampir keseluruhannya dijelaskan melalui pendekatan bahasa, diantaranya telaah
tarjamah, al-lughah, al-sharf, al- i’rab, al-ma’ani, al-bayan dan al-tafsir.
Satu
point yang tidak terkait dengan pendekatan kebahasaan secara langsung, yaitu
telaah korelasi judul dengan ayat al-Qur’an yang dimunculkan di tiap awal bab
tersebut.
Demikian
pula dalam menjelaskan hadis Nabi, sekalipun di awal dikemukakan telaah korelasi
hadis dengan ayat yang dimunculkan pada awal bab-nya, dominasi pendekatan
kebahasaan tetap lebih menonjol. Misalkan dalam menelaah rijal dalam sanad,
Badr al-Din al-‘Aini menjelaskan secara detail huruf dan harakat nama-nama rawi
yang ada di dalam sanad yaitu melalui sub tema bayan rijalihi, bayan dlabth
al-rijal, bayan al-asma’ al-waqi’ah fihi, bayan al-asma’ al-mubhamah dan bayan
al- asma’ al-amakin fihi.
Dalam
memberikan penjelasan matan hadisnya, Badr al-Din al-‘Aini disamping
menjelaskan keragaman redaksi di dalamnya melalui sub tema ikhtilaf lafdhihi
maupun ikhtilaf al-riwayat, ia menjelaskan banyak hal pada isi hadis dengan
pendekatan bahasa pula, seperti bayan al-lughat, bayan al-I’rab, bayan
al-ma’ani, bayan al-bayan, bayan al-sharf, dan bayan al-badi’.
Dengan
demikian hampir tidak kurang dari 80 prosen penjelasan Badr al-Din al-‘Aini
dalam ‘Umdat al-Qari ini menggunakan pendekatan kebahasaan sehingga warna
secara umum kitab syarah ini adalah laun al-lughawi (warna kebahasaan).
Sisanya
hal-hal yang terkait dengan status hadis, Badr al-Din al-‘Aini menggunakan
telaah ulama terdahulu untuk memantapkan status hadis yang sedang ia syarahi,
demikian pula pada saat membandingkan riwayat satu dengan riwayat lain, lafal
satu dengan lafal lain, ia gunakan pendekatan ilmu hadis seperti takhrij
al-hadits dan i’tibar al-sanad.
Adapun
hadis-hadis yang terkait dengan hukum ia dekati melalui ilmu ushul yang di
dalamnya memuat metode istinbath al-ahkam. Dan lebih sering lagi ketika terkait
dengan ahkam ini ia melibatkan keragaman pendapat yang ada di sekitar madzahib
al-arba’ah berikut argumentasi mereka masing-masing.
Demikian
pula hadis-hadis yang secara umum memiliki latar belakang historis (sabab
al-wurud) atau hadis-hadis tentang tafsir al-Qur’an, Badr al-Din al-‘Aini tidak
meningalkan riwayat-riwayat yang masyhur dalam rangka memperjelas maksud hadis
yang disyarahi.[7]
III.
DAFTAR
PUSTAKA
Hasan Asy’ari Ulama’I, “Pemahaman Hadits
Badr al-Din al-‘Aini,” Jurnal Teologia, Volume
16, Nomor 1, (Januari, 2005).
Al-Syaikh al-Imam al-‘Allamah Badr al-Din Abu
Muhammad Mahmud bin Ahmad al-‘Aini (w. 855), Umdatul Qari Syarh Shahih al-Bukhari, Juz 1, (Beirut-Libanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 2001), cet. 1.
[1]
A. Hasan Asy’ari Ulama’I, “Pemahaman Hadits Badr al-Din al-‘Aini,” Jurnal Teologia, Volume 16, Nomor 1,
(Januari, 2005), h. 113-114.
[2] Ibid.
h. 114-115.
[3]
Al-Syaikh al-Imam al-‘Allamah Badr al-Din Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad
al-‘Aini (w. 855), Umdatul Qari Syarh
Shahih al-Bukhari, Juz 1, (Beirut-Libanon:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 2001), cet. 1, h. 15-18.
[4] A.
Hasan Asy’ari Ulama’I. op. cit. h. 116-117.
[5] Ibid.
h. 117-118.
[6] Ibid.
h. 121-123.
[7] Ibid.
h. 123-124.
No comments:
Post a Comment
Pembaca Yang Baik Selalu Meninggalkan Jejak Yang Baik :)
Jangan Lupa Like Dan Komentarnya :)