Sumber Gambar Disini
Compiled by: ANDIKA MAULANA
I.
PENDAHULUAN
Bangsa
Indonesia sering disebut masyarakat majemuk (plural), disebabkan hampir semua
agama, khususnya agama-agama besar (Islam, Kristen Protestan, Katholik, Hindu,
Budha, dan Konghucu) terwakili di negara ini. Bersamaan dengan itu, masyarakat
Indonesia terdiri dari berbagai macam aneka suku, etnis, budaya dan bahasa.
Disamping itu bentuk Negara kepulauan, menyebabkan penghayatan dan pengalaman keagamaan
bangsa Indonesia unik dibanding dengan bangsa-bangsa lain. Fenomena semacam
ini, disatu sisi merupakan modal dasar yang dapat memperkaya dinamika keagamaan
yang positif, namun di pihak lain dapat menjadi kendala yang mengancam
kelangsungan kita dalam beragama sekaligus berbangsa, tergantung kemampuan dan
sikap kita terhadap keberagamaan itu. Pemerintah Orde Baru adalah salah satu
contoh “salah urus” yang menimpa bangsa Indonesia, sehingga hasilnya berupa
ancaman disintegrasi bangsa dan meledaknya kerusuhan yang dipicu persoalan SARA
masih bisa dirasakan sampai sekarang ini.[1]
Konflik
yang terjadi selama ini sebenarnya terjadi karena kurangnya pemahaman
masyarakat terhadap budaya dan ajaran agama khususnya ajaran agama Islam bagi
para penganutnya. Melihat berbagai konflik dan penyebabnya di Indonesia umat
Islam sebagai umat Islam terbesar di Indonesia perlu memiliki pemahaman yang
mendasar dan wawasan yang luas mengenai kehidupan bersama dalam berbagai
perbedaan yang ada. Dalam hal ini terdapat sebuah paradigma yang dikenal dengan
paradigma pemikiran Islam inklusif. Secara umum pemikiran Islam inklusif ini
adalah sebuah pemikiran yang bersifat terbuka. Inklusifisme Islam ini identik
dengan sikap keterbukaan, toleransi dan semangat bekerja sama baik antar
pemeluk agama Islam maupun dengan pemeluk agama lain. Salah satu tokoh besar
yang menggagas hal ini adalah KH. Abdurrahman Wahid.[2]
Dalam
makalah ini pemakalah akan mencoba menguraikan konsep pemikiran Islam Inklusif
yang digagas oleh KH. Abdurrahman Wahid. Oleh karena itu, simaklah makalah kami
berikut ini!
II.
POKOK
PEMBAHASAN
a. Biografi
KH. Abdurrahman Wahid
b. Faktor
yang Mempengaruhi Eksklusivitas Umat Islam
c. Pencerahan
KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ke Arah Sikap Inklusif
III.
PEMBAHASAN
A.
Biografi
KH. Abdurrahman Wahid
Kyai Haji Abdurrahman Wahid atau yang
akrab dipanggil Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur pada tanggal 7 September
1940. Ia lahir dengan nama Abdurrahman Adakhil yang berarti sang penakluk.
Karena kata “Adakhil” tidak cukup dikenal, maka diganti dengan nama “Wahid”
yang kemudian lebih dikenal dengan Gus Dur. Gus adalah panggilan kehormatan
khas Pesantren kepada seorang anak kiai yang berarti “abang atau mas”.
Gus Dur adalah anak pertama dari enam bersaudara. Ia lahir dari keluarga yang cukup terhormat. Kakek dari ayahnya, K.H. Hasyim Asyari, merupakan pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Sementara itu kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayahnya K.H. Wahid Hasyim merupakan sosok yang terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949, sedangkan ibunya Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denayar Jombang.
Gus Dur pernah menyatakan secara terbuka bahwa ia adalah keturunan TiongHoa dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan a Lok, yang merupakan saudara kandung dari Raden Patah (Tan Eng Hwa) yang merupakan pendiri kesultanan Demak. Tan a Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari Puteri Campa yang merupakan Puteri Tiongkok yaitu selir Raden Brawijaya V. Berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis Louis Charles Damais, Tan Kim Han diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al Shini yang makamnya ditemukan di Trowulan.
Ø Pendidikan
1.
1957-1959 Pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah
2.
1959-1963 Pesantren Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur
3.
1964-1966 Al Azhar University, Cairo, Mesir, Fakultas Syari'ah
(Kulliyah al-Syari'ah)
4.
1966-1970 Universitas Baghdad, Irak, Fakultas Adab Jurusan
Sastra Arab
Ø Karir
1.
1972-1974 Fakultas Ushuludin Universitas Hasyim Ashari, Jombang,
sebagai Dekan dan Dosen
2.
1974-1980 Sekretaris Umum Pesantren Tebu Ireng
3.
1980-1984 Katib Awwal PBNU
4.
1984-2000 Ketua Dewan Tanfidz PBNU
5.
1987-1992 Ketua Majelis Ulama Indonesia
6.
1989-1993 Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat RI
7.
1998 Partai Kebangkitan Bangsa, Indonesia, Ketua Dewan Syura DPP
PKB
8.
1999-2001 Presiden Republik Indonesia
9.
2000 Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Mustasyar
10. 2002 Rektor
Universitas Darul Ulum, Jombang, Jawa Timur, Indonesia
11. 2004 Pendiri The WAHID
Institute, Indonesia
Ø Penghargaan
Ø 2010 Lifetime Achievement
Award dalam Liputan 6 Awards 2010
Ø 2010 Bapak Ombudsman
Indonesia oleh Ombudsman RI
Ø 2010 Tokoh Pendidikan
oleh Ikatan Pelajar Nadhlatul Ulama (IPNU)
Ø 2010 Mahendradatta
Award 2010 oleh Universitas Mahendradatta, Denpasar, Bali
Ø 2010 Ketua Dewan Syuro
Akbar PKB oleh PKB Yenny Wahid
Ø 2010 Bintang Mahaguru
oleh DPP PKB Muhaimin Iskandar
Ø 2008 Penghargaan
sebagai tokoh pluralisme oleh Simon Wiesenthal Center
Ø 2006 Tasrif Award oleh
Aliansi Jurnanlis Independen (AJI)
Ø 2004 Didaulat sebagai
“Bapak Tionghoa” oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang
Ø 2004 Anugrah Mpu
Peradah, DPP Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia, Jakarta, Indonesia
Ø 2004 The Culture of
Peace Distinguished Award 2003, International Culture of Peace Project
Religions for Peace, Trento, Italia
Ø 2003 Global Tolerance
Award, Friends of the United Nations, New York, Amerika Serikat
Ø 2003 World Peace Prize
Award, World Peace Prize Awarding Council (WPPAC), Seoul, Korea Selatan
Ø 2003 Dare to Fail
Award , Billi PS Lim, penulis buku paling laris "Dare to Fail", Kuala
Lumpur, Malaysia
Ø 2002Pin Emas NU,
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Jakarta, Indonesia.
Ø 2002 Gelar Kanjeng
Pangeran Aryo (KPA), Sampeyan dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan
Pakubuwono XII, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia
Ø 2001 Public Service
Award, Universitas Columbia , New York , Amerika Serikat
Ø 2000 Ambassador of
Peace, International and Interreligious Federation for World peace (IIFWP), New
York, Amerika Serikat
Ø 2000 Paul Harris
Fellow, The Rotary Foundation of Rotary International
Ø 1998 Man of The Year,
Majalah REM, Indonesia
Ø 1993 Magsaysay Award,
Manila , Filipina
Ø 1991 Islamic
Missionary Award , Pemerintah Mesir
Ø 1990 Tokoh 1990,
Majalah Editor, Indonesia
Ø Doktor Kehormatan:
Ø Doktor Kehormatan
bidang Filsafat Hukum dari Universitas Thammasat, Bangkok, Thailand (2000)
Ø Doktor Kehormatan dari
Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000
Ø Doktor Kehormatan
bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora
dari Pantheon Universitas Sorbonne, Paris, Perancis (2000)
Ø Doktor Kehormatan dari
Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand (2000)
Ø Doktor Kehormatan dari
Universitas Twente, Belanda (2000)
Ø Doktor Kehormatan dari
Universitas Jawaharlal Nehru, India (2000)
Ø Doktor Kehormatan dari
Universitas Soka Gakkai, Tokyo, Jepang (2002)
Ø Doktor Kehormatan
bidang Kemanusiaan dari Universitas Netanya, Israel (2003)
Ø Doktor Kehormatan
bidang Hukum dari Universitas Konkuk, Seoul, Korea Selatan (2003)
Ø Doktor Kehormatan dari
Universitas Sun Moon, Seoul, Korea Selatan (2003)[3]
B.
Faktor
yang Mempengaruhi Eksklusivitas Umat Islam
Akar
atau landasan yang menjadi pijakan umat Islam untuk menjadi eksklusif adalah
didasarkan pada beberapa faktor yang berlandaskan pada kesalahan dalam memahami
nash sebagai berikut:
Pertama,
umat Islam adalah umat yang paling unggul. Firman Allah: Kuntum khoira ummatin ukhrijat linnasi (kamu adalah sebaik-baik
umat yang diturunkan untuk manusia
Kedua,
dalil ya’lu wala yu’la alaihi, yang
berarti bahwa Islam tinggi dan tidak ada yang paling tinggi.
Ketiga,
penobatan Nabi Muhammad Saw sebagai Nabi terakhir dan penyempurna ajaran-ajaran
nabi terdahulu.
Keempat,
adanya dalil Al-Qur’an yang menerangkan tentang kesempurnaan ajaran Islam. “al-yauma akmaltu lakum dinakum (telah
disempurnakan bagimu agamamu).”
Kelima,
Doktrin kesyumulan ajaran Islam. Sebagian tokoh Islam seperti Al-Maududi
menyebarkan pemikiran tentang syumuliatul
Islam, yaitu doktrin tentang kesyumulan Islam yang mengatur segala hal
mulai bangun tidur sampai tidur lagi yang diatur oleh Islam secara kaffah atau komprehensif.
Keenam,
adanya ayat yang menerangkan bahwa Yahudi dan Nasrani itu tidak akan ridha
terhadap Islam alias akan selalu memusuhi umat Islam, sehingga umat Islam harus
defensive dan bila perlu memerangi.
Ketujuh,
sikap minder di kalangan sebagian umat Islam dalam menghadapi arus perubahan
yang dipelopori peradaban Barat dan dianggap sebagai musuh Islam yang akan
menghancurkan keimanan dan akhlak generasi Islam.
Ketujuh
factor diatas menjadi sebab lahirnya sikap eksklusif di kalangan sebagian umat
Islam. Bahkan lebih dari itu, faktor tersebut juga mampu membentuk sikap umat
Islam yang menutup diri dengan menganggap semua yang ada di luar Islam adalah thagut (ajaran setan).
Sikap
umat Islam yang demikian ini menjadi keprihatinan Gus Dur. Karena disamping
bersumber dari kesalahan dan kedangkalan memahami nash, juga karena hal itu
bertentangan dengan realitas, di mana Nabi Muhammad Saw dengan seperangkat
ajaran dan tradisinya adalah bersifat terbuka dan metropolis serta inklusif.[4]
C.
Pencerahan
KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ke Arah Sikap Inklusif
Gus
Dur membangun suatu wacana untuk memberi pencerahan agar umat Islam dapat
memahami nash secara benar, sebagaimana ruh yang diajarkan oleh ajaran Islam.
Sebagai contoh, dalam memahami dalil al-Islamu
ya’lu wala yu’la alaihi. Dengan pemahaman sendiri, mereka menolak apa yang
dianggap sebagai “kekerdilan” Islam dan kejayaan orang lain. Mereka lalu
menolak peradaban-peradaban lain dan menyerukan sikap “mengunggulkan” Islam
secara doktriner.
Pendekatan doktriner seperti itu berarti pemujaan Islam
terhadap “keunggulan” teknis peradaban-peradaban lain. Dari sinilah lahir
semacam klaim kebesaran Islam dan kerendahan peradaban lain. Hal ini terjadi
karena memandang Islam secara berlebihan dan memandang peradaban lain lebih
rendah.
Dari “keangkuhan budaya” seperti itu, lahirlah sikap
otoriter yang hanya membenarkan diri sendiri dan menganggap orang atau
peradaban loain sebagai salah. Akibat dari pandangan itu, segala macam cara
dapat dipergunakan kaum Muslim untuk mempertahankan keunggulan Islam. Kemudian
lahirlah semacam sikap yang melihat kekerasan sebagai satu-satunya cara untuk
“mempertahankan Islam”. Akibatnya, lahirlah terorisme dan sikap radikal yang
konon demi “kepentingan Islam”.
Mereka tidak mengenal ketentuan hukum Isla atau fiqih, bahwa orang Islam diperkenankan
menggunakan kekerasan hanya jika diusir dari kediaman mereka (idza ukhriju min diyarihim). Selain
alasan tersebut, kita tidak diperkenankan menggunakan kekerasan terhadap
siapapun, walau atas dasar keunggulan pandangan Islam. Sesuai dengan ungkapan
di atas, jelas mereka salah memahami Islam. Yang dipahami bahwa kaum Muslimin
diperkenankan menggunakan kekerasan atas kaum lain. Inilah yang dimaksudkan
oleh kitab suci Al-Qur’an dengan ungkapan, “Tiap
kelompok bersikap bangga atas milik sendiri (kullu hizbin bima ladaihim
farihun). Kalau sikap itu dicerca oleh Al-Qur’an sendiri, berarti juga
dicerca oleh Rasulullah Saw.
Jelaslah bahwa sikap Islam dalam hal ini adalah tidak
menganggap rendah peradaban orang lain. Bahkan Islam berupaya mencari
keunggulan orang lain sebagai bagian dari pengembangannya. Untuk mencapai
keunngulan itu, ada sebuah ungkapan yang berbunyi: “carilah ilmu hingga ke tanah Tiongkok (uthlubu al-ilma walau fi al-shin).”
Bukankah hingga saat ini ilmu-ilmu kajian keagamaan Islam telah berkembang luas
di kawasan tersebut? Dengan demikian, kita diharuskan mencari ilmu kemana-mana.
Ini berarti kita tidak boleh apriori terhadap siapapun, karena ilmu pengetahuan
dan teknologi sekarang terdapat di mana-mana. Bahkan teknologi maju adalah
hasil ikutab (spend off) dari
teknologi ruang angkasa yang dirintis dan dibuat di bumi ini. Dengan demikian,
teknologi antariksa juga menghasilkan hal-hal yang berguna bagi kehidupan kita
sehari-hari. Pengertian “longgar” seperti inilah yang dikehendaki kitab suci
Al-Qur’an dan Al-Hadits. Lalu adakah “kelebihan teknis” orang-orang lain atas
kaum Muslimin dapat dianggap sebagai “kekalahan” umat Islam? Tidak, karena awal
perbuatan kaum Muslimin yang ikhlas kepada agama mereka memiliki sebuah nilai
lebih dalam pandangan Islam. Hal ini dinyatakan sendiri oleh Al-Qur’an: “Dan orang yang menjadikan selain Islam
sebagai agama, tak akan diterima amal perbuatannya di akhirat. Dan ia adalah
orang yang merugi.” Dari ayat ini, dapat diartikan bahwa Allah tidak akan
menerima amal perbuatan seorang non-Muslim. Namun, di dalam kehidupan
sehari-hari kita tidak boleh memandang rendah kerja siapa pun. Demikian apa
yang diharapkan Gus Dur.
Menurut Gus Dur, sebenarnya pengertian kata “diterima di
akhirat” berkaitan dengan keyakinan agama, sehingga memiliki kualitas
tersendiri. Sedangkan pada tataran duniawi, perbuatan itu tidak tersangkut
dengan keyakinan agama, melainkan “secara teknis” membawa manfaat bagi manusia lain.
Jadi manfaat “secara teknis” dari setiap perbuatan dilepaskan oleh Islam dari
keyakinan agama dan sesuatu yang “secara teknis” memiliki kegunaan bagi manusia
yang diakui oleh Islam. Namun, dimensi “penerimaan” dari sudut keyakinan agama
memiliki nilainya tersendiri. Peng-Islam-annya perbuatan kita justru tidak
tergantung dari nilai “perbuatan teknis” semata, karena antara dunia dan
akhirat memiliki dimensi yang berbeda satu dari yang lain.[5]
IV.
KESIMPULAN
Dari
paparan Gus Dur di atas, jelas memperlihatkan bahwa ada upaya pencerahan dan
pembaruan pola pikir bagi umat Islam, agar tidak eksklusif dan dapat bersikap
inklusif, sehingga dapat berinteraksi dan berperan besar dalam dinamika
perubahan zaman.
V.
DAFTAR
PUSTAKA
Riyadi
, M. Irfan & Basuki, Membangun
Inklusivisme Faham Keagamaan, Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, cet. I, 2009
Nurjanah,
Nisa, skripsi “Pemikiran Islam Inklusif
dalam Kehidupan Sosial Beragama dan Relevansinya dengan Pendidikan Islam (Studi Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid),
Yogyakarta: UIN SUKA, 2013
Siwi
P. Rahayu, dalam sebuah artikel “Abdurrahman Wahid”, diakses pada hari kamis,
12 Juni 2014, pukul 11.32, dari laman http://profil.merdeka.com/indonesia/a/abdurrahman-wahid/.
Syarkun, Mukhlas, Ensiklopedi Abdurrahman Wahid (Gus Dur
Seorang Mujaddid), Jilid 2, Jakarta:
PPPKI, 2013
[1]
M. Irfan Riyadi & Basuki, Membangun
Inklusivisme Faham Keagamaan, (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2009), Cet.
I, h. 1.
[2]
Nisa Nurjanah, skripsi “Pemikiran Islam Inklusif dalam Kehidupan Sosial
Beragama dan Relevansinya dengan Pendidikan Islam (Studi Pemikiran KH.
Abdurrahman Wahid), (Yogyakarta: UIN SUKA, 2013), h. vii.
[3]
Siwi P. Rahayu, dalam sebuah
artikel “Abdurrahman Wahid”, diakses pada hari kamis, 12 Juni 2014, pukul
11.32, dari laman http://profil.merdeka.com/indonesia/a/abdurrahman-wahid/.
[4]
Mukhlas Syarkun, Ensiklopedi Abdurrahman
Wahid (Gus Dur Seorang Mujaddid), Jilid 2, (Jakarta: PPPKI, 2013), h.
151-153.
[5] Ibid.
h. 153-156.
No comments:
Post a Comment