Monday, May 20, 2013

Sejarah Perkembangan Hadits



Disusun oleh :
1. Ahliyatul Yumna
2. Umi Latifah Anwar

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Keberadaan Hadits sebagai sumber hukum Islam merupakan refrensi kedua yang menjadi rujukan dalam segala amal-amal yang dilakukan  oleh kaum muslimin setelah Al-Qur’an. Hadits juga bisa dijadikan sebagai penjelasan dan nalar dari Al-Qur’an. Terlepas dari naik-turunnya perkembangan Hadits, tidak dapat dinafikan bahwa sejarah dan perkembangan Hadits memberi pengaruh yang besar dalam sejarah peradaban Islam.
            Usaha mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan Hadits ini bertujuan untuk dapat mengetahui sikap dan tindakan umat Islam yang sebenarnya, khususnya para ulama ahli Hadits terhadap Hadits,  serta usaha pemeliharaan mereka pada tiap-tiap periodenya sampai akhirnya terwujud kitab-kitab hasil tadwin secara sempurna. Sebab studi tentang keberadaan Hadits ini selalu makin menarik untuk dikaji seiring dengan perkembangan nalar manusia yang semakin kritis.
            Oleh karena itu, dalam makalah ini diharapkan berguna dalam pengembangan ilmu terutama pada bidang ulumul Hadits.
           

B.     Rumusan Masalah
1.      Pengertian periodesasi sejarah perkembangan Hadits
2.      Sejarah perkembangan Hadits dari masa ke masa
3.      Pola pemikiran periodesasi sejarah perkembangan Hadits menurut Ulama ahli Hadits



BAB II
PEMBAHASAN
SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS

1.      Pengertian Sejarah Perkembangan Hadits
Perkembangan Hadits adalah proses dan fase-fase pembinaan Hadits mulai dari masa Rasulullah SAW sampai pentadwinan hadits dewasa ini. Yang dimaksud dengan sejarah perkembangan Hadits adalah masa atau periode- periode yang telah dilalui oleh hadits semenjak dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan dan pengalaman umat dari generasi ke generasi.
Oleh karena itu, megkaji sejarah berarti membicarakan atau mengungkap fakta-fakta yang sebenarnya, sehingga sulit untuk ditolak keberadaannya. Perjalan Hadits pada tiap-tiap periodenya mengalami berbagai persoalan dan hambatan yang dihadapinya, yang antara periode satu dengan periode yang lainnya tidak sama.  Sejalan dengan bergantinya waktu, para ulama Muhadditsin membagi beberapa periode dalam sejarah perkembangan Hadits, yaitu dalam 3 periode, 5 peride, dan 7 periode.
2.      Sejarah Perkembangan Hadits dari Masa ke Masa
Pada masa awal perkembangan Hadits lebih banyak menggunakan lisan, dikarenakan larangan Nabi Muhammad SAW untuk menulis Hadits. Larangan tersebut berdasarkan kekhawatiran Nabi akan tercampurnya nash Al-Qur’an dengan Hadits. Periodesasi pembukuan Hadits secara resmi dimulai pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz .
a.         Perkembangan Hadits pada Masa Rasulullah SAW
*      Penyebaran hadits
Rasulullah SAW membina umatnya selama 23 tahun, masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan diwurudkannya Hadits. Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan kehati-hatian para sahabat untuk memahami segala sesuatu yang telah disampaikan Rasulullah SAW yang mana mereka sebagai pewaris pertama ajaran Islam. Rasulullah SWA merupakan sebagai maha guru semua umat  manusia.
Para sahabat menjadikan Nabi sebagai panutan dan pedoman bagi kehidupan mereka. Apabila mereka mempunyai suatu permasalah baik dalam bidang ubudiah maupun sosial, mereka bisa bertanya langsung kepada Nabi untuk menerima pencerahan dengan jelas. Ini merupkan keberuntungan dan merupakan hal yang istimewa bagi para sahabat karena masalah yang mereka hadapi dapat terselesaikan secara langsung. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Al-Hasyr:7
وَمَا أَتَا كُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْ هُ وَمَا نَهَا كُمْ عَنْهُ فَا نْتَهُوا                          
Artinya: “ Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah”.(Al-Hasyr :7).
Dalam masa penyebaran ini, Rasulullah SAW menyampaikan Hadits mempunyai beberapa metode, yaitu:
*        Metode lisan

Pertama, Melalui para jama’ah pada pusat pembinaannya yang disebut majelis al-‘ilmy. Rasulullah mengutus guru-guru pergi ke luar Madinah, salah satunya adalah Malik bin Huwayrith. Terkadang juga kepala-kepala suku dari luar Madinah juga  mengirim utusannya untuk belajar kepada Nabi dan kemudian disebarkan kepada kabilahnya. Sebagaimana Sabda Nabi   yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ibn Amr ibn Ash:

بَلِّغُوْا عَنِّيْ وَلَوْاَيَةً                                                                                  
Artinya : “Sampaikanlah dariku, walaupun hanya satu ayat”.(H.R.Bukhari)

Kedua,Rasulullah menyampaikan melalui sahabat-sahabat tertentu, kemudian disebarkan kepada yang lain. Sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Ibn Abdi al-Barr dari Abu Bakrah :

اَلاَ لِيُبَلِّغُ الشَّاهِدُ مِنْكُمُ الْغَائِبَ                                                                     
Artinya: “ Ketahuilah, hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada orang yang tidak hadir.” [1]

Ketiga, Melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka. Biasanya, Rasulullah memberikan ceramah tiap-tiap hari Jum’at dan waktu-waktu yang tidak ditentukan. Sebagaimana sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dari ibn Mas’ud :
كَا نَ النَّبِيُّ – يَتَخَوَّلوْنَا بِالْمَوْعِظَةِ فِى الْاَيَّامِ كَرَاهَةَ السَّأَمَةِ عَلَيْنَا                               
“ Nabi selalu mencari waktu-waktu yang baik untuk memberikan pelajaran supaya kami tidak bosan.”
    
*      Metode tulis
Rasulullah SAW mengirim surat delegasi yang ditulis oleh Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash  khusus kepada para raja dan penguasa di kawasan Timur Tengah, dan juga kepada para kepala suku dan Gubernur Muslim, cara ini dapat dikategorikan sebagai metode penyebaran Hadits melalui media tulis. Di dalamnya berisi ajakan untuk memeluk Islam bagi penguasa non Muslim, dannjuga berisi tentang  masalah hukum, zakat, jizyah, dan cara-ibadah lainnya.

*      Metode peragaan praktis
Terhitung sejak beliau menerima wahyu, segala perilaku, ucapan, persetujuan, dan peragaan praktis dianggap sebagi Hadits. Rasul memperagakan cara wudlu, shalat, haji dan lain-lain. Dlam setiap segi kehidupan, Rasul memberi pelajaran praktis disertai perintah yang jelas untuk mengikutinya. Contoh:
                                    صَلُّوْا كَمَا رَاَيْتُمُوْانِيْ اُصَلِّى                                                               
Shalatlah kamu sebagaimana aku mempraktekan shalat”.

*      Larangan dan perintah menulis hadits
Perhatian Nabi SAW bagi pemeliharaan kedua dasar dan sumber syari’at begitu antusias. Terhadap Hadits, Nabi memerintahkan untuk dihafal dan ditablighkan, tapi tidak ada perintah menyelenggaran penulisan Hadits secara  resmi seperti Al-Qur’an. Di antara sebab-sebab penulisan Hadits tidak diselanggarakan secara resmi adalah:
a.       Agar tidak adanya kesamaran terhadap Al-Qur’an, dan menjaga agar tidak bercampur antara catatan Al-Qur’an dengan hadits.
b.      Karena kurangnya tenaga penulis pada masa itu, maka tenaga penulis yang ada diutamakan untuk menulis Al-Qur’an.
c.       Menyelenggaraka pemeliharaan Hadits dengan hafalan tanpa tulisan secara keseluruhanberarti memelihara kekuatan hafalan dikalangan umat Islam.
Sebab-sebab di atas  bertumpu pada Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Said Al-Khudri menyatakan:
لَا تَكْتُبُوْا عَنِّيْ شًيْئًا غَيْرَالْقُرْآنِ وَمَنْ كَتَبَ عَنِّيْ شَيْئًا غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ وَحَدِّثُوْا عَنِّيْ وَلاَ حَرَجَ، وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ  مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.
Artinya: “ janganlah kamu tulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an, dan barangsiapa menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an maka hendaklah ia hapus, ceritakan saja apa yang kamu terima dariku, tidak mengapa. Dan barangsiapa sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya di neraka”. (H.R. Muslim).
  Oleh karena itu,  umat Islam dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang keagamaan, umumnya hanya melalui ingatan dan daya hafal saja. Semua itu di duga karena karena ketidak merataan pemahaman umat terhadap sabda Nabi yang melarang penulisan Hadits. Pemahaman terhadap larangan tersebut yang tidak merata, menyebabkan munculnya sikap anti untuk menuliskan Hadits adalah dasar ketaatan yang buta terhadap sabda tersebut, yang menimbulkan kejumudan Hadis sekitar satu abad dari pembukuan Al-Qur’an.
 Akan tetapi, larangan penulisan Hadits itu  tidak secara mutlak, yang mana dalam Hadits lain Rasul menyuruh menulis tentang dirinya kepada sahabat tertentu. Misalnya, sesaat ketika kota Makkah telah dikuasai kembali oleh Rasulullah SAW.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam shahih-nya pada kitab Al-‘Ilm dari Abu Hurairah, [2]berkata:
إِنَّ خُزَاعَةَ-هُذَيْلاً- قَتَلُوْا رَجُلاً مِنْ بَنِيْ لَيْثٍ عَامَ فَتْحِ مَكَّةَ بِقَتِيْلٍ مِنْهُمْ فَقَتَلُوْهُ فَأُخْبِرَ بِذَ لِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَرَكِبَ رَاحِلَتَهُ، فَخَطَبَ فَقَا لَ: إِنَّ اللهَ حَبَسَ عَنْ مَكَّةَ الْقَتْلَ وَسَلَّطَ عَلَيْهِمْ رَسُوْلَ اللهِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ. وَإِنَّهَا لَمْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ مِنْ قَبْلِيْ وَلَنْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ بَعْدِيْ اَلاَ وَإِنَّهَا أُحِلَّتْ لِيْ سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ، وَإِنَّهَا سَاعَتِيْ هَذِهِ : حَرَامٌ لاَ يُخْتَلَى شَوْكُهَا، وَلاَ يُؤْخَذُ شَجَرَهَا، وَلاَ تُلْتَقَطُ سَاقِطَتُهَا إِلاّ لِمُنْشِدٍ. فَمَنْ لَهُ قَتِيْلٌ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ: إِمَّا اَنْ يَعْقِلَ، وَإِمَّا أَنْ يُقَا دَ أَهْلُ الْقَتِيْلِ.                                                                                    
“ Bahwasannya golongan Khuza’ah (Hudzail) membunuh seorang lelaki Bani Laits pada tahun nabi mengalahkan kota Makkah, disebabkan satu pembunuhan yang telah lama dilakukan oleh Bai Laits terhadap Bani Khuza’ah. Kejadian itu diberitahukan kepada Nabi SAW. Maka Nabi segera mengendarai kendaraannya lalu berkhutbah: Bahwasannya Allah telah mencegah pembunuhan di Makkah dan telah diberikan kekuasaan negeri Makkah kepada Rasul-Nya dan para Mukmin. Dan bahwasannya Makkah itu tidak dihalalkan bagi bagi seseoang sebelumku dan tidak pula bagi seseorang sesudahku. Ketahuilah, bahwasannya dia telah dihalalkan bagiku pada suatu saat di suatu siang, dan inilah saatku. Makkah itu haram (dilindungi), tidak boleh dipotong durinya, tidak boleh dipotong pohonnya, tidak boleh diambil barang-barang yang jatuh dari yang empunya, terkecuali untuk dicari siapa empunya. Maka barangsiapa telah dibunuh salah seorang anggota keluarganya,maka dia boleh memilih salah satu dari dua pilihan yang terbaik, yaitu: apakah dia menerima diyat, dan apakah dia menuntut bela.”
  Diwaktu beliau berpidato, tiba-tiba seorang laki-laki yang berasal dari Yaman yang bernama Abu Syah berdiri dan bertanya kepada Rasulullah SAW, ujarnya:
ياَ رَسُوْلَ اللهِ , اُكْتُبُوا لِيْ , فَقَا لَ : اُكْتُبُوا لَهُ[3]
“ ya Rasulallah, Tulislah untukku !” Jawab Rasul “tulis kamulah sekalian untuknya!”
Hal ini juga dilatarbelakangi oleh seorang sahabat yang gemar menuliskan sabda-sabda Nabi yaitu Abdullah Ibnu ‘Amr bin ‘Ash r.a ( 7 SH-65 H) ,yang kemudian kejadian tersebut diketahui para sahabat yang lain dan memperingatkannya agar tidak menuliskanya. Kasus pelarangan yang dipenuhi kekhawatiran tersebut terdengar oleh Ibn Umar dan kemudian diadukan kepada Nabi. Beliau kemudian bersabda:
أُكْتُبْ ! فَوَالَّذِى نَفْسِيْ بِيَدِهِ مَا يَخْرُجُ مِنْهُ اِلاَّ الْحَقُّ                                   
                                    “ Tulislah !Demi Dzat yang nyawaku ada di tanganNya, tidaklah keluar dari padaNya, selain hak”. (H.R. Abu Dawud).
 Naskah Abdullah bin Amr tersebut diberi nama “ Ash-shahifah Ash-shadiqoh “ karena ditulisnya secara langsung dari Rasulallah SAW yang merupakan sebenar-benarnya apa yang diriayatkan dari padanya. Bila naskah bentuk aslinya  tidak sampai kepada kita, maka kita bisa menemukan secara kutipan pada kitab Musnad Ahmad, Sunan Abu Dawud,Sunan An-Nasa’i Sunan At-Turmudzi dan Sunan Ibnu Majjah[4].  
Dengan adanya kontroversi antara  larangan dan perintah penulisan Hadits, para Ulama telah menanggapai dan menelaah sampai akhirnya diketahui ketentuan hukum dari menulis Hadits tersebut, sehingga bisa ditarik kesimpulan sebagai berikut:
*      Larangan menulis Hadits dengan soal hafalan dan pemeliharaannya.
*      Titik saran atau persoalan larangan penulisan Hadits terletak pada permasalahan kekhawatiran tercampurnya antara Al-Qur’an dan Hadits.
*      Adanya penelitian terhadap Hadits-hadits yang menjadi dalil bagi kedua pendapat tersebut.

*      Perbedaan para sahabat dalam menguasai Hadits

a.       Perbedaan mereka dalam soal kesempatan bersama Rasulullah SAW.
b.      Perbedaan mereka dalam soal kekuatan hafalan dan kesungguhan bertanya kepada para sahabat yang lain.
c.       Perbedaan mereka dalam waktu masuk Islam.
d.      Jarak tempuh tempat tinggal mereka.


b.        Perkembangan Hadits pada Masa Khulafah Al-Rasyidin (11 H-40 H)
Periode kedua adalah periode Khulafah Al-Rasyidin. Periode ini dikenal dengan periode pembatasan periwayatan Hadits. periode ini terbagi atas dua kekhalifahan, yaitu masa kekhalifahan Abu bakar Ash-shiddiq(51 SH-12 H) dan Umar bin Khattab (40 SH-22 H) dan masa kekhalifahan Utsman bin Affan (46 SH-34 H) dan Ali bin Abi Thalib (18 SH- 40 H).
1.      Masa Abu bakar dan Umar
Sepeninggal Nabi Muhammad SAW (w.11 H) para sahabat secara aklamasi memilih Abu Bakar sebagi khalifah yang pertama. Kepada umatnya Nabi meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup kepadanya, yaitu, Al-Qur’an dan Hadits (Al Sunnah). Sebagaimana sabda Nabi:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَ هُمَا كِتَا بَ اللهِ وَ سُنَّتِيْ (رواه الحا كم)   
Namun semenjak Rasulullah SAW wafat, banyak sahabat yang pindah ke kota-kota luar Madinah. Dengan demikian,  Hadits begitu cepat menyebar. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran tidak otentitasnya Hadits. Sehingga khalifah Abu bakar dan Umar menerapkan peraturan “pembatasan wirayat”.
Pada masa Abu Bakar yang ditekankan untuk dipelajari dan disebarluaskan adalah Al-Qur’an, sedangkan Hadits pada waktu itu hanya dipelajari oleh kalangan tertentu dan sedikit yang mendalaminya, bahkan para sahabat hanya meriwayatkan Hadits jika ada permasalahan yang mendesak saja. Hal ini karena khawatir akan dipergunakan oleh orang munafik menjadi jalan membuat Hadits palsu, dalam hal ini berpegang pada Hadits:
اِيَا كُمْ وَكَثْرَةَ الْحَدِيْثِ وَمَنْ قَا لَ عَنِّيْ فَلاَ يَقُو لَنَّ اِلاَّ حَقًا (رواه احمد و الحاكم)

Artinya:“ Jauhkanlah dirimu dari banyak meriwayatkan hadits, barangsipa berkata atas namaku maka janganlah maka  ia berkata selain dari yang hak.”(H.R.Ahmad dan Hakim)
 Abu Bakar melakukan hal ini sebagai wujud penggalakkan Al-Qur’an sebagai hukum tasyri’ yang pertama dan utama, juga mengingat Rasulullah SAW yang menyuruh untuk bertindak hati-hati dalam meriwayatkan Hadits. Tidak beda dengan Abu Bakar yang selalu meminta persyaratan berupa penyaksian dari sahabat lain, Umar bin Khattab juga sangat teliti dalam menerima riwayat suatu Hadits, Umar meminta bayyinah (keterangan) dari orang lain yang meriwayatkan Hadits.[5] Kebijaksanaan yang dilakukan oleh kedua khalifah untuk tidak menyebarluaskan Hadits adalah  tidak lain agar Al-Qur’an menjadi sumber ajaran utama.

2.      Masa Khalifah Utsman dan Ali
Pada masa kekhalifahan ini, peraturan mengenai periwayatan Hadits tidak setegas pada masa kekhalifahan sebelumnya. Seiring dengan menyebarnya para sahabat ke berbagai kota-kota lain dikarenakan wilayah kekuasaan Islam semakin luas, mereka bermaksud untuk saling tukar pengetahuan dan mencari informasi tentang Hadits, sehingga menyulitkan untuk mengontrol pembatasan riwayat secara maksimal. Tapi dalam kesempatan lain, Utsman meminta  kepada para sahabat supaya menerima Hadits pada zaman Abu Bakar dan Umar.
Sedangkan pada masa Ali bin Abi Thalib, banyak terjadi persengketa yang pada akhirnya berdampak pada periwayatan Hadits. Diantaranya:
*      Terjadi krisis dan fitnah dalam masyarakat.
*      Adanya peperangan antar beberapa kelompok politik.
Akibat dari rentetan permasalahan pada masa khalifah Utsman dan Ali ini, merupakan awal munculnya Hadits-hadits palsu. Jadi, bisa ditarik kesimpulan bahwa fitnah, bid’ah dan tersebar luasnya Hadits palsu merupakan pendorong utama dari Muhadditsin untuk men-kodifikasi-kan Hadits.
Dalam prakteknya, strategi sahabat periwayatan Hadits adalah:
1.      Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang terima dari Nabi SAW yang mereka hafal benar. Diantara para sahabat yang paling keras mengharuskan periwayatan Hadits dengan jalan lafzhi adalah Ibn Umar, ia seringkali menegur sahabat yang membacakan Hadits yang berbeda (walau satu kata) dengan yang pernah didengarnya dari Rasulullah SAW., seperti yang dilakukannya terhadap Ubaid bin Amir.[6]
2.      Dengan maknanya saja, yakni mereka boleh meriwayatkan maknanya bukan lafazhnya karena tidak hafal lafazh yang asli dari Nabi.

c.         Perkembangan Hadits pada Masa Sahabat kecil dan Tabi’in Besar (40 H-100 H)
Pada masa ini yaitu masa Daulah Bani Umayyah, wilayah kekuasaan Islam sampai meliputi Mesir, Persia, Irak, Afrika Selatan, Samarkhan dan Spanyol, disamping Madinah, makkah, Basrah, Syam dan Khurasan. Akibatnya, para sahabat yang memerlukan untuk mengetahui Hadits-hadist Rasulullah SAW berangkat mencari Hadits untuk belajar kepada sahabat senior yang sudah tersebar di pelosok wilayah Daulah Islamiyah. Dengan tersebarnya periwayatan Hadits yang begitu pesat dan perlawatan untuk mencari Hadits semakin ramai, maka muncullah bendaharawan-bendaharawan Hadits dan lembaga-lembaga perkembangan Hadits.
Di antara bendaharawan hadits, yakni yang menerima Hadits, menghafal dan mengembangkan atau meriwayatkan hadits
*      Abu Hurairah (95 SH-59 H), beliau meriwayatkan 5374 Hadits.
*      ‘Abdullah bin Umar bin al-khattab (10 SH-74 H), beliau meriwayatkan 2630 Hadits.
*      Anas bin Malik  (10 SH-93 H), beliau meriwayatkan 2276 Hadits.
*      Aisyah binti Abu Bakar  (w.58 H), beliau  meriwayatkan 2210 Hadits
*      Abdullah bin ‘Abbas  (3 SH-68 H), beliau  meriwayatkan 1660 Hadits.
*      Jabir bin ‘Abdullah bin ‘Amr bin Haram (16 SH-78 H), beliau meriwayatkan 1540 Hadits.
*      Abu Said al-khudri (12 H-74 H), beliau meriwayatkan 1170 Hadits.
*      Para sahabat yang banyak menerima hadits dari Rasulullah
a.       Yang mula-mula masuk Islam yaitu, Khulafa al-Rasyidin dan Abdullah ibn Mas’ud.
b.      Yang selalu menyertai Nabi dan berusaha keras menghafalnya seperti, Abu hurairah dan yang berusaha keras menulisnya seperti, Abdullah ibn amr ibn Ash.
c.       Yang lama hidupnya sesudah Nabi wafat karena dapat menerima Hadits dari para sahabat lain seperti, Anas ibn Malik, Abdullah ibn Abbas, dan Abdullah ibn Umar.
d.      Yang erat hubungannya dengan nabi seperti, Aisyah dan ummu Salamah.
Adapun lembaga-lembaga Hadits  yang menjadi pusat usha penggalian, pendidikan dan pengembangan Hadits terdapat di:Madinah, Makkah, Kuffah, Basrah, Syam, Mesir, Maghribi dan Andalus,Yaman Khurasan.
Pemalsuan Hadits
Di akhir masa Khulafah al-Rasyidin, yaitu masa sebelum masa ketiga ini, telah terjadi pemalsuan Hadits walaupun sangan minim. Hal ini dilatar belakangi oleh terjadinya perang siffin (bulan shafar 37 H ) ketika kekuasaan dipegang oleh Ali bin Abi Thalib. Namun, gejolak ini lambat laun berlarut-larut hingga pada akhirnya menyebabkan terpecahnya Islam dalam beberpa kelompok, yaitu Sy’iah dan khawarij.
Dengan demikian, dari pergolakan politik yang terjadi tentunya mempunyai pengaruh positif dan negatif  terhadap pekembangan Hadits. Pengaruh negatifnya adalah munculnya Hadits-hadits palsu yang mana untuk mendukung kepentingan politiknya masing-masing. Sedangkan pengaruhnya yaitu lahir usaha untuk membukukan Hadits sebagai upaya penyelamatan otentitas Hadits.
d.        Masa pentadwinan Hadits (101 H-300 H)
Secara etimologi, tadwin berarti kumpulan shahifah (mujtama’ ash-shuhuf). Secara terminologi menurut Al-Zahrani pengertian tadwin adalah:
تَقْيِيْدُ الْمُتَفَرِّقِ الْمُشَتَّتِ وَجَمْعُهُ فِيْ دِيْوَا نٍ اَوْ كِتَأ بٍ تَجْمَعُ فِيْهِ الصُّحُفُ            
“Menikat yang berserak-serak kemudian mengumpulkannya menjadi satu diwan atau kitab yang terdiri dari lembaran-lembaran.”
Jadi, pentadwinan Hadits yaitu pembukuan (kodifikasi) secara resmi yang berdasarkan perintah kepala Negara, dengan melibatkan beberapa personil yang ahli di bidangnya.
Hal-hal yang mendorong usaha  untuk mentadwinkan Hadits secara resmi adalah:
1.      Pada akhir abad 1 H para penghafal Hadits semakin berkurang karena sudah banyak yang wafat karena banyaknya peperangan.
2.      Periwayatan secara lisan dengan menghandalkan hafalan dan ingatan dalam keseragaman lafazh dan makna tidak bisa berlangsung lama.
3.      Mulai tahun 40 H, periwayatan Hadits dikaburkan oleh timbulnya pemalsuan Hadits.
4.      Pada masa tabi’in tidak dikhawatirkan lagi tercampurnya antara Al-Qur’an dan Hadits.
5.      Perkembangan ilmu pengetahuan semakin maju karena luasnya jangkauan pengenalan umat.

Aktivitas tadwin Haditssecara resmi dimulai pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz(63 H-101H), khalifah ke-8 dari kekhalifahan Bani Umayyah yang terkenal ‘adil dan wara’ serta ahli dalam berbagai bidang ilmu. Beliau terdorong hatinya untuk segera membukukan Hadits-hadits Nabi. Melalui instruksinya kepada para pejabat daerah agar memperhatikan dan mengumpulkan Hadits dari para penghapalnya. Kepada Abu bakar ibn Muhammad ibn Amr ibn Hazm (gubernur Madinah) ia mengirim intruksi yang antara lain berbunyi:

اُنْظُرْ مَا كَا نَ مِنْ حَدِيْثٍ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكْتُبْهُ فَإِنِّى خِفْتُ دُرُوْسَ الْعِلْمِ وَذِهَابَ الْعُلَمَاءِ وَلاَ تَقْبَلْ اِلاَّ حَدِيْثَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَفْشُ الْعِلْمَ وَتَجْلِسُوْا حَتَّى يَعْلَمَ مَنْ لاَ يَعْلَمُ فَاِ نَّ الْعِلْمَ لاَ يَهْلِكُ حَتَّى يَكُوْنَ سـِتْرًا .                     

“Perhatikan atau periksalah hadits-hadits Rasul. Kemudian tuliskanlah ! aku khawatir akan lenyapnya ilmu dengan meninggalnya para ulama (para ahlinya) dan janganlah kamu terima kecuali hadits Rasulullah SAW   dan sebarkanlan ilmu (Hadits) dan adakan majlis-majlis ilmu supaya orang yang tidak mengetahui dapat mengetahutinya, lantaran tidak lenyap ilmu hingga dijadikannya barang rahasia.”

Khalifah menginstruksikan kepada Abu bakar ibn Hazm agar mengumpulkan Hadits-hadits yang ada pada Amrah binti Abdurrahman Al-Anshari ( murid kepercayaan Siti Aisyah) dan al-Qasim ibn Muhammad Abi Bakr. Intruksi yang sama ia tujukan kepada Muhammad ibn Syihab Az-Zuhri, yang dinilainya sebagai orang yang lebih banyak mengetahui Hadits dari pada yang lainnya. Abu Bakr ibn Hazm berhasil menghimpun Hadits dalam jumlah yang menurut para Ulama kurang lengkap. Sedangkan Ibn Syihab az-Zuhri berhasil menghimpunnya, yang dinilai  oleh para Ulama lebih lengkap.[7]
Pelopor mudawwin yang pertama kali berhasil menghimpun Hadits dalam satu kitab sebelum khalifah meninggal dunia ialah Abu Bakar ibn Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah ibn Syihab al-Zuhri al-Madani (w.124 H). Beliau ini seorang ulama besar yang ahli di bidang Hadits dan fiqih. Tokoh-tokah lainnya adalah:
Di makkah         Ibn Juraij (80-150 H)
Di Madinah         Muhammad ibn Ishaq (w.151 H), Ibn Abi Zi’ban (80 H-158 H), dan Malik bin Anas (94 H- 179 H))
Di Syam             Sa’id  ibn Auza’iy (88 H-157 H)
Di Kufah            Sufyan Al-Tsauri (97 H-161 H)
Di Basrah           Al-Rabi’ ibn Syihab, Hammad ibn Salamah   
Di Mesir             Abdullah ibn wahab (125 H- 197 H) dan Al-Laits(94 H-175H)
Di Rie                 Jarir ibn Abdul Hammid (110 H- 188 H)   
Di Yaman           Ma’mar ibn Rasyid (93 H-153 H)
Di Khurasan       Ibn Mubarak (118 H-157 H)
Di washit            Husyaim al-washity

Menurut para Ulama, pembahasan mengenai aktivitas tadwin ini terbagi menjadi 3 fase, yaitu:
a.      Fase tadwin masa pertama
Pada fase ini para Mudawwin mengadakan tadwin dengan cara memasukkan semua Hadits, baik sabda Rasul SAW maupun fatwa sahabat dan tabi’in. Jadi, meliputi hadits marfu’, mauquf, maqthu’.[8]masa ini berlangsung selama abad II H. Ada Ulama ahli hadits yang berhasil menyusun kitab tadwin yang bisa diwariskan pada generasi sekarang, yaitu Malik ibn Anas (94 H-179 H) Al-Muwatha’.
Kitab ini merupakan kitab terbesar pada masa ini yang disusun dengan sistem tashnif,  yaitu dengan meletakkan Hadits yang ada hubungannya dengan yang lain dalam satu bab, kemudian dikumpulkan bab-bab itu dalam satu mushannaf.
Al-Muwatha’ berisi 1726 Hadits yang terdiri dari 60 musnad, 228 mursal, 613 mauquf, dan 285 maqthu’. Perhatian para Ulama terhadap kitab ini begitu besar, dengan bukti dari adanya perluasan kitab tersebut dengan mengusahakan syarahnya dan mukhtashornya. Salah satu syarahnya yaitu Kasyf al-Mughoththo’ fi Syarh al- Muwatha’ oleh al-Syuyuthi (w.911 H). Sedangkan mukhtashornya adalah al-Taqashshi fi Musnad al-Muwaththa’ wa Musahhi oleh Ibn ‘Abd al-Barr.
b.      Fase tadwin dengan  kualifikasi
Pada masa awal abad III H ini, para ulama melaksanakan tadwin Hadits dengan memisahkan antara sabda Nabi SAW dengan fatwa sahabat dan tabi’in (kualifikasi). Namun antara Hadits shahih, hasan, dhaif masih bercampur.
Sistem yang dipakai pada fase ini yaitu menggunakan tasnid, yaitu menyususn Hadits dalam kitab-kitab berdasarkan nama-nama sahabat perawi. Kelemahan dari metode ini adalah sulitnya untuk mencari atau mengetahui hukum syara’ karena tidak disusun berdasarkan maudhu’. Kitab yang disusun menggunakan cara ini disebut dengan Musnad. Salah satu Musnad yang disusun pada masa ini adalah Musnad Ahmad (w. 241 H) yang berisi 40.000 Hadits.
Perhatian para Ulama terhadap Musnad ini, juga begitu besar  dengan adanya pen-syarahan oleh Ahmab ibn ‘Abd al-Rahman ibn Muhammad al-Banna yaitu bkitab Bulughul al-Amani.
c.       Fase tadwin dengan seleksi
Pentadwinan Hadits pada masa ini berlangsung dengan corak kualifikasi antara Hadits marfu’, mauquf, dan maqthu’. Ulama yang pertama menggunakan metode seleksi ini adalah Ishaq ibn Rahawih yang diikuti dan diteruskan oleh al-Bukhari dan Muslim.
Dengan model seleksi ini, menghasilkan dua jenis karya diwan Hadits, yaitu:
1.      Shahih @ kitab-kitab yang terhimpun di dalamnya berkualitas shahih saja. Kitab shahih antara lain:
*      Shahih al-Bukhari
*      Shahih Muslim
*      Shahih Ibn Hibban
*      Al-Mustadrak Hakim
*      Shahih Ibn Khuzaimah
*      Shahih Abu ‘Awanah
*      Shahih Ibn Jarud
2.      Sunan @ tidak hanya menghimpun yang berkualitas shahih saja, tetapi Hadits yang kualitasnya di bawah shahih dengan menjelaskan kualitas masing-masing Hadits. Kitab sunan antara lain:
*      Sunan Abu Dawud
*      Sunan al-Turmudzi
*      Sunan al-Nasa’i
*      Sunan al-Dilami
*      Sunan al-Baihaqi
*      Sunan al-Daruquthni
Namun di antara macam-macam kitab di atas, yang termasyhur adalah Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Turmudzi, Sunan al-Nasa’i, dan Sunan Ibn Majjah yang sering di sebut dengan al-kutub al-sittah.
e.         Masa Mutaakhirin (301 H-656 H)

       Ulama yang hidup mulai pada abad IV H disebut Ulama Mutaakhirin. Pada masa ini, para Ulama mencukupkan periwayatan dengan menukil dari kitab-kitab Hadits yang ditadwin pada abad sebelumnya. Sedangkan Ulama yang hidup sebelumnya disebut Ulama Mutaqaddimin. Pada masa Mutaqaddimin menggunakan model dengan penukilan langsung dari para penghafal.
                          Di antara usaha-usaha ulama yang terpenting dalam periode ini adalah :
1.      Mengumpulkan Hadits shahih Bukhari atau Muslim dalam sebuah kitab.
2.      Mengumpulkan Hadits-hadits dalam kitab enam.
3.      Mengumpulkan Hadits-hadits yang terdapat dalam berbagai kitab.
4.      Mengumpulkan Hadits-hadits hukum.
                          Pada masa ini muncul usaha-usaha istikhraj dan istidrak. Istikhraj yaitu mengambil suatu hadits dari al-Bukhari dan Muslim lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri yang lain dari sanad al-Bukhari atau Muslim, seperti Al-Mustakhraj Shahih Al-Bukhari oleh Hafidz al-Jurjani. Sedangkan Istidrak yaitu mengumpulkan hadits-hadits yang memiliki syarat-syarat Bukhari dari Muslim atau salah satunya Al-Mustadrak oleh Abu Dzar Al-Harawi.
Kitab-kitab yang termasyhur dalam abad ke-4 H
*      Al-Mu’jam al-Kabir, oleh Ath-Thabrany
*      Al-Mustadrak, oleh Al-Hakim
*      Ash-Shahih, oleh Ibn Khuzaimah
*      As-Sunan, oleh Ad-Daruqnuthy
*      Al-Mushannaf, oleh Ath-Thahawy
*      Al-Musnad, oleh Muhammad ibn Ishaq

                                    Kitab-kitab yang lahir dalam abad ke-5 H
                                                Kitab Hadits yang paling terkenal pada masa ini adalah karya Imam Al-Baihaqy (458 H) As-Sunan al-Kubra yang diterbitkan di India, dengan disertai fihris(daftar) nama-nama sahabat dan tabi’in. Adapun kitab yang lainnya adalah:
*      ‘Umdat al-Ahkam, karya Al-Hafizh Abd al-Ghany Abu Abd al-Wahid al-Maqdisy.
*      Al- Jami’ baina ash-shalihin, karya Muhammad ibn Nashir al-Humaidy al-Andalusy.
*      Al-Ahkam ash-Shaghir, karya abu Muhammad Abd al-Haqqyang terkenak dengan nama Ibn al-Kharrat.
                                    Kitab-kitab yang lahir pada abad ke-6 H
*      Tadrij ash-Shilah, susunan Abu al-hasan Muhammad ibn Razin ibn Muawiyyah al-Sarqasthy.
*      Mashabih ash-Shunnah, susunan Imam Husain ibn Mas’ud al-Baghdady.
*      Al-Jami’ baina ash-Shalihin, susunan Muhammad ibn Ishaq al-Asybily.

f.          Masa 656 H- sekarang

       Pada masa ini masa setelah berakhirnya kedaulatan abbasiyah ke-17 yaitu Al-Muktashim (w.656 H). Karena serangan dari Mongol yaitu hulaghu Khan yang pada saat itu berada di Baghdad, sehingga kegiatan perkembangan hadits berpindah ke Mesir dan india. Periode ini dinamakan masa pen-syarahan, penghimpunan, pen-takhrijan, dan pembahasan.
                          Jalan-jalan yang ditempuh para Ulama pada masa ini adalah
1.      Menerbitkan isi kitab-kitab hadits.kitab itu diberi nama kitab Zawaid. seperti, Zawaid Sunan Ibn Majjah.
2.      Menyaringnya dan menyusun kitab-kitab takhrij seperti,Takhrij Al-Hadits Tafsir Al-Kasyasyaf, karya Az-Zaily (w.726 H).
3.      Membuat kitab-kitab jami’ yang umum seperti, Jami’ Al-Masanid was Sunan al-Hadi li Aqwami Sanan, karya Al-Hafizh Ibn Katsir (w.774H).
4.      Mengumpulkan Hadits-hadits Hukum seperti, Bulugh al-Maram min Ahadits al-Ahkam oleh Al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalany .(w.852H).
                                     Tokoh-tokoh yang terkenal pada masa
a.       Az-Zahaby (748 H)
b.      Az-Zarkasi (794 H)
c.       As-Sayuthi (911 H)
d.      Al-Iraqy (806 H)
e.       Ibn Katsir (744 H)
Kitab-kitab hadits yang disusun pada ke-7 H adalah:
               At-Targhib oleh Al-Hafizh Abdul Azhim Ibn Abd Al-Qawi ibn  Abdullah Al-Mundziri (656 H)
               Riyadhus Shalihin dan Al-Arba’in oleh Imam An-Nawawi
               Al-Mukhtarah susunan Muhammad ibn Abdil Wahid Al-Maqdisi (643 H)
Kitab-kitab hadits pada abad ke-8 H adalah:
               Jami’ Al-Masanid Al-Hadi ila Aqwami Sanan oleh Al-Hafizh ibn Katsir.
              Al-‘Ilmam fi Ahadits Al-Ahkam karya Imam Ibn Daqiq Al-Ied  (792 H)
Kitab-kitab hadits pada abad ke-9 H adalah :
              Bulugh Al-Maram oleh Al-Hafizh Al- Asqalani.
               Majma’ Az-Zawa’id wa Mamba’ Al-Fawaid karya Al-Hafizh Abu Al-Hasan Ali ibn Abi bakr ibn Sulaiman Asy-Syafi’iy Al-Haitami (1303 H)
Kitab-kitab hadits pada abad ke-10 H adalah :
               Jam’u Al-jawami’ susunan Al-Hafizh As-Sayuthi
               Al-Jami’ Ash-Shaghir min Ahadits Al-Basyir an-Nadzir oleh As-Sayuti.


3.    Pola Pemikiran Periodesasi menurut Ulama  Ahil Hadits

a.      Mustafa Al-A’zami
Menurut Dr. Muhammad Mustafa Al-A’zami, ada 2 periode perkembangan hadits.
1.      Masa sebelum pentadwinan hadits, yakni masa Nabi Muhammad SAW sampai akhir abad I H yang terbagi menjadi 4 fase. Antara lain:
*      Pada masa ketika para sahabat aktif menerima dam menyampaikan hadits, pada masa ini ada sekitarb 50 sahabat yang aktif.
*      Masa para tabi’in aktif menerima dan menyampaikan hadits, pada fase ini ada sekitar 48 tabi’in yang terhitung aktif.
*      Tabi’it tabi’in menrima dan meriwayatkan hadits dari para tabi’in, yang terhitung aktif pada fase ini berjumlah sekitar 86.
*      Aktifnya para guru dan ulama mengajarkan hadits di madrasah-madrasah, yang terhitung aktif sekitar 256 orang.
2.      Masa pengajaran dan penyebaran hadits periode ini dimulai sejak abad ke-2 H, yakni sejak dikeluarkan perintah secara resmi oleh kholifah Umar bin Abdul Aziz untuk membukukan hadits. Periode ini terbagi menjadi 3 fase. Antara lain :
*      Ahli hadits dalam menyusun hadits juga mengaitkan ayat-ayat Al-Qur’an,  atsar-atsar sahabat dan tabi’in dan disemua kota-kota besar yang masuk dalam daerah Islam, ada ahli-ahli hadits yang terkenal.
*      Kitab-kitab hadits memuat hadits Nabi saja dan urutan hadits yang termaktub dalam kitab-kitab hadits yang berdasarkan topic dan ada yang berdasarkan yang meriwayatkan hadits tersebut.
*      Masa ini gencarnya mengenai pendewaan, pengajaran, dan pembahasan mengenai hadits berada pada  puncaknya.

b.      DR. Muhammad AbdurRauf
Menurut beliau, perkembangan terbagi atas 5 periode, yaitu:
1.      Marhalatus shohifah. Penulisan pada shahifah-shahifah (pelapah kurma, kulit kayu dan tulang-tulang binatang). Periode ini terjadi pada masa Rasulullah yang secara umum melarang dan secara khusus memerintahkan.
2.      Marhalatul mushonnif. Penulisan kitab hadits berdasar dari permasalahan yang berkembang. Dimulai sejak Rasulullah SAW wafat sampai pertengahan abad ke-2 H, tetapi menurut Maulana Muhammad Ali masa ini sampai akhir abad 1 H.
3.      Marhalatus sanad. Penulisan kitab berdasar urutan sanad, terjadi pada abad ke-2 H sejak perintah resmi keluar daru kholifah Umar bin Abdul Aziz mengenai pendewaan hadits.
4.      Marhalatus shohih. Tersusunnya hadits yang berkualitas shohih, dimulai sejak abad ke-2 H sampai pertengahan abad 4.
5.      Marhalatut tahliyat. Komentar dari kitab-kitab hadits yang sudah ada.

c.       TM. Hasbi Ash-shiddiqie
Menurut TM. Hasbi Ash-Shiddiqie, ada 7 periode perkembangan hadits. Diantaranya adalah :
1.      Masa turunnya wahyu. Masa ini selama 23 tahun, yaitu tahun ke-8 SH sampai tahun 11H. Masa ini sering di sebut masa pembentukan Tasyri Islami (Hukum Islam ) yaitu sejak awal kenabian sampai beliau wafat.
2.      Masa khulafaur Rasyidin. Lamanya 29 tahun, yaitu mulai 11 H sampai 40 H. Masa ini terkenal dengan masa kehati-hatian dan penyederhanaan riwayat.
3.      Masa perkembangan riwayat dan perlawanan ke kota-kota untuk memberi hadits. Masa ini lamanya 60 tahun. Yaitu mulai tahun 40 H-100 H.
4.      Masa pembukuan hadits, yaitu mulai permulaan abad ke-2 H sampai lamanya kurang lebih 100 tahun yaitu dari 100 H sampai 200 H.
5.      Masa pen-tashhih-an hadits. Yaitu sejak abad ke-3 H sampai 100 tahun lamanya.
6.      Masa menafis dan penyaringan kitab-kitab hadits. Lamanya kira-kira 3,5 abad, mulai abad ke-4 sampai 656 H.
7.      Masa membuat syarah dan menyusun kitab-kitab takhrij, mengumpulkan  hadits hukum, dan menyusunnya dalam kitab-kitab jami’ sejak tahun 656 H sampai sekarang.




BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

1.      Perkembangan hadits pada masa Rasulullah SAW bercorak antar lisan, tulisan, dan peragaan praktis dan mengalami pelarangan penulisan dengan salah satu alasannya adalah khawatir akan tercampurnya dengan Al-Qur’an.
2.      Pada masa Khalifah al-Rasyidin, hadits mengalami pasang surut dengan adanya pembatasan periwayatan pada masa Khalifah Abu Bakar-Umar bin Khattab dan perluasan wilayah kekuasaan Islam pada masa Khalifah Utsman-Ali sehingga menyebabkan bibit awalnya Hadits palsu.
3.      Pada masa tabi’in, wilayah daerah kekuasaan Islam bertambah luas. Perluasan daerah tersebut diikuti dengan penyebaran Ulama untuk menyampaikan ajaran Islam di berbagai daerah . penyebaran Hadits disesuaikan dengan kekuatan hafalan masing-masing Ulama itu sendiri, sehingga tidak meratanya Hadits yang dimiliki Ulama Hadits. Maka kondisi tersebut sebagai alasan kodifikasi Hadits selain faktor merajalelanya Hadits palsu.
4.      Masa kodikasi Hadits secara resmi terjadi pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang menginstruksikan kepada Abu Bakr dan Ibn Syihab untu mengumpulkan Hadits-hadis yang ada di berbagai daerah. Terdapat 3 fase dalam proses pentadwinan Hadits yaitu, fase tadwin pertama, fase tadwin dengan kualifikasi, dan fase tadwin dengan seleksi.
5.      Setelah hadits sudah terkodifikasi, muncul usaha dari para Ulama Hadits masa mutaakhirin untuk mensyarah, mentakhrij, membahas dari Hadits tersebut.
6.      Masa (656 H-sekarang) ini merupakan sudah banyaknya kitab-kitab hasil karya oleh para Ulama Hadits.


DAFTAR PUSTAKA
            Al-Qur’an Al-Karim
            Soetari, Endang.2005.Ilmu Hadits.Mimbar Pustaka : Bandung
            Suparta, Munzier. 2003. Ilmu Hadits. Raja Grafindo : Jakarta
Nor Ichwan, Muhammad. 2013. Membahas Ilmu-ilmu Hadits. Rasail Media Group : Semarang
Musahadi. 2000. Evolusi Konsep Sunnah. Aneka Ilmu : Semarang
Soebahar, Erfan. 2012. Periwayatan dan Penulihan Hadits Nabi. Fak.Tarbiyah IAIN Walisongo : Semarang
Abdurrahman, Muhammad. Sumarna, elan. 2011. Metode Kritik Hadits. Remaja Rosdakarya : Bandung
Hasbi, Muhammad ashiddiqiey. 2009. Sejarah dan Pengantar ilmu hadits. Pustaka Rizki Putra: Semarang
Sholahuddin, Agus. Suyadi, Agus. 2008. Ulumul hadits. Pustaka Setia : Bandung



[1] Prof.DR. T.M.Hasbi ash-Shiddieqy.Sejarah dan Pengantar Ilmu hadits.hal 36
[2] Prof.DR.T.M.Hasbi ash-Shiddiqiey,Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,hal.33
[3] Ibid, hal.30
[4] Drs.Fatchur Rahman,Ikhtishar Musthalah al-hadits,hal.31
[5] K.H.Prof.Dr.M.Abdurrahman,MA,Metode Kritik Hadits,hal.77
[6] Drs.Munzier Suparta,MA,Ilmu Hadits,hal.83
[7] Drs.Munzier Suparta,Ilmu Hadits,hal.90
[8] Hadits Marfu’ (sanadnya sampai Nabi), Mauquf (periwayatannya berhenti pada sahabta), Maqthu’ (terputus).

1 comment:

Anonymous said...

Kalau ingin membeli bukunya dimana ya?