Monday, February 15, 2016

Al-Mustadrak Imam Al-Hakim An-Naisaburi


Sumber Gambar Disini

Compiled by: ANDIKA MAULANA

A.    Biografi Imam Al-Hakim An-Naisaburi
1.      Nama, Silsilah Keturunan, dan Kelahirannya
Dia adalah Al-Hafizh Muhammad bin Abdullah bin Hamdawaih bin Nu’aim bin Al-Hakim, Abu Abdillah Adh-Dhabi Ath-Thahmani An-Naisaburi Asy-Syafi’i. Dia terkenal dengan (sebutan) Ibnu Al-Bayyi’.
Dia lahir di Naisabur pada hari Senin, 3 Rabiul Awwal, tahun 321 H.[1]
2.      Perjalanan dalam Menuntut Ilmu
Al-Hakim menuntut ilmu sejak kecil dengan dukungan ayah dan pamannya. Pertama kali dia menyimak hadits pada tahun 330 H. Dia minta didektekan kepada Abu Hatim bin Hibban pada tahun 334 H, ketika dia berusia 13 tahun.
Dia mendapatkan sanad-sanad ali di Khurasan, Irak, dan negeri-negeri di belakang sungai. Dia mendengar dari sekitar 2000 syaikh. Di Naisabur, dia mendengar dari 1000 syaikh, lalu pergi ke Irak pada usia 20 tahun. Dia tiba disana beberapa saat setelah Ismail Ash-Shaffar meninggal dunia.
Dia belajar riwayat kepada Ibnu Al-Imam, Muhammad bin Abu Manshur Ash-Sharram, Abu Ali bin An-Naqqar (ahli qiraat Kuffah), dan Abu Isa Bakkar (ahli qiraat Baghdad).
Dia belajar fikih kepada Abu Ali bin Abu Hurairah, Abu Al-Walid Hassan bin Muhammad, dan Abu Sahal Ash-Sha’luk.
Dia belajar bidang-bidang hadits kepada Abu Ali Al-Hafizh, Al-Ja’abi, Abu Ahmad Al-Hakim, Ad-Daruquthni, dll.
Di antara guru-gurunya ada yang mengambil hadits darinya, yaitu Abu Ishaq Al-Muzakki dan Ahmad bin Abu Utsman Al-Hairi.
Al-Hakim juga mempunyai teman dari pembesar kalangan sufi, yaitu Ismail bin Nujaid, Ja’far Al-Khaladi, dan Abu Utsman Al-Maghribi.[2]
3.      Pujian Ulama Terhadap Al-Hakim
Banyak ulama yang memuji Abu Abdillah Al-Hakim. Inilah komentar sebagian ulama tentang Al-Hakim:
Al-Khathib berkata, “Dia termasuk orang yang terhormat, berilmu, berwawasan luas, dan ahli hadits. Dia banyak mengarang buku-buku tentang hadits.”
Al-Khathib lalu berkata, “Dia adalah orang yang tsiqah (terpercaya).
Abdul Ghafir bin Ismail berkata, “Dia pemimpin ahli hadits pada masanya, dan benar-benar pakar di dalamnya.”
Dia melanjutkan, “Rumahnya adalah rumah kebaikan, wara’, dan ilmu dalam Islam.”
Dia juga berkata, “Dalam karya-karyanya yang terkenal, dia menyebutkan nama guru-gurunya.”
Dia juga berkata, “Aku pernah mendengar guru-guru kami menyebut-nyebut saat-saat hidupnya. Mereka menuturkan bahwa para seniornya yang semasa dengannya, seperti Abu Sahal Ash-Sha’luki, Imam Ibnu Faurak, dan Imam-imam lainnya telah mengutamakannya atas diri mereka. Mereka benar-benar mengakui kelebihannya dan menghormatinya.”
Adz-Dzahabi berkata, “Dia seorang Imam ahli hadits, kritikus, sangat pandai, dan syaikhnya para muhaddits.”
Dia juga berkata, “Seorang ulama besar dan Imamnya para periwayat hadits.”
Ibnu Katsir berkata, “Dia seorang ahli agama, orang yang dapat dipercaya, dapat menjaga diri, teliti (kuat hapalannya), obyektif, dan wara’.”[3]
4.      Karya-Karya Ilmiahnya
Al-Hakim meninggalkan banyak karya yang bermanfaat, yang belum pernah dikarang sebelumnya, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Khalkan. Di antaranya adalah:[4]
a.      Al-Arba’in.
b.      Al-Asma’ wa Al-Kuna.
c.       Al-Iklil fi Dalail An-Nubuwwah.
d.      Amali Al-‘Asyiyyat.
e.       Al-Amali.
f.        Tarikh Naisabur.
g.      Ad-Du’a.
h.      Su’alat Al-Hakim li Ad-Daruquthni fi Al-Jarh wa Ta’dil.
i.        Su’alat Mas’ud As-Sajzi li Al-Hakim.
j.        Adh-Dhu’afa’.
k.       Ilal Al-Hadits.
l.        Fadhail Fathimah.
m.    Fawa’id Asy-Syuyukh.
n.      Ma Tafarrada bihi Kullun min al-Imamain.
o.      Al-Madkhal ila ‘Ilmi Ash-Shahih.
p.      Al-Madkhal ila Ma’rifati Al-Mustadrak.
q.      Muzakki Al-Akhbar.
r.       Mu’jam Asy-Syuyukh.
s.       Al-Mustadrak ala Ash-Shahihain.
t.        Ma’rifah fi Dzikri Al-Mukhadramain.
u.      Maqtal Al-Husain.
v.       Manaqib Asy-Syafi’i.
5.      Wafatnya
Abu Abdillah Al-Hakim wafat setelah meninggalkan karya-karya ilmiahnya kepada kita yang sangat bernilai.
As-Subki berkata dalam Thabaqat Asy-Syafi’iyyah, “Benar dia wafat pada tahun 405 H. Namun ada yang mengatakan tahun 403 H.”[5]

B.     Al-Mustadrak ‘Ala Ash-Shahihain
Kitab Al-Mustadrak karya Al-Hakim telah menimbulkan perdebatan ketika Al-Hakim mengaku telah mengoreksi Al-Bukhari dan Muslim dalam hampir 9000 hadits yang seharusnya dinukil keduanya dalam kitab Shahih-nya, karena hadits-hadits tersebut sesuai syarat (kriteria) keduanya atau salah satunya, atau memiliki sanad yang shahih, tetapi tidak memenuhi kriteria salah satu dari keduanya.
Imam Nawawi berkata, “Maksud perkataan para muhaddits, “sesuai syarat (kriteria) keduanya atau salah satunya”, adalah bahwa para periwayat sanad tersebut terdapat dalam kitab Al-Bukhari dan Muslim atau salah satunya, karena keduanya tidak memiliki (tidak menetapkan) syarat dalam kitab keduanya dan tidak pula dalam selain kitab keduanya.[6]
Mahmud At-Tahan menyebutkan ada tiga macam hadits yang dihimpun di dalam Al-Mustadrak:[7]
1.      Hadits-hadits shahih menurut syarat Al-Bukhari dan syarat Muslim atau salah satu di antara keduanya tetapi keduanya tidak meriwayatkan dalam kitab shahihnya.
2.      Hadits-hadits shahih menurut Al-Hakim sekalipun tidak sesuai dengan syarat Al-Bukhari dan syarat Muslim ataupun salah satu di antara keduanya yang ia istilahkan dengan Shahih Al-Isnad.
3.      Hadits-hadits tidak shahih menurut Al-Hakim tetapi beliau jelaskan sebab ketidak shahihannya.

C.    Kitab Al-Mustadrak dalam Timbangan
Jika kita melihat kitab Al-Mustadrak secara umum, maka akan mendapatkan bahwa Al-Hakim terlalu mudah dalam menilai “shahih” hadits-hadits yang tidak shahih.
Adz-Dzahabi berkata, “Dalam kitab Al-Mustadrak terdapat banyak hadits yang sesuai kriteria Al-Bukhari dan Muslim atau salah satunya. Jumlahnya sekitar separuh dari isi kitab. Seperempatnya memiliki sanad yang shahih., sedangkan sisanya (seperempat lagi) merupakan hadits-hadits munkar yang lemah dan tidak shahih, yang sebagiannya maudhu’.
Ini merupakan hal yang mengherankan, karena Al-Hakim termasuk salah seorang ahli hadits yang brilian di bidangnya. Ada yang berkata, “Hal itu disebabkan bahwa dia menulisnya pada akhir masa hidupnya, yang saat itu dia sudah agak pelupa.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Al-Hakim bersikap menggampangkan karena dia mengkonsep kitab tersebut untuk diralat kemudian, tetapi dia meninggal sebelum sempat meralat dan membetulkannya.”
Banyak periwayat hadits yang berkata, “Sesungguhnya sikap Al-Hakim yang menyendiri dari para Imam hadits dalam men-shahih-kan suatu hadits perlu dikaji, sehingga dapat diketahui mana yang shahih, hasan, dan dha’if.[8]   

D.    Manhaj Al-Hakim fi Tashih wa Tad’if
Melalui penelitian mendalam, Abdurrahman mengemukakan prinsip-prinsip tashih dan tad’if Al-Hakim atas 4 prinsip, antara lain:[9]
1.      Prinsip ijtihad, sebagaimana Al-Hakim menyatakan, “Saya memohon pertolongan kepada Allah untuk menghimpun hadits-hadits dari rawi-rawi yang tsiqah, menghimpun hadits yang diriwayatkan “semisal” rijal yang digunakan Syaikhani atau salah satu dari keduanya, menghimpun hadits yang memenuhi kriteria fuqaha.”
2.      Prinsip status sanad, tampaknya Al-Hakim konsisten dengan sanad sebagai alat ukur persambungan dan kualitas, dengan asumsi bahwa sanad disamping alat pengukur juga merupakan perantara ilmu yang menjadi pangkal kebenaran dalam ajaran agama.
3.      Prinsip matan, di samping sanad, matan hadits bagi Al-Hakim turut menentukan bagi keshahihan hadits, sebagai komitmen dia dalam hal ini, ia turut serta dalam memaparkan teori-teori yang terkait dengan matan, seperti rajah marjuh, nasikh mansukh, mukhtalif al-hadits, maqlub, mudtarib, mudraj, dan lainnya, sehingga sampai pada kesimpulan hadits tersebut ma’mul bihi atau ghair ma’mul bihi.
4.      Prinsip perbedaan kritik matan, Al-Hakim mengakui adanya perbedaan kritik sanad, ada di antara ahli nuqqad ini yang ta’annut (kasar) dalam mengkritik seperti An-Nasa’I, ada yang tasyaddud (ketat) seperti Ibnu Ma’in, ‘Ali ibn al-Madini, al-Bukhari, ada yang tawassut (moderat) seperti Imam Ahmad, ada yang tasahul (longgar) dan tasamuh (toleran) seperti Ibnu Huzaimah, Ibnu Hibban, ‘Ali bin Abi Hatim (ulama memasukkan Al-Hakim pada kategori ini).
Berdasarkan ijtihad di atas, Al-Hakim melakukan klasifikasi hadits sedikit berbeda dengan klasifikasi ulama sebelumnya.
Klasifikasi hadits berdasarkan kuantitas menurut Al-Hakim ada empat:[10]
1.      Mutawatir, sekalipun dalam teorinya ia tidak mendefinisikannya secara tegas.
2.      Masyhur shahih dan masyhur ghair shahih, di mana definisi masyhur menurutnya adalah hadits yang diketahui oleh orang banyak tidak soal apakah hal itu di tingkat sahabat, tabi’in ataukah atba’ at-Tabi’in.
3.      Gharib shahih, gharib syuyukh, gharib mutun.
4.      Afrad atau fard, dengan gharib sama-sama riwayat yang menyendiri, hanya saja penekanan gharib pada sekelompok orang yang berada di kota tertentu.
Kemudian klasifikasi hadits menurut kualitas, secara umum ulama telah meletakkan kaedah keshahihan yang disepakati yaitu musnad, rawinya adil, dhabit, terhindar dari syuzuz, dan ‘illat. Secara khusus Al-Hakim tidak mendefinisikan seperti di atas. Al-Hakim mendefinisikannya sebagai hadits yang harus diriwayatkan oleh ahli hadits yang sidq (jujur), tsabit (tegas), itqan (kuat hafalannya), sihhah al-Usuli (akidahnya benar), mu’asarah (sezaman), liqa’ (bertemu dengan gurunya), tidak tahawun, tidak gaflah (tidak lalai dalam mempelajari hadits), ilmunya dapat diandalkan, benar-benar haditsnya diterima dari gurunya bukan sekedar dari buku catatan.[11]
Namun kriteria tersebut dapat dipahami secara terpisah dalam teori kesahihan haditsnya. Puncaknya Al-Hakim mengklasifikasikan hadits ke dalam tiga kelompok:[12]
1.      Hadits yang disepakati kesahihannya meliputi: hadits yang memenuhi kriteria al-Bukhari dan Muslim, tidak diriwayatkan oleh seorang rawi saja sebagaimana dilakukan Syaikhani, hadits tersebut diterima sekelompok tabi’in dari seorang sahabat, hadits fard dan gharib namun disepakati kesahihannya, serta hadits yang diterima melalui jalur keluarga secara beruntut.
2.      Hadits yang diperselisihkan kesahihannya meliputi: hadits mursal, periwayatan mudallis, periwayatan tsiqah yang berbeda dari periwayatan tsiqah lainnya, periwayatan yang diyakini pernah didengar dari gurunya namun diragukan hafalannya, serta riwayat dari kalangan ahli bid’ah.
3.      Hadits yang dianggap oleh Al-Hakim sebagai al-majruh, saqim, auha al-asanid atau dengan kata lain hadits dha’if meliputi sepuluh tingkatan sebagai berikut: hadits yang diriwayatkan oleh mereka yang mendustakan nabi, berisi rekayasa sanad agar asing bagi pendengarnya, dilakukan oleh orang yang rakus dalam periwayatan hadits, mereka yang mengubah perkataan sahabat, sengaja memausulkan yang mursal, mereka yang saleh dan ahli ibadah yang tidak mengkhususkan memelihara hadits, mereka yang menggenaralisasikan sanad, mereka yang lalai ketika mendengar dan menerima hadits dari gurunya, mereka yang berprofesi bukan ahli hadits, dan mereka yang catatannya rusak.    

E.     Daftar Pustaka
Al-Hakim, Imam, Al-Mustadrak, diterjemahkan oleh Ali Murtadho dari “Al-Mustadrak ‘Ala Ash-Shahihaini”, Cetakan Pertama, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010).

Ulama’I, A. Hasan Asy’ari, Membedah Kitab Tafsir-Hadits (Dari Imam Ibn Jarir al-Thabari hingga Imam al-Nawawi al-Dimasyqi), Cetakan Pertama, (Semarang: Walisongo Press, 2008).


[1] Imam Al-Hakim, Al-Mustadrak, diterjemahkan oleh Ali Murtadho dari “Al-Mustadrak ‘Ala Ash-Shahihaini”, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010), Cetakan Pertama, h. 6.
[2] Ibid. h. 6-8.
[3] Ibid. h. 8-10.
[4] Ibid. h. 11-12.
[5] Ibid. h. 19.
[6] Ibid. h. 25.
[7] Dr. A. Hasan Asy’ari Ulama’i, M.Ag., Membedah Kitab Tafsir-Hadits (Dari Imam Ibn Jarir al-Thabari hingga Imam al-Nawawi al-Dimasyqi), (Semarang: Walisongo Press, 2008), Cetakan Pertama, h. 143-144.
[8] Imam Al-Hakim, op. cit, h. 25-26.
[9] Dr. A. Hasan Asy’ari Ulama’i, M.Ag., op. cit. h. 144-146.
[10] Ibid. h. 146.
[11] Ibid. h. 147.
[12] Ibid. h. 147-148.

No comments: