Wednesday, March 19, 2014

WILHELM DILTHEY



Compiled by: ANDIKA MAULANA


A.     PENDAHULUAN
Hermeneutika telah menjadi sebuah metode interpretasi teks sejak Schleiermacher mengenalkan seni pemahaman dalam mempelajari teks. Kemudian seorang sejawaran Jerman yang bernama Wilhelm Dilthey mencoba menginterpretasikan teks dalam kehidupan manusia dengan metode sejarahnya.
Proyek Hermeneutika ini terus berlanjut dengan bergabungnya Heidegger dalam menyumbangkan idenya untuk metode ini. Dilanjutkan dengan kritik Gadamer terhadap dua orang estetika modern dan kesadaran sejarah yang kemudian mengenalkan metode dialektis.
Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang Hermeneutika sejarah yang diperkenalkan oleh Wilhelm Dilthey. Dilthey sendiri merupakan seorang filsuf yang terkenal dengan filsafat hidupnya yang menyatakan bahwa hidup adalah rangkaian pengalaman manusia yang menjadi sejarah hidupnya yang dipahami secara luas dan menyeluruh.
Dalam proyek Hermeneutikanya, Dilthey memberikan definisi baru terhadap pengalaman, makna dan pemahaman. Dengan metode sejarah, Dilthey mencoba memberikan pemahaman baru dalam menginterpretasi rangkaian pengalaman manusia baik itu berupa teks, biografi dan lain sebagainya.

B.     POKOK PEMBAHASAN

1.      Sejarah Singkat Kehidupan Wilhelm Dilthey
2.      Latar Belakang Pemikiran Wilhelm Dilthey Tentang Hermeneutika
3.      Formula Hermeneutika Wilhelm Dilthey
  

PEMBAHASAN

1.      Sejarah Singkat Kehidupan Wilhelm Dilthey[1]

Wilhelm Dilthey lahir pada 19 November 1833 di Biebrich dari keluarga Protestan yang taat. Ayahnya, seorang pendeta dan ibunya seorang pemain dirigen, yang sejak dini menginginkan agar Wilhelm Dilthey belajar teologi agar kelak menjadi pendeta. Selain teologi, Wilhelm Dilthey juga mempelajari sejarah dan filsafat. Dilthey muda merupakan pengagum berat Schleiermacher, karena kemampuan intelektualnya dalam menggabungkan teologi dan kesusastraan dengan karya-karya kefilsafatan.
Sebagai seorang filosof, Wilhelm Dilthey tidak banyak dikenal, walaupun dalam bidang hermeneutika ia punya andil besar terutama karena metode riset historisnya yang kemudian menjadi sumbangannya yang sangat berharga bagi perkembangan hermeneutika. Karyanya lebih banyak tercurah pada pemahaman historis. Karena itu, ia dikenal sebagai filosof historis.
Yang menjadi sasaran Dilthey adalah memahami orang yang menyejarah. Pemahaman atas sistem yang dihasilkan oleh individu adalah mutlak bagi sasaran tersebut, sebab individu merupakan produk suatu sistem sosial atau oleh Dilthey disebut “eksternal”. Sistem eksternal menjadi basis pemahaman historis. Dalam pandangan Dilthey, seorang penafsir tidak dapat mengesampingkan begitu saja psikologi tingkah laku individu, sementara ia menaruh perhatian pada pola-pola tingkah laku. Untuk memahami prilaku individu, menurut Dilthey, lingkungan eksternal dan kejiwaan internal seseorang harus dilihat secara seksama. Dalam hal ini, Dilthey pertama-tama membuat deskripsi, kemudian mengadakan interpretasi psikologinya untuk memberikan orientasi awal dalam memahami individu.
Menurut Dilthey, hermeneutika pada dasarnya bersifat menyejarah. Ini berarti bahwa makna itu sendiri tidak pernah “berhenti pada satu masa saja”, tetapi selalu berubah menurut modifikasi sejarah. Sejarah bangsa Indonesia, misalnya, tidak mungkin hanya ditulis sekali untuk selamanya, tetapi akan selalu ditulis kembali oleh setiap generasi. Bahasa juga tidak pernah lepas dari pasang surutnya sejarah. Kata-kata atau pernyataan tunggal bisa mempunyai makna bermacam-macam, tergantung pada konteks sejarah di mana kata atau pernyataan itu diucapkan. Itu pula sebabnya mengapa makna kata atau bahkan ungkapan tidak pernah tunggal. Makna kata muncul, tenggelam, dan berkembang dalam rentetan sejarah masyarakat.

2.      Latar Belakang Pemikiran Wilhelm Dilthey Tentang Hermeneutika[2]

Wilhelm Dilthey sebagai seorang filsuf, relatif tidak dikenal orang dibandingkan dengan mereka yang namanya disebut sebagai kaum intelektual. Tetapi di negara asalnya, yaitu Jerman, ia dikenal sebagai seorang filsuf yang cukup masyhur. Dalam bidang hermeneutik filosofis, di mana ia punya andil besar, relatif memang tidak dikenal orang. Ia lebih banyak dikenal karena riset historisnya. Karya-karyanya dikumpulkan dalam tujuh jilid dan terutama berkaitan dengan perhatiannya terhadap pemahaman historis. Ia memang bukan sembarang sejarawan. Ia adalah filsuf yang menaruh perhatian pada sejarah. Ia seakan-akan “mematri” sejarah dan filsafat menjadi satu dengan maksud untuk mengembangkan suatu pandangan filosofis yang komprehensif dan yang tidak terjaring oleh dogma metafisika dan tidak “diredufkan” oleh prasangka.
Dilthey berambisi untuk menyusun sebuah dasar epistemologis baru bagi pertimbangan sejarah. Proyek ini berkisar pada gagasan tentang komprehensif atau pemahaman yang memandang dunia dalam dua wajah, yaitu wajah dalam (interior) dan wajah luar (eksterior). Pandangan dualistis ini mirip dengan dualisme Descartes tentang badan dan jiwa, yaitu spiritualisme sebagai bagian dari wajah dalam (interior) dan realisme sebagai bagian dari wajah luar (eksterior). Peristiwa sejarah ditinjau dari dari dua sudut pandang, yaitu secara interior dan eksterior. Secara eksterior, suatu peristiwa mempunyai tanggal dan tempat khusus atau tertentu; secara interior, peristiwa itu dilihat atas dasar kesadaran atau keadaan sadar. Kedua dimensi dari peristiwa sejarah ini tidak bernilai sama. Bahkan dapat dikatakan bahwa kedua dimensi itu dalam keadaan saling tergantung satu sama lain. Seringkali yang memberi nilai pada dimensi eksterior suatu peristiwa, yaitu tanggal dan tempat, adalah nilai yang berasal dari kesadaran kita sendiri, yaitu dimensi interior. Atau, dapat terjadi dimensi eksterior, di mana sebuah peristiwa sejarah sedemikian mempengaruhi kesadaran sehingga sedikit banyak menutupi keadaan sadar itu.
Kesulitan yang dihadapi oleh Dilthey ialah bagaimana menempatkan penyelidikan sejarah supaya sejajar dengan penelitian ilmiah. Sebab, dalam penelitian ilmiah hanya terdapat satu dimensi, yaitu dimensi eksterior. Kesadaran para peneliti ilmiah tidak masuk meresap ke dalam eksperimennya. Bukan ilmuawan yang menyesuaikan nilai atau signifikan pada penelitian ilmiahnya, melainkan penelitian itu sendiri yang menentukan bernilai-tidaknya. Atas dasar uraian ini, maka sebenarnya ambisi Dilthey telah kandas.

3.      Formula Hermeneutika Wilhelm Dilthey

a.      Pengalaman[3]
Dilthey memaknai pengalaman dengan kehidupan itu sendiri. Pengalaman hidup dimaknai sebagai suatu unit yang secara bersamaan diyakini mempunyai makna yang umum:
“Apa yang terdapat dalam arus waktu satu kesatuan pada masa sekarang karena makna kesatuannya itu merupakan entitas paling kecil yang dapat kita tunjuk sebagai sebuah pengalaman. Lebih jauh, seseorang dapat menyebut setiap kesatuan menyeluruh dari bagian-bagian hidup terikat secara bersama melalui makna umum bagi keseluruhan hidup sebagai suatu pengalaman, bahkan jika bagian-bagian lainnya terpisah antara satu dengan yang lain oleh adanya gangguan berbagai peristiwa.”
Dilthey mendefinisikan pengalaman tidaklah dibentuk sebagai kandungan perilaku kesadaran reflektif, karena jika demikian ia akan menjadi sesuatu yang akan kita sadari, lebih dari itu ia merupakan prilaku itu sendiri. Ia merupakan sesuatu dimana kita hidup dan kita lalui, ia merupakan sikap yang sebenarnya kita jalani untuk hidup dan dimana kita hidup. Hal ini mengandung makna bahwa pengalaman secara langsung tidak akan dapat memahami dirinya sendiri, karena jika hal ini terjadi maka sesungguhnya pengalaman merupakan perilaku kesadaran reflektif.
Pemahaman Dilthey terhadap pengalaman membawa ia sampai pada sebuah kesadaran penting yang ia gunakan dalam hermeneutikanya bahwa pengalaman secara instrinsik bersifat temporal (dan ini bermakna historis dalam artian yang paling dalam dari kata tersebut) dan untuk itu pemahaman akan pengalaman juga harus sepadan dengan kategori temporal (historis) pemikiran.

b.      Ekspresi[4]
Dilthey memahami ekspresi bukan merupakan pembentukan perasaan seseorang namun lebih kepada ekspresi hidup. Sebuah ekspresi mengacu pada ide, hukum, bentuk sosial, bahasa dan segala sesuatu yang merefleksikan kehidupan manusia. Dengan demikian, ekspresi bisa dimaknai dengan obyektivikasi pemikiran atau  pengetahuan, perasaan dan keinginan manusia.
Signifikansi hermeneutis obyektivikasi adalah sesuatu yang oleh karena pemahaman dapat difokuskan terhadap sesuatu yang dapat difiksisasikan, ekspresi obyektif pengalaman hidup yang berlawanan dengan segala upaya untuk dapat mengatasinya melalui aktifitas introspeksi. Introspeksi tidak dapat dijadikan sebagai basis ilmu-ilmu kemanusiaan, karena refleksi langsung atas pengalaman menghasilkan sebuah intuisi yang tidak dapat dikomunikasikan dan konseptualisasi yang dengan sendirinya merupakan sebuah ekspresi kehidupan yang mendalam. Setiap sesuatu dimana spirit manusia telah mengobyektifikasikan dirinya masuk dalam wilayah ilmu-ilmu kemanusiaan. Cakupannya seluas pemahaman itu sendiri dan pemahaman memiliki obyek kebenarannya dalam obyektifikasi kehidupan itu sendiri.

c.       Karya Seni Sebagai Obyektivikasi Pengalaman Hidup[5]
Dilthey mengklasifikasikan hidup dan pengalaman manusia ke dalam tiga kategori utama:
Pertama, gagasan-gagasan (yaitu konsep, penilaian, dan bentuk-bentuk pemikiran yang lebih luas) merupakan sebuah kandungan pemikiran yang terbebaskan dari ruang, waktu dan pelakunya dimana gagasan-gagasan itu lahir dan untuk alasan inilah gagasan-gagasan itu memiliki akurasi dan mudah dikomunikasikan.
Kedua, tindakan lebih sulit untuk diinterpretasikan karena di dalam sebuah tindakan terdapat sebuah tujuan tertentu, namun hanya dengan kesulitan besarlah kita dapat menemukan faktor-faktor yang dapat bekerja yang memastikan sebuah tindakan tersebut.
Ketiga, terdapat ekspresi pengalaman hidup yang meluas dari ekspresi kehidupan dalam yang spontan seperti pernyataan dan sikap diri ke ekspresi sadar yang terbentuk dalam karya seni.
“Dalam karya-karya seni agung, sebuah visi dibentuk bebas dari pengarang, penyair, seniman, ataupun penulisnya dan kita dimasukkan dalam suatu bidang dimana permainan atau tipu daya oleh yang berekspresi berakhir. Sebenarnya tidak ada karya seni besar yang dapat mencoba mencerminkan realitas yang asing terhadap isi dalam pengarangnya. Tentu saja, karya tersebut tidak berkeinginan untuk mengatakan segala hal tentang pengarangnya. Dalam dirinya sendiri, karya-karya agung tersebut benar-benar bersifat pasti, visible dan abadi…”
Dalam ungkapan diatas dapat diketahui bahwa karya-karya seni belum bisa menjelaskan kehidupan pengarangnya secara menyeluruh, namun karya tersebut hanya mengungkapkan apa yang ada dalam kehidupan sehingga diperlukan sebuah metode interpretasi untuk mengungkap pemikiran pengarangnya secara obyektif. Metode inilah yang kemudian disebut dengan hermeneutika.
Dilthey menegaskan  prinsip-prinsip hermeneutika dapat menyinari cara untuk memberikan landasan teori umum pemahaman. Dengan demikian hermeneutika menjadi sebuah teori yang tidak hanya interpretasi teks, namun bagaimana hidup mengungkap dan mengekspresikan dirinya dalam karya. Oleh karena itu, ekspresi secara keseluruhan tidak bersifat personal, melainkan merupakan realitas sosial historis yang terungkap dalam pengalaman, realitas sosial historis dari pengalaman itu sendiri.

d.      Pemahaman[6]
Menurut Dilthey, pengalaman merupakan proses jiwa dimana kita memperluas pengalaman hidup manusia. Ia merupakan tindakan yang membentuk hubungan terbaik kita dengan hidup itu sendiri. Pemahaman membuka dunia individu orang lain kepada kita dan dengan begitu juga membuka kemungkinan-kemungkinan di dalam hakikat kita sendiri.
Dilthey menegaskan bahwa manusia adalah makhluk historis. Manusia memahami dirinya tidak melalui introspeksi tapi melalui obyektifikasi hidup. Sejarah kehidupan dan pengalaman yang didapatkan oleh manusia mengantarkan mereka pada sebuah pemahaman akan nilai-nilai yang terkandung dalam hidup itu sendiri. Masa lalu adalah pembelajaran dimana dengan mengingat kembali rangkaian kejadian dan pengalaman hidupnya, manusia bisa mencapai suatu pemahaman yang mendasar terhadap dirinya sendiri.
Menurut Dilthey, makna memiliki peranan penting dalam pemahaman. Makna adalah apa yang diperoleh pengalaman dalam interaksi resiprokal yang esensial dari keseluruhan dan bagian-bagian lingkaran hermeneutis. Makna keseluruhan adalah suatu “makna” yang diperoleh dalam pemaknaan bagian-bagian individual. Suatu peristiwa atau pengalaman akan mengubah kehidupan kita, dimana apa yang sebelumnya bermakna menjadi tidak bermakna dan sebaliknya.
Makna merupakan sesuatu yang bersifat historis, ia merupakan suatu hubungan keseluruhan kepada bagian-bagiannya yang kita lihat dari sudut pandang tertentu, pada saat-saat tertentu, bagi kombinasi bagian-bagian tertentu. Makna berubah selaras dengan waktu, merupakan persoalan hubungan dimana peristiwa dilihat. Dengan demikian, makna bersifat kontekstual dan merupakan bagian dari situasi.
Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa pemahaman tidak terlepas dari setting historisnya. Kita menangkap makna yang terdapat dalam setiap kejadian dan pengalaman yang mana makna tersebut memberikan pemahaman kepada kita. Pengalaman yang terjadi di masa lalu yang memiliki makna dan memberikan pemahaman bisa merubah manusia dalam menjalani hidupnya.


KESIMPULAN

Sejarah kehidupan Dilthey menunjukkan bahwa ia adalah seorang religius yang kemudian berubah haluan menjadi sejarawan dan filsuf. Pemikirannya dipengaruhi oleh sejarawan dan filsuf pada masa hidupnya yang mana banyak memberikan ia pengetahuan yang besar dalam memahami kehidupan secara menyeluruh.
Filsafat kehidupan Dilthey menjelaskan bahwa hidup adalah satu kesatuan menyeluruh dari berbagai aspek yang melingkupinya. Hidup tidak hanya sebatas dogma agama maupun pengalaman manusia, melainkan hidup merupakan rentetan kejadian yang menyatu dalam sejarah hidup itu sendiri.
Ilmu humaniora (geisteswissenschaften) Dilthey menjelaskan bahwa setiap manusia terikat dengan sejarah hidupnya masing-masing. Diperlukan pemahaman yang komprehensif untuk menjelaskan pemikiran dan rentetan kejadian yang terjadi yang menjadi sejarah hidup itu sendiri. Oleh karena itu, sejarah merupakan landasan interpretasi dalam mempelajari dunia manusia dan pemahaman adalah kunci dalam interpretasi tersebut.
Dengan hermeneutiknya, Dilthey mencoba menjelaskan bahwa pengalaman manusia merupakan kehidupan manusia itu sendiri. Pengalaman merupakan bagian dari sejarah hidup yang kemudian menjadi obyek refleksi dari interpretasi. Adapun ekspresi adalah segala bentuk refleksi kehidupan manusia dimana dengan melihat ekspresi tersebut kita dapat mengetahui obyek kebenaran dengan menggunakan pemahaman. Kemudian disebutkan bahwa karya seni merupakan manifestasi hidup yang tidak sepenuhnya mengungkap segala hal dari pengarangnya. Oleh karena itu, hermeneutik menjadi sebuah metode interpretasi dalam memahami apa yang belum terungkap dalam karya seni tersebut. Lebih lanjut Dilthey menjelaskan bahwa kunci dari interpretasi itu sendiri adalah pemahaman. Dimulai dari memahami historisitas manusia yang mana kemudian pemahaman tersebut menemukan makna dibalik sejarah hidup manusia. Makna tersebut digunakan sebagai pengetahuan yang akan diolah dalam menginterpretasikan sejarah ataupun teks dan lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

1.      Mudjia Raharjo, M.Si., Prof. Dr. H. 2008. Dasar-Dasar Hermeneutika : Anatar Intensionalisme & Gadamerian. Jogjakarta : Ar-Ruz Media.
2.      Sumaryono, E. 1993. Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
3.      Palmer, Richard E. 2005. Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi. Terj. Musnur Hery & Damanhuri Muhammed. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.




[1] Prof. Dr. H. Mudjia Raharjo, M.Si. Dasar-Dasar Hermeneutika : Antara Intensionalisme & Gadamerian. Jogjakarta : Ar-Ruzz Media. 2008. Hlm. 41-42.
[2] E. Sumaryono. Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta : Penerbit Kanisius. 1993. Hlm. 43-44.

[3] Richard E. Palmer. Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi. Terj. Musnur Hery & Damanhuri Muhammed. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2005. Hlm. 120-125.

[4] Richard E. Palmer. Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi. Terj. Musnur Hery & Damanhuri Muhammed. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2005. Hlm. 125-127.
[5] Richard E. Palmer. Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi. Terj. Musnur Hery & Damanhuri Muhammed. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2005. Hlm. 127-129.

[6] Richard E. Palmer. Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi. Terj. Musnur Hery & Damanhuri Muhammed. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2005. Hlm. 129-137.

No comments: