Compiled by: ANDIKA MAULANA
A.
PENDAHULUAN
Hermeneutika telah menjadi sebuah metode interpretasi
teks sejak Schleiermacher mengenalkan seni pemahaman dalam mempelajari teks.
Kemudian seorang sejawaran Jerman yang bernama Wilhelm Dilthey mencoba menginterpretasikan
teks dalam kehidupan manusia dengan metode sejarahnya.
Proyek Hermeneutika ini terus berlanjut dengan
bergabungnya Heidegger dalam menyumbangkan idenya untuk metode ini. Dilanjutkan
dengan kritik Gadamer terhadap dua orang estetika modern dan kesadaran sejarah
yang kemudian mengenalkan metode dialektis.
Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang Hermeneutika
sejarah yang diperkenalkan oleh Wilhelm Dilthey. Dilthey sendiri merupakan
seorang filsuf yang terkenal dengan filsafat hidupnya yang menyatakan bahwa
hidup adalah rangkaian pengalaman manusia yang menjadi sejarah hidupnya yang
dipahami secara luas dan menyeluruh.
Dalam proyek Hermeneutikanya, Dilthey memberikan
definisi baru terhadap pengalaman, makna dan pemahaman. Dengan metode sejarah,
Dilthey mencoba memberikan pemahaman baru dalam menginterpretasi rangkaian
pengalaman manusia baik itu berupa teks, biografi dan lain sebagainya.
B. POKOK PEMBAHASAN
1.
Sejarah Singkat
Kehidupan Wilhelm Dilthey
2.
Latar Belakang
Pemikiran Wilhelm Dilthey Tentang Hermeneutika
3.
Formula
Hermeneutika Wilhelm Dilthey
PEMBAHASAN
Wilhelm Dilthey lahir pada 19 November 1833 di
Biebrich dari keluarga Protestan yang taat. Ayahnya, seorang pendeta dan ibunya
seorang pemain dirigen, yang sejak dini menginginkan agar Wilhelm Dilthey
belajar teologi agar kelak menjadi pendeta. Selain teologi, Wilhelm Dilthey juga
mempelajari sejarah dan filsafat. Dilthey muda merupakan pengagum berat
Schleiermacher, karena kemampuan intelektualnya dalam menggabungkan teologi dan
kesusastraan dengan karya-karya kefilsafatan.
Sebagai seorang filosof, Wilhelm Dilthey tidak banyak
dikenal, walaupun dalam bidang hermeneutika ia punya andil besar terutama
karena metode riset historisnya yang kemudian menjadi sumbangannya yang sangat
berharga bagi perkembangan hermeneutika. Karyanya lebih banyak tercurah pada
pemahaman historis. Karena itu, ia dikenal sebagai filosof historis.
Yang menjadi sasaran Dilthey adalah memahami orang
yang menyejarah. Pemahaman atas sistem yang dihasilkan oleh individu adalah
mutlak bagi sasaran tersebut, sebab individu merupakan produk suatu sistem
sosial atau oleh Dilthey disebut “eksternal”. Sistem eksternal menjadi basis
pemahaman historis. Dalam pandangan Dilthey, seorang penafsir tidak dapat
mengesampingkan begitu saja psikologi tingkah laku individu, sementara ia
menaruh perhatian pada pola-pola tingkah laku. Untuk memahami prilaku individu,
menurut Dilthey, lingkungan eksternal dan kejiwaan internal seseorang harus
dilihat secara seksama. Dalam hal ini, Dilthey pertama-tama membuat deskripsi,
kemudian mengadakan interpretasi psikologinya untuk memberikan orientasi awal
dalam memahami individu.
Menurut Dilthey, hermeneutika pada dasarnya bersifat
menyejarah. Ini berarti bahwa makna itu sendiri tidak pernah “berhenti pada
satu masa saja”, tetapi selalu berubah menurut modifikasi sejarah. Sejarah
bangsa Indonesia, misalnya, tidak mungkin hanya ditulis sekali untuk selamanya,
tetapi akan selalu ditulis kembali oleh setiap generasi. Bahasa juga tidak
pernah lepas dari pasang surutnya sejarah. Kata-kata atau pernyataan tunggal
bisa mempunyai makna bermacam-macam, tergantung pada konteks sejarah di mana
kata atau pernyataan itu diucapkan. Itu pula sebabnya mengapa makna kata atau
bahkan ungkapan tidak pernah tunggal. Makna kata muncul, tenggelam, dan
berkembang dalam rentetan sejarah masyarakat.
Wilhelm Dilthey sebagai seorang filsuf, relatif tidak
dikenal orang dibandingkan dengan mereka yang namanya disebut sebagai kaum
intelektual. Tetapi di negara asalnya, yaitu Jerman, ia dikenal sebagai seorang
filsuf yang cukup masyhur. Dalam bidang hermeneutik filosofis, di mana ia punya
andil besar, relatif memang tidak dikenal orang. Ia lebih banyak dikenal karena
riset historisnya. Karya-karyanya dikumpulkan dalam tujuh jilid dan terutama
berkaitan dengan perhatiannya terhadap pemahaman historis. Ia memang bukan
sembarang sejarawan. Ia adalah filsuf yang menaruh perhatian pada sejarah. Ia
seakan-akan “mematri” sejarah dan filsafat menjadi satu dengan maksud untuk
mengembangkan suatu pandangan filosofis yang komprehensif dan yang tidak
terjaring oleh dogma metafisika dan tidak “diredufkan” oleh prasangka.
Dilthey berambisi untuk menyusun sebuah dasar
epistemologis baru bagi pertimbangan sejarah. Proyek ini berkisar pada gagasan
tentang komprehensif atau pemahaman yang memandang dunia dalam dua wajah, yaitu
wajah dalam (interior) dan wajah luar (eksterior). Pandangan dualistis ini
mirip dengan dualisme Descartes tentang badan dan jiwa, yaitu spiritualisme
sebagai bagian dari wajah dalam (interior) dan realisme sebagai bagian dari
wajah luar (eksterior). Peristiwa sejarah ditinjau dari dari dua sudut pandang,
yaitu secara interior dan eksterior. Secara eksterior, suatu peristiwa
mempunyai tanggal dan tempat khusus atau tertentu; secara interior, peristiwa
itu dilihat atas dasar kesadaran atau keadaan sadar. Kedua dimensi dari
peristiwa sejarah ini tidak bernilai sama. Bahkan dapat dikatakan bahwa kedua
dimensi itu dalam keadaan saling tergantung satu sama lain. Seringkali yang
memberi nilai pada dimensi eksterior suatu peristiwa, yaitu tanggal dan tempat,
adalah nilai yang berasal dari kesadaran kita sendiri, yaitu dimensi interior.
Atau, dapat terjadi dimensi eksterior, di mana sebuah peristiwa sejarah
sedemikian mempengaruhi kesadaran sehingga sedikit banyak menutupi keadaan
sadar itu.
Kesulitan yang dihadapi oleh Dilthey ialah bagaimana
menempatkan penyelidikan sejarah supaya sejajar dengan penelitian ilmiah.
Sebab, dalam penelitian ilmiah hanya terdapat satu dimensi, yaitu dimensi
eksterior. Kesadaran para peneliti ilmiah tidak masuk meresap ke dalam eksperimennya.
Bukan ilmuawan yang menyesuaikan nilai atau signifikan pada penelitian
ilmiahnya, melainkan penelitian itu sendiri yang menentukan bernilai-tidaknya.
Atas dasar uraian ini, maka sebenarnya ambisi Dilthey telah kandas.
3.
Formula Hermeneutika Wilhelm Dilthey
a. Pengalaman[3]
Dilthey memaknai pengalaman dengan kehidupan itu
sendiri. Pengalaman hidup dimaknai sebagai suatu unit yang secara bersamaan
diyakini mempunyai makna yang umum:
“Apa yang terdapat dalam arus waktu satu kesatuan pada
masa sekarang karena makna kesatuannya itu merupakan entitas paling kecil yang
dapat kita tunjuk sebagai sebuah pengalaman. Lebih jauh, seseorang dapat
menyebut setiap kesatuan menyeluruh dari bagian-bagian hidup terikat secara
bersama melalui makna umum bagi keseluruhan hidup sebagai suatu pengalaman,
bahkan jika bagian-bagian lainnya terpisah antara satu dengan yang lain oleh
adanya gangguan berbagai peristiwa.”
Dilthey mendefinisikan pengalaman tidaklah dibentuk
sebagai kandungan perilaku kesadaran reflektif, karena jika demikian ia akan
menjadi sesuatu yang akan kita sadari, lebih dari itu ia merupakan prilaku itu
sendiri. Ia merupakan sesuatu dimana kita hidup dan kita lalui, ia merupakan
sikap yang sebenarnya kita jalani untuk hidup dan dimana kita hidup. Hal ini mengandung
makna bahwa pengalaman secara langsung tidak akan dapat memahami dirinya
sendiri, karena jika hal ini terjadi maka sesungguhnya pengalaman merupakan
perilaku kesadaran reflektif.
Pemahaman Dilthey terhadap pengalaman membawa ia
sampai pada sebuah kesadaran penting yang ia gunakan dalam hermeneutikanya
bahwa pengalaman secara instrinsik bersifat temporal (dan ini bermakna historis
dalam artian yang paling dalam dari kata tersebut) dan untuk itu pemahaman akan
pengalaman juga harus sepadan dengan kategori temporal (historis) pemikiran.
b. Ekspresi[4]
Dilthey memahami ekspresi bukan merupakan pembentukan
perasaan seseorang namun lebih kepada ekspresi hidup. Sebuah ekspresi mengacu
pada ide, hukum, bentuk sosial, bahasa dan segala sesuatu yang merefleksikan kehidupan
manusia. Dengan demikian, ekspresi bisa dimaknai dengan obyektivikasi pemikiran
atau pengetahuan, perasaan dan keinginan
manusia.
Signifikansi hermeneutis obyektivikasi adalah sesuatu
yang oleh karena pemahaman dapat difokuskan terhadap sesuatu yang dapat
difiksisasikan, ekspresi obyektif pengalaman hidup yang berlawanan dengan
segala upaya untuk dapat mengatasinya melalui aktifitas introspeksi.
Introspeksi tidak dapat dijadikan sebagai basis ilmu-ilmu kemanusiaan, karena
refleksi langsung atas pengalaman menghasilkan sebuah intuisi yang tidak dapat
dikomunikasikan dan konseptualisasi yang dengan sendirinya merupakan sebuah
ekspresi kehidupan yang mendalam. Setiap sesuatu dimana spirit manusia telah
mengobyektifikasikan dirinya masuk dalam wilayah ilmu-ilmu kemanusiaan.
Cakupannya seluas pemahaman itu sendiri dan pemahaman memiliki obyek
kebenarannya dalam obyektifikasi kehidupan itu sendiri.
c. Karya Seni
Sebagai Obyektivikasi Pengalaman Hidup[5]
Dilthey mengklasifikasikan hidup dan pengalaman
manusia ke dalam tiga kategori utama:
Pertama,
gagasan-gagasan (yaitu konsep, penilaian, dan bentuk-bentuk pemikiran yang
lebih luas) merupakan sebuah kandungan pemikiran yang terbebaskan dari ruang,
waktu dan pelakunya dimana gagasan-gagasan itu lahir dan untuk alasan inilah
gagasan-gagasan itu memiliki akurasi dan mudah dikomunikasikan.
Kedua,
tindakan lebih sulit untuk diinterpretasikan karena di dalam sebuah tindakan
terdapat sebuah tujuan tertentu, namun hanya dengan kesulitan besarlah kita
dapat menemukan faktor-faktor yang dapat bekerja yang memastikan sebuah
tindakan tersebut.
Ketiga,
terdapat ekspresi pengalaman hidup yang meluas dari ekspresi kehidupan dalam
yang spontan seperti pernyataan dan sikap diri ke ekspresi sadar yang terbentuk
dalam karya seni.
“Dalam karya-karya seni agung, sebuah visi dibentuk
bebas dari pengarang, penyair, seniman, ataupun penulisnya dan kita dimasukkan
dalam suatu bidang dimana permainan atau tipu daya oleh yang berekspresi
berakhir. Sebenarnya tidak ada karya seni besar yang dapat mencoba mencerminkan
realitas yang asing terhadap isi dalam pengarangnya. Tentu saja, karya tersebut
tidak berkeinginan untuk mengatakan segala hal tentang pengarangnya. Dalam
dirinya sendiri, karya-karya agung tersebut benar-benar bersifat pasti, visible
dan abadi…”
Dalam ungkapan diatas dapat diketahui bahwa
karya-karya seni belum bisa menjelaskan kehidupan pengarangnya secara
menyeluruh, namun karya tersebut hanya mengungkapkan apa yang ada dalam
kehidupan sehingga diperlukan sebuah metode interpretasi untuk mengungkap
pemikiran pengarangnya secara obyektif. Metode inilah yang kemudian disebut
dengan hermeneutika.
Dilthey menegaskan prinsip-prinsip hermeneutika
dapat menyinari cara untuk memberikan landasan teori umum pemahaman. Dengan
demikian hermeneutika menjadi sebuah teori yang tidak hanya interpretasi teks,
namun bagaimana hidup mengungkap dan mengekspresikan dirinya dalam karya. Oleh
karena itu, ekspresi secara keseluruhan tidak bersifat personal, melainkan
merupakan realitas sosial historis yang terungkap dalam pengalaman, realitas
sosial historis dari pengalaman itu sendiri.
d. Pemahaman[6]
Menurut Dilthey, pengalaman merupakan proses jiwa
dimana kita memperluas pengalaman hidup manusia. Ia merupakan tindakan yang
membentuk hubungan terbaik kita dengan hidup itu sendiri. Pemahaman membuka
dunia individu orang lain kepada kita dan dengan begitu juga membuka
kemungkinan-kemungkinan di dalam hakikat kita sendiri.
Dilthey menegaskan bahwa manusia adalah makhluk
historis. Manusia memahami dirinya tidak melalui introspeksi tapi melalui
obyektifikasi hidup. Sejarah kehidupan dan pengalaman yang didapatkan oleh
manusia mengantarkan mereka pada sebuah pemahaman akan nilai-nilai yang
terkandung dalam hidup itu sendiri. Masa lalu adalah pembelajaran dimana dengan
mengingat kembali rangkaian kejadian dan pengalaman hidupnya, manusia bisa
mencapai suatu pemahaman yang mendasar terhadap dirinya sendiri.
Menurut Dilthey, makna memiliki peranan penting dalam
pemahaman. Makna adalah apa yang diperoleh pengalaman dalam interaksi
resiprokal yang esensial dari keseluruhan dan bagian-bagian lingkaran
hermeneutis. Makna keseluruhan adalah suatu “makna” yang diperoleh dalam
pemaknaan bagian-bagian individual. Suatu peristiwa atau pengalaman akan
mengubah kehidupan kita, dimana apa yang sebelumnya bermakna menjadi tidak
bermakna dan sebaliknya.
Makna merupakan sesuatu yang bersifat historis, ia
merupakan suatu hubungan keseluruhan kepada bagian-bagiannya yang kita lihat
dari sudut pandang tertentu, pada saat-saat tertentu, bagi kombinasi
bagian-bagian tertentu. Makna berubah selaras dengan waktu, merupakan persoalan
hubungan dimana peristiwa dilihat. Dengan demikian, makna bersifat kontekstual
dan merupakan bagian dari situasi.
Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa pemahaman
tidak terlepas dari setting historisnya. Kita menangkap makna yang terdapat
dalam setiap kejadian dan pengalaman yang mana makna tersebut memberikan
pemahaman kepada kita. Pengalaman yang terjadi di masa lalu yang memiliki makna
dan memberikan pemahaman bisa merubah manusia dalam menjalani hidupnya.
KESIMPULAN
Sejarah
kehidupan Dilthey menunjukkan bahwa ia adalah seorang religius yang kemudian
berubah haluan menjadi sejarawan dan filsuf. Pemikirannya dipengaruhi oleh sejarawan
dan filsuf pada masa hidupnya yang mana banyak memberikan ia pengetahuan yang
besar dalam memahami kehidupan secara menyeluruh.
Filsafat
kehidupan Dilthey menjelaskan bahwa hidup adalah satu kesatuan menyeluruh dari
berbagai aspek yang melingkupinya. Hidup tidak hanya sebatas dogma agama maupun
pengalaman manusia, melainkan hidup merupakan rentetan kejadian yang menyatu
dalam sejarah hidup itu sendiri.
Ilmu
humaniora (geisteswissenschaften) Dilthey menjelaskan bahwa setiap manusia
terikat dengan sejarah hidupnya masing-masing. Diperlukan pemahaman yang
komprehensif untuk menjelaskan pemikiran dan rentetan kejadian yang terjadi
yang menjadi sejarah hidup itu sendiri. Oleh karena itu, sejarah merupakan
landasan interpretasi dalam mempelajari dunia manusia dan pemahaman adalah
kunci dalam interpretasi tersebut.
Dengan
hermeneutiknya, Dilthey mencoba menjelaskan bahwa pengalaman manusia merupakan
kehidupan manusia itu sendiri. Pengalaman merupakan bagian dari sejarah hidup
yang kemudian menjadi obyek refleksi dari interpretasi. Adapun ekspresi adalah
segala bentuk refleksi kehidupan manusia dimana dengan melihat ekspresi
tersebut kita dapat mengetahui obyek kebenaran dengan menggunakan pemahaman.
Kemudian disebutkan bahwa karya seni merupakan manifestasi hidup yang tidak
sepenuhnya mengungkap segala hal dari pengarangnya. Oleh karena itu,
hermeneutik menjadi sebuah metode interpretasi dalam memahami apa yang belum
terungkap dalam karya seni tersebut. Lebih lanjut Dilthey menjelaskan bahwa
kunci dari interpretasi itu sendiri adalah pemahaman. Dimulai dari memahami
historisitas manusia yang mana kemudian pemahaman tersebut menemukan makna
dibalik sejarah hidup manusia. Makna tersebut digunakan sebagai pengetahuan
yang akan diolah dalam menginterpretasikan sejarah ataupun teks dan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Mudjia Raharjo,
M.Si., Prof. Dr. H. 2008. Dasar-Dasar
Hermeneutika : Anatar Intensionalisme & Gadamerian. Jogjakarta : Ar-Ruz
Media.
2.
Sumaryono, E.
1993. Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat.
Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
3.
Palmer, Richard
E. 2005. Hermeneutika Teori Baru
Mengenai Interpretasi. Terj. Musnur Hery & Damanhuri Muhammed.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
[1] Prof. Dr. H. Mudjia Raharjo, M.Si. Dasar-Dasar Hermeneutika : Antara
Intensionalisme & Gadamerian. Jogjakarta : Ar-Ruzz Media. 2008. Hlm.
41-42.
[2] E. Sumaryono. Hermeneutik
Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta : Penerbit Kanisius. 1993. Hlm. 43-44.
[3] Richard E. Palmer. Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi. Terj. Musnur Hery & Damanhuri
Muhammed. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2005. Hlm. 120-125.
[4] Richard E. Palmer. Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi. Terj. Musnur Hery & Damanhuri
Muhammed. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2005. Hlm. 125-127.
[5] Richard E. Palmer. Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi. Terj. Musnur Hery & Damanhuri
Muhammed. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2005. Hlm. 127-129.
[6] Richard E. Palmer. Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi. Terj. Musnur Hery & Damanhuri
Muhammed. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2005. Hlm. 129-137.
No comments:
Post a Comment