Monday, March 24, 2014

SYI’AH




Compiled by: ANDIKAMAULANA
I.                   PENDAHULUAN
Sejak masa Rasulullah saw serta dua khalifahnya, yaitu Abu Bakar dan ‘Umar, belum pernah ditemukan adanya satu golongan politik atau golongan agama yang memiliki banyak pengikut, mempunyai karakter dan identitas khusus, dan memiliki target yang jelas. Golongan itu baru muncul pada akhir masa kekhalifahan ‘Utsman. Mereka adalah orang-orang Syi’ah yang sangat setia kepada Ali yang meyakini kekhalifahan Ali didasarkan pada nash (ketetapan berdasarkan teks suci) dan wasiat dari Rasulullah saw, baik yang disampaikan secara jelas maupun samar. Menurut mereka, seharusnya imamah (tampuk kepemimpinan) itu diduduki oleh Ali dan keturunannya, serta tidak boleh lepas darinya. Jika terlepas, itu berarti disebabkan oleh kezaliman dari orang lain; atau karena taqiyah dari Ali sendiri. Imamah adalah rukun agama. Rasulullah saw tidak mungkin melupakan atau menyia-nyiakannya, dan tidak mungkin pula menyerahkannya kepada masyarakat umum.[1]

II.                POKOK PEMBAHASAN
1.      Definisi Syi’ah
2.      Pokok-pokok Ajaran Syi’ah
3.      Kelompok-kelompok dalam Sy’ah

III.             PEMBAHASAN
A.    Definisi Syi’ah
Sayyid al-Hashyimy & Muhammad Iqbal dalam Buku Pintar Syi’ah: Pembela Sunnah Nabi Atas Paham Ahlu Sunnah, mendefinisikan sebagai golongan Islam yang mengikuti 12 Imam dari keluarga Rasulullah melalui keturunan Ali dan anak-anaknya dalam semua urusan ibadah dan muamalah. Namun Syi’ah yang dimaksud disini adalah Syi’ah Imamiah atau Ja’fariyah, bukan Syi’ah Ismailiyah atau Zaidiyah karena mereka tidak meyakini hak kekhalifahan Ali dan keturunannya.[2]
Menurut Prof. Dr. K.H. Sahilun A. Nasir, M.Pd.I, Syi’ah berasal dari bahasa Arab, artinya pengikut atau golongan. Kata jamaknya Syiya’un. Dari sini Syi’ah dimaksudkan sebagai suatu golongan dalam Islam yang beranggapan bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra adalah orang yang berhak sebagai khalifah pengganti Nabi, berdasarkan wasiatnya. Sedangkan khalifah-khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan adalah penggasab (perampas) kedudukan khalifah.[3]
Definisi yang kedua ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh Muhammad Jawad Maghniyah, seorang ulama beraliran Syi’ah, dan Ali Muhammad al-Jurjani (1339-1413), seorang Sunni penganut aliran Asy’ariyah,  yang ditulis oleh M. Quraish Shihab dalam bukunya “Sunnah-Sy’ah: Bergandengan Tangan! Mungkinkah?(Kajian atas konsep ajaran dan pemikiran).[4]
Golongan Syi’ah ini terpadu padanya pengertian firqoh dan mazhab. Sebab mereka beranggapan bahwa Sayyidina Ali ra dan anak keturunannya lebih berhak menjadi khalifah daripada orang lain, berdasarkan wasiat Nabi. Masalah khalifah ini adalah soal politik yang dalam perkembangan selanjutnya mewarnai pandangan mereka di bidang agama.[5]

B.     Pokok-pokok Ajaran Syi’ah
Imamah dan khalifah adalah asas terpenting bagi golongan Syi’ah dan dianggap sebagai pembeda antara golongan Syi’ah dan golongan lainnya. Ada empat hal pokok yang berkaitan erat dengan masalah imamah dan khalifah, yaitu at-Ta’yin wa at-Tanshish (penentuan dan penunjukkan), ‘Ishmah (keterjagaan dari perbuatan dosa), al-Mahdiyyah wa ar-Raj’iyyah (kebangkitan dan kebebasan dari api neraka), dan at-Taqiyah (menyembunyikan ke-Syi’ah-an seseorang). Berikut penjelasan dari masing-masing pokok ajaran Syi’ah:

1.      At-Ta’yin wa at-Tanshish
Syi’ah menganggap imamah bukan permasalahan publik yang diputuskan melalui pemilihan umum. Terpilihnya seseorang menjadi Imam (khalifah) sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya. Karena itu, imamah adalah sesuatu yang prinsipil dan merupakan rukun agama. Rasulullah saw tidak boleh melupakan atau menyia-nyiakannya, dan tidak mungkin menyerahkan kepada masyarakat umum. Sebaliknya, Rasulullah telah menentukan penggantinya (khalifah) dan menunjuk Ali sebagai penggantinya, baik secara jelas maupun samar. Menurut Mahmud Jawwad, Syi’ah mempunyai pandangan yang berbeda dengan golongan lain mengenai masalah imamah. Bagi Syi’ah, imamah itu sudah ditetapkan penunjukkannya melalui nash
(teks al-Qur’an atau Hadits) dari Nabi saw. Beliau juga tidak diperkenankan melupakan nash tersebut dan menyerahkan urusan imamah sesuai pilihan umat.

2.      ‘Ishmah
Syi’ah berpendapat, para imam seperti para nabi yang setiap langkah hidupnya dijaga oleh Allah swt. Mereka meyakini, bahwa para imam tidak pernah melakukan dosa, baik dosa besar maupun dosa kecil, dan tidak pernah melakukan kekeliruan atau kealpaan.
Mahmud Jawwad mengatakan, “Syarat bagi hakim yang berhak menguasai urusan dunia dan akhirat adalah hendaknya ia terjaga (ma’shum) dari kesalahan dan kekeliruan dalam ilmu dan amalnya; atau orang yang mendapat restu dari imam yang ma’shum karena dianggap memiliki ilmu yang mendalam dan akhlaknya baik. Jika kriteria-kriteria tersebut tidak terpenuhi, maka ia tidak berhak memutuskan hukum atas nama Allah dan agama.

3.      Al-Mahdiyyah wa ar-Raj’iyyah
Syi’ah meyakini bahwa al-Mahdi adalah imam yang kedatangannya sangat dinanti untuk menegakkan keadilan di muka bumi. Orang generasi pertama yang meyakini adanya ruj’ah (kembalinya orang mati ke dunia) adalah Abdullah bin Saba’. Ia meyakini bahwa Nabi Muhammad saw akan kembali ke dunia setelah kewafatannya. Banyak juga orang Syi’ah Imamiah yang mempunyai keyakinan seperti ini. Mereka mengira bahwa Nabi Muhammad saw, Ali, Hasan, Husain, imam-imam lainnya, serta rival-rival mereka seperti Abu Bakar , Umar, Utsman, Muawiyah,dan Yazid , semuanya itu akan dikembalikan hidup ke dunia setelah munculnya Imam Mahdi. Kemudian orang-orang yang memusuhi para imam, merampas hak kekhilafahan dari tangan para imam, dan membunuhnya, maka akan disikasa. Setelah penyiksaan itu selesai, mereka akan dimatikan lagi, baru dibangkitkan kembali pada hari kiamat nanti.

4.      At-Taqiyah
Taqiyah berarti memperlihatkan ketaatan dan kesetiaan untuk menjaga kehormatan, jiwa, dan harta benda. Taqiyah adalah sebuah siasat rahasia, yang menurut Syi’ah disebut an-Nizham as-Sirri (sistem rahasia). Jika imam ingin melakukan pemberontakan atau kudeta terhadap khalifah, maka ia menyusun strategi dan perencanaan yang matang. Lalu ia memberitahukan rencana tersebut secara rahasia kepada para pengikutnya. Selama rencana tersebut belum berhasil, mereka diharuskan tetap taat kepada khalifah yang sah. Itulah makna taqiyah yang sesungguhnya. Jika merasakan adanya ancaman dari orang kafir atau golongan Sunni, maka mereka berpura-pura tidak terjadi apa-apa dan seakan-akan mereka tetap menjalani aturan. Sikap seperti ini bisa juga disebut sebagai taqiyah. Atas dasar inilah, sebagian mereka menyarankan kepada orang-orang Syi’ah yang berkumpul dengan Sunni agar tetap mengikuti tata cara shalat, puasa, dan semua tata cara beragama ala Sunni. Sikap Syi’ah yang seperti ini sangat bertolak belakang dengan pemikiran khawarij yang mewajibkan untuk memberontak kepada penguasa yang zalim.[6]

C.    Kelompok-kelompok dalam Sy’ah
Kendati Syi’ah telah terbagi-bagi dalam kelompok yang jumlahnya hampir tidak terhitung, tetapi menurut al-Baghdadi (w. 429 H), pengarang kitab al-Farqu baina al-Firaq, secara umum mereka terbagi menjadi empat kelompok dan masing-masing dari keempat kelompok tersebut terbagi pula menjadi beberapa kelompok kecil. Hanya dua kelompok diantara mereka itu yang dapat dimasukkan ke dalam golongan umat Islam, yaitu kelompok az-Zaidiyah dan al-Imamiyah. Demikian menurut al-Baghdadi. Berikut empat kelompom Syi’ah:
1.      Ghulat (Ekstremis)
Syi’ah kelompok (ekstremis) ini hampir dapat dikatakan telah punah. Mereka antara lain adalah:
a.       As-Sabaiyah
Menurut asy-Syahrastany, mereka adalah pengikut-pengikut Abdullah bin Saba’ yang konon pernah berkata kepada Sayyidina Ali: “Anta Anta”, yakni Engkau adalah Tuhan. Dia juga menyatakan dan mempopulerkan keyakinan bahwa Sayyidina Ali ra memiliki tetesan ke-Tuhan-an. Dia menjema melalui awan. Guntur adalah suaranya, kilat adalah senyumnya. Dia kelak akan turun kembali ke bumi untuk menegakkan keadilan sempurna. Aliran kepercayaan yang serupa dengan ini bermacam-macam dan bercabang-cabang pula.
b.      Al-Khaththabiyah
Mereka adalah penganut aliran Abu al-Khaththab al-Asady, yang menyatakan bahwa Imam Ja’far ash-Shadiq dan leluhurnya adalah Tuhan. Imam Ja’far sendiri mengingkari bahkan mengutuk kelompok ini. Karena sikap Imam Ja’far yang tegas itu, maka peimpinannya, yakni Abu al-Khaththab al-Asady, mengangkat dirinya sebagai Imam. Ia mengajarkan para Nabi adalah Tuhan, bahkan Imam Ja’far dan para leluhurnya pun dijadikannya Tuhan. Al-Khaththabiyah terbagi juga pada sekian kelompok yang berbeda-beda. Sebagian diantara mereka percaya bahwa dunia itu kekal, tidak akan binasa, surge adalah kenikmatan duniawi, mereka tidak mewajibkan shalat dan membolehkan minuman keras.
c.       Al-Ghurabiyah
Cabang kelompok ini, antara lain, percaya bahwa sebenarnya Allah mengutus malaikat Jibril as kepada Ali bin Abi Thalib ra, tetapi malaikat itu keliru atau bahkan berkhianat sehingga menyampaikan wahyu kepada Nabi. Karena itu mereka mengutuk malaikat Jibril as sambil berkata: “Khana al-Amin/ yang dipercayai telah berkhianat”.
d.      Al-Qaramithah
Kelompok ini dinisbahkan kepada seseorang yang bermukim di Kufah, Irak, yang bernama Hamdan Ibn al-Asy’ast, dan dikenal luas dengan gelar Qirmith (si pendek), karena perawakan dan kakinya sangat menonjol pendeknya. Kelompok ini pada mulanya adalah kelompok yang terpengaruh oleh aliran Syi’ah Ismailiyah.
            Keyakinan mereka sangat ekstrem. Mereka, antara lain, menyatakan bahwa Sayyidina Ali ra adalah Tuhan, bahwa setiap teks mempunyai makna lahir dan batin, dan yang penting adalah makna batinnya. Mereka menganjurkan kebebasan seks dan kepemilikan wanita dan harta secara bersama-sama, dengan dalih mempererat hubungan tali kasih. Mereka juga membatalkan kewajiban shalat dan puasa. Ini antara lain yang menjadikan kelompok induk mereka, yakni Syi’ah Ismailiyah mengutuk mereka.
            Masih banyak lagi cabang-cabang dari kelompok ekstrem ini, seperti al-Manshuriyah, an-Nushaiziyah, al-Kayyaliyah, al-Kaisaniyah, dan masih banyak lainnya yang dapat mencapai puluhan dengan aneka cabang dan pecahan-pecahannya.[7]

2.      Ismailiyah dan cabang-cabangnya
Kelompok Syi’ah Ismailiyah hingga kini masih memiliki pengikut-pengikut yang setia, namun sebagian dari kelompok-kelompoknya memiliki pandangan-pandangan yang dapat dinilai menyimpang. Kini, Syi’ah Ismailiyah tersebar dalam kelompok minoritas di sekian banyak Negara, antara lain Afghanistan, India, Pakistas, Suriah, dan Yaman, serta beberapa Negara Barat, seperti di Inggris dan Amerika Utara.
      Kelompom Syi’ah Ismailiyah meyakini bahwa Ismail, Imam Ja’far ash-Shadiq, adalah imam yang menggantikan ayahnya yang merupakan imam keenam dari aliran Syi’ah secara umum. Memang setelah meninggalnya Imam Ja’far, sekelompok penganut Syi’ah percaya bahwa putra beliau, Musa al-Kadzim adalah imam ketujuh, sebagaimana kepercayaan Syi’ah Itsna ‘Asyariyah. Sedang kelompok lainnya mempercayai bahwa Ismail, kemudian putranya, Muhammad, adalah Imam sesudah ayah mereka, padahal Ismail wafat lima tahun sebelum wafatnya sang ayah (Imam Ja’far).
      Ismail bin Ja’far ash-Shadiq menurut kelompok ini sebenarnya belum wafat, kelak dia akan tampil kembali di pentas bumi ini. Kedatangannya dinantikan oleh kelompok Ismailiyah, sebagaimana kelompok Syi’ah Itsna ‘Asyariyah dan sebagian kelompok Ahlussunnah menantikan kehadiran Imam Mahdi.[8]

3.      Az-Zaidiyah
Az-Zaidiyah adalah kelompok Syi’ah pengikut Zaid bin Muhammad bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib ra. Beliau lahir pada 80 H dan terbunuh pada 122 H. Beliau dikenal sebagai seorang yang sangat taat beribadah, berpengetahuan luas sekaligus revolusioner.
      Syi’ah Zaidiyah menetapkan bahwa Imamah dapat diemban oleh siapapun yang memiliki garis keturunan samapai dengan Fatimah, putrid Rasulullah saw, baik dari keturunan putra beliau, al-Hasan bin Ali, maupun al-Husain, dan selama yang bersangkutan memiliki kemampuan keilmuan, adil, dan berani, keberanian yang mengantarnya mengangkat senjata melawan kezaliman.
      Syi’ah Zaidiyah kendati berkeyakinan bahwa Ali ra adalah sahabat Nabi yang termulia, bahkan melebihi kemuliaan Abu Bakar, Umar, Utsman ra, namun mereka mengakui sahabat-sahabat Nabi itu sebagai khalifah-khalifah yang sah. Karena itulah dank arena keengganan mereka mempersalahkan para sahabat Nabi itu, apalagi mencaci dan mengutuk mereka, maka pengikut-pengikut Imam Zaid dinamai dengan ar-Rafidhah, yakni penolak (untuk) menyalahkan dan mencaci.
      Az-Zaidiyah dalam konteks menetapkan hukum menggunakan al-Qur’an dan Sunnah, dan nalar. Mereka tidak membatasi penerimaan hadits dari keluarga Nabi semata-mata, tetapi mengandalkan juga riwayat-riwayat dari sahabat-sahabat Nabi yang lain. Demikianlah sekelumit pandangan Syi’ah az-Zaidiyah yang dinilai sebagai kelompok Syi’ah yang paling dekat Ahlussunnah wa al-jamaah.[9]

4.      Itsna ‘Asyariyah
Syi’ah Itsna ‘Asyariyah, biasa juga dikenal dengan nama Imamiyah atau Ja’fariyah, adalah sekelompok Syi’ah yang yang mempercayai adanya dua belas imam yang kesemuanya dari keturunan Ali ra dan Fathimah az-Zahra, putrid Rasulullah saw.
Kelompok ini merupakan mayoritas penduduk Iran, Irak, serta ditemukan juga di beberapa daerah di Suriah, Kuwait, Bahrain, India, juga di Saudi Arabia, dan beberapa daerah (bekas) Uni Sovyet.
Karena kelompok ini merupakan mayoritas dari kelompok Syi’ah, maka sewajarnya mereka dan pendapat-pendapat merekalah yang seharusnya diketengahkan ketika berbicara tentang Syi’ah secara umum, bukannya pendapat ketiga kelompok tersebut di atas, Ghulat, Ismailiyah, dan Zaidiyah.[10]

IV.             KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat ambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Syi’ah dimaksudkan sebagai suatu golongan dalam Islam yang beranggapan bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra adalah orang yang berhak sebagai khalifah pengganti Nabi, berdasarkan wasiatnya. Sedangkan khalifah-khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan adalah penggasab (perampas) kedudukan khalifah.
2.      Imamah dan khalifah adalah asas terpenting bagi golongan Syi’ah dan dianggap sebagai pembeda antara golongan Syi’ah dan golongan lainnya. Ada empat hal pokok yang berkaitan erat dengan masalah imamah dan khalifah, yaitu at-Ta’yin wa at-Tanshish (penentuan dan penunjukkan), ‘Ishmah (keterjagaan dari perbuatan dosa), al-Mahdiyyah wa ar-Raj’iyyah (kebangkitan dan kebebasan dari api neraka), dan at-Taqiyah (menyembunyikan ke-Syi’ah-an seseorang).
3.      Kendati Syi’ah telah terbagi-bagi dalam kelompok yang jumlahnya hampir tidak terhitung, tetapi menurut al-Baghdadi (w. 429 H), pengarang kitab al-Farqu baina al-Firaq, secara umum mereka terbagi menjadi empat kelompok dan masing-masing dari keempat kelompok tersebut terbagi pula menjadi beberapa kelompok kecil. Hanya dua kelompok diantara mereka itu yang dapat dimasukkan ke dalam golongan umat Islam, yaitu kelompok az-Zaidiyah dan al-Imamiyah. Demikian menurut al-Baghdadi. Berikut empat kelompom Syi’ah:
a.       Ghulat (Ekstremis)
b.      Ismailiyah
c.       Zaidiyah
d.      Itsna ‘Asyariyah

V.                DAFTAR PUSTAKA
Shihab, M. Quraish. 2007. Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? : Kajian Atas Konsep Ajaran dan Pemikiran. Jakarta: Lentera Hati.

Nasir, Sahilun A. 2010. Pemikiran Kalam (Teologi Islam) : Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya. Jakarta: Rajawali Pers.

Abdus Salam, Ahmad Nahrawi. 2008. Ensiklopedia Imam Syafi’i. Jakarta: Hikmah (PT Mizan Publika).

Sayyid al-Hashyimy & Muhammad Iqbal. Tanpa Tahun. Buku Pintar Syi’ah: Pembela Sunnah Nabi Atas Paham Ahlu Sunnah. Jakarta: Inovasi.



[1] Dr. Ahmad Nahrawi Abdus Salam Al-Indunisi. Ensiklopedia Imam Syafi’i. Jakarta: Hikmah (PT Mizan Publika). 2008. Hlm. 95.
[2] Sayyid al-Hashyimy & Muhammad Iqbal . Buku Pintar Syi’ah: Pembela Sunnah Nabi Atas Paham Ahlu Sunnah. Jakarta: Inovasi. Tanpa Tahun. Hlm. 19.
[3] Prof. Dr. K.H. Sahilun A. Nasir, M.Pd.I. Pemikiran Kalam (Teologi Islam) : Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya. Jakarta: Rajawali Pers. 2010. Hlm. 72.
[4] M. Quraish Shihab. Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? : Kajian Atas Konsep Ajaran dan Pemikiran. Jakarta: Lentera Hati. 2007. Hlm. 60-61.
[5] Prof. Dr. K.H. Sahilun A. Nasir, M.Pd.I. Pemikiran Kalam (Teologi Islam) : Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya. Jakarta: Rajawali Pers. 2010. Hlm. 72.
[6] Dr. Ahmad Nahrawi Abdus Salam Al-Indunisi. Ensiklopedia Imam Syafi’i. Jakarta: Hikmah (PT Mizan Publika). 2008. Hlm. 97-100.
[7] M. Quraish Shihab. Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? : Kajian Atas Konsep Ajaran dan Pemikiran. Jakarta: Lentera Hati. 2007. Hlm. 69-73.
[8] Ibid. hlm. 73-78.
[9] Ibid. hlm. 78-83.
[10] Ibid. hlm. 83

No comments: