Monday, March 24, 2014

MUHKAM DAN MUTASYABIH





Compiled by: ANDIKAMAULANA


A.     PENDAHULUAN

Kata Muhkam terambil dari kata hakama. Kata ini berkisar maknanya pada “menghalangi”. Seperti hukum, yang berfungsi menghalangi terjadinya penganiayaan, demikian juga hakim. Kendali bagi hewan dinamai hakamah, karena ia menghalangi hewan mengarah ke arah yang tidak diinginkan. Muhkam adalah sesuatu yang terhalangi/bebas dari keburukan. Bila anda menyifati satu bangunan dengan kata ini, maka itu berarti bangunan tersebut kokoh dan indah, tidak memiliki kekurangan. Bila susunan kalimat tampil dengan indah, benar, baik, dan jelas maknanya, maka kalimat itupun dilukiskan dengan muhkam.

Seluruh ayat al-Qur’an bersifat muhkam. Allah melukiskannya sebagai:


 Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci[1], yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu, (QS. Hud (11): 1)

Allah juga memperkenalkan al-Qur’an sebagai:

Allah telah menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang[2], gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun. (QS. Az-Zumar (39): 23)

Kata Mutasyabih terambil dari akar kata asy-Syabah yang bermakna serupa (tapi tak sama). Yang dimaksud oleh ayat az-Zumar di atas adalah ayat-ayat al-Qur’an serupa dalam keindahan dan ketepatan susunan redaksinya serta kebenaran informasinya.

Di tempat lain, Allah berfirman:

Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat[3], Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat[4]. (QS. Ali Imran (3): 7)

Yang dimaksud dengan Mutasyabih pada ayat Ali Imran ini adalah “samar”. Ini adalah pengembangan dari makna keserupaan di atas. Memang keserupaan dua hal atau lebih, dapat menimbulkan kesamaran dalam membedakannya masing-masing.[5]

B.     POKOK PEMBAHASAN

1.      Bagaimana penjelasan kaedah tafsir yang berbunyi, “Dilihat dari satu sisi, seluruh ayat al-Qur’an bersifat muhkam (jelas, tegas, mudah dipahami, dan terperinci maksudnya). Jika ditinjau dari sisi lain, dapat dikatakan bahwa seluruh makna al-Qur’an bersifat mutasyabih (serupa, samar, perlu penjelasan, dan tidak mudah dipahami). Akan tetapi, dari sisi lain dapat pula dikatakan bahwa sebagian ayat bersifat muhkam dan sebagian lagi mutasyabih?

PEMBAHASAN
Dilihat dari satu sisi, seluruh ayat al-Qur’an bersifat muhkam (jelas, tegas, mudah dipahami, dan terperinci maksudnya). Jika ditinjau dari sisi lain, dapat dikatakan bahwa seluruh makna al-Qur’an bersifat mutasyabih (serupa, samar, perlu penjelasan, dan tidak mudah dipahami). Akan tetapi, dari sisi lain dapat pula dikatakan bahwa sebagian ayat bersifat muhkam dan sebagian lagi mutasyabih. Allah sendiri menyifati kitab suci itu dengan ketiga sifat diatas. Ayat yang menegaskan al-Qur’an itu bersifat muhkam, antara lain, pada surah Hud (11): 1:
  
Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu,

Maksud ayat ini ialah, al-Qur’an adalah al-haq (kebenaran), yang disusun dengan sangat sistematis, mencapai puncak kerapian dan kebijaksanaan. Al-Qur’an adalah kebenaran. Di dalamnya tidak dijumpai pertentangan dan perselisihan. Semua perintah yang terdapat di dalamnya berisi kebaikan, petunjuk, keberkatan, dan kemaslahatan. Sedangkan larangannya berangkat dari semua yang mengandung keburukan, kemudaratan, prilaku tercela, dan perbuatan jahat.

Bahwa al-Qur’an bersifat mutasyabih, dinyatakan di dalam surat az-Zumar (39): 23:

Allah telah menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang mutasyabih.

Maksud mutasyabih disini ialah, serupa kebaikan, kebenaran, nilai petunjuk, dan kebenarannya. Al-Qur’an mengemukakan berbagai pengertian yang bermanfaat, menjernihkan akal, menyucikan qalbu, serta menunjukkan dan mengajarkan kemaslahatan dalam segala keadaan dan situasi. Kata-kata yang digunakannya merupakan kata-kata yang paling rapi dan efisien. Sedangkan pengertian yang dikandungnya adalah pengertian terbaik.

Sifat mutasyabih (keserupaan) al-Qur’an dapat digambarkan dengan mengutip ayat al-Qur’an itu sendiri, yaitu ketika al-Qur’an menjelaskan sifat buah-buahan yang berasal dari tanam-tanaman dan tumbuh-tumbuhan. Tumbuhan itu memberikan kenikmatan serta manfaat bagi tubuh dan pertumbuhan bagi manusia. Pada surah al-An’am (6): 141 al-Qur’an menyatakan:

Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya).

Dapat pula sifat mutasyabih al-Qur’an diserupakan dengan keterangan tentang sifat kenikmatan dan buah-buahan di surge, sebagaimana disebutkan dalam surah al-Baqarah (2): 25:

Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan : "Inilah yang pernah diberikan kepada Kami dahulu." mereka diberi buah-buahan yang serupa (hampir sama).

Adapun ayat al-Qur’an yang menyatakan sebagian ayat bersifat mutasyabih dan sebagian lagi bersifat muhkam terdapat pada surat Ali Imran (3): 7:

Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat.

Dijelaskan juga, orang-orang yang berkeyakinan teguh karena pemahamannya mantap dan mendalam tentang Allah, keyakinan tersebut tidak dapat digoda, digoyahkan oleh hawa nafsu, dan sifat mutasyabih yang terdapat dalam al-Qur’an. Mereka semantap dan sekukuh gunung, karena merujukkan ayat-ayat mutasyabih kepada ayat-ayat muhkam. Dengan demikian semua ayat al-Qur’an mereka pandang sebagai ayat-ayat muhkam. Sikap yang mereka pegang adalah: Kullun min ‘indi Rabbina (semua berasal dari Tuhan kami).

Sikap yang mereka tunjukkan itu melukiskan keyakinan bahwa setiap yang berasal dari Allah tidak akan saling bertentangan. Jika makna suatu ayat bersifat mutasyabih di suatu tempat, maka makna itu dijelaskan di tempat yang lain oleh ayat muhkam, sehingga semuanya menjadi jelas, tidak ada yang saling bertentangan.

Beberapa ayat al-Qur’an menyebutkan Allah Maha Kuasa terhadap segala sesuatu. Apa saja yang dikehendaki-Nya pasti terjadi, dan apa saja yang tidak dikehendaki-Nya pasti tidak terjadi; Dialah yang member petunjuk atau menyesatkan manusia. Ayat-ayat yang menyebutkan hal ini antara lain, terdapat pada surah al-Baqarah (2): 20:
  
Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.

Dalam surah an-Nahl (16): 40:
  
Sesungguhnya Perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "kun (jadilah)", Maka jadilah ia.

Dalam surah al-Fathir (35): 8:

Maka Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.

Apabila hanya membaca sekelompok ayat di atas, dapat timbul dugaan bahwa pernyataan yang terdapat di dalamnya bertentangan dengan hikmah Allah SWT. Seolah-olah Allah member petunjuk atau menyesatkan hamba-Nya secara acak dan tanpa sebab yang jelas. Akan tetapi, dugaan tersebut dihapuskan oleh ayat-ayat lain yang menjelaskan: Petunjuk diberikan Allah melalui sebab-sebab yang dilakukan oleh orang yang mendapat petunjuk itu, dan menjadi predikat dirinya. Ayat yang menjelaskan hal ini, antara lain: surah al-Ma’idah (5): 16:

Dengan kitab Itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.

Adapun orang-orang “yang disesatkan” Allah, karena mereka sendiri telah menjadikan setan sebagai pelindung mereka. Firman Allah pada surah al-A’raf ayat (7): 30:

Sebahagian diberi-Nya petunjuk dan sebahagian lagi telah pasti kesesatan bagi mereka. Sesungguhnya mereka menjadikan syaitan-syaitan pelindung (mereka) selain Allah, dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk.

Demikian juga ditegaskan pada surah ash-Shaff (61): 5:
  
Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka[6]; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.

Sebenarnya jika diperhatikan lebih jauh, salah satu sebab timbulnya paham Jabariyyah ialah, karena para penganut paham tersebut terlalu menekankan salah satu aspek saja dari pengertian ayat-ayat al-Qur’an. Mereka cenderung hanya berpegang pada ayat-ayat yang menjelaskan kekuasaan mutlak Tuhan. Padahal banyak ayat lain yang menunjukkan bahwa Allah tidak memaksa hamba-hamba-Nya untuk melakukan ataupun meninggalkan sesuatu. Ayat-ayat tersebut menjelaskan manusia bertindak berdasarkan pilihan dan qudrah (kemampuan bertindak) yang mereka miliki. Al-Qur’an dengan tegas menisbahkan perbuatan-perbuatan manusia kepada manusia sendiri, baik perbuatan jahat maupun baik.
Sebaliknya paham Qadariyyah timbul karena para penganutnya terlalu menekankan perhatian pada ayat-ayat yang menjelaskan adanya qudrah dan kebebasan manusia. Mereka menafikan kaitan antara qudrah dan kebebasan memilih manusia pada satu sisi, dan kehendak mutlak Allah pada sisi lain. Padahal di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menunjukkan bahwa qudrah Allah mencakup segala sesuatu, yang di dalamnya termasuk segala perbuatan dan sifat manusia. Surah al-Kahfi (18): 23-24:

Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: "Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi,

Kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah"[7]. dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan Katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini".

Pada surah al-Insan (76): 30 al-Qur’an menegaskan pula:
  
Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Akan tetapi, jika kedua kelompok ayat di atas dibaca dan dipahami secara seimbang, proporsional, dan terintegrasi satu sama lain, maka semua ayat dan nas yang disebutkan di atas tidak saling bertentangan. Karena semua ayat yang diterangkan di atas adalah al-haq (kebenaran), setiap muslim mesti meyakini dan mengimaninya.

Dengan membaca dan memahami kedua kelompok ayat di atas secara seimbang dan holistic, dapat dikatakan, maksud ayat-ayat di atas ialah, perbuatan patuh atau maksiat manusia terhadap Tuhan-Nya benar-benar dilakukan manusia itu sendiri. Dengan kata lain, perbuatan tersebut berdasar atas pilihan, kehendak, kekuasaan, dan kekuatan yang diberikan Allah kepada manusia. Sedangkan daya untuk membuat pilihan, keputusan, kekuasaan, dan kekuatan melakukan perbuatan patuh atau maksiat itu, Allah yang menciptakannya.[8]

KESIMPULAN
Kita menjadi mengerti, bahwa ayat-ayat yang bersifat umum di sebagian al-Qur’an, diterangkan oleh ayat-ayat al-Qur’an lainnya. Yang belum jelas di satu ayat, ditegaskan oleh ayat lainnya. Ayat-ayat yang mutasyabih di satu bagian al-Qur’an, menjadi muhkam karena dijelaskan oleh ayat-ayat lainnya.

Adapun ayat-ayat perintah atau larangan yang sudah dikenal dan dimengerti oleh masyarakat, seperti shalat dan zakat, atau larangan berzina dan berlaku zalim, tidak lagi dipandang sebagai mutasyabih, walaupun perintah atau larangan tersebut dinyatakan secara umum saja. Fungsi ayat-ayat tersebut lebih bersifat mengarahkan, menyadarkan dan meluruskan pandangan, serta menegaskan sesuatu yang sebelumnya diragukan pengertian atau kedudukan hukumnya.[9]


DAFTAR PUSTAKA
Shihab, M. Quraish. 2013. Kaedah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Qur’an. Tangerang: Lentera Hati.
Dahlan, Abd. Rahman. 2010. Kaidah-kaidah Tafsir. Jakarta: Amzah.



[1] Maksudnya: diperinci atas beberapa macam, ada yang mengenai ketauhidan, hukum, kisah, akhlak, ilmu pengetahuan, janji dan peringatan dan lain-lain.
[2] Maksud berulang-ulang di sini ialah hukum-hukum, pelajaran dan kisah-kisah itu diulang-ulang menyebutnya dalam Al Quran supaya lebih kuat pengaruhnya dan lebih meresap. sebahagian ahli tafsir mengatakan bahwa Maksudnya itu ialah bahwa ayat-ayat Al Quran itu diulang-ulang membacanya seperti tersebut dalam mukaddimah surat Al Faatihah.
[3] Ayat yang muhkamaat ialah ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah.
[4] Termasuk dalam pengertian ayat-ayat mutasyaabihaat: ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam; atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain.
[5] M. Quraish Shihab. Kaedah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Qur’an. Tangerang: Lentera Hati. 2013. Hlm. 209-210.
[6] Maksudnya karena mereka berpaling dari kebenaran, Maka Allah membiarkan mereka sesat dan bertambah jauh dari kebenaran.
[7] Menurut riwayat, ada beberapa orang Quraisy bertanya kepada Nabi Muhammad s.a.w. tentang roh, kisah ashhabul kahfi (penghuni gua) dan kisah Dzulqarnain lalu beliau menjawab, datanglah besok pagi kepadaku agar aku ceritakan. dan beliau tidak mengucapkan insya Allah (artinya jika Allah menghendaki). tapi kiranya sampai besok harinya wahyu terlambat datang untuk menceritakan hal-hal tersebut dan Nabi tidak dapat menjawabnya. Maka turunlah ayat 23-24 di atas, sebagai pelajaran kepada Nabi; Allah mengingatkan pula bilamana Nabi lupa menyebut insya Allah haruslah segera menyebutkannya kemudian.
[8] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A. Kaidah-kaidah Tafsir. Jakarta: Amzah. 2010. Hlm. 38-43.
[9] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A. Kaidah-kaidah Tafsir. Jakarta: Amzah. 2010. Hlm. 43-44.

1 comment:

Unknown said...

Salam,

Mohon sedikit penambahan/pembetulan, sila lihat penjelasan ayat2 muhkam dan mutasyabih dlm http://kajian-quran.blogspot.com/

wajib kita beriman bahwa seluruh ayat2 Al-Quran samada muhkam atau mutasyabih adalah ayat-ayat yg jelas lagi terang. menjadi kufur sekiranya kita mengatakan bahwa ayat2 mutasyabihat itu ayat2 yg kurang jelas atau samar2 sbb Allah menyatakan ayat2 mutasyabihat adalah ayat2 petunjuk "hudan".

Mana mungkin petunjuk atau hudan itu boleh kabur atau samar-samar sbb hudan itulah yg akan menjadikan umat Islam umat terbaik "khaira ummatin".