Wednesday, March 19, 2014

JAM’U AL-QUR’AN




Compiled by: ANDIKAMAULANA


I.       PENDAHULUAN
Kata "penghimpunan al-Qur'an (Jam' al-Qur'an) terkadang dmaksudkan sebagai "pemeliharaan dan penjagaan dalam dada" (penghafalan), dan terkadang dimaksudkan sebagai "penulisan seluruhnya, huruf demi huruf, kata demi kata, ayat demi ayat dan surat-demi surat" (penulisan). Yang kedua ini medianya adalah shahifah-shahifah dan lembaran-lembaran lainnya. Sedang yang pertama medianya adalah hati dan dada. Selanjutnya, penghimpunan al-Qur'an dalam pengertian "penulisannya" pada masa awal berlangsung tiga kali. Pertama, pada masa Nabi SAW. Kedua, pada masa kekhalifahan Abu Bakar RA. Dan ketiga, pada masa kekhalifahan Utsman RA. Pada kali yang terakhir kali itulah, dilakukan penyalinan menjadi beberapa mushhaf dan dikirim ke berbagai daerah.[1]
Pada makalah kami ini, insya Allah kami akan menjelaskan pengumpulan al-Qur'an dalam arti "penghafalan di lubuk hati" dan penghimpunan al-Qur'an dalam arti "penulisan" yang medianya shahifah-shahifah dan lembaran-lembaran lainnya.

II.    POKOK PEMBAHASAN
1.      Pengertian Jam' Al-Qur'an.
2.      Penghimpunan Al-Qur'an dalam Arti Penghafalan pada Masa Rasulullah SAW.
3.      Penghimpunan Al-Qur'an dalam Arti Penulisan Al-Qur'an pada Masa Rasulullah SAW.
4.      Penghimpunan Al-Qur'an pada Masa Abu Bakar RA.
5.      Penghimpunan Al-Qur'an pada Masa Utsman RA.
6.      Utsman RA Membakar Mushhaf.

III. PEMBAHASAN
A.    Pengertian Jam' Al-Qur'an.
Di dalam kamus 'Ulum al-Qur'an dikenal istilah Jam' al-Qur'an. Istilah ini, menurut Dr. Shubhiy Shalih dalam Mabahits fi 'Ulum al-Qur'an mempunyai dua pengertian, yaitu al-hifzhu (menghafal) dan al-kitabah, yakni menulis al-Qur'an pada benda-benda yang dapat ditulis.[2]
Istilah Jam' al-Qur'an bisa juga digunakan untuk salah satu pengertian dibawah ini:
1. Menghafal al-Qur'an di lubuk hati. Oleh karena itu, para penghafal al-Qur'an disebut juga Jamma' al-Qur'an.
2. Menuliskannya pada alat-alat yang tersedia, akan tetapi ayat-ayat dan surah-surah tersebut terpisah-pisah; atau ayat-ayatnya tersusun, tetapi surah-surahnya terpisah-pisah. Masing-masing surah tertulis pada lembaran-lembaran kulit.
3. Menuliskannya secara bersambung ayat-ayatnya dan tersusun surah-surahnya di dalam satu mushhaf.
4. Memindahkan dan menuliskannya berdasarkan satu qira'at yang mutawatir di dalam suatu mushhaf.
Aplikasi pengertian-pengertian tersebut berjalan lebih dari satu periode. Untuk pengertian pengumpulan yang pertama, yaitu penghafalan di lubuk hati, maka dada Rasulullah SAW dan dada-dada para sahabat RA merupakan lauh (tempat menulis) yang di dalamnya terukir al-Qur'an pada masanya. Penghafalannya telah dilakukan oleh ratusan orang muslim.
Pengertian yang kedua, terlaksana pada masa Rasulullah SAW dan pada masa sebagian sahabat, sedangkan pengertian yang ketiga terlaksana pada masa Abu Bakar RA, setelah wafatnya Rasulullah SAW. Adapun pengertian yang keempat, adalah pengertian yang dilakukan oleh khalifah Utsman bin'Affan RA.[3]

B.     Penghimpunan Al-Qur'an dalam Arti Penghafalan pada Masa Rasulullah SAW.
Al-Qur'an turun kepada Nabi SAW. Mulanya, perhatian beliau tertuju sepenuhnya kepada penghafalan terhadapnya, kemudian beliau membacakannya kepada orang-orang, sedikit demi sedikit agar mereka juga mampu menghafalnya dengan baik. Pertimbangannya yang sangat mendesak adalah karena beliau seorang Nabi ummi yang diutus oleh Allah SWT kepada masyarakat yang ummi pula. Allah SWT berfirman:  
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang ummi seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata, (QS. Al-Jumu’ah: 2)
Salah satu watak ummi adalah mengerahkan segenap kekuatan hafalannya terhadap apa yang dianggapnya penting. Lebih-lebih bila mereka diberi kekuatan hafalan yang lebih, maka akan membuat mereka lebih mudah menghafal. Demikian pula, bangsa Arab sewaktu al-Qur'an turun. Mereka memiliki watak-watak ke-Arab-an yang khas, yang antara lain cepat hafal dan keenceran hati, sehingga hati mereka merupakan senjata, akal mereka merupakan lembaran-lembaran nasab dan sejarah mereka, dan hafalan-hafalan mereka merupakan buku-buku sya'ir dan kebanggaan mereka. Kemudian turunlah al-Qur'an, yang mengagetkan mereka dengan kejelasannya, menarik perhatian mereka dengan kekuatannya, dan mempengaruhi mereka dengan kebaikan redaksi dan pengertiannya. Al-Qur'an berhasil membangkitkan kehidupan baru mereka, setelah mereka sadar bahwa al-Qur'an adalah spirit hidup.
Sedangkan Nabi SAW, antusias untuk menghafal al-Qur'an dan mendorong beliau untuk menggerakkan lidah , meski dalam kondisi yang amat berat menghadapi wahyu dan Jibril sedang turun. Rasul SAW melakukan hal itu demi mendapatkan hafalan yang cepat, karena khawatir ada satu kata atau satu huruf yang terlewatkan. Nabi SAW terus melakukan hal seperti itu, sampai Allah SWT menenangkan hati beliau dengan berjanji akan menghimpun al-Qur'an ke dalam hati beliau dan membuat beliau mudah membaca serta memahami pengertiannya. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman kepada beliau:
16. janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya.[4]
17. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.
18. apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.
19. Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya. (QS. Al-Qiyamah: 16-19)
Di dalam surat Thaha, Dia berfirman: 
Maka Maha Tinggi Allah raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu[5], dan Katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan." (QS. Thaha: 114)
Dari sinilah, Nabi SAW menjadi penghimpun al-Qur'an di dalam hati beliau yang mulia, tuan para hafidz pada masa beliau, dan rujukan kaum muslimin mengenai segala persoalan yang menyangkut al-Qur'an dan ilmu-ilmunya. Beliau membacakannya kepada masyarakat sedikit demi sedikit, sebagaimana yang diperintahkan oleh Tuhannya. Dengan al-Qur'an itulah, beliau menghidupkan malam dan menghiasi shalat. Jibril AS setiap tahun membacakan ulang dihadapan beliau sekali. Dan pada tahun terakhir, dua kali. Aisyah dan Fatimah RA berkata: kami mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Sesunguhnya Jibril membacakan al-Qur'an kepadaku sekali setiap tahun. Dan pada tahun ini, dia membacakannya kepadaku sebanyak dua kali. Saya yakin ini pertanda ajalku (telah dekat)."[6]

C.    Penghimpunan Al-Qur'an dalam Arti Penulisan Al-Qur'an pada Masa Rasulullah SAW.
Kami mengatakan bahwa mula-mula perhatian Rasulullah SAW dan para sahabatnya tertuju pada penghimpunan al-Qur'an ke dalam hati, yakni dengan cara menghafalnya, dengan pertimbangan mendesak, beliau merupakan seorang Nabi yang ummi yang diutus kepada umat yang ummi pula. Tambahan lagi, alat-alat tulis tidaklah mudah mereka dapatkan pada waktu itu. Oleh karena itu, tumpuan kepada hafalan melebihi tumpuan pada tulisan. Di samping itu, sudah menjadi tradisi bangsa Arab waktu itu, menjadikan lembaran dada dan hati mereka sebagai media modifikasi syair-syair, silsilah keluarga, kebanggaan-kebanggaan dan hari-hari mereka.
Akan tetapi al-Qur'an memang mendapatkan perhatian lengkap, dari Nabi SAW dan para sahabat. Perhatian mereka untuk menghafalnya tidak memalingkan mereka dari perhatian untuk menulis dan menggoreskannya. Tetapi tentu saja sesuai dengan kemampuan sarana-sarana tulis waktu itu.
Rasulullah SAW sendiri telah mengangkat beberapa penulis wahyu. Setiap kali ada wahyu yang turun, beliau menyuruh mereka menulisnya, demi memperkokoh dokumentasinya, disamping menambah keterpercayaan dan kehati-hatian terhadap Kitabullah Ta'ala, sehingga penulisan mendukung hafalan dan goresan mengukuhkan ucapan.
Para penulis itu diambil dari sahabat pilihan, antara lain Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Muawiyah, Abban ibn Sa'id, Khalid ibn al-Walid, Ubay ibn Ka'b, Zaid ibn Tsabit, Tsabit ibn Qais dan lain-lain. Rasulullah SAW selalu memberikan bimbingan mengenai letak ayat itu harus ditulis. Mereka menulisnya pada sarana yang mudah mereka dapatkan, seperti pelapah kurma, batu-batu tipis, lembaran terbuat dari kulit atau yang lain, potongan-potongan kulit, tulang-tulang belikat dan lain-lain. Kemudian tulisan-tulisan itu diletakkan di rumah Rasulullah SAW. Demikianlah, masa kenabian telah paripurna, dan al-Qur'an telah dihimpun sempurna melalui cara seperti itu. Hanya saja, ia belum ditulis dalam shahifah-shahifah atau mushaf-mushaf . Ia tertulis berserakan, di atas tulang-tulang dan yang sejenisnya.
Diriwayatkan dari Ibn Abbas, katanya: Rasulullah SAW, jika turun kepada beliau suatu surat, maka beliau akan memanggil sebagian orang yang akan menulisnya. Lalu beliau bersabda: "Letakkanlah surat ini pada tempat yang menyebutkan begini dan begini." Dan dari Zaid ibn Tsabit juga meriwayatkan, katanya: kami berada di sisi Rasulullah SAW, menyusun al-Qur'an dari lempengan-lempengan batu."
Penyusunan itu merupakan kegiatan meruntutkan ayat-ayat sesuai dengan bimbingan Nabi SAW hasil pengajaran langsung dari Jibril AS. Diriwayatkan, bahwa Jibril AS berkata: "Letakkanlah yang ini ditempat ini." tak pelak lagi, bahwa Jibril tidak akan mengetahui hal itu kecuali dari Allah SWT.
Pendeknya, al-Qur'an telah tertulis seluruhnya pada masa Rasulullah SAW. Hanya saja, sebagian sahabat juga menulis ayat-ayat yang telah terhapus bacaannya dan yang diriwayatkan melalui khabar ahad. Bahkan kadang-kadang ada yang menulisnya secara tidak runtut. Al-Qur'an pada masa itu belum dihimpun di dalam shahifah-shahifah atau mushaf-mushaf.[7]

D.    Penghimpunan Al-Qur'an pada Masa Abu Bakar RA.
Al-Qur’an seluruhnya rampung ditulis pada masa Rasulullah SAW masih hidup, hanya saja ayat-ayat dan surah-surahnya masih terpisah. Orang pertama yang menghimpun al-Qur’an sesuai kehendak Rasulullah adalah Abu Bakar ash-Shiddiq. Abu ‘Abdullah al-Muhasabi mengatakan dalam buku Fahmus Sunnah: “Penulisan al-Qur’an bukan soal baru, karena Rasulullah SAW sendiri telah memerintahkan penulisannya. Tapi ketika itu masih tercecer pada berbagai lembaran kulit dan daun., tulang-tulang unta dan kambing yang kering, atau pada pelepa kurma. Kemudian, Abu Bakar ash-Shiddiq memerintahkan pengumpulannya menjadi sebuah naskah. Juga naskah al-Qur’an yang tertulis pada lembaran-lembaran kulit yang terdapat di dalam rumah Rasulullah SAW saat itu masih dalam keadaan terpisah-pisah. Kemudian dikumpulkan oleh seorang sahabat, lalu diikatnya dengan tali agar tidak ada yang hilang.
Abu Bakar memerintahkan kodifikasi al-Qur’an seusai perang Yamamah, tahun ke 12 H, perang antara muslimin dan kaum murtad (pengikut Musailamah al-Kadzab yang mengaku dirinya nabi baru) di mana 70 penghafal al-Qur’an di kalangan sahabat Nabi gugur. Melihat kenyataan itu “Umar bin Khattab RA merasa sangat khawatir, lalu mengusulkan supaya diambil langkah untuk usaha kodifikasi al-Qur’an. Bukhari meriwayatkan sebuah hadits di dalam shahihnya, bahwa Zaid bin Tsabit RA menceritakan kesaksiannya sendiri sebagai berikut:
“Di saat berkecamuknya perang Yamamah, Abu Bakar minta supaya aku dating kepadanya. Setibanya aku di rumahnya, kulihat ‘Umar bin Khattab sudah berada di sana. Abu Bakar lalu berkata: ‘Umar datang kepadaku melaporkan bahwa perang Yamamah bertambah sengit dan banyak para penghafal al-Qur’an yang gugur. Ia khawatir kalau-kalau peperangan yang dahsyat itu akan mengakibatkan lebih banyak lagi para penghafal al-Qur’an gugur. Karena itu ia berpendapat supaya sebaiknya aku segera memerintahkan kodifikasi al-Qur’an. Kukatakan kepada ‘Umar: “Bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah SAW? ‘Umar menyahut: “Demi Allah, itu (kodifikasi al-Qur’an) adalah kebajikan.” ‘Umar berulang-ulang mendesak dan pada akhirnya Allah membukakan dadaku sehingga aku sependapat dengannya.” Dalam kesaksian itu Zaid bin Tsabit lebih jauh mengatakan: “Abu Bakar berkata kepadaku: “Engkau seorang muda, cerdas dan terpercaya. Dahulu engkau bertugas sebagai pencatat wahyu, membantu Rasulullah. Dan seterusnya engkau mengikuti al-Qur’an, karena itu laksanakanlah tugas menghimpun (kodifikasi) al-Qur’an. Demi Allah kata Zaid lebih lanjut – seumpama orang membebani kewajiban kepadaku untuk memindahkan sebuah gunung, kurasa tidak lebih berat daripada perintah kodifikasi al-Qur’an yang diberikan kepadaku! Kukatakan kepada Abu Bakar RA: “Bagaimana kita boleh melakukan sesuatu pekerjaan yang tidak dilakukan oleh Rasulullah SAW? Abu Bakar menjawab: Demi Allah, pekerjaan itu adalah kebajikan! Abu Bakar terus-menerus mengimbau sampai Allah membukakan dadaku sebagaimana Allah telah membukakan dada Abu Bakar dan ‘Umar. Kemudian aku mulai bekerja menelusuri ayat-ayat dan kuhimpun dari catatan-catatan pelapah kurma, batu-batu (tembikar) dan di dalam dada para penghafal al-Qur’an. Akhir surah at-Taubah kutemukan pada Abu Khuzaimah al-Anshari, tidak ada pada orang lain, yaitu firman Allah:
Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin.
Jika mereka berpaling (dari keimanan), Maka Katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung". (QS. At-Taubah: 128-129)
Lembaran-lembaran al-Qur’an itu berada pada Abu Bakar hingga wafatnya, kemudian pindah ke tangan ‘Umar dan setelah ‘Umar wafat seluruh lembaran disimpan Hafshah binti ‘Umar.[8]

E.     Penghimpunan Al-Qur'an pada Masa Utsman RA.
Bukhari dalam Shahihnya mengetengahkan sebuah hadits dengan isnad-nya Ibnu Syihab, bahwa Anas bin Malik memberitahukan kepadanya (Ibnu Syihab): Ketika pasukan Syam bersama pasukan Irak berperang membela dakwah agam Islam di Armenia dan Adzerbeidzan, Hudzaifah bin al-Yaman datang menghadap khalifah ‘Utsman. Hudzaifah mengutarakan kekhawatirannya tentang perbedaan bacaan al-Qur’an di kalangan muslimin. Kepada ‘Utsman, Hudzaifah berkata: “Ya Amirul mu’minin, persatukanlah segera umat ini sebelum mereka berselisih mengenai Kitabullah sebagaimana yang terjadi di kalangan Yahudi dan nasrani”. Khalifah ‘Utsman kemudian mengirim sepucuk surat kepada Hafshah, berisi permintaan agar Hafshah mengirimkan mushaf yang disimpannya untuk disalin menjadi bebarapa naskah. Setelah itu kemudian mushaf akan dikembalikan lagi. Hafshah lalu mengirimkan mushaf yang disimpannya kepada khalifah ‘Utsman. Khalifah kemudian memerintahkan Zaid bin Tsabit, ‘Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al-‘Ash dan ‘Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam supaya bekerja bersama-sama menyalin mushaf menjadi beberapa naskah. Kepada tiga orang Quraiys di antara mereka itu ‘Utsman berpesan: “Kalau terjadi perbedaan antara kalian dan Zaid bin Tsabit mengenai suatu tentang al-Qur’an, maka tulislah menurut dialek Quraiys, karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa mereka”. Mereka lalu bekerja melaksanakan tugas itu hingga berhasil menyalin mushaf menjadi beberapa naskah. Setelah itu mushaf asli dikembalikan kepada Hafshah, sedangkan beberapa naskah salinannya dikirim ke berbagai kawasan Islam. Bersamaan dengan itu khalifah memerintahkan supaya semua catatan tentang ayat-ayat al-Qur’an atau mushaf-mushaf lain yang bertebaran di kalangan muslimin, segera dibakar.[9]

F.     Utsman RA Membakar Mushhaf.
Utsman, melalui "Panitia Empat" yang dibentuknya, berhasil menyalin dan menggandakan mushaf. Mushaf-mushaf itu dikirimkan ke beberapa wilayah kekuasaannya. Kini tinggal satu lagi usaha, yaitu membakar mushaf lainnya. Ia khawatir kalau-kalau mushaf yang bukan salinan "Panitia Empat" itu tetap beredar. Padahal pada mushaf-mushaf yang peredarannya dikhawatirkan itu terdapat kalimat yang bukan al-Qur'an karena merupakan catatan khusus sahabat-sahabat tertentu. Di sana terdapat juga beberapa kalimat yang merupakan tafsiran, dan bukan kalam Allah.
Utsman memutuskan agar mushaf-mushaf yang beredar adalah mushaf yang memenuhi persayaratan berikut.
1. Harus terbukti mutawtir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad.
2. Mengabaikan ayat yang bacaannya di nasakh dan ayat tersebut tidak diyakini dibaca kembali di hadapan Nabi pada saat-saat terakhir.
3. Kronologi surah dan ayat seperti yang dikenal sekarang ini, berbeda dengan Mushaf Abu Bakar yang susunan surahnya berbeda dengan Mushaf Utsman.
4. Sistem penulisan yang digunakan Mushaf mampu mencakupi qiraat yang berbeda sesuai dengan lafadz-lafadz al-Qur'an ketika turun.
5. Semua yang bukan termasuk al-Qur'an dihilangkan. Misalnya yang ditulis di mushaf sebagian sahabat di mana mereka juga menulis makna ayat di dalam mushaf, atau penjelasan nasikh-mansukh.
Bagaimana dengan mushaf Abu Bakar? Setelah dipinjam untuk disalin, Utsman megembalikannya kepada Hafshah. Mushaf itu tetap berada ditangannya hingga ia wafat. Dalam bukunya Mabahits fi 'Ulum al-Qur'an, Dr. Shubhiy Shalih yang mengutip keterangannya dari kitab Al-Mashahif, karya Ibnu Abi Daud, menurunkan riwayat sebagai berikut: "Marwan telah berusaha mengambilnya (mushaf) dari tangannya (Hafshah) untuk kemudian membakarnya, tetapi ia (Hafshah) tidak mau menyerahkannya. Sampai ketia ia (Hafshah) wafat, Marwan mengambil mushaf tersebut dan membakarnya."
Bila dianalisis baik keengganan Hafshah menyerahkan mushaf maupun Marwan yang bersikeras meminta Mushaf yang ada pada Hafshah dapat dimengerti. Hafshah enggan menyerahkan Mushaf Abu Bakar yang ia terima dari ayahnya, Umar; karena ia tahu, mushaf itulah yang disalin oleh Utsman untuk disebarluaskan ke beberapa daerah. Sementara Marwan berkeinginan agar masyarakat hanya mengenal satu mushaf, demi persatuan. Marwan tahu bahwa penulisan Mushaf Utsman dilakukan dengan menggunakan kaedah-kaedah tertentu tetapi memperhatikan qiraat-qiraat yang dibenarkan Rasulullah SAW.[10]

IV. KESIMPULAN
Kata "penghimpunan al-Qur'an (Jam' al-Qur'an) terkadang dimaksudkan sebagai "pemeliharaan dan penjagaan dalam dada" (penghafalan), dan terkadang dimaksudkan sebagai "penulisan seluruhnya, huruf demi huruf, kata demi kata, ayat demi ayat dan surat-demi surat" (penulisan). Yang kedua ini medianya adalah shahifah-shahifah dan lembaran-lembaran lainnya. Sedang yang pertama medianya adalah hati dan dada. Selanjutnya, penghimpunan al-Qur'an dalam pengertian "penulisannya" pada masa awal berlangsung tiga kali. Pertama, pada masa Nabi SAW. Kedua, pada masa kekhalifahan Abu Bakar RA. Dan ketiga, pada masa kekhalifahan Utsman RA. Pada kali yang terakhir kali itulah, dilakukan penyalinan menjadi beberapa mushhaf dan dikirim ke berbagai daerah.
Mengenai penghimpunan al-Qur’an dalam arti “penghafalan” nya dengan mantap di dalam hati, telah dikaruniakan Allah SWT kepada Rasul-Nya lebih dulu sebelum kepada orang lain. Beliaulah manusia yang pertama kali yang hafal al-Qur’an. Setelah itu beliau mengajarkannya kepada para sahabatnya.
Seiring dengan hafalan Rasulullah dan para sahabatnya, kiranya perlu untuk mencatat al-Qur’an sebagai tumpuan untuk umat beliau. Oleh karena itu selain memerintahkan para sahabatnya untuk menghafal al-Qur’an, beliau juga memerintahkannya untuk mencatat wahyu. Sebagaimana diketahu,  Rasulullah mempunyai beberapa orang pencatat wahyu. Diantaranya, empat orang sahabat yang kemudian menjadi khalifah rasyidun (Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan Ali RA), Muawiyah, Zaid bin Tsabit, Khalid bin al-Walid, Ubay bin Ka’a dan Tsabit bin Qais. Beliau menyuruh mereka mencatat setiap wahyu yang turun, sehingga al-Qur’an rampung ditulis pada masa Rasulullah SAW.
Sepeninggal Rasulullah, kepemimpinan dipegang oleh khalifah Abu Bakar. Pada masa Abu bakar banyak bermunculan orang-orang yang murtad. Dalam sejarah tercatat bahwa beliau memerangi orang-orang yang murtad, dan dalam peperangan tersebut mengakibatkan banyak para penghafal al-Qur’an yang gugur. Oleh karena itu, Umar mengusulkan agar al-Qur’an dihimpun dalam satu mushaf supaya al-Qur’an tidak hilang seiring dengan gugurnya para sahabat yang hafal al-Qur’an. Abu Bakar pun memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk menghimpun al-Qur’an. Sejarah mencatat bahwa hanya butuh satu tahun Zaid bin Tsabit pun rampung menghimpun al-Qur’an. Setelah khalifah Abu Bakar wafat, Mushaf berpindah ke tangan ‘Umar. Mushaf tersebut tetap berada di tangan ‘Umar sampai beliau wafat. Sepeninggal ‘Umar, Mushaf tersebut dipegang oleh putri beliau Hafshah.
Pada waktu khalifah ‘Utsman, Islam telah tersebar luas dan keadaan semakin ramai, timbulah perbedaan dalam qiraat. Tiap daerah mengguanakan qiraatnya masing-masing. Melihat kenyataan ini, khalifah ‘Utsman merasa perlu untuk menyatukan umat supaya tidak terjadi perpecahan dikalangan umat. Oleh karena itu, ‘Utsman pun memerintahkan empat orang sahabat untuk membuat satu mushaf yang menjadi patokan bagi umat Islam. Beliaupun mengirim surat kepada Hafshah dengan tujuan meminjam Mushaf yang disimpannya untuk dijadikan acuan dalam penulisan Mushaf ‘Utsmani.
Utsman, melalui "Panitia Empat" yang dibentuknya, berhasil menyalin dan menggandakan mushaf. Mushaf-mushaf itu dikirimkan ke beberapa wilayah kekuasaannya. Kini tinggal satu lagi usaha, yaitu membakar mushaf lainnya. Ia khawatir kalau-kalau mushaf yang bukan salinan "Panitia Empat" itu tetap beredar. Padahal pada mushaf-mushaf yang peredarannya dikhawatirkan itu terdapat kalimat yang bukan al-Qur'an karena merupakan catatan khusus sahabat-sahabat tertentu. Di sana terdapat juga beberapa kalimat yang merupakan tafsiran, dan bukan kalam Allah.

V.    DAFTAR PUSTAKA

Hermawan, Acep. 2011. Ulumul Qur’an: Ilmu untuk Memahami Wahyu. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Al-Aththar, Dawud. 1994. Mujaz Ulum al-Qur’an. Terj. Afif Muhammad dan Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka Hidayah.
Abdul Adzim Al-Zarqani, Syeikh Muhammad. 2002. Manahil Al-‘Urfan Fi ‘Ulum Al-Qur’an 1. Terj. Drs. H.M. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq, S. Ag. Jakarta: Gaya Media Pratama.
As-Shalih, Subhi. 2011. Mabahits fi Ulumil Qur’an. Terj. Tim Pustaka Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus.




[1] Syeikh Muhammad Abdul Adzim Al-Zarqani. Manahil Al-‘Urfan Fi ‘Ulum Al-Qur’an 1. Terj. Drs. H.M. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq, S. Ag. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002. Hlm. 259.
[2] Acep Hermawan, M. Ag. Ulumul Qur’an: Ilmu untuk Memahami Wahyu. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2011. Hlm. 64-65.
[3] Dr. Dawud Al-Aththar. Mujaz Ulum al-Qur’an. Terj. Afif Muhammad dan Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka Hidayah. 1994. Hlm. 153-154.
[4] Maksudnya: Nabi Muhammad s.a.w. dilarang oleh Allah menirukan bacaan Jibril a.s. kalimat demi kalimat, sebelum Jibril a.s. selesai membacakannya, agar dapat Nabi Muhammad s.a.w. menghafal dan memahami betul-betul ayat yang diturunkan itu.
[5] Maksudnya: Nabi Muhammad s.a.w. dilarang oleh Allah menirukan bacaan Jibril a.s. kalimat demi kalimat, sebelum Jibril a.s. selesai membacakannya, agar dapat Nabi Muhammad s.a.w. menghafal dan memahami betul-betul ayat yang diturunkan itu.
[6] Syeikh Muhammad Abdul Adzim Al-Zarqani. Manahil Al-‘Urfan Fi ‘Ulum Al-Qur’an 1. Terj. Drs. H.M. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq, S. Ag. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002. Hlm. 259-265.
[7] Ibid. 265-267.
[8] Dr. Subhi As-Shalih. Mabahits fi Ulumil Qur’an. Terj. Tim Pustaka Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2011. Hlm.  93-99.
[9] Ibid. hlm. 99-114.
[10] Acep Hermawan, M. Ag. Ulumul Qur’an: Ilmu untuk Memahami Wahyu. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2011. Hlm. 77-78.

No comments: