Wednesday, March 19, 2014

TAFSIR AYAT TENTANG AGAMA




Compiled by: ANDIKA MAULANA


A.     PENDAHULUAN

Pluralitas agama merupakan sebuah kenyataan yang tak bisa dipungkiri. Dalam kehidupan sehari-hari, kita temukan berbagai macam agama. Setiap agama pada hakikatnya merupakan tanggapan manusia terhadap wahyu Tuhan atau sesuatu yang dianggap sebagai Realitas Mutlak. Dengan agama, manusia dapat menyadari hakikat keberadaannya di dunia. Selain itu, agama berniat menawarkan jalan menuju keselamatan dan menghindari penderitaan. Oleh karena itu, tak ada agama yang dengan sadar mengajarkan kejahatan; ia merasa senantiasa mendorong manusia untuk berbuat kebajikan.

Di tanah air Kita Indonesia ini, berbagai agama hidup dan berkembang dalam keadaan berdampingan dan sekaligus bersaing. Masing-masing penganut agama merasa mengemban tugas suci untuk menyampaikan kebenaran yang diyakininya, kepada orang lain.[1]

Dari sekian banyak agama yang ada di muka bumi  ini, agama manakah yang disyariatkan disisi Allah? Apakah agama Hindu, Buddha, Khong Hu Cu, Shinto, Yahudi, Kristen, ataukah Islam?

Oleh karena itulah, pada kesempatan kali ini, Pemakalah akan mencoba menguraikan tafsiran QS. Ali Imran (3) : 19, yang berbicara tentang agama yang diridai disi Allah.

B.     POKOK PEMBAHASAN

1.      Teks dan Terjemahan QS. Ali Imran (3) : 19
2.      Penafsiran Kata-Kata Sulit QS. Ali Imran (3) : 19
3.      Penafsiran QS. Ali Imran (3) : 19, Menurut Ahmad Mushthafa Al-Maraghi Dalam Tafsir Al-Maraghi
4.      Penafsiran QS. Ali Imran (3) : 19, Menurut Syaikh Imam Al-Qurthubi Dalam Tafsir Al-Qurthubi
5.      Penafsiran QS. Ali Imran (3) : 19, Menurut M. Quraish  Shihab Dalam Tafsir Al-Mishbah


PEMBAHASAN

1.      Teks dan Terjemahan QS. Ali Imran (3) : 19

19. Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab[115] kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.

[115] Maksudnya ialah Kitab-Kitab yang diturunkan sebelum Al Quran.

2.      Penafsiran Kata-Kata Sulit QS. Ali Imran (3) : 19[2]

Ad-Din : secara literal mempunyai beberapa makna : pembalasan, taat dan tunduk. Atau kumpulan tugas yang dijalankan oleh hamba Karena Allah. Dan apa yang dibebankan kepada hamba dinamakan syariat, jika dilihat dari segi letak dan peranannya dalam memberikan penjelasan kepada manusia.

Dinamakan juga Din, juga dilihat dari segi yang harus ditaati dan berarti taat kepada pentasyri’. Pengertian millah, karena dianggap sebagai yang di imlakkan dan dituliskan.

Al-Islam : terkadang berarti taat dan menyerahkan diri. Berarti juga melaksanakan (menunaikan). Dikatakan, Aslamtusy Syaia Ila Fulanin (bila Anda menunaikan padanya). Bisa pula diartikan masuk ke dalam silm (perdamaian), atau damai dan selamat. Penamaan dinul haq menjadi islam adalah sesuai dengan semua pengertian tadi. Sedang nama yang pertama adalah lebih sesuai. Hal ini ditunjukkan oleh Firman Allah QS. An-Nisa’ (4) : 125 :
   
125. dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.

3.      Penafsiran QS. Ali Imran (3) : 19, Menurut Ahmad Mushthafa Al-Maraghi Dalam Tafsir Al-Maraghi[3]

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam”

Sesungguhnya semua agama dan syariat yang didatangkan oleh para Nabi, ruh atau intinya  adalah Islam (menyerahkan diri), tunduk dan menurut. Meskipun dalam beberapa kewajiban dan bentuk amal agak berbeda, hal ini pulalah yang selalu diwasiatkan oleh para nabi. Orang Muslim hakiki adalah orang yang bersih dari kotoran syirik, berlaku ikhlas dalam amalnya, dan disertai keimanan, tanpa memandang dari agama mana dan dalam zaman apa ia berada. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah SWT QS. Ali-Imran (3) : 85 :
   
85. Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.

Disyariatkannya Din Karena Dua Hal :

Allah SWT mensyariatkan agama karena dua hal :
a.       Untuk memebersihkan rohani dan membebaskan akal dari berbagai kotoran akidah, yang menganggap hal-hal gaib itu berkuasa atas diri makhluk. Sehingga dengan kekuatan gaib tersebut, seseorang bisa mengatur makhluk hidup sekehendaknya yang bertujuan agar orang tunduk dan menyembah siapa saja yang dianggap semisal (artinya, bukan Tuhan).
b.      Meluruskan hati dengan cara memperbaiki amal dan ikhlas dalam berniat baik Karena Allah atau untuk menolong sesame.

Masalah ibadah disyariatkan untuk mendidik ruh akhlak agar si empunya mudah melaksanakan kewajiban-kewajiban agama.

Ibnu Jarir meriwayatkan sebuah hadits dari Qatadah, Rasulullah SAW, bersabda :

Yang dinamakan Islam adalah bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan mengakui apa-apa yang datang dari sisi Allah . Islam merupakan agama Allah SWT, yang disyariatkan untuk diri-Nya dan mengutus dengannya para Rasul-Nya, dan dibuktikan oleh kekasih-kekasih-Nya, Allah tidak akan menerima agama selain Islam, dan Allah SWT, tidaklah memberi agama kecuali melalui-Nya.”

Ali ra. berkhutbah, “Agama Islam adalah menyerahkan diri dan menyerahkan diri adalah keyakinan, dan keyakinan ialah percaya, percaya ialah berikrar, dan berikrar ialah melaksanakan, sedang melaksanakan adalah mengamalkan,” Selanjutnya beliau mengatakan, “Sesungguhnya seorang mukmin mengambil agamanya dari Tuhannya bukan mengambilnya dari pendapatnya sendiri. Orang yang beriman diketahui keimanannya dari amal perbuatannya, dan orang kafir diketahui kekafirannya dari keingkarannya. Wahai umat manusia, berhati-hatilah terhadap agamamu, sebab sesungguhnya kejelekan di dalam agama ini (Islam) adalah lebih baik dari pada kebaikan yang lainnya. Sebab kejelekan di dalamnya akan diampuni, sedang kebaikan selainnya tidaklah diterima.”
  
“Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka.”

Orang-orang Ahlul Kitab tidak keluar dari Islam yang dibawa oleh para Nabi mereka, sehingga mereka terpecah menjadi beberapa sekte yang saling bermusuhan dalam masalah agama. Padahal agama adalah satu, tidak ada persengketaan atau pertengkaran, kecuali karena kelakuan aniaya dan melewati batas yang dilakukan para pemimpin mereka.

Bila saja tidak ada unsur aniaya dan fanatisme mereka terhadap sebagian lainnya dalam masalah sekte, dan upaya mereka menyesatkan orang-orang yang menentangnya dengan cara menafsirkan nas-nas agama berdasarkan pendapat dan hawa nafsu, serta mentakwilkan sebagian atau merubahnya, maka tidak akan terjadi perselisihan antar mereka.

“Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.”

Barang siapa mengingkari ayat-ayat Allah yang menunjukkan kewajiban berpegang teguh kepada agama-Nya dan kesatuan, serta diharamkannya perselisihan dan perpecahan, juga diharamkan tidak tunduk pada ayat-ayat Allah, maka Allah akan membalas dan menghukum. Sebab Allah Maha cepat hisab-Nya.

Yang dimaksud ayat-ayat Allah disini adalah ayat-ayat kebesaran-Nya yang diilustrasikan dengan alam semesta, dalam diri mereka dan di seluruh penjuru bumi yang luas ini. Termasuk katagori tidak tunduk pada ayat-ayat Allah, yaitu seperti memalingkan arti yang sebenarnya dan menyesuaikan dengan sekte-sekte sesat, bahkan atheis dalam menafsirkan ayat-ayat syariat yang diturunkan Allah SWT, kepada para Rasul-Nya.

4.      Penafsiran QS. Ali Imran (3) : 19, Menurut Syaikh Imam Al-Qurthubi Dalam Tafsir Al-Qurthubi[4]

Untuk ayat ini, terdapat dua pembahasan :

Pertama : Firman Allah SWT :

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.”

Abu Al-Aliyah mengatakan bahwa kata Ad-Din pada ayat ini bermakna ajaran dan ketaatan, sedangkan kata Al-Islam bermakna keimanan. Pendapat ini juga diikuti oleh para ahli ilmu Kalam.

Pada awalnya, sebutan iman dan islam itu adalah dua hal yang berbeda. Dalilnya adalah hadits yang mengisahkan pertanyaan malaikat Jibril kepada Nabi SAW. Namun bisa juga keduanya bermakna sama, maksudnya sebutan Islam dapat digunakan untuk makna Iman, dan sebutan Iman dapat digunakan untuk makna Islam. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan mengenai Abdul Qais. Yaitu pada saat para delegasi itu diperintahkan untuk beriman kepada Allah semata, Nabi SAW bertanya kepada mereka, “Apakah kalian mengetahui makna Iman?” mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Lalu Nabi bersabda, “(Iman adalah) bersyahadat bahwa tiada tuhan melainkan Allah, dan Muhammad utusan Allah, mendirikan sholat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan…” Al-Hadits… (HR. Muslim pada pembahasan tentang Keimanan (1/47-48).

Begitu juga dengan sabda Nabi SAW,

“Iman itu tujuh puluh sekian bagian, dan bagian yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (dari jalan), dan bagian yang paling tinggi adalah ucapan, Laa ilaaha illallah (Tiada tuhan melainkan Allah).” (HR. At-Tirmidzi, Dalam riwayat imam Muslim ditambahkan, “rasa malu itu salah satu bagian dari keimanan.”)

Atau bisa juga keduanya bermakna samar, maksudnya yang disebutkan salah satunya namun yang dimaksudkan adalah yang lainnya, seperti yang terjadi pada ayat ini, dimana yang disebutkan adalah kata islam namun makna yang tersirat adalah pembenaran akidah.

Dan diantara makna ini adalah sabda Rasulullah SAW :

“Keimanan adalah meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan mengerjakan rukun-rukunnya.” HR. Ibnu Majah (seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya). Akan tetapi, makna yang sebenarnya tetap makna yang pertama, secara syariat dan pemberitahuan langsung. Adapun makna yang lainnya hanya penambahan dan perluasan maknanya saja. Wallahu A’lam.
Kedua : Firman Allah SWT :

“Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.”

Pada ayat ini Allah SWT memberitahukan tentang perselisihan yang terjadi pada Ahlul Kitab, padahal mereka telah diberikan pengetahuan. Mereka melakukannya hanya karena kedengkian dan mengharapkan keduniaan semata. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Umar dan ulama lainnya.

Sebenarnya pada firman ini terdapat taqdim dan ta’khir (ada kalimat yang dimajukan dan diakhirkan). Perkiraannya adalah, “Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab karena kedengkian (yang ada) di antara mereka kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka.” Pendapat ini disampaikan oleh Al-Akhfasy.

Muhammad bin Ja’far bin Zubair mengatakan bahwa yang dimaksud dengan para Ahlul Kitab disini ialah orang-orang Nasrani. Sedangkan Rabi’ bin Anas mengatakan bahwa yang dimaksud ayat ini adalah orang-orang Yahudi.

Namun Lafadz Ahlul Kitab adalah umum untuk orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani. Maksudnya, makna firman Allah SWT, “Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab” mereka berselisih mengenai Muhammad SAW sebagai seorang Nabi.

“Kecuali setelah datang pengetahuan kepada mereka”, maksudnya, setelah dijelaskan dalam kitab mereka mengenai sifat-sifat kenabian Muhammad SAW dan segala cirri-cirinya.

Ada juga yang menafsirkan, “Tiada berdebat dan berselisih orang-orang yang telah diberi kitab Injil mengenai Nabi Isa kecuali setelah mereka diberitahukan bahwa Allah SWT adalah Tuhan satu-satunya, dan bahwa Isa adalah hamba Allah dan Rasul-Nya”

5.      Penafsiran QS. Ali Imran (3) : 19, Menurut M. Quraish  Shihab Dalam Tafsir Al-Mishbah[5]

Kata Din mempunyai banyak arti, antara lain ketundukan, ketaatan, perhitungan, balasan. Juga berarti agama karena dengan agama seseorang bersikap tunduk dan taat serta akan diperhitungkan seluruh amalnya, yang atas dasar itu ia memperoleh balasan dan ganjaran.

Sesungguhnya agama yang disyariatkan disisi Allah adalah Islam. Demikian terjemahan yang popular.

Terjemahan atau makna itu, walau tidak keliru, belum sepenuhnya jelas, bahkan dapat menimbulkan kerancuan. Untuk memahaminya dengan lebih jelas, mari kita lihat hubungan ayat ini dengan ayat sebelumnya.

Ayat yang lalu menegaskan bahwa tiada Tuhan, yakni tiada Penguasa yang memiliki dan mengatur seluruh alam, kecuali Dia, Yang Maha Perkasa lagi Bijaksana. Jika demikian, ketundukan dan ketaatan kepada-Nya adalah keniscayaan yang tidak terbantah, jika demikian, hanya keislaman, yakni penyerahan diri secara penuh kepada Allah, yang diakui dan diterima disisi-Nya.

Agama, atau ketaatan kepada-Nya, ditandai oleh penyerahan diri secara mutlak kepada Allah SWT. Islam dalam arti penyerahan diri adalah hakikat yang ditetapkan Allah dan diajarkan oleh para nabi sejak Nabi Adam as. hingga Nabi Muhammad SAW.

Ayat ini, menurut Ibn Katsir, mengandung pesan dari Allah bahwa tiada agama di sisi-Nya dan yang diterima-Nya dari seorang pun kecuali Islam, yaitu mengikuti rasul-rasul yang diutus-Nya setiap saat hingga berakhir dengan Muhammad SAW. Dengan kehadiran beliau, telah tertutup semua jalan menuju Allah kecuali jalan dari arah beliau sehingga siapa yang menemui Allah setelah diutusnya Nabi Muhammad SAW dengan menganut satu agama selain syariat yang beliau sampaikan, tidak diterima oleh-Nya, sebagaimana firman-Nya : “ Barang siapa mencari agama selain dari Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (QS. Ali Imran (3) : 85)

Sekali lagi, jika demikian, Islam adalah agama para nabi. Istilah muslimin digunakan juga untuk umat-umat para nabi terdahulu, karena itu-tulis asy-Sya’rawi- Islam tidak terbatas hanya pada risalah Sayyidina Muhammad SAW saja. Tetapi, Islam adalah ketundukan makhluk kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam ajaran yang dibawa oleh para rasul, yang di dukung oleh mukjizat dan bukti-bukti yang meyakinkan. Hanya saja- lanjut asy-Sya’rawi-kata Islam untuk ajaran para nabi yang lalu merupakan sifat, sedang umat Nabi Muhammad SAW memiliki keistimewaan dari sisi kesinambungan sifat itu bagi agama umat Muhammad, sekaligus menjadi tanda dan nama baginya. Ini Karena Allah tidak lagi menurunkan agama sesudah datangnya Nabi Muhammad SAW. Selanjutnya, ulama Mesir kenamaan itu mengemukakan bahwa nama ini telah ditetapkan jauh sebelum kehadiran Nabi Muhammad SAW. Firman Allah SWT yang disampaikan oleh Nabi Ibrahim dan di abadikan al-Qur’an menyatakan: “Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (al-Qur’an) ini… (QS. Al-Hajj (22) : 78). Karena itu pula agama-agama lain tidak menggunakan nama ini sebagaimana kaum muslimin tidak menamai ajaran agama mereka dengan Muhammadinisme.

Di sisi lain diamati bahwa dalam al-Qur’an tidak ditemukan kata Islam sebagai nama agama kecuali setelah agama ini sempurna dengan kedatangan Nabi Muhammad SAW. Dari semua yang dijelaskan diatas, tidak keliru jika kata Islam pada ayat ini dipahami sebagai ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, karena, baik dari tinjauan agama maupun sosiologis, itulah nama ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. Dan, secara akidah Islamiyah, siapapun yang mendengar ayat ini dituntut untuk menganut ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, walaupun disisi Allah semua agama yang dibawa oleh para rasul adalah Islam sehingga siapapun sejak Adam hingga akhir zaman yang tidak menganut agama sesuai yang diajarkan oleh rasul yang diutus kepada mereka, Allah tidak menerimanya.

Allah telah mengutus rasul-rasul membawa ajaran Islam, tetapi ternyata banyak yang tidak menganutnya. Banyak yang berselisih tentang agama dan ajaran yang benar, bahkan yang berselisih adalah pengikut para nabi yang diutus Allah membawa ajaran itu. Sebenarnya para nabi dan rasul yang diutus itu tidak keliru atau salah, tidak juga lalai menjelaskan agama itu kepada para pengikut mereka karena tidak berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab pada suatu kondisi atau pun waktu kecuali sesudah dating pengetahuan kepada mereka. Nah, jika demikian, mengapa mereka berselisih ? tentu ada penyebabnya. Benar, mereka berselisih karena kedengkian yang ada di antara mereka. Bukan kedengkian antara mereka dan orang lain, tetapi antara mereka satu dan yang lain.

Kedengkian yang merupakan terjemahan dari kata baghyan, yang digunakan ayat diatas, adalah ucapan atau perbuatan yang dilakukan untuk tujuan mencabut nikmat yang dianugerahkan Allah kepada pihak lain disebabkan rasa iri hati terhadap pemilik nikmat itu.

Ayat diatas menegaskan bahwa mereka telah mengetahui kebenaran, namun demikian mereka tetap dikecam bahkan diancam. Ini karena keberagamaan bukan sekedar pengetahuan, tetapi ketundukan dan ketaatan, atau, dengan kata lain, pengetahuan yang membuahkan ketaatan. Keberagamaan membutuhkan buah, sedang tumbuhan tidak akan berbuah jika tidak ada lahan yang subur berupa kesucian hati. Bukankah air yang tercurah dari langit tidak menghasilkan buah tanpa ada lahan subur yang digarap ? Mereka yang  berselisih karena enggan menerima ajaran para rasul, apalagi setelah mereka ketahui, pada hakikatnya adalah orang-orang kafir terhadap ayat-ayat Allah, dan barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka Allah akan menjatuhkan sanksi atasnya. Jangan menduga bahwa sanksi itu masih lama. Tidak! Sebentar lagi akan mereka alami karena sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya dan dengan demikian, cepat pula jatuhnya sanksi Allah terhadap orang-orang yang kafir.


KESIMPULAN

Setelah pemakalah menguraikan penafsiran QS. Ali Imran (3) : 19 menurut tiga Mufassir; M. Quraish Shihab dalam tafsir al-Mishbah, Ahmad Mushthofa al-Maraghi dalam tafsir al-Maraghi dan Syaikh Imam al-Qurthubi dalam tafsir al-Qurthubi, dapat diambil setidaknya dua poin kesimpulan sbb :
1.      Dengan ayat kesembilan belas Allah memberi tahu kepada hamba-Nya bahwa tiada suatu agama selain agama Islam yang diterima oleh-Nya dari seseorang. Dan dimaksud dengan Islam ialah mengikuti jejak pesuruh-pesuruh Allah dalam segala hal yang telah diwahyukan kepada mereka dari masa ke masa sampai diakhiri dengan kenabian Muhammad SAW, yang telah menutup segala jalan kepada-Nya melainkan lewat ajaran beliau. Maka barangsiapa sesudah kerasulan Nabi Muhammad SAW datang kepada Allah dengan Agama selain agama Muhammad dan syariatnya tidaklah akan diterima sebagaimana firman Allah SWT :

85. Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi.

2.      Kemudian Allah memberi tahu dalam ayat ini bahwa orang-orang yang telah diberi kitab-kitab sebelum Al-Qur’an telah berselisih setelah datang pengetahuan kepada mereka tentang kerasulan beberapa rasul dan penurunan beberapa kitab. Mereka berselisih karena kedengkian dan kebencian diantara sesama mereka yang menjadikan sebagian dari mereka menentang sebagian yang lain dalam segala kata-kata dan perbuatan walaupun kata-kata dan perbuatan itu benar. Kemudian Allah berfirman bahwa barangsiapa yang kafir, mengingkari apa yang diturunkan oleh Allah dalam kitab-Nya, maka Allah Maha Cepat akan membalasnya dan menghukumnya atas pengingkarannya serta pelanggarannya terhadap kitab Allah.


DAFTAR PUSTAKA

1.      Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir al-Mishbah : Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta : Lentera Hati.
2.      Al-Qurthubi, Syaikh Imam. 2008. Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an. Terj. Dudi Rosyadi, dkk. Jakarta : Pustaka Azzam.
3.      Mushthafa Al-Maraghi, Ahmad. 1993. Tafsir Al-Maraghi . Terj. Bahrun Abubakar, Lc.,dkk. Semarang : PT. Karya Toha Putra Semarang.
4.      Mansur, Sufa’at. 2011. Agama-Agama Besar Masa Kini. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.





[1] Sufa’at Mansur. Agama-Agama Besar Masa Kini. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2011. Hlm. V

[2] Ahmad Mushthafa Al-Maraghi. Tafsir Al-Maraghi Juz 3. Terj. Bahrun Abubakar, Lc.,dkk. Semarang : PT. Karya Toha Putra Semarang.  1993. Hlm. 205-206.
[3] Ahmad Mushthafa Al-Maraghi. Tafsir Al-Maraghi Juz 3. Terj. Bahrun Abubakar, Lc.,dkk. Semarang : PT. Karya Toha Putra Semarang.  1993. Hlm. 208-211.

[4] Syaikh Imam al-Qurthubi. Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an. Terj. Dudi Rosyadi, dkk. Jakarta : Pustaka Azzam. 2008. Hlm. 119-123.

[5] M. Quraish Shihab. Tafsir al-Mishbah : Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta : Lentera Hati. 2002. Hlm. 47-50.

No comments: