Monday, February 15, 2016

Az-Zamakhsyari dan Tafsir Al-Kasysyaf


Sumber Gambar Disini

Compiled by: ANDIKA MAULANA

I.                   PENDAHULUAN
Tafsir Al-Kasysyaf, siapa yang tidak mengenal tafsir fenomenal karya ulama Mu’tazilah Az-Zamakhsyari tersebut. Tafsir yang sangat kaya dengan gaya bahasa, yang menjadi rujukan semua ulama khususnya mengenai gramatika Arab. Tafsir yang menjadi kebanggan golongan Mu’tazilah, serta mendapatkan banyak pujian dari lawan maupun kawan. Belum ada seorang penafsir pun segiat Az-Zamakhsyari dalam menerangkan kemu’jizatan balaghah (al-I’jaz al-balaghi) atas susunan Al-Qur’an. Ibnu Khaldun membuktikan bahwa fenomena sastra historis yang muncul dalam perhatian yang diberikan penduduk Timur terhadap seni bayan Arab ternyata lebih banyak daripada orang Barat. Bahkan orang Timur, berbeda dengan orang Barat, sangat memperhatikan tafsir Az-Zamakhsyari, karena semuanya itu dibangun atas seni ini, dan inilah sebenarnya pokoknya.[1]

II.                POKOK PEMBAHASAN
A.    Biografi Az-Zamakhsyari
Ø  Az-Zamakhsyari
Ø  Intelektualitas dan Karyanya
Ø  Madzhab dan Akidahnya
B.     Kitab Tafsir Al-Kasysyaf
C.     Model Tafsirnya
D.    Contoh Penafsiran Az-Zamakhsyari
Ø  QS. Al-Baqarah Ayat 115
Ø  QS. Al-Baqarah Ayat 23
Ø  QS. Al-Qiyamah Ayat 22-23
E.     Penilaian Ulama Terhadap Tafsir Al-Kasysyaf
  
III.             PEMBAHASAN
A.    Biografi Az-Zamakhsyari
Ø  Az-Zamakhsyari
Ia adalah Abu Al-Qasim Mahmud bin Umar Al-Khawarizmi Az-Zamakhsyari, sebuah perkampungan besar di wilayah Khawarizm (Turkistan). Az-Zamakhsyari mulai belajar di negerinya sendiri. Kemudian melanjutkan ke Bukhara, dan belajar sastra kepada Syaikh Mansur Abi Mudhar. Lalu pergi ke Makkah dan menetap cukup lama sehingga memperoleh julukan Jar Allah (tetangga Allah). Di sana pula ia menulis tafsirnya, Al-Kasysyaf an Haqa’iq Ghawamidh At-Tanzil wa Uyun Aqawil fi Wujuh At-Tanzil. Meninggal dunia pada 538 H. di Jurjaniah, Khawarizm, setelah kembali dari Makkah. Sebagian orang meratapinya dengan menggubah beberapa bait syair, antara lain, “Bumi Makkah pun meneteskan air mata dari kelopak matanya, karena sedih ditinggal Mahmud Jar Allah.”[2]
Ø  Intelektualitas dan Karyanya
Az-Zamakhsyari termasuk salah seorang imam dalam bidang ilmu bahasa, ma’ani dan bayan. Bagi orang yang membaca kitab-kitab ilmu nahwu dan balaghah, tentu sering menemukan keterangan-keterangan yang dikutip dari kitab Az-Zamakhsyari sebagai hujjah. Misalnya “menurut Az-Zamakhsyari dalam Al-Kasysyaf, atau “dalam Asas Al-Balaghah…” Ia adalah orang yang memiliki pendapat dan argumentasi sendiri dalam banyak masalah bahasa Arab, bukan tipe orang yang suka mengikuti pendapat orang lain yang hanya menghimpun dan mengutip saja, tetapi mempunyai pendapat orisinil yang jejaknya dan diikuti orang lain. Ia mempunyai banyak karya dalam bidang hadits, tafsir, nahwu, bahasa, ma’ani dan lain-lain. Di antara karyanya:
a.       Al-Kasysyaf (tentang tafsir)
b.      Al-Fa’iq (tentang tafsir hadits)
c.       Al-Minhaj (tentang ushul)
d.      Al-Musfashshal (tentang ilmu nahwu)
e.       Asas Al-Balaghah (tentang bahasa)
f.       Ru’us Al-Masa’il Al-Fiqhiyah (tentang fikih)[3]
Ø  Madzhab dan Akidahnya
Az-Zamakhsyari bermadzhab fikih Hanafi dan penganut teologi Mu’tazilah. Ia mentakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan madzhab dan teologinya dengan cara yang hanya diketahui oleh orang yang ahli. Ia menyebut kaum Mu’tazilah sebagai “saudara seagama dan golongan utama yang selamat dan adil.”[4]

B.     Kitab Tafsir Al-Kasysyaf
Adalah Az-Zamakhsyari seorang ulama jenius yang sangat mumpuni dalam bidang gramatika bahasa Arab (ilmu nahwu), sastra dan tafsir. Pendapat-pendapatnya tentang ilmu nahwu diakui dan menjadi rujukan penting para pakar bahasa, karena dianggapnya kritis dan orisinil.
Dalam teologi, dia penganut paham Mu’tazilah. Dalam bidang fikih bermadzhab Hanafi. Untuk mendukung “Mu’tazilaisme”-nya, ia menyusun kitab tafsirnya yang besar itu. Di samping itu kitab tersebut sebagai bukti akan kecerdasan, dan kepakarannya. Dalam pembelaannya terhadap madzhab itu, Ia mampu mengungkap isyarat-isyarat ayat secara dalam dan jauh. Hal itu dilakukan dalam rangka menghadapi lawan-lawan polemiknya. Tetapi dalam aspek kebahasaan ia berjasa menyingkap keindahan Al-Qur’an dan daya tarik balaghahnya. Yang demikian karena ia mempunyai pengetahuan luas tentang ilmu balaghah, ilmu bayan, sastra, nahwu dan tashrif. Seba itulah Az-Zamakhsyari menjadi rujukan kebahasaan yang kaya. Di dalam mukaddimah tafsirnya, Ia mengindikasikan hal tersebut. Menurutnya orang yang menaruh perhatian terhadap tafsir dan tidak akan dapat menyelami hakikatnya sedikitpun kecuali jika ia telah menguasai betul dua ilmu khusus Al-Qur’an; ilmu ma’ani dan ilmu bayan yang didorong oleh cita-cita luhur demi memahami kelembutan hujjah Allah, serta mu’jizat Rasul-Nya. Di samping itu semua, ia sudah memiliki bekal cukup dalam disiplin ilmu-ilmu yang lain dan mampu melakukan dua hal; penelitian dan pemeliharaan, banyak menelaah, sering berlatih, lama merujuk dan akhirnya menjadi rujukan. Namun demikian ia tetap memiliki prilaku sederhana dan kreativitas yang mandiri.
Menurut Ibnu Khaldun, Tafsir Al-Kasysyaf karya Az-Zamakhsyari tersebut, dalam hal bahasa, I’rab dan balaghahnya, termasuk di antara kitab tafsir paling baik. Hanya saja penulisannya termasuk pengikut fanatic aliran Mu’tazilah. Karena itu ia selalu memberikan argumentasi-argumentasi yang dapat membela madzhabnya yang menyimpang setiap kali menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dari segi balaghahnya. Cara demikian bagi para peneliti Ahlusunnah dipandang sebagai penyimpangan. Sedang menurut jumhur merupakan manipulasi terhadap rahasia dan kedudukan Al-Qur’an. Namun secara obyektif, mereka tetap mengakui kepakarannya dalam hal bahasa dan balagahahnya. Tetapi jika orang yang membacanya tetap berpijak pada madzhab Sunni dan menguasai hujjah-hujjahnya, tentu ia akan selamat dari perangkap-perangkapnya. Bagaimanapun kitab tersebut perlu dibaca mengingat keindahan dan keunikan seni bahasa yang disajikannya. [5]

C.    Model Tafsirnya
Tafsir al-Kasyaf, karya Az-Zamakhsyari ini merupakan sebuah kitab tafsir paling masyhur di antara sekian banyak tafsir yang ditulis dengan metodologi tafsir bi al-ra’yi, dan bahasa. Al-Alusi , Abu As-Su’ud, An-Nasafi dan para mufassir lain banyak menukil dari kitab tersebut, tetapi tanpa menyebut sumbernya.
Mu’tazilaisme dalam tafsirnya telah diungkap dan diteliti oleh Allamah Ahmad An-Nayyir. Lalu dituangkan dalam bukunya, Al-Intishaf. Dalam kitab itu An-Nayyir menyerang Az-Zamakhsyari dengan mendiskusikan pemikiran Mu’tazilah yang dikemukakannya. Ia mengemukakan pandangan berlawanan dengannya sebagaimana ia pun mendiskusikan pula masalah-masalah kebahasaan yang ada dalam Al-Kasysyaf. Mustafa Husain Ahmad melalui Al-Maktabah At-Tijariah Mesir, telah menerbitkan tafsir Az-Zamakhsyari ini pada cetakan yang terbaru, dengan bebearapa empat buah buku sebagai lampiran:
1.      Al-Intishaf oleh An-Nayyir;
2.      Asy-Syafi fi Takhrij Ahadits Al-Kasysyaf, oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani;
3.      Hasyiah tafsir Al-Kasysyaf, oleh Syaikh Muhammad Ulyan Al-Marzuq;
4. Masyahid Al-Inshaf ala Syawahid Al-Kasysyaf, oleh Al-Marzuqi. Kitab terakhir ini menunjukkan bahwa tafsir Al-Kasysyaf, banyak mengandung faham Mu’tazilah yang diungkapkan secara tersirat.[6] 

D.    Contoh Penafsiran Az-Zamakhsyari
Ø QS. Al-Baqarah Ayat 115
{ وَلِلَّهِ المشرق والمغرب } أي بلاد المشرق والمغرب والأرض كلها لله هو مالكها ومتوليها { فَأَيْنَمَا تُوَلُّواْ } ففي أي مكان فعلتم التولية ، يعني تولية وجوهكم شطر القبلة بدليل قوله تعالى : { فَوَلّ وَجْهَكَ شَطْرَ المسجد الحرام وحيثما كُنتُمْ فَوَلُّواْ وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ } . { فَثَمَّ وَجْهُ الله } أي جهته التي أمر بها ورضيها . والمعنى أنكم إذا منعتم أن تصلوا في المسجد الحرام أو في بيت المقدس ، فقد جعلت لكم الأرض مسجداً فصلوا في أي بقعة شئتم من بقاعها ، وافعلوا التولية فيها فإن التولية ممكنة في كل مكان لا يختص [ إمكانها ] في مسجد دون مسجد ولا في مكان دون مكان { إِنَّ الله واسع } الرحمة يريد التوسعة على عباده والتيسير عليهم { عَلِيمٌ } بمصالحهم . وعن ابن عمر : نزلت في صلاة المسافر على الراحلة أينما توجهت . وعن عطاء : عميت القبلة على قوم فصلوا إلى أنحاء مختلفة ، فلما أصبحوا تبينوا خطأهم فعذروا . وقيل : معناه ( فأينما تولوا ) للدعاء والذكر ولم يرد الصلاة . وقرأ الحسن : فأينما تَولوا ، بفتح التاء من التولي يريد : فأينما توجهوا القبلة.
Walillahi al-masyriqu wa al-maghribu menurut Az-Zamaksyari maksudnya adalah Timur dan barat, dan seluruh penjuru bumi, semuanya milik Allah. Dia yang memiliki dan menguasai seluruh alam. Fainama tuwallu  maksudnya ke arah manapun manusia mengahadap Allah, hendaknya menghadap kiblat sesuai dengan firman Allah SWT. Dalam surat al-Baqarah ayat 144, yang berbunyi :
Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya.
Fatsamma wajhullahu  menurut Az-Zamaksyari maksudnya di tempat (Masjid al-Haram) itu adalah Allah, yaitu tempat yang disenangi-Nya dan manusia diperintahkan untuk mengahadap Allah pada tempat tersebut. Maksud ayat di atas adalah apabila seorang Muslim akan melaksanakan shalat dengan menghadap Masjid al-Haram dan bait al-Maqdis, akan tetapi ia ragu akan arah yang tepat untuk mengahadap ke arah tersebut. Allah memberikan kemudahan kepadanya untuk menghadap kiblat ke arah manapun dalam shalat dan di tempat manapun sehingga ia tidak terikat oleh lokasi tertentu.
Menurut Ibnu Umar turunnya ayat ini berkenaan dengan shalat musafir di atas kendaraan, ia menghadap ke mana kendaraannya menghadap. Akan tetapi menurut Atho’ ayat ini turun ketika tidak diketahui arah kiblat shalat oleh suatu kaum, lalu mereka shalat ke arah yang berbeda-beda (sesuai keyakinan masing-masing). Kemudian pagi harinya, ternyata mereka salah menghadap kiblat, kemudian mereka menyampaikan peristiwa tersebut kepada Nabi Muhammad SAW. Ada juga yang mengatakan bahwa bolehnya menghadap ke arah mana saja itu adalah dalam berdoa, bukan dalam shalat.
Al-Hasan membaca ayat (فأينما تولوا) dengan memberi harokat fathah pada huruf ta’ sehinngga bacaannya menjadi tawallau karena menurutnya kata itu berasal dari tawalli, yang berarti ke arah mana saja kamu menghadap kiblat.[7]
Ø  QS. Al-Baqarah Ayat 23
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah[8]  satu surat (saja) yang semisal Al-Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.
Menurut Az-Zamaksyari kembalinya dhamir (kata ganti) hi pada kata mitslihi, adalah pada kata ma nazzalna atau pada kata abdina, tatapi yang lebih kuat dhamir itu kembali pada kata ma nazzalna, sesuai dengan maksud ayat tersebut, sebab yang dibicarakan dalam ayat tersebut adalah al-Quran, bukan nabi Muhammad SAW.[9]
Ø  QS. Al-Qiyamah Ayat 22-23
   
Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.
kepada Tuhannyalah mereka melihat.
Az-Zamakhsyari mengesampingkan makna lahir kata nadzirah (melihat), sebab menurut Mu’tzilah Allah SWT tidak dapat dilihat. Oleh karena itu, kata nadzirah diartikan dengan al-raja’ (menunggu, mengaharapkan).
Az-Zamakshyari juga memeperlihatkan keberpihakannya pada Mu’tazilah dan membelanya secara gigih, dengan menarik ayat  mutasyabihat  pada  muhakkamat. Oleh karena itu, ketika ia menemukan suatu ayat yang pada lahirnya (tampaknya) bertentangan dengan prinsip-prinsip Mu’tazilah, ia akan mencari jalan keluar dengan cara mengumpulkan beberapa ayat, kemudian mengklasifikasikannya pada ayat  muhakkamat  dan  mutasyabihat. Ayat-ayat yang sesuai dengan paham Mu’tazilah dikelompokkan dalam ayat  muhkamat, sedangkan ayat-ayat yang tidak sesuai dengan paham Mu’tazilah dikelompokkan ke dalam ayat  mutasyabihat,  kemudian ditakwilkan agar sesuai dengan rinsip-prinsip Mu’tazilah. Misalnya ketika ia menafsirkan ayat al-Quran surat al-An’am ayat 103:

Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui.
Ayat 103 surat al-An’am dikelompokkan dalam ayat muhkamat, karena maknanya sesuai dengan paham Mu’tazilah, sedang ayat 22-23 surat al-Qiyamah dikelompokkan dalam ayat mutasyabihat, karena makna ayat tersebut tidak sesuai dengan paham Mu’tazilah. Begitu juga kata nadzirah dicarikan maknanya yang sesuai dengan paham Mu’tazilah, yaitu al-raja’ (menunggu, mengharapkan).[10]

E.     Penilaian Ulama Terhadap Tafsir Al-Kasysyaf
Dikalangan Ulama, tafsir al-Kasysyaf sangat terkenal dalam mengungkapkan keindahan balaghahnya. Disamping memiliki kelebihan, tafsir al-Kasysyaf  juga memiliki kelemahan dan kekurangan. Berikut penilaian ulama terhadap tafsir al-Kasysyaf sebagai berikut :
1.      Imam Busykual
Imam Busykual meneliti dua tafsir yaitu tafsir Ibn ‘Athiyyah dan tafsir Az-Zamakhsyari, ia beropini: “Tafsir Ibn ‘Athiyyah banyak mengambil sumber dari naql, lebih luas cakupannya dan lebih bersih. Sedangkan tafsir Az-Zamakhsyari lebih ringkas dan mendalam”. Hanya saja Az-Zamakhsyari dalam menafsirkan Al-Qur’an sering menggunakan kata-kata yang sukar dan banyak menggunakan syair, sehingga mempersulit pembaca dalam memahaminya dan sering menyerang mazhab lain. Hal ini terjadi karena ia berusaha membela madzhabnya, madzhab Mu’tazilah.
2.      Haidar al-Harawi
Haidar menilai bahwa tafsir Al-Kasysyaf merupakan tafsir yang tinggi nilainya dari pada tafsir-tafsir sebelumnya dan tidak ada yang dapat menandingi keindahan maupun pendalamannya.
Kekurangan-kekurangan pada tafsir al-Kasysyaf  menurut Haidar, yaitu:
a.       Sering melakukan penyimpangan makna lafadz tanpa dipikir lebih mendalam.
b.      Kurang menghormati ulama lain yang tidak sama golongannya. Sehingga Al-Razi ketika menafsirkan surat al-Maidah ayat 54, menunjukkannya pada  penyusun al-Kasysyaf, karena Al-Zamakhsyari sering melontarkan celaan kepada para ulama.
c.       Terlalu banyak menggunakan syair-syair dan pribahasa yang penuh kejenakaan yang jauh dari tuntunan syariat.
d.      Sering menyebut Ahli Sunnah wa Al-Jama’ah dengan tidak sopan. Bahkan sering mengkafirkan mereka dengan sindiran-sindiran.
3.      Ibnu Khaldun
Ibnu Kaldun berpendapat bahwa tafsir diantara tafsir yang paling baik dan paling mampu dalam mengungkapkan makna Al-Qur’an  dengan pendekatan bahasa dan balaghah serta i’rabnya adalah tafsir al-Kasysayaf.  Kekurangan tafsir Al-Kasysyaf menurut Ibnu Kaldun yaitu Dalam tafsir Az-Zamakhsyari sering membela madzhabnya dalam menafsirkan Al-Qur’an.
4.      Mustafa al-Sawi al-Juwaini
Al-Sawi berpendapat bahwa Az-Zamakhsyari seorang ulama Mu’tazilah yang fanatik dalam membela pahamnya sehingga penafsirannya lebih condong pada madzhab Mu’tazilah.
5.      Ignaz Golziher
Dalam bukunya Madzahib tafsir al-Islam, Ignaz mengatakan bahwa tafsir al-Kasysyaf sangat baik, hanya saja pembelaannya terhadap Mu’tazilah sangat berlebihan. 
6.      Muhammad Husain al-Zahabi
Beliau berpendapat bahwa tafsir al-Kasysyaf  adalah kitab tafsir yang paling lengkap dalam menyingkap balaghah al-quran.[11]

IV.             KESIMPULAN
V.                                         Kitab tafsir ini berjudul al-Kasysyaf  an Haqaiq al-tanzil ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil  bermula dari permintaan suatu kelompok yang menamakan diri al-Fi’ah al-Najiyah al-‘Adliyah. Kelompok yang dimaksud di sini adalah kolompok Mu’tazilah. Dalam muqaddimah tafsir al-Kasysyafi disebutkan  sebagai berikut: ..... mereka menginginkan adanya sebuah kitab tafsir dan mereka meminta saya supaya mengungkapkan hakikat makna al-Quran dan semua kisah yang terdapat di dalamnya, termasuk segi-segi penakwilannya.
VI.                                        Kitab al-Kasysyaf adalah sebuah kitab tafsir yang paling masyhur diantara sekian banyak tafsir yang disusun oleh mufassir bi al-ra’yi yang mahir dalam bidang bahasa. Al-Alusi, Abu Su’ud an-nasafi dan para mufassir lannya banyak menukil dari kitab tersebut tetapi tanpa menyebutkan sumbernya. Paham kemu’tazilahan dalam tafsirnya itu telah diungkapkan dan telah diteliti oleh ‘Allamah Ahmad an-Nayyir  yang dituangkan dalam bukunya al-Intishaf. Dalam kitab ini an-Nayyir  menyerang Az-Zamkhsyari dengan mendiskusikan masalah akidah madzhab Mu’tazilah yang dikemukakannya dan mengemukakan pandangan yang berlawananan dengannya sebagaimana ia mendiskusikan masalah kebahasaan.
VII.                                        Penafsiran yang ditempuh al-Zamakhsyari dalam karyanya ini sangat menarik, karena uraiannya singkat dan jelas sehingga para ulama’ Mu’tazilah mengusulkan agar tafsir tersebut dipresentasikan pada para ulama Mu’tazilah dan mengusulkan agar penafsirannya dilakukan dengan corak i’tizali, dan hasilnya adalah tafsir al-Kasysyaf yang ada saat ini.




VIII.       DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaththan, Syaikh Manna, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, diterjemahkan oleh    Ainur Rafiq El-Mazni dari “Mabahits Fii Ulum Al-Qur’an,” Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Cetakan VIII, 2013.

Goldziher, Ignaz, Mazhab Tafsir: Dari Aliran Klasik Hingga Modern, diterjemahkan oleh M. Alaika Salamullah, dkk. dari “Madzahib al-Tafsir al-Islami,” Yogyakarta: eLSAQ Press, Cetakan I, 2003.

Mahmud bin Umar Al-Khawarizmi Az-Zamakhsyari, Abu Al-Qasim, Al-Kasysyaf an Haqa’iq Ghawamidh At-Tanzil wa Uyun Aqawil fi Wujuh At-Tanzil, Jilid I, Beirut: Darul Fikr,  Cetakan I, 1977.

Mahmud bin Umar Al-Khawarizmi Az-Zamakhsyari, Abu Al-Qasim, Al-Kasysyaf an Haqa’iq Ghawamidh At-Tanzil wa Uyun Aqawil fi Wujuh At-Tanzil, Jilid IV, Beirut: Darul Fikr,  Cetakan I, 1977.
 
Mohammad Nabil Lazuardi dalam sebuah makalah berjudul “Tafsir Al-Kasysyaf” di  http://romziana.blogspot.com/2012/10/tafsir-al-kasysyaf.html, diakses pada hari Sabtu, 08 Maret 2014. 


[1] Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir: Dari Aliran Klasik Hingga Modern, diterjemahkan oleh M. Alaika Salamullah, dkk. Dari “Madzahib al-Tafsir al-Islami,” (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003), Cetakan I, h. 149-154.
[2] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, diterjemahkan oleh Ainur Rafiq El-Mazni dari “Mabahits Fii ‘Ulum al-Qur’an,” (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2013), Cetakan VIII, h. 481.
[3] Ibid.
[4] Ibid. h. 481-482.
[5] Ibid. h. 459-460.
[6] Ibid. h. 482.
[7] Al-Qasim Mahmud bin Umar Al-Khawarizmi Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf an Haqa’iq Ghawamidh At-Tanzil wa Uyun Aqawil fi Wujuh At-Tanzil,Jilid I, (Beirut: Darul Fikr, 1977), Cetakan I, h. 306-307.
[8] Ayat ini merupakan tantangan bagi mereka yang meragukan tentang kebenaran Al-Quran itu tidak dapat ditiru walaupun dengan mengerahkan semua ahli sastra dan bahasa karena ia merupakan mukjizat Nabi Muhammad s.a.w.
[9] Ibid. h. 238-246.
[10] Ibid. Jilid IV. h. 192.
[11] Mohammad Nabil Lazuardi dalam sebuah makalah berjudul “Tafsir Al-Kasysyaf” di  http://romziana.blogspot.com/2012/10/tafsir-al-kasysyaf.html, diakses pada hari Sabtu, 08 Maret 2014.

No comments: