Monday, February 15, 2016

Respon Muhammad Mustafa Azami Terhadap Orientalis Tentang Hadits


Sumber Gambar Disini

Compiled by: ANDIKA MAULANA


A.    Biografi Muhammad Mustafa Azami
Muhammad Mustafa Azami lahir di kota Mano, India Utara, tahun 1932. Ayahnya pencinta ilmu dan membenci penjajahan, serta tidak suka bahasa Inggris. Watak ini mempengaruhi perjalanan studi Azami, di mana ketika masih duduk di SLTA beliau disuruh pindah oleh ayahnya ke Sekolah Islam yang menggunakan bahasa Arab. Dari sinilah Azami mulai belajar Hadits. Tamat dari Sekolah Islam, Azami lalu melanjutkan studinya di College of Science di Deoband, sebuah perguruan terbesar di India yang juga mengajarkan studi Islam, dan tamat tahun 1952. Kemudian Azami melanjutkan studinya di Fakultas Bahasa Arab, Jurusan Tadris, Universitas al-Azhar, Cairo, dan tamat tahun 1955 dengan memperoleh ijazah al-‘Alimiyah. Tahun itu juga beliau kembali ke tanah airnya, India.
Tahun 1956 Azami diangkat sebagai Dosen Bahasa Arab untuk orang-orang non Arab di Qatar. Lalu tahun 1957 diangkat sebagai Sekretaris Perpustakaan Nasional di Qatar (Dar al-Kutub al-Qatriyah). Tahun 1964 Azami melanjutkan studinya lagi di Universitas Cambridge, Inggris, sampai meraih gelar Ph.D. tahun 1966 dengan disertasi berjudul Studies in Early Hadits Literature. Lalu beliau kembali lagi ke Qatar untuk memegang jabatan semula. Tahun 1968 beliau mengundurkan diri dari jabatannya di Qatar dan pindah ke Mekkah untuk mengajar di Fakultas Pasca Sarjana, Jurusan Syari’ah dan Studi Islam, Universitas King ‘Abd al-‘Aziz (kini Universitas Umm al-Qura). Beliau, bersama al-Marhum Dr. Amin al-Mishri, termasuk yang ikut andil mendirikan fakultas tersebut.
Tahun 1973 (1393 H) beliau pindah ke Riyadh untuk mengajar di Departemen Studi Islam, Fakultas Tarbiyah, Universitas King Saud. Dan di Universitas ini Ali Mustafa Yaqub bertemu dengan Azami sebagai murid dan guru, di mana setelah tamat ia mendapat amanat dari Azami untuk menerjemahkan buku-bukunya. Reputasi Ilmiah Azami melejit ketika pada tahun 1400 H / 1980 M beliau memenangkan Hadiah Internasional Raja Faisal untuk Studi Islam dari Lembaga Hadiah Yayasan Raja Faisal di Riyadh.[1]

B.     Pembabat Orientalis
Apabila Dr. Mustafa al-Siba’i pada tahun 1949 dan Dr. Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib pada tahun 1963 telah menangkis pikiran-pikiran Orientalis Ignaz Goldziher yang meragukan otentisitas Hadits, maka Azami dalam disertasinya telah membabat habis semua pikiran-pikiran orientalis yang berkaitan dengan kajian otentisitas Hadits. Secara komprehensif Azami telah mematahkan argument-argumen mereka dan meruntuhkan teori-teorinya.
Nama-nama orientalis seperti Robson, Wensink, Guillaume, Sachau, dll, terutama Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht, tidak luput dari serangan balik yang dilancarkan Azami. Karenanya, tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa Azami adalah pakar Muslim yang pertama kali melakukan penghancuran besar-besaran terhadap teori-teori orientalis dalam kajian Hadits. Azami adalah sosok cendekiawan Muslim yang ideal, karena meskipun beliau belajar di bawah asuhan tokoh-tokoh orientalis Barat, namun beliau tidak menjadi terompet yang meneriakkan pikiran-pikiran orientalis di kalangan masyarakat Islam. Justeru sebaliknya, beliau ibarat boomerang yang menghantam kembali posisi mereka.
Sementara orientalis yang paling parah dihajar Azami adalah Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht, karena dua gembong ini dinilai yang paling berpengaruh dalam hal pembabatan Hadis Nabawi, baik di kalangan orientalis sendiri maupun di kalangan sementara cendikiawan Muslim. Azami juga beruntung, karena beliau diizinkan mengkritik Schacht oleh pihak Universitas Cambridge. Berbeda dengan rekannya, Dr. Muhammad Amin al-Mishri yang tidak dipekenankan mengkritik Schacht ketika yang akhir ini hendak menulis disertasi.[2]

C.    Orientalis Bertekuk Lutut
Wajar apabila Dunia Islam mengakui keunggulan Azami dalam karyanya itu. Dianugrahkannya Hadiah Internasional King Faisal dalam Studi Islam kepadanya pada tahun 1400 H/1980 M merupakan bukti keunggulan tersebut. Sementara kalangan Orientalis sendiri juga terpaksa bertekuk lutut dan harus mengakui kehebatan Azami. Simak saja pernyataan Professor A.J. Arberry, tokoh Orientalis terkemuka dari Universitas Cambridge, Inggris.
Arberry berkata, “No doubt the most important field of research, relative to the study of Hadith, is the discovery, verification, and evaluation of the smaller collections of Traditions antedating the six canonical collections of al-Bukhari, Muslim and the rest. In this field Dr. Azami has done pioneer work of the highest value, and he has done it according to the exact standards of scholarship. The thesis which presented, and for which Cambridge conferred on him the degree of Ph.D., is in my opinion one of the most exciting and original investigations in this field of modern times.”[3]  

D.    Prof. Schacht dan Isnad
Menurut pengakuannya, Prof. Schacht telah mempelajari Hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah Fikih serta perkembangannya. Ia berpendapat bahwa isnad adalah bagian dari “tindakan sewenang-wenang” dalam Hadits Nabi SAW. Hadits-hadits itu sendiri dikembangkan oleh kelompok-kelompok yang berbeda-beda yang ingin mengaitkan teori-teorinya kepada tokoh-tokoh terdahulu.
Robson, dalam mengomentari pendapat Schacht ini berkata, “Kritik Schacht yang ditujukan kepada isnad sebenarnya sangat mendasar. Ia juga menunjukkan argument-argumen kuat yang menyatakan bahwa isnad baru terdapat pada masa belakangan. Tetapi orang-orang merasa ragu untuk menerima pendapat Schacht dalam masalah Hadits-hadits fiqih lebih tepat dari pada pendapatnya tentang Hadits-hadits lain, sebab perkembangan dan perubahan situasi dalam pemikiran-pemikiran hukum selalu menuntut adanya kaidah-kaidah baru. Namun demikian orang-orang masih merasa ragu dan heran. Apakah argument Schacht itu tidak meyakinkan?[4]
  
E.     Schacht dan Studi Sanad dalam Kitab-kitab Fikih
Prof. Schacht telah mempelajari kitab “al-Muwatta’” karya Imam Malik, kitab “al-Muwatta’” karya Imam Muhammad al-Syaibani, dan kitab “al-Umm” karya Imam al-Syafi’i. kitab-kitab ini sebenarnya lebih tepat disebut sebagai kitab-kitab fikih dari pada kitab-kitab hadits. Namun demikian, Schacht telah meng-generalisasikan “hasil kajiannya” terhadap kitab-kitab tersebut sekaligus menerapkannya untuk seluruh kitab-kitab Hadits. Seolah-olah tidak ada kitab yang khusus mengenai hadits, dan seolah-olah tidak ada perbedaan anatara watak kitab fikih dan kitab hadits.[5]

F.     Merontokkan Teori “Projecting Back”
Prof. Dr. Joseph Schacht dalam bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence dan An Introduction to Islamic Law berkesimpulan bahwa Hadits – terutama yang berkaitan dengan Hukum Islam – adalah bikinan para ulama abad kedua dan ketiga hijriah. Ia mengatakan, “We shall not meet any legal tradition from the Prophet which can be considered authentic.”
Untuk mendukung kesimpulannya ini, Schacht mengetengahkan teori Projecting Back (Proyeksi ke Belakang), yaitu menisbahkan (mengaitkan) pendapat para Ahli Fikih abad kedua dan ketiga hijriah kepada tokoh-tokoh terdahulu agar pendapat itu memiliki legitimasi daro orang-orang yang mempunyai otoritas lebih tinggi. Menurutnya, para Ahli Fikih telah mengaitkan pendapat-pendapatnya dengan tokoh-tokoh sebelumnya, sampai kepada Nabi SAW, sehingga membentuk sanad Hadits. Inilah rekonstruksi terbentuknya sanad Hadits menurut Schacht yang berarti Hadits-hadits itu tidak otentik berasal dari Nabi SAW.
Untuk menghancurkan teori Schacht ini, Azami melakukan penelitian khusus tentang Hadits-hadits Nabawi yang terdapat dalam Naskah-naskah klasik. Diantaranya adalah Naskah milik Suhail bin Abu Shalih (w. 138 H). Abu Shalih (Ayah Suhail) adalah murid Abu Hurairah sahabat Nabi SAW. Karenanya sanad (transmisi) Hadits dalam Naskah itu berbentuk: Nabi SAW – Abu Hurairah – Abu Shalih – Suhail.
Naskah Suhail ini berisi 49 Hadits. Sementara Azami meneliti para rawi (periwayat) Hadits-hadits itu sampai generasi Suhail, yaitu jenjang ketiga (al-thabaqah al-tsalitsah), termasuk tentang jumlah dan domisili mereka. Azami membuktikan bahwa pada jenjang ketiga, jumlah rawi berkisar antara 20-30 orang, sementara domisili mereka terpencar-pencar dan berjauhan, antara India sampai Maroko, anatara Turki sampai Yaman. Sementara teks Hadits yang mereka riwayatkan redaksinya sama.
Maka Azami berkesimpulan, sangat mustahil menurut ukuran situasi dan kondisi pada saat itu mereka pernah berkumpul untuk membuat Hadits palsu sehingga redaksinya sama. Dan sangat mustahil pula bila mereka masing-masing membuat Hadits, kemudian oleh generasi-generasi berikutnya diketahui bahwa redaksi Hadits yang mereka buat itu sama. Kesimpulan Azami ini bertolak belakang dengan Schacht, baik tentang rekonstruksi terbentuknya sanad Hadits, maupun bunyi teks (matan) Hadits.[6]

G.    Kritik Wensinck terhadap Matan Hadits
Professor Wensinck berkata, “Beberapa decade sesudah Nabi SAW wafat, terjadi perkembangan dalam pemikiran dan pekerjaan. Perkembangan ini mengilhami tokoh-tokoh spiritual untuk menjelaskan tentang semangat Islam yang terdapat dalam Hadits Nabi SAW. Antara lain  - dan yang secara umum hal itu paling penting – Hadits tentang Akidah dan Syahadat, dan Hadits tentang “Islam di atas lima pilar.”
Menurut Wensinck, sebagai bukti bahwa dua Hadits tersebut baru dibuat oleh para Sahabat sesudah Nabi SAW wafat adalah sebagai berikut:
“Nabi SAW tidak pernah mempunyai suatu ungkapan khusus yang mesti diucapkan oleh orang-orang yang baru memeluk Islam. Ketika orang-orang Islam bertemu dengan orang-orang Kristen di Syam dan mereka mengetahui bahwa orang-orang Kristen mempunyai ungkapan khusus, mereka lalu merasakan perlunya membikin ungkapan atau kalimat seperti itu. Maka mereka pun mencetuskan semangat Islam dalam bentuk dua Hadits tersebut. Karena Hadits itu berisi dua syahadat, maka tidak mungkin hal itu berasal dari Nabi SAW.”
Sebenarnya Wensinck sangat mengetahui bahwa dua syahadat itu merupakan bagian dari tasyahud yang dibaca di akhir setiap dua rakaat dalam shalat. Seharusnya ia merubah teorinya. Tetapi ia justru menuduh bahwa shalat itu baru selesai dalam bentuknya yang terakhir ini sesudah nabi SAW wafat. Aneh sekali kalau demikian. Al-Qur’an sendiri berpuluh-puluh kali menyuruh untuk shalat, begitu pula hadits-hadits Nabi SAW yang menerangkan sifat shalat mencapai ribuan. Nabi SAW sendiri tidak pernah mengajarkan shalat dalam bentuk yang belum sempurna dan membiarkan hal itu diselesaikan oleh para Sahabat.
Masalahnya tidak berhenti disitu, sebab shalat dalam Islam dikerjakan secara berjamaah. Orang-orang Islam juga melakukannya demikian. Al-Qur’an sendiri juga menjelaskan demikian. Dan pada tahun pertama atau kedua hijriah sudah ada azan, al-Qur’an juga mengisyaratkan hal itu. Sedangkan dua kalimat syahadat merupakan bagian azan.
Apabila demikian halnya, maka “penyelidikan dan penelitian” Wensinck adalah omong kosong belaka. Kecuali apabila Wensinck juga berteori bahwa azan itu merupakan ibadah yang dibikin pada masa belakangan yang meniru orang-orang Kristen Bizantium. Dan beginilah contoh kritik seorang orientalis yang telah menghabiskan umurnya untuk membuat Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadits.[7]

H.    Daftar Pustaka
Azami, M.M., Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, diterjemahkan oleh Prof. Dr. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. dari “Studies In Early Hadith Literature”, Cetakan Kelima,(Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2012).

Yaqub, Ali Mustafa, Kritik Hadits, Cetakan Keenam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011).



[1] Prof. Dr. M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, diterjemahkan oleh Prof. Dr. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. dari “Studies In Early Hadith Literature”, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2012), Cetakan Kelima, h. 700.
[2] Prof. Ali Mustafa Yaqub, M.A., Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), Cetakan Keenam, h. 26.
[3] Prof. Ali Mustafa Yaqub, M.A., Ibid. h. 26-27.
[4] Prof. Dr. M.M. Azami, op. cit. h. 534.
[5] Prof. Dr. M.M. Azami, ibid, h. 538-539.
[6] Prof. Ali Mustafa Yaqub, M.A., op. cit, h. 27-29.
[7] Prof. Dr. M.M. Azami, op. cit. h. 613-615.

No comments: