Saturday, November 22, 2014

TAFSIR AYAT TENTANG MUSYAWARAH

Sumber Gambar Disini

Compiled by: ANDIKA MAULANA

mnI.          PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman hidup bagi umat manusia dalam menata kehidupannya, agar mereka memperoleh kebahagiaan lahir dan batin, di dunia dan akhirat kelak. Konsep-konsep yang ditawarkan al-Qur’an selalu relevan dengan problema yang dihadapi manusia, karena al-Qur’an turun untuk berdialog dengan setiap umat yang ditemuinya, sekaligus menawarkan pemecahan masalah terhadap problema tersebut, kapan dan di manapun mereka berada.
Salah satu konsep yang ditawarkan Al-Qur’an adalah musyawarah. Ketika seseorang ingin memutuskan suatu perkara atau berselisih tentang suatu urusan maka Al-Qur’an memberikan solusinya dengan musyawarah. Oleh karena pentingnya musyawarah itu, maka dalam makalah ini kami akan menjelaskan sedikit tentang ayat-ayat yang berkaitan dengan musyawarah dan penafsirannya menurut para pakar tafsir.

II.                POKOK PEMBAHASAN
1.      Bagaimana Tafsir Surat Ali Imran Ayat 159?
2.      Bagaimana Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 59?
3.      Bagaimana Tafsir Surat Asy-Syura Ayat 38?

III.             PEMBAHASAN
A.    Tafsir Surat Ali Imran Ayat 159

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
Al-Qurthubi menyebutkan dalam tafsirnya Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an bahwa, pembahasan ayat ini mencakup delapan perkara:
Pertama, Para ulama berkata, “Allah SWT memerintahkan kepada Nabi-Nya dengan perintah-perintah ini secara berangsur-angsur. Artinya, Allah SWT memerintahkan kepada beliau untuk memaafkan mereka atas kesalahan mereka terhadap beliau karena telah meninggalkan tanggung jawab yang diberikan beliau. Setelah mereka mendapatkan maaf, Allah SWT memerintahkan beliau untuk memintakan ampun atas kesalahan mereka terhadap Allah SWT. Setelah mereka mendapatkan hal ini, maka mereka pantas untuk diajak bermusyawarah dalam segala perkara.[1]
M. Quraish Shihab dalam tafsirnya Al-Mishbah mengomentari ayat ini bahwa, pada ayat ini disebutkan tiga sifat dan sikap secara berurutan disebut dan diperintahkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk dilaksanakan sebelum bermusyawarah. Penyebutan ketiga hal itu, walaupun dari segi konteks turunnya ayat, mempunyai makna tersendiri yang berkaitan dengan Perang Uhud, namun dari segi pelaksanaan dan esensi musyawarah, ia menghiasi diri Nabi SAW dan setiap orang yang melakukan musyawarah. Setelah itu, disebutkan lagi satu sikap yang harus diambil setelah adanya hasil musyawarah dan bulatnya tekad.
1. berlaku lemah-lembuttidak kasar, dan tidak berhati keras,
2. memberi maaf, dan membuka lembaran baru, dan
3. permohonan magfirah dan ampunan Ilahi.[2]
Kedua, Ibnu ‘Athiyah berkata, “Musyawarah termasuk salah satu kaidah syariat dan penetapan hukum-hukum. barangsiapa yang tidak bermusyawarah dengan ulama, maka wajib diberhentikan. Tidak ada pertentangan tentang hal ini. Allah SWT memuji orang-orang yang beriman karena mereka suka bermusyawarah dengan firman-Nya, ‘Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka’. (QS. Asy-Syura (42): 38).[3]
Ahmad Mustafa Al-Maragi dalam tafsirnya Al-Maragi menyebutkan bahwa, ada banyak manfaat musyawarah diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Melalui musyawarah dapat diketahui kadar akal, pemahaman, kadar kecintaan dan keikhlasan terhadap kemaslahatan umum.
2.      Kemampuan akal manusia itu bertingkat-tingkat, dan jalan berfikirnya pun berbeda-beda. Sebab kemungkinan ada di antara mereka mempunyai suatu kelebihan yang tidak dimiliki orang lain, para pembesar sekalipun.
3.      Semua pendapat di dalam musyawarah diuji kemampuannya. Setelah itu dipilih pendapat yang paling baik.
4.      Di dalam musyawarah akan tampak bertautnya hati untuk menyukseskan suatu upaya dan kesepakatan hati. Dalam hal itu memang sangat diperlukan untuk suksesnya masalah yang sedang dihadapi. Oleh sebab itu berjamaah lebih afdal di dalam shalat-shalat fardu. Shalat berjamaah lebih afdal dari pada sahalat sendiri, dengan perbedaan dua puluh tujuh derajat.[4]
Ketiga, Firman Allah SWT, “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu” menunjukkan kebolehan ijtihad dalam semua perkara dan menentukan perkiraan bersama yang didasari dengan wahyu. Sebab, Allah SWT mengizinkan hal ini kepada Rasul-Nya.[5]
Keempat, Tertera dalam tulisan Abu Daud, dari Abu Hurairah RA, dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Orang yang diajak bermusyawarah adalah orang yang dapat dipercaya’.”[6]
Kelima, Kriteria orang yang diajak bermusyawarah dalam masalah kehidupan di masyarakat adalah memiliki akal, pengalaman dan santun kepada orang yang mengajak bermusyawarah.[7]
Keenam, Dalam musyawarah pasti ada perbedaan pendapat. Maka, orang yang bernusyawarah harus memperhatikan perbedaan itu dan memperhatikan pendapat yang paling dekat dengan Kitbullah dan Sunnah, jika memungkinkan. Apabila Allah SWT telah menunjukkan kepada sesuatu yang Dia kehendaki maka hendaklah orang yang bermusyawarah menguatkan tekad untuk melaksanakannya sambil bertawakkal kepada-Nya, sebab inilah akhir ijtihad yang dikehendaki. Dengan ini pula Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya dalam ayat ini.[8]
Ketujuh, Firman Allah SWT, “Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad maka bertawakallah kepada Allah.” Qatadah berkata, “Allah SWT memerintahkan kepada Nabi-Nya apabila telah membulatkan tekad atas suatu perkara agar melaksanakannya sambil bertawakal kepada Allah SWT,” bukan tawakal kepada musyawarah mereka.[9]
Kedelapan, Firman Allah SWT, “Maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.[10]

B.     Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 59

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Al-Qurthubi menyebutkan dalam tafsirnya Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an bahwa, pembahasan ayat ini mencakup tiga perkara:
Pertama, Ayat sebelumnya membahas prihal pemimpin, dan perintah bagi mereka untuk menunaikan amanat, begitu juga menetapkan hukum diantara manusia dengan adil. Ayat ini ditujukan untuk rakyat, pertama-tama diperintah untuk taat kepada Allah SWT yaitu dengan mengerjakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, lalu taat kepada rasul-Nya dengan apa-apa yang diperintah dan dilarang, kemudian taat kepada ulil amri, sesuai pendapat mayoritas ulama, seperti Abu Hurairah, Ibnu Abbas dan selain mereka.[11]
M. Quraish Shihab dalam tafsirnya Al-Mishbah menyebutkan pendapat ulama yang berbeda-beda tentang makna kata ulil amri. Dari segi bahasa, uli adalah bentuk jamak dari waliy yang berarti pemilik atau yang mengurus dan menguasai. Bentuk jamak dari kata tersebut menunjukkan bahwa mereka itu banyak, sedang kata al-amr adalah perintah atau urusan. Dengan demikian, ulil amri adalah orang-orang yang berwenang mengurus urusan kaum muslim. Mereka adalah orang-orang yang diandalkan dalam menangani persoalan-persoalan kemasyarakatan. Siapakah mereka? Ada yang berpendapat bahwa mereka adalah para penguasa/ pemerintah. Ada juga yang menyatakan bahwa mereka adalah ulama, dan pendapat ketiga menyatakan bahwa mereka adalah yang mewakili masyarakat dalam berbagai kelompok dan profesinya. Demikian uraian M. Quraish Shihab dalam tafsirnya Al-Mishbah.[12]
Kedua, Firman-Nya, “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu” yaitu jika kalian berdebat dan berselisih seakan-akan setiap mereka mempertahankan hujjah mereka dan berpegang dengannya. “Tentang sesuatu” yaitu dari perkara agama kalian, “Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya)” yaitu kembalikan hukumnya kepada Al-Qur’an atau kepada Rasul-Nya dengan bertanya semasa beliau masih hidup atau meneliti sunnahnya setelah wafatnya SAW, ini merupakan pendapat Mujahid, Al-A’masy dan Qatadah, itu pendapat yang benar, barangsiapa yang tidak berpendapat seperti itu maka imannya kurang, sesuai firman-Nya, “Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian”.[13]
Ahmad Mustafa Al-Maragi dalam tafsirnya Al-Maragi menyebutkan bahwa, dari sini dapat diketahui bahwa ayat ini menerangkan pokok-pokok agama di dalam pemerintahan Islam, yaitu:
1.      Pokok pertama ialah Al-Qur’anul Karim; mengamalkannya merupakan ketaatan kepada Allah SWT.
2.      Pokok kedua ialah Sunnah Rasulullah SAW, dan mengamalkannya merupakan ketaatan kepada Rasulullah SAW.
3.      Pokok ketiga ialah Ijma’ para ulil amri, ahlul-halli wal-‘aqdi yang dipercaya oleh umat.
4.      Pokok keempat ialah memeriksa masalah-masalah yang diperselisihkan pada kaidah-kaidah dan hukum-hukum umum yang diketahui di dalam Al-Kitab dan Sunnah.[14]
Ketiga, Firman-Nya, “Yang demikian itu lebih utama (bagimu)”, yaitu perbuatan kalian mengembalikan segala yang diperselisihkan kepada Al-Qur’an dan Sunnah lebih baik daripada berselisih, “Dan lebih baik akibatnya” yaitu tempat kembali.[15]    

C.    Tafsir Surat Asy-Syura Ayat 38

“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.”
Untuk menafsirkan ayat ini, pemakalah kutipkan penafsiran Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim:
وقوله: { وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ } أي: اتبعوا رسله وأطاعوا أمره، واجتنبوا زجره، { وَأَقَامُوا الصَّلاةَ } وهي أعظم العبادات لله عز وجل، { وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ } أي: لا يبرمون أمرا حتى يتشاوروا فيه، ليتساعدوا بآرائهم في مثل الحروب وما جرى مجراها، كما قال تعالى: { وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ } [آل عمران: 159] ولهذا كان عليه  السلام، يشاورهم في الحروب ونحوها، ليطيب بذلك قلوبهم. وهكذا لما حضرت عمر بن الخطاب الوفاة حين طعن، جعل الأمر بعده شورى في ستة نفر، وهم: عثمان، وعلي، وطلحة، والزبير، وسعد، وعبد الرحمن بن عوف، رضي الله عنهم أجمعين، فاجتمع رأي الصحابة كلهم على تقديم عثمان عليهم، رضي الله عنهم، { وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ } وذلك بالإحسان إلى خلق الله، الأقرب إليهم منهم فالأقرب.[16]                                                                                
IV.             KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Dalam surat Ali Imran ayat 159, Allah SWT memerintahkan kepada Nabi SAW untuk memaafkan mereka atas kesalahan mereka terhadap beliau karena telah meninggalkan tanggung jawab yang diberikan beliau. Setelah mereka mendapatkan maaf, Allah SWT memerintahkan beliau untuk memintakan ampun atas kesalahan mereka terhadap Allah SWT. Setelah mereka mendapatkan hal ini, maka mereka pantas untuk diajak bermusyawarah dalam segala perkara.
2.      Dalam surat An-Nisa’ ayat 59, Allah memerintahkan hambanya untuk taat kepada Allah SWT yaitu dengan mengerjakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, lalu taat kepada rasul-Nya dengan apa-apa yang diperintah dan dilarang, kemudian taat kepada ulil amri. Kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya).
3.      Dalam surat Asy-Syura ayat 38, Allah SWT memberikan apresiasi kepada hambanya yang memutuskan urusan mereka dengan musyawarah.
  
V.                DAFTAR PUSTAKA
Al-Maragi, Ahmad Mustafa, Tafsir Al-Maragi, diterjemahkan oleh Bahrun Abubakar, Lc, dan Drs. Hery Noer Ali, dari “Tafsir Al-Maragi”, Juz IV, Semarang: Toha Putra, Cet. II, 1993.

__________, Tafsir Al-Maragi, diterjemahkan oleh Bahrun Abubakar, Lc, dan Drs. Hery Noer Ali, dari “Tafsir Al-Maragi”, Juz V, Semarang: Toha Putra, Cet. II, 1993.

Al Qurthubi, Syaikh Imam, Tafsir Al Qurthubi, diterjemahkan oleh Dudi Rosyadi, Nashirul Haq, dan Fathurrahman dari “Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an”, Jilid 4, Jakarta: Pustaka Azzam, Cet. I, 2008.

__________, Tafsir Al Qurthubi, diterjemahkan oleh Ahmad Rijali Kadir dari “Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an”, Jilid 5, Jakarta: Pustaka Azzam, Cet. I, 2008.

Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. 2, Jakarta: Lentera Hati, Cet. I, 2000.

Software Mawsoat_Qur’an_exe_01, Tafsir Ibnu Katsir, (211/7).


[1] Syaikh Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, diterjemahkan oleh Dudi Rosyadi, Nashirul Haq, dan Fathurrahman dari “Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an”, Jilid 4, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), Cet. I, h. 622.
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), Cet. I, h. 244-245.
[3] Syaikh Imam Al-Qurthubi. Op. Cit. h. 622-623.
[4] Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, diterjemahkan oleh Bahrun Abubakar, Lc, dan Drs. Hery Noer Ali, dari “Tafsir Al-Maragi”, Juz IV, (Semarang: Toha Putra, 1993), Cet. II, h. 197.
[5] Syaikh Imam Al-Qurthubi. Op. Cit. h. 623.
[6] Ibid. h. 625.
[7] Ibid. h. 625-626.
[8] Ibid. h. 628.
[9] Ibid. h. 628-629.
[10] Ibid. h. 631.
[11] Syaikh Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, diterjemahkan oleh Ahmad Rijali Kadir dari “Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an”, Jilid 5, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), Cet. I, h. 613-614.
[12] M. Quraish Shihab. Op. Cit. h. 460-461.
[13] Syaikh Imam Al-Qurthubi. Op. Cit. h. 618-619.
[14] Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, diterjemahkan oleh Bahrun Abubakar, Lc, dan Drs. Hery Noer Ali, dari “Tafsir Al-Maragi”, Juz V, (Semarang: Toha Putra, 1993), Cet. II, h. 117-118.
[15] Syaikh Imam Al-Qurthubi. Op. Cit. h. 622.
[16] Software Mawsoat_Qur’an_exe_01, Tafsir Ibnu Katsir, (211/7).

No comments: