Monday, November 24, 2014

Pembeda Muslim Dan Kafir

Sumber Gambar Disini

Compiled by: ANDIKA MAULANA

I.               I.                   PENDAHULUAN
Tak kenal maka tak sayang. Peribahasa ini nampaknya menjadi sebab utama, kenapa banyak dari kaum muslimin tidak mengerjakan shalat. Tak usah jauh-jauh untuk melaksanakan sholat sunnah, sholat 5 waktu yang wajib saja mereka tidak kerjakan padahal cukup 10 menit waktu yang diperlukan untuk melaksanakan shalat dengan khusyuk. Padahal jika kita membaca hadits-hadits Nabi SAW yang berkaitan dengan orang meninggalkan shalat, kita akan mendapati informasi bahwa mereka termasuk orang kafir. Lebih tegas lagi sabda Nabi SAW, bahwa shalatlah pembeda antara seorang mukmin dan kafir.
Oleh karena itu, dalam tulisan yang singkat ini, kami akan mengemukakan pembahasan hukum meninggalkan shalat. Semoga dengan sedikit goresan tinta ini dapat memotivasi kaum muslimin sekalian untuk selalu memperhatikan rukun Islam yang teramat mulia ini.

II.                POKOK PEMBAHASAN
1.      Matan dan Terjemah Hadits Tentang Pembeda Muslim dan Kafir
2.      Syarah Hadits Tentang Pembeda Muslim dan Kafir

III.             PEMBAHASAN
1.      Matan dan Terjemah Hadits Tentang Pembeda Muslim dan Kafir
v  Hadits Pertama

            Abu Bakar bin Abu Syaibah dan Abu Kuraib, keduanya berkata: Abu Muawiyah menceritakan kepada kami, dari Al-A’masy, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Jika anak keturunan Adam membaca (ayat) as-Sajadah, lalu dia sujud, maka syetan menyingkir sambil menangis, lalu berkata, “Aduh celaka, --- dalam riwayat Abu Kuraib disebutkan dengan redaksi yaa wailii (aduh celaka aku) ---. Anak keturunan Adam telah diperintahkan untuk sujud, lalu bersujud, maka dia mendapatkan surga. Sedangkan aku telah diperintahkan untuk sujud, tetapi aku enggan (untuk bersujud), maka aku mendapatkan neraka.” (HR. Muslim No 81)[1]
            Zuhair bin Harb menceritakan kepadaku, Waki’ menceritakan kepada kami, Al-A’masy menceritakan kepada kami. Hanya saja (dalam riwayat tersebut disebutkan kalau) syetan berkata, “Lalu aku tidak menaati, maka aku mendapatkan neraka.”[2]

v  Hadits Kedua

            Yahya bin Yahya At-Tamimi dan Utsman bin Abu Syaibah menceritakan kepada kami, keduanya (meriwayatkan) dari Jarir. Yahya berkata: Jarir mengabarkan kepada kami, dari Al-A’masy, dari Abu Sufyan, dia berkata: Aku telah mendengar Jabir berkata: aku telah mendengar Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya (yang memisahkan) antara seorang laki-laki dengan kemusyrikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim No 82)[3]

            Abu Ghassan Al-Misma’i menceritakan kepada kami, Adh-Dhahhak bin Makhlad menceritakan kepada kami, dari Ibnu Juraij, dia berkata: Abu Az-Zubair mengabarkan kepadaku bahwa dia telah mendengar Jabir bin Abdillah berkata: Aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “(Yang memisahkan) antara seorang laki-laki dengan kemusyrikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat”[4]             

2.      Syarah Hadits Tentang Pembeda Muslim dan Kafir
      Hadits pertama dan kedua terdapat dalam Shahih Muslim no 81 dan 82. Maksud Imam Muslim menyebutkan kedua hadits ini adalah untuk menunjukkan bahwa ada beberapa hal yang jika ditinggalkan bisa mengakibatkan kekufuran, baik kufur dalam arti yang sebenarnya maupun kufur secara istilah. Adapun kekufuran Iblis yang disebabkan enggan untuk melakukan perintah sujud, maka dapat diketahui dari firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 34, “dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah dia termasuk golongan orang-orang kafir.” Menurut mayoritas ulama, makna ayat tersebut bahwa Iblis dalam ilmu Allah memang telah diketahui termasuk golongan orang-orang kafir. Namun sebagian ulama ada juga yang mengartikan ayat itu, “karena enggan bersujud” maka Iblis menjadi golongan orang-orang yang kafir. Hal ini sebagaimana pengertian firman Allah dalam surah Huud ayat 43, “dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.[5]
      Adapun orang yang meninggalkan shalat dan mengingkari kewajiban ibadah tersebut, maka menurut ijma’ kaum muslimin dia dianggap sebagai orang kafir, keluar dari agama Islam, kecuali apabila dia orang yang baru memeluk agama Islam dan tidak sempat bergaul dengan komunitas kaum muslimin sehingga belum menerima informasi tentang kewajiban shalat. Apabila dia meninggalkan shalat karena malas namun tetap yakin bahwa ibadah itu hukumnya wajib sebagaimana yang dilakukan banyak orang, maka para ulama berbeda pendapat mengenai statusnya. Menurut madzhab Malik, Syafi’i, dan mayoritas ulama salaf serta khalaf bahwa orang seperti ini tidak kafir, tetapi fasik dan disuruh untuk bertaubat. Jika dia mau bertobat, maka diampuni. Namun, apabila eggan bertaubat, maka dikenai hukuman mati, sebagaimana yang berlaku bagi pezina yang telah menikah. Namun ada juga sebagian ulama salaf yang menganggap bahwa orang seperti ini menjadi kafir. Pendapat ini diriwayatkan dari Ali bin Abu Thalib. Pendapat ini merupakan salah satu riwayat yang berasal dari Ahmad bin Hanbal. Pendapat yang kedua ini juga dikemukakan Abdullah bin Al-Mubarak dan Ishaq bin Rahawaih. Bahkan pendapat ini juga salah satu pendapat yang dianut para ulama madzhab Syafi’i.[6]
      Abu Hanifah, sebagian ulama Kufah, dan Al-Muzani, salah seorang ulama penganut madzhab Syafi’i memilih bahwa orang yang tidak shalat namun tetap meyakini kewajiban ibadah tersebut, maka tidak sampai menjadi kafir dan tidak perlu dihukum mati. Namun dia harus mendapatkan hukum ta’zir dan dikurung sampai dia mau mengerjakan shalat. Sedangkan sebagian ulama yang menganggap kafir berargumen dengan hadits yang kedua seperti yang disebutkan di atas dan menganalogikannya dengan kalimat tauhid. Kelompok ulama yang berpendapat bahwa mereka tidak perlu dibunuh juga berargumen dengan hadits,  “Tidak halal darah seorang muslim, kecuali karena salah satu dari tiga perkara.” Ketiga hal yang dimaksud ternyata tidak ada keterangan tentang meninggalkan shalat. Adapun para ulama yang berpendapat bahwa orang yang tidak shalat tidak sampai menjadi kafir berdalil dengan firman Allah dalam surah An-Nisa’ ayat 48, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” Mereka juga berdalil dengan sabda Rasulullah SAW, “Barangsiapa berkata: Tidak ada tuhan kecuali Allah, maka dia akan masuk surga,” --- “Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan mengetahui bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah, maka dia akan masuk surga,” --- “Tidak ada seorang hamba pun yang bertemu dengan Allah dengan (mengikrarkan) dua kalimat syahadat tanpa perasaan ragu, lalu dia dihalangi untuk masuk surga,” --- “Allah telah mengharamkan neraka atas orang yang mengucpkan tidak ada tuhan kecuali Allah,” dan banyak lagi hadits-hadits serupa yang mereka jadikan sebagai dalil.[7]
      Sedangkan sebagian ulama yang berpendapat bahwa orang-orang yang tidak shalat perlu dibunuh berdalil dengan firman Allah dalam surah At-Taubah ayat 5, “Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan,” dan sabda Nabi SAW, “Aku diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka mengatakan tiada tuhan kecuali Allah, mendirikan shalat, dan mengeluarkan zakat. Jika mereka telah melakukan hal itu, maka darah dan harta mereka terjaga dariku.”[8]
      Mereka mentakwilkan sabda Nabi SAW, “Yang memisahkan anatara seorang laki-laki dengan kemusyrikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat,” bahwa seorang hamba berhak mendapatkan siksa seperti orang kafir, yakni dihukum mati apabila meninggalkan shalat. Namun hal ini berlaku bagi orang yang menghalalkan perbuatan meninggalkan shalat. Namun, ada juga yang mengartikan hadits tersebut bahwa orang yang meninggalkan shalat telah melakukan perbuatan seperti orang-orang kafir.[9]
      “Jika anak keturunan Adam membaca (ayat) As-Sajadah.” Maksudnya, ketika membaca ayat-ayat As-Sajadah. Sedangkan kalimat “yaa wailahu” dalam redaksi hadits diatas merupakan salah satu bentuk etika dalam berbicara. Bentuk etika bicara yang dimaksud adalah ketika menceritakan keburukan pihak lain, lantas ada sebuah frasa yang menggunakan dhamir mutakallim (kata ganti orang pertama), maka orang yang bercerita hendaknya mengganti dhamir mutakallim tersebut. Tujuannya agar tidak terkesan kalau dia menjelekkan dirinya sendiri.[10]
      Dalam riwayat yang lain, kata “yaa wailahu” tersebut disebutkan dengan redaksi “yaa wailii.” Namun lafadz ini bisa juga dibaca “yaa wailaa.”[11]
      Sedangkan sabdanya, “(yang memisahkan) antara seorang laki-laki dengan kemusyrikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” Demikian redaksi yang terdapat dalam di dalam semua kitab rujukan Shahih Muslim, yakni dengan menggunakan huruf wawu sehingga berbunyi asy-syirk wa al-kufr. Sedangkan dalam kitab Sunan Ad-Darimi dengan menggunakan huruf aw sehingga berbunyi baina asy-syirk aw baina al-kufr.[12]
      Maksud “antara seseorang dan kemusyrikan adalah meninggalkan shalat” adalah bahwa sesuatu yang bisa mencegah kekufuran seseorang adalah mengerjakan shalat. Apabila seseorang telah meninggalkan shalat, maka tidak ada lagi tabir penghalang antara dirinya dengan kekufuran. Bahkan dia telah memasuki ruang kekufuran tersebut.[13]
      Redaksi “Inna baina ar-rajuli wa baina asy-syirki … “, redaksi tersebut menggunakan kata “ar-rajuli”, yang berarti seorang laki-laki. Itu bukan berarti untuk pengkhususan terhadap laki-laki, tetapi perempuan juga termasuk di dalamnya.[14]
      Selain dua hadits yang telah dijelaskan di atas, terdapat hadits-hadits lainnya yang membahas hal yang sama diantaranya sbb:

            Dari Buraidah RA, dari Nabi SAW beliau bersabda: “Ikatan janji di antara kami (umat Islam) dengan mereka (orang-orang kafir) adalah shalat. Maka barangsiapa yang meninggalkan shalat berarti ia kafir.” (HR. Tirmidzi No 2623 dan Ia berkata: “Hadits Hasan Shahih”)[15]

            Dari Syaqiq bin Abdullah seorang ulama tabi’in yang telah disepakati memiliki kelebihan rahimahullah berkata: “Para sahabat Nabi SAW tidak ada yang berpendapat tentang suatu perbuatan yang apabila ditinggalkan menjadikan kafir, kecuali shalat.” (HR. Tirmidzi No 2624 di kitab Iman dengan sanad shahih).[16]
                          
IV.             KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan sbb:
1.      Menurut pendapat kebanyakan ulama, orang yang membolehkan meninggalkan shalat adalah kafir. Sedangkan sebagian ulama berpendapat seperti redaksi hadits apa adanya, jadi orang yang tidak shalat (apa pun alasannya) berarti telah kafir. Mereka juga mengatakan, karena saat itu shalat merupakan tanda keislaman seseorang, maka barangsiapa tidak shalat berarti dia kafir.
2.      Menurut sebagian ulama, orang yang meninggalkan shalat karena lalai atau malas, maka dia tidak menjadi kafir, tapi harus dijatuhi hukuman mati. Sebagian ulama lain berpendapat, orang itu dijatuhi hukuman cambuk hingga mau shalat.
3.      Sebagian sahabat dan ulama berpendapat bahwa meninggalkan shalat, meskipun karena malas, adalah kekafiran dan murtad. Sedangkan kebanyakan ulama berpendapat bahwa orang yang meyakini shalat tidak wajib adalah kafir. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa meninggalkan shalat mengarah pada kekafiran, karena maksiat adalah pengantar kekafiran. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa hadits ini dan semacamnya merupakan peringatan keras, tidak mengarah pada pengkafiran orang yang meninggalkan shalat.

V.                DAFTAR PUSTAKA
Ad-Darimi, Imam, Sunan Ad-Darimi, Juz I, ttt: Dar Ihya As-Sunnah An-Nabawiyah, tt.
An-Nawawi, Imam, Syarah Shahih Muslim (2), diterjemahkan oleh Wawan Djunaedi                                Soffandi dari “Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi”, Jilid 2, Jakarta:                                 Pustaka Azzam, Cet. I, 2010.
                        , Riyadh ash- Shalihin, “Taqriz wa Taqdim Dr. Wahbah Zuhaili”, “Haqqaqahu wa Kharraja Ahaditsuhu wa ‘Allaqa alaihi Ali Abdul Hamid Abu al-Khair”, Beirut: Dar al-Khair, Cet. IV,  1999.
Ash-Shiddiqi Asy-Sayafi’i Al-Asy’ari Al-Makki, Muhammad bin ‘Allan, Dalil al-Falihin li Thuruqi Riyadh ash-Shalihin, Juz III, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, tt.



[1] Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim (2), diterjemahkan oleh Wawan Djunaedi Soffandi dari “Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi”, Jilid 2, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010), Cet. I, h. 245-246.
[2] Ibid. h. 246.
[3] Ibid. h. 246-247.
[4] Ibid. h. 247.
[5] Ibid. h. 247-248.
[6] Ibid. h. 248-249.
[7] Ibid. h. 249-250.
[8] Ibid. h. 250.
[9] Ibid. h. 250-251.
[10] Ibid. h. 251.
[11] Ibid.
[12]. Imam Ad-Darimi, Sunan Ad-Darimi, Juz I, (ttt: Dar Ihya As-Sunnah An-Nabawiyah, tt), h. 280.
[13] Imam An-Nawawi. Loc. Cit.
[14] Muhammad bin ‘Allan Ash-Shiddiqi Asy-Sayafi’i Al-Asy’ari Al-Makki, Dalil al-Falihin li Thuruqi Riyadh ash-Shalihin, Juz III, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, tt), h. 517.
[15] Imam An-Nawawi, Riyadh ash- Shalihin, “Taqriz wa Taqdim Dr. Wahbah Zuhaili”, “Haqqaqahu wa Kharraja Ahaditsuhu wa ‘Allaqa alaihi Ali Abdul Hamid Abu al-Khair”, (Beirut: Dar al-Khair, 1999), Cet. IV, h. 263.
[16] Ibid.

No comments: