Sumber Gambar Disini
Compiled by: ANDIKA MAULANA
I.
PENDAHULUAN
Kedudukan
shalat dalam agama Islam sangat tinggi dibanding dengan ibadah yang lainnya.
Shalat merupakan pondasi utama bagi tegaknya agama Islam atau keislaman
seseorang. Selain shalat-shalat fardhu yang telah disyariatkan, ada juga shalat
Jum’at yang disyariatkan oleh agama Islam. Shalat Jum’at adalah aktivitas
ibadah shalat wajib yang dilaksanakan secara berjamaah bagi lelaki muslim
setiap hari Jum’at yang menggantikan shalat dzuhur. Allah mensyariatkan shalat
Jum’at sepekan sekali mempunyai hikmah sebagai syiar agama Islam diwilayah
masing-masing dan sekaligus sebagai forum silaturrahmi.
Pada
kesempatan kali ini, pemakalah akan menguraikan tentang tafsir surat Al-Jumu’ah
(62): 9-11, menurut pandangan para ulama tafsir. Dengan harapan semoga dengan
adanya pembahasan ini, kita lebih mengetahui tentang hukum seputar shalat
Jum’at dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
II.
POKOK
PEMBAHASAN
1. QS.
Al-Jumu’ah (62) : 9 – 11 dan Terjemahannya.
2. Penafsiran
Kata-Kata Sulit.
3. Tafsir
QS. Al-Jum’at (62) : 9 -11.
III.
PEMBAHASAN
1.
QS.
Al-Jum’at (62) : 9 – 11 dan Terjemahannya.
9. Hai
orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
10.
apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
11.
dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju
kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah:
"Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan
perniagaan", dan Allah Sebaik-baik pemberi rezki.
2.
Penafsiran
Kata-Kata Sulit.
-
Nudiya
li ash-Shalah: yaitu seruan kedua dilakukan di hadapan
Rasulullah SAW ketika beliau keluar lalu duduk di atas mimbar. Sedang seruan
pertama di rumah tertinggi di Madinah yang dekat dengan masjid telah ditambah
oleh Usman karena banyaknya manusia.
-
Fas’au:
maka berjalanlah kamu.
-
Dzikrullah:
shalat.
-
Dzarul
bai’: tinggalkanlah olehmu jual beli.
-
Fantasyiru:
maka bertebaranlah kamu.
-
Min
fadlillah: untuk mencari rezeki Allah.
-
Al-lahwu:
gendering,
seruling dan sebagainya.
-
Infaddu:
mereka bubar.
3.
Tafsir
QS. Al-Jum’at (62) : 9 -11.
Firman
Allah SWT, “Hai orang-orang beriman,” merupakan
khithab (pesan) kepada orang-orang yang mukallaf. Hal ini berdasarkan kepada
ijma. Dikecualikan dari orang-orang yang mukallaf adalah orang yang sakit,
orang yang udzur (sakit) menahun, orang yang sedang musafir, hamba sahaya, dan
kaum perempuan berdasarkan dalil, serta orang buta dan orang yang sudah tua dan
tidak dapat berjalan kecuali dengan dipapah, demikian menurut Abu Hanifah. Hal
ini berdasarkan riwayat dari Az-Zubair yang meriwayatkan dari Jabir, bahwa
Rasulullah SAW bersabda,
“barangsiapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka dia wajib menunaikan shalat
Jum’at, kecuali orang yang sakit, musafir, perempuan, anak kecil, atau hamba
sahaya. Barangsiapa yang tidak membutuhkannya karena permainan atau perniagaan,
maka Allah tidak akan membutuhkannya, dan Allah itu Maha kaya lagi Maha
terpuji. (HR. Ad-Daruquthni)[2]
Firman
Allah SWT, “Hai orang-orang beriman, apabila
diseru untuk menunaikan shalat Jum'at,” Allah mengkhithabi orang-orang yang
beriman dengan Jum’at sebagai suatu kemuliaan dan penghormatan bagi mereka.
Allah berfirman: “Allah orang-orang
beriman,” selanjutnya, Allah mengkhususkan (perintah) itu dengan Nidaa (seruan), meskipun ia termasuk ke
dalam keumuman firman Allah SWT, “Dan
apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) sembahyang.” (QS.
Al-Maa’idah (5): 58), dimana tujuannya adalah untuk menunjukkan kewajiban
perintah tersebut dan memastikan keharusannya.
Sebagian
ulama berkata, “Keberadaan shalat Jum’at di sini diketahui dari ijma, bukan
dari lafadz (ayat).”
Ibnu
Al-Arabi berkata, “Menurut saya, keberadaan shalat Jum’at di sini diketahui
dari lafadz (ayat ini), yaitu firman-Nya: “pada
hari Jum’at.” Lafadz ini menunjukkan akan keberadaan shalat Jum’at itu.
Sebab seruan yang dikhususkan untuk hari (Jum’at) itu adalah seruan untuk
menunaikan shalat.
Adapun
seruan yang lainnya, itu merupakan seruan yang umum untuk semua hari.
Seandainya yang dimaksud dari seruan itu bukanlah seruan untuk menunaikan
shalat Jum’at, maka tidak ada guna dan manfaat dari pengkhususan seruan itu,
dan pengidhafatannya kepada hari Jum’at.[3]
Adzan
(untuk shalat Jum’at) pada masa Rasulullah SAW – sebagaimana adzan untuk semua
shalat (lainnya) – dikumandangkan oleh seseorang ketika Nabi SAW duduk di atas
mimbar. Demikian pula yang dilakukan oleh Abu Bakar, Umar, dan Ali di Kufah.
Setelah
itu, Utsman menambahkan adzan yang ketiga – disamping adzan yang dikumandangkan
saat imam duduk di atas mimbar - , yang dikumandangkan di atas rumahnya yang
disebut dengan Az-Zaura, ketika
manusia menjadi begitu banyak di Madinah. Apabila mereka mendengar (suara adzan
itu), maka mereka pun datang. Lalu ketika Utsman sudah duduk di atas mimbar,
maka muadzin nabi pun mengumandangkan adzan, kemudian Utsman berkhutbah.[4]
Firman
Allah SWT, “Apabila diseru untuk
menunaikan shalat,” mengkhususkan kewajiban Jum’at kepada orang dekat yang
dapat mendengar suara adzan. Adapun orang yang jauh rumahnya dan tidak dapat
mendengar suara adzan, maka dia tidak termasuk ke dalam khithab itu.[5]
Ahmad
bin Hanbal dan Ishak berpendapat bahwa shalat Jum’at wajib kepada orang yang
dapat mendengar suara adzan. Ad-Daruquthni meriwayatkan dari hadits Amr bin
Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Sesungguhnya (shalat) Jum’at itu diwajibkan
kepada orang yang mendengar seruan (adzan).[6]
Firman
Allah SWT, “Apabila diseru untuk
menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat
Allah,” merupakan dalil yang menunjukkan bahwa shalat Jum’at itu tidak
diwajibkan kecuali dengan adanya seruan adzan, sementara adzan tidak diwajibkan
kecuali dengan masuknya waktu shalat. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW
ditujukan kepada Malik bin Huwairits dan sahabatnya: “Apabila (waktu) shalat telah tiba, maka kumandangkanlah adzan lalu
bacakanlah iqamah, dan hendaklah orang yang paling tua diantara kalian berdua
menjadi imam di antara kalian berdua.”[7]
Allah
mewajibkan shalat Jum’at kepada setiap muslim. Hal ini merupakan bantahan
kepada sebagian orang yang mengatakan bahwa shalat Jum’at itu fardhu kifayah.
Pendapat ini diriwayatkan dari sebagian penganut madzhab Asy-Syafi’i.[8]
Diriwayatkan
dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda, “Hendaklah
kaum-kaum itu benar-benar menghentikan (perbuatan) mereka yang meninggalkan
shalat Jum’at, atau Allah benar-benar mencap hati mereka, kemudian mereka
benar-benar menjadi bagian dari orang-orang yang lalai.” Ini merupakan
dalil yang sangat jelas tentang kewajiban shalat Jum’at.[9]
Kewajiban
shalat Jum’at tidak gugur meskipun ia terjadi pada hari raya (Idul Fitri dan
Idul Adha). Hal itu berseberangan dengan pendapat Ahmad bin Hanbal. Ahmad bin
Hanbal berkata, “Apabila hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) berbarengan
dengan hari Jum’at, maka kewajiban shalat Jum’at gugur, sebab hari raya lebih
dulu terjadi daripada kewajiban Jum’at, dan orang-orang pun masih sibuk berhari
raya.[10]
Firman
Allah SWT, “Maka bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah,” maksudnya. Shalat.
Menurut
satu pendapat, yang dimaksud adalah khutbah dan nasihat-nasihat. Pendapat ini
dikemukakan oleh Sa’id bin Jubair.[11]
Firman
Allah SWT, “Dan tinggalkanlah jual beli,”
Allah SWT melarang jual beli ketika shalat Jum’at. Allah mengharamkan hal
itu pada waktu Jum’at atas siapa saja yang dikhithabi dengan kewajiban shalat
Jum’at.[12]
Az-Zamakhsyari
berkata dalam tafsirnya, “Mayoritas ulama berpendapat bahwa hal itu tidak menyebabkan
rusaknya jual beli. Mereka berkata, ‘Sebab jual beli tidak haram secara
dzatiyahnya, akan tetapi disebabkan adanya unsure memalingkan dari kewajiban.
Dengan demikian, jual beli yang dilangsungkan pada waktu haram itu seperti
shalat di tanah hasil merampas atau wudhu dengan air hasil merampas. Tapi
diriwayatkan dari sebagian orang (ulama Madinah) bahwa jual beli tersebut
rusak.”[13]
Firman
Allah SWT, “yang demikian itu lebih baik
bagimu jika kamu mengetahui.” Maksudnya, berjalanlah untuk shalat itu,
yakni meninggalkan jual beli lebih baik bagimu daripada sibuk dengan jual dan
mencari manfaat duniawi, sebab kemanfaatan akhirat itu lebih baik dan lebih
kekal, karena ia memiliki kemanfaatan abadi. Sedang kemanfaatan dunia adalah
lenyap (fana). Dan apa yang di sisi Allah itu lebih baik bagimu, jika kamu
termasuk orang-orang yang mempunyai pengetahuan yang benar tentang apa yang
berbahaya dan apa yang bermanfaat.[14]
Firman
Allah SWT, “Apabila telah ditunaikan
shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan
ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” Ayat ini menjelaskan
bahwa orang-orang muslim dipersilahkan bekerja dan berusaha kembali mencari
rezeki jika shalat telah selesai dikerjakan. Artinya, carilah karunia Allah berupa
rezeki untuk keperluan dunia dan akhirat.
Dibagian
akhir ayat ini terdapat dua fi’il amr
(kata perintah), yaitu perintah mencari rezeki dan perintah mengingat-Nya. Hal
itu menunjukkan bahwa bekerja dan berusaha itu merupakan kewajiban atau
tanggung jawab setiap orang. Dan pekerjaan atau usaha itu haruslah disertai
dengan dzikrullah (mengingat Allah).
Maksudnya, pekerjaan yang dilakukan itu haruslah benar-benar berangkat dari
Allah dan juga bertujuan untuk meraih ridha-Nya, sehingga tidak ada penyelewengan
selama melakukan pekerjaan tersebut.[15]
Firman
Allah SWT, “Dan apabila mereka melihat
perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka
tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: "Apa yang di sisi
Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan", dan Allah Sebaik-baik
pemberi rezki.”
Ayat
di atas berbicara tentang sikap sementara sahabat Nabi SAW ketika hadirnya
kafilah dari Syam yang dibawa ileh Dihyat Ibn Khalifah al-Kalbi. Ketika itu,
harga-harga di Madinah melonjak, sedang kafilah tersebut membawa bahan makanan
yang sangat dibutuhkan. Tabuh tanda kedatangan kafilah di pasar pun ditabuh
sehingga terdengar oleh jama’ah Jum’at. Ketika itulah sebagian jamaah masjid
berpencar dan berlarian menuju pasar untuk membeli karena takut kehabisan.
Maka, terhadap mereka, ayat tersebut turun. Ada riwayat yang mengatakan bahwa
hal tersebut terjadi tiga kali dan selalu pada hari Jum’at. Riwayat
berbeda-beda tentang jumlah jamaah yang bertahan bersama Rasulullah SAW. Ada
yang menyatakan empat puluh orang, ada lagi empat, atau tiga atau dua belas orang,
bahkan ada riwayat yang menyatakan hanya delapan orang. Perbedaan riwayat
inilah yang menjadi sebab perbedaan ulama tentang jumlah minimal yang harus
hadir guna sahnya upacara shalat Jum’at. Demikian al-Qurthubi yang dikutip oleh
Quraish Shihab.[16]
IV.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas
dapat diambil kesimpulan sbb:
1. Apabila
diseru (yakni dikumandangkan adzan) untuk shalat pada hari jum’at, maka
bersegeralah menuju dzikrullah dan tinggalkan jual beli, karena hal yang
demikian bagimu jika kamu mengetahuinya. Hal ini menunjukkan kewajiban shalat
Jum’at.
2. Lalu
apabila shalat telah ditunaikan, maka manusia diperintah untuk bertebaran di
muka bumi untuk mencari karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya
kamu beruntung. Perintah bertebaran di muka bumi dan mencari karunia Allah itu
bukanlah perintah wajib.
V.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Maragi, Ahmad
Mustafa, Tafsir Al-Maragi, diterjemahkan
oleh Bahrun Abubakar, Lc., Drs. Hery Noer Aly, dan K. Anshori Umar
Sitanggal dari “Tafsir Al- Maragi”,
Juz XXVIII, Semarang: PT. Karya Toha Putra, Cet, II, 1993.
Al-Qurthubi, Syaikh Imam, Tafsir Al-Qurthubi, diterjemahkan oleh
Dudi Rosyadi, dkk., dari “Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an”,
Jilid 18, Jakarta: Pustaka
Azzam, Cet, I, 2009.
M. Yusuf, Kadar,
Tafsir Ayat Ahkam: Tafsir Tematik
Ayat-Ayat Hukum, Jakarta:
AMZAH, Cet, I, 2011.
Shihab, M.
Quraish, Tafsir Al-Mishbah, vol. 14, Jakarta:
Lentera Hati, Cet, V, 2012.
[1]
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir
Al-Maragi, diterjemahkan oleh Bahrun Abubakar, Lc., Drs. Hery Noer Aly, dan
K. Anshori Umar Sitanggal dari “Tafsir Al-Maragi”, Juz XXVIII, (Semarang: PT. Karya
Toha Putra, 1993), Cet. II, h. 163.
[2]
Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir
Al-Qurthubi, diterjemahkan oleh Dudi Rosyadi, dkk., dari “Al-Jami’ li Ahkam
al-Qur’an”, Jilid 18, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, h. 483.
[3] Ibid.
h. 474-475.
[4]
Ibid. h. 475-476.
[5] Ibid.
h. 484.
[6] Ibid.
h. 485-486.
[7] Ibid.
h. 486-487.
[8] Ibid.
h. 489.
[9] Ibid.
h. 489-490.
[10] Ibid.
h. 493.
[11] Ibid.
h. 494.
[12] Ibid.
h. 485-486.
[13] Ibid.
h. 497.
[14] Ahmad
Mustafa Al-Maragi. op. cit. h. 165.
[15]
Kadar M. Yusuf, Tafsir Ayat Ahkam: Tafsir
Tematik Ayat-Ayat Hukum, (Jakarta: AMZAH, 2011), Cet. I, h. 59.
[16] M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol.
14, (Jakarta: Lentera Hati, 2012), Cet. V. h. 62-63.
No comments:
Post a Comment