Saturday, November 22, 2014

SHALAT JUM’AT

Sumber Gambar Disini

Compiled by: ANDIKA MAULANA

I.                   PENDAHULUAN
Kedudukan shalat dalam agama Islam sangat tinggi dibanding dengan ibadah yang lainnya. Shalat merupakan pondasi utama bagi tegaknya agama Islam atau keislaman seseorang. Selain shalat-shalat fardhu yang telah disyariatkan, ada juga shalat Jum’at yang disyariatkan oleh agama Islam. Shalat Jum’at adalah aktivitas ibadah shalat wajib yang dilaksanakan secara berjamaah bagi lelaki muslim setiap hari Jum’at yang menggantikan shalat dzuhur. Allah mensyariatkan shalat Jum’at sepekan sekali mempunyai hikmah sebagai syiar agama Islam diwilayah masing-masing dan sekaligus sebagai forum silaturrahmi.
Pada kesempatan kali ini, pemakalah akan menguraikan tentang tafsir surat Al-Jumu’ah (62): 9-11, menurut pandangan para ulama tafsir. Dengan harapan semoga dengan adanya pembahasan ini, kita lebih mengetahui tentang hukum seputar shalat Jum’at dan hal-hal yang berkaitan dengannya.

II.                POKOK PEMBAHASAN
1.      QS. Al-Jumu’ah (62) : 9 – 11 dan Terjemahannya.
2.      Penafsiran Kata-Kata Sulit.
3.      Tafsir QS. Al-Jum’at (62) : 9 -11.

III.             PEMBAHASAN
1.      QS. Al-Jum’at (62) : 9 – 11 dan Terjemahannya.

9. Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
10. apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
11. dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: "Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan", dan Allah Sebaik-baik pemberi rezki.

2.      Penafsiran Kata-Kata Sulit.
-          Nudiya li ash-Shalah: yaitu seruan kedua dilakukan di hadapan Rasulullah SAW ketika beliau keluar lalu duduk di atas mimbar. Sedang seruan pertama di rumah tertinggi di Madinah yang dekat dengan masjid telah ditambah oleh Usman karena banyaknya manusia.
-          Fas’au: maka berjalanlah kamu.
-          Dzikrullah: shalat.
-          Dzarul bai’: tinggalkanlah olehmu jual beli.
-          Fantasyiru: maka bertebaranlah kamu.
-          Min fadlillah: untuk mencari rezeki Allah.
-          Al-lahwu: gendering, seruling dan sebagainya.
-          Infaddu: mereka bubar.
-          Qaiman: engkau berdiri di atas mimbar untuk berkhutbah.[1]

3.      Tafsir QS. Al-Jum’at (62) : 9 -11.
Firman Allah SWT, “Hai orang-orang beriman,” merupakan khithab (pesan) kepada orang-orang yang mukallaf. Hal ini berdasarkan kepada ijma. Dikecualikan dari orang-orang yang mukallaf adalah orang yang sakit, orang yang udzur (sakit) menahun, orang yang sedang musafir, hamba sahaya, dan kaum perempuan berdasarkan dalil, serta orang buta dan orang yang sudah tua dan tidak dapat berjalan kecuali dengan dipapah, demikian menurut Abu Hanifah. Hal ini berdasarkan riwayat dari Az-Zubair yang meriwayatkan dari Jabir, bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka dia wajib menunaikan shalat Jum’at, kecuali orang yang sakit, musafir, perempuan, anak kecil, atau hamba sahaya. Barangsiapa yang tidak membutuhkannya karena permainan atau perniagaan, maka Allah tidak akan membutuhkannya, dan Allah itu Maha kaya lagi Maha terpuji. (HR. Ad-Daruquthni)[2]
Firman Allah SWT, “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at,” Allah mengkhithabi orang-orang yang beriman dengan Jum’at sebagai suatu kemuliaan dan penghormatan bagi mereka. Allah berfirman: “Allah orang-orang beriman,” selanjutnya, Allah mengkhususkan (perintah) itu dengan Nidaa (seruan), meskipun ia termasuk ke dalam keumuman firman Allah SWT, “Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) sembahyang.” (QS. Al-Maa’idah (5): 58), dimana tujuannya adalah untuk menunjukkan kewajiban perintah tersebut dan memastikan keharusannya.
Sebagian ulama berkata, “Keberadaan shalat Jum’at di sini diketahui dari ijma, bukan dari lafadz (ayat).”
Ibnu Al-Arabi berkata, “Menurut saya, keberadaan shalat Jum’at di sini diketahui dari lafadz (ayat ini), yaitu firman-Nya: “pada hari Jum’at.” Lafadz ini menunjukkan akan keberadaan shalat Jum’at itu. Sebab seruan yang dikhususkan untuk hari (Jum’at) itu adalah seruan untuk menunaikan shalat.
Adapun seruan yang lainnya, itu merupakan seruan yang umum untuk semua hari. Seandainya yang dimaksud dari seruan itu bukanlah seruan untuk menunaikan shalat Jum’at, maka tidak ada guna dan manfaat dari pengkhususan seruan itu, dan pengidhafatannya kepada hari Jum’at.[3]
Adzan (untuk shalat Jum’at) pada masa Rasulullah SAW – sebagaimana adzan untuk semua shalat (lainnya) – dikumandangkan oleh seseorang ketika Nabi SAW duduk di atas mimbar. Demikian pula yang dilakukan oleh Abu Bakar, Umar, dan Ali di Kufah.
Setelah itu, Utsman menambahkan adzan yang ketiga – disamping adzan yang dikumandangkan saat imam duduk di atas mimbar - , yang dikumandangkan di atas rumahnya yang disebut dengan Az-Zaura, ketika manusia menjadi begitu banyak di Madinah. Apabila mereka mendengar (suara adzan itu), maka mereka pun datang. Lalu ketika Utsman sudah duduk di atas mimbar, maka muadzin nabi pun mengumandangkan adzan, kemudian Utsman berkhutbah.[4]
Firman Allah SWT, “Apabila diseru untuk menunaikan shalat,” mengkhususkan kewajiban Jum’at kepada orang dekat yang dapat mendengar suara adzan. Adapun orang yang jauh rumahnya dan tidak dapat mendengar suara adzan, maka dia tidak termasuk ke dalam khithab itu.[5]     
Ahmad bin Hanbal dan Ishak berpendapat bahwa shalat Jum’at wajib kepada orang yang dapat mendengar suara adzan. Ad-Daruquthni meriwayatkan dari hadits Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Sesungguhnya (shalat) Jum’at itu diwajibkan kepada orang yang mendengar seruan (adzan).[6]
Firman Allah SWT, “Apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah,” merupakan dalil yang menunjukkan bahwa shalat Jum’at itu tidak diwajibkan kecuali dengan adanya seruan adzan, sementara adzan tidak diwajibkan kecuali dengan masuknya waktu shalat. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW ditujukan kepada Malik bin Huwairits dan sahabatnya: “Apabila (waktu) shalat telah tiba, maka kumandangkanlah adzan lalu bacakanlah iqamah, dan hendaklah orang yang paling tua diantara kalian berdua menjadi imam di antara kalian berdua.”[7]
Allah mewajibkan shalat Jum’at kepada setiap muslim. Hal ini merupakan bantahan kepada sebagian orang yang mengatakan bahwa shalat Jum’at itu fardhu kifayah. Pendapat ini diriwayatkan dari sebagian penganut madzhab Asy-Syafi’i.[8]
Diriwayatkan dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda, “Hendaklah kaum-kaum itu benar-benar menghentikan (perbuatan) mereka yang meninggalkan shalat Jum’at, atau Allah benar-benar mencap hati mereka, kemudian mereka benar-benar menjadi bagian dari orang-orang yang lalai.” Ini merupakan dalil yang sangat jelas tentang kewajiban shalat Jum’at.[9]
Kewajiban shalat Jum’at tidak gugur meskipun ia terjadi pada hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha). Hal itu berseberangan dengan pendapat Ahmad bin Hanbal. Ahmad bin Hanbal berkata, “Apabila hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) berbarengan dengan hari Jum’at, maka kewajiban shalat Jum’at gugur, sebab hari raya lebih dulu terjadi daripada kewajiban Jum’at, dan orang-orang pun masih sibuk berhari raya.[10]
Firman Allah SWT, “Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah,” maksudnya. Shalat.
Menurut satu pendapat, yang dimaksud adalah khutbah dan nasihat-nasihat. Pendapat ini dikemukakan oleh Sa’id bin Jubair.[11]
Firman Allah SWT, “Dan tinggalkanlah jual beli,” Allah SWT melarang jual beli ketika shalat Jum’at. Allah mengharamkan hal itu pada waktu Jum’at atas siapa saja yang dikhithabi dengan kewajiban shalat Jum’at.[12]
Az-Zamakhsyari berkata dalam tafsirnya, “Mayoritas ulama berpendapat bahwa hal itu tidak menyebabkan rusaknya jual beli. Mereka berkata, ‘Sebab jual beli tidak haram secara dzatiyahnya, akan tetapi disebabkan adanya unsure memalingkan dari kewajiban. Dengan demikian, jual beli yang dilangsungkan pada waktu haram itu seperti shalat di tanah hasil merampas atau wudhu dengan air hasil merampas. Tapi diriwayatkan dari sebagian orang (ulama Madinah) bahwa jual beli tersebut rusak.”[13]
Firman Allah SWT, “yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” Maksudnya, berjalanlah untuk shalat itu, yakni meninggalkan jual beli lebih baik bagimu daripada sibuk dengan jual dan mencari manfaat duniawi, sebab kemanfaatan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal, karena ia memiliki kemanfaatan abadi. Sedang kemanfaatan dunia adalah lenyap (fana). Dan apa yang di sisi Allah itu lebih baik bagimu, jika kamu termasuk orang-orang yang mempunyai pengetahuan yang benar tentang apa yang berbahaya dan apa yang bermanfaat.[14]
Firman Allah SWT, “Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” Ayat ini menjelaskan bahwa orang-orang muslim dipersilahkan bekerja dan berusaha kembali mencari rezeki jika shalat telah selesai dikerjakan. Artinya, carilah karunia Allah berupa rezeki untuk keperluan dunia dan akhirat.
Dibagian akhir ayat ini terdapat dua fi’il amr (kata perintah), yaitu perintah mencari rezeki dan perintah mengingat-Nya. Hal itu menunjukkan bahwa bekerja dan berusaha itu merupakan kewajiban atau tanggung jawab setiap orang. Dan pekerjaan atau usaha itu haruslah disertai dengan dzikrullah (mengingat Allah). Maksudnya, pekerjaan yang dilakukan itu haruslah benar-benar berangkat dari Allah dan juga bertujuan untuk meraih ridha-Nya, sehingga tidak ada penyelewengan selama melakukan pekerjaan tersebut.[15]
Firman Allah SWT, “Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: "Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan", dan Allah Sebaik-baik pemberi rezki.”
Ayat di atas berbicara tentang sikap sementara sahabat Nabi SAW ketika hadirnya kafilah dari Syam yang dibawa ileh Dihyat Ibn Khalifah al-Kalbi. Ketika itu, harga-harga di Madinah melonjak, sedang kafilah tersebut membawa bahan makanan yang sangat dibutuhkan. Tabuh tanda kedatangan kafilah di pasar pun ditabuh sehingga terdengar oleh jama’ah Jum’at. Ketika itulah sebagian jamaah masjid berpencar dan berlarian menuju pasar untuk membeli karena takut kehabisan. Maka, terhadap mereka, ayat tersebut turun. Ada riwayat yang mengatakan bahwa hal tersebut terjadi tiga kali dan selalu pada hari Jum’at. Riwayat berbeda-beda tentang jumlah jamaah yang bertahan bersama Rasulullah SAW. Ada yang menyatakan empat puluh orang, ada lagi empat, atau tiga atau dua belas orang, bahkan ada riwayat yang menyatakan hanya delapan orang. Perbedaan riwayat inilah yang menjadi sebab perbedaan ulama tentang jumlah minimal yang harus hadir guna sahnya upacara shalat Jum’at. Demikian al-Qurthubi yang dikutip oleh Quraish Shihab.[16]

IV.             KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan sbb:
1.      Apabila diseru (yakni dikumandangkan adzan) untuk shalat pada hari jum’at, maka bersegeralah menuju dzikrullah dan tinggalkan jual beli, karena hal yang demikian bagimu jika kamu mengetahuinya. Hal ini menunjukkan kewajiban shalat Jum’at.
2.      Lalu apabila shalat telah ditunaikan, maka manusia diperintah untuk bertebaran di muka bumi untuk mencari karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. Perintah bertebaran di muka bumi dan mencari karunia Allah itu bukanlah perintah wajib.

V.                DAFTAR PUSTAKA
Al-Maragi, Ahmad Mustafa, Tafsir Al-Maragi, diterjemahkan oleh Bahrun Abubakar,               Lc., Drs. Hery Noer Aly, dan K. Anshori Umar Sitanggal dari “Tafsir Al-                                    Maragi”, Juz XXVIII, Semarang: PT. Karya Toha Putra, Cet, II, 1993.

Al-Qurthubi, Syaikh Imam, Tafsir Al-Qurthubi, diterjemahkan oleh Dudi Rosyadi,                                dkk., dari “Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an”, Jilid 18, Jakarta: Pustaka                               Azzam, Cet, I, 2009.
M. Yusuf, Kadar, Tafsir Ayat Ahkam: Tafsir Tematik Ayat-Ayat Hukum, Jakarta:                                  AMZAH, Cet, I, 2011.

Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah, vol. 14, Jakarta: Lentera Hati, Cet, V, 2012.



[1] Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, diterjemahkan oleh Bahrun Abubakar, Lc., Drs. Hery Noer Aly, dan K. Anshori Umar Sitanggal dari “Tafsir Al-Maragi”, Juz XXVIII, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1993), Cet. II, h. 163.
[2] Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, diterjemahkan oleh Dudi Rosyadi, dkk., dari “Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an”, Jilid 18, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, h. 483.
[3] Ibid. h. 474-475.
[4] Ibid. h. 475-476.
[5] Ibid. h. 484.
[6] Ibid. h. 485-486.
[7] Ibid. h. 486-487.
[8] Ibid. h. 489.
[9] Ibid. h. 489-490.
[10] Ibid. h. 493.
[11] Ibid. h. 494.
[12] Ibid. h. 485-486.
[13] Ibid. h. 497.
[14] Ahmad Mustafa Al-Maragi. op. cit. h. 165. 
[15] Kadar M. Yusuf, Tafsir Ayat Ahkam: Tafsir Tematik Ayat-Ayat Hukum, (Jakarta: AMZAH, 2011), Cet. I, h. 59.
[16] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 14, (Jakarta: Lentera Hati, 2012), Cet. V. h. 62-63.

No comments: