Wednesday, May 22, 2013

RELEVANSI PANCASILA BAGI KEHIDUPAN BANGSA


Disusun Oleh :
1. Azka Lailatu Sa'adah
2. Anam Muzakka


I.                   PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Melihat kenyataan sekarang ini, belum terlihat jelas upaya mewujudkan nilai sila-sila Pancasila secara sungguh-sungguh. Tidak pernah sepenuh hati dilaksanakan secara konkret. Jangankan dilaksanakan dengan kesungguhan, keinginan membicarakannya saja cenderung ogah-ogahan. Pancasila terkesan seperti ditelantarkan.
Sebaliknya, godaan menggantikannya sebagai ideologi negara tidak pernah surut meski tidak selalu terbuka. Upaya diam-diam, pelan-pelan, dan terselubung lebih berbahaya ketimbang terbuka karena lazimnya sulit diantisipasi. Godaan menggantikannya dengan ideologi lain, ditambah ketidakseriusan mewujudkannya, membuat posisi Pancasila sebagai dasar negara benar-benar terjepit.
Lebih memprihatinkan lagi, dan sungguh tidak adil jika Pancasila sampai dijadikan kambing hitam atas segala kemacetan dalam bidang ekonomi, sosial, keamanan, dan politik selama ini. Segala kegagalan mewujudkan Indonesia yang sejahtera dan berkeadilan antara lain karena tidak ada kesungguhan mewujudkan pembangunan yang mengacu pada nilai-nilai visioner Pancasila.
Upaya perwujudan nilai-nilai Pancasila selama ini terkesan hanya setengah hati. Tidak banyak yang peduli jika Pancasila diganggu oleh ideology lain. Lemahnya dukungan juga terlihat pada wacana tentang Pancasila yang cenderung melemah. Kalaupun Pancasila dibahas, semakin dilakukan jauh di pinggiran, dalam ruang-ruang sempit dan pengap, jauh dari pesona dan sensasi panggung, yang memang dibajak oleh para petualang politik yang hidup dari oportunitas harian.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Pengertian Pancasila
2.      Permasalahan-permasalahan dalam Pancasila dan penyelesaiannya.
3.      Relevansi Pancasila di masyarakat Indonesia

II.                PEMBAHASAN

a.       [1]Pengertian Pancasila
Pancasila secara etimologi terdiri dari kata panca yang berarti lima dan kata kata sila berarti aturan, sehingga istilah pancasila berarti lima aturan. Sedangkan secara terminologi berarti lima sila atau aturan yang menjadi atau aturan yang menjadi ideologi bangsa dan negara, pedoman bermasyarakat, dan pandangan hidup atau kepribadian bangsa dan negara Indonesia. Artinya, pancasila adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia yang memberikan kekuatan kepada bangsa Indonesia, dan memberikan bimbingannya dalam kesejahteraan hidp baik lahir maupun batin.
Artian pancasila secara dalam atau radiks atau filsafati, bahwa istilah Pancasila diartikan sebagai ideologi, dasar negara, dan dasar kehidupan atau filsafat bangsa atau Negara Indonesia. Sebagai pandangan hidup, Pancasila harus mampu membeikan semangat, memberikan keyakinan, arah berfikir, dan harapan masa depan yang lebih baik.
Artian Pancasila secara reflektif, bahwa nilai-nilai Pancasila harus dapat diimplementasikan atau direalisasikan atau dihayati dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara sesuai makna sila-sila Pancasila yang dirumuskan sebagai berikut:
Sila ke I           : Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila ke II         : Kemanusiaan yang adil dan beradab
Sila ke III        : Persatuan Indonesia
Sila ke IV           : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan
Sila ke V            : Keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia

b.      [2]Permasalahan-permasalahan dalam Pancasila dan penyelesaiannya
1.      perkembangan permasalahan mengenai pancasila
Sepanjang sejarah perkembangan pemikiran mengenai pancasila yang bersifat evolutif dan kompleks. Kita catat ada lima permasalahan mengenai pancasila: (1) masalah sumber; (2) masalah tafsir; (3) masalah pelaksanaan; (4) masalah apakah pancasila itu subject to change; dan (5) problem evolusi dan kompleksitas didalam pemikiran mengenai pancasila.
Masalah sumber adalah mengenai sumber dalam arti sumber pengenal (kenbron), yaitu sumber dari mana dapat dijumpai pancasila itu. Masalah ini antara lain terungkap dari plobematik mengenai naskah pancasila yang otentik. Hal ini terjadi karena adanya banyak naskah yang memuat uraian mengenai pancasila dan banyak pendapat yang berbeda-beda mengenai sumber pancasila .
Masalah tafsir menjadi tampak jelas ketika pemikiran mengenai pancasila memasuki fase refleksi dan fase kritik. Dipertanyakan: apakah pancasila itu dan apakah yang dimaksudkan dengan masing-masing sila di dalam pancasila tersebut. mengenai hal ini pun terdapat pendapat yang heterogen.
Problem pelaksanaan timbul karena sebagai ideologi nasional, dasar negara dan sumber hukum, Pancasila memerlukan pelaksanaannya. Masalah ini menjadi semakin urgen pada waktu terdapat pemikiran  mengenai pelaksanaan pancasila secara murni dan konsekuen, dimana pembangunan nasional dipandang sebagai pengamalan dari pancasila. Sejauh manakah pancasila itu dapat dipandang sebagai dan menjadi ideologi  pembangunan.
Masalah apakah Pancasila “subject to change” juga terungkap sebagai bagian dari perkembangan pemikiran yang menjadi kritis dan refleksif mengenai Pancasila. Sifat pemikiran yang evolutif terkait dengan kemungkinan terjadinya perubahan. Di samping itu problem tersebut juga dipacu oleh terjadinya interaksi antara berbagai aliran ideology yang ikut membentuk perkembangan pemikiran mengenai Pancasila itu, yang mempunyai dampaknya didalam perkembangan masyarakat dan kebudayaan Indonesia.
Semua itu menunjukkan bahwa didalam sejarah perkembangan pemikiran mengenai Pancasila itu terjadi rangkaian dialogyang terus-menerus antara permasalahan-permasalahan di satu pihak dengan jawaban-jawabannya masing-masing di lain pihak, suatu hal yang sebenarnya merupakan hakikat setiap sejarah pemikiran.
2.      Dua jalur pemecahan permasalahan mengenai pancasila
Dari sejarah pemikiran mengenai Pancasila sebagaimana dikemukakan didepan dapat terlihat bahwa dialog antara permasalah-permasalahan mengenai pancasila dan jawaban-jawaban terhadap masalah itu, berkembang melalui dua jalur utama: (1) jalur hukum kenegaraan ;dan (2) jalur akademik.
Bonneff dan kawan-kawannya, di dalam studi mengenai Pancasila membagi pemikiran mengenai Pancasila itu kedalam dua lingkup.
Pertama: pancasila sebagai pemikiran politik ( le pancasila , projet politique )
Kedua    : Pancasila sebagai pemikiran filosofis ( le pancasila, projet philosophique )
Pembagian pemikiran mengenai Pancasila menjadi dua jalur tersebut memang tampak dari sejarah.
Pancasila sebagai bagian dari gerakan kebangkitan nasional dan gerakan kemerdekaan bangsa Indonesia,adalah pemikiran politik yang terjadi pada masa itu. Ketika Pancasila selanjutnya mendapatkan penuangannya dalam bentuk konstitusi sebagai dasar negara, Pancasila menjadi dasar pemikiran untuk politik, hukum dan kehidupan kenegaraan, yang tidak terlepas dari sejarah politik, hukum dan negar Republik Indonesia. Pancasila sebagai acuan bagi pemegan kekuasaan politik di Indonesia sejak tahun 1945.
Dialog yang memuat permasalahan-permasalahan politik mengenai pancasila dengan jawaban-jawaban terhadapnya itu dapat dilihat dengan menelusuri sejarah konstitusi dan sejarah politik kenegaraan Republik Indonesia. Akan tetapi dialog itu tidak semata-mata terkait dengan keputusan-keputusan hukum dan kenegaraan saja. Pemikiran-pemikiran mengenai Pancasila terjadi didalam masyarakat luas, secara formal dan sistematis terjadi didalam perkembangan pemikiran akademik, ditanggapi serta diolah oleh aliran-aliran pemikiran yang ada didalam masyarakat dan kebudayaan Indonesia, sehingga Pancasila dapat disebut sebagai masalah filsafat.
Konstatasi  Bonneff mengenai Pancasila sebagai pemikiran filosofis juga mempunyai dasarnya di dalam sejarah. Namun demikian mengenai hal ini perlu dikemukakan beberapa catatan, terutama karena istilah filosofis yang digunakan itu dapat menimbulkan pertanyaan apakah segala jenis pemikiran sistematik mengenai pancasila tercakup didalamnya? Di dalam pemikiran yang terjadi di luar jalur hukum kenegaraan itu, tidak hanya terdapat pemikiran filosofis, akan tetapi juga pemikiran ideologis ilmiah dan theologis. Untuk itu penggunaan istilah akademis menurut kami adalah lebih sesuain.
Pemikiran akademis meliputi pemikiran-pemikiran sistematis mengenai Pancasila, baik yang bersifat ilmiah, theologis maupun filosofis.
3.      Mekanisme pemikiran politik kenegaraan dan mekanisme pemikiran akademis
walaupun terdapat interdependensi antara perkembangan pemikiran mengenai pancasila di dalam jalur politik kenegaraan di satu pihak dan dalam jalur akademis di lain pihak, antara keduanya terdapat perbedaan.
Di dalam jalur politik kenegaraan, orang berpikir untuk kepentingan mengambil keputusan praktis. Di dalam jalur akademik orang berpikir untuk sampai kepada kesimpulan kebenaran, ketetapan dan kepastian yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Jalur akademis mempunyai sifat terbuka untuk diskusi berkepanjangan sedang jalur politik kenegaraan mempunyai sifat decisif praktis terhadap perkembangan masyarakat.
Jalur politik kenegaraan itu mempunyai mekanisme yang diatur oleh Undang-Undang Dasar. Hukum dapat dipandang antara lain sebagai metodologi kerjayang menjadi dasar berpijak pemikiran-pemikiran mengenai Pancasila di dalam jalur politik kenegaraan. Di dalam jalur politik kenegaraan , kata akhir itu perlu dicapai, untuk diambil keputusan-keputusan sebagai dasar tindakan nyata. Sebaliknya perkembangan pemikiran didalam jalur akademis mempunyai metodologi tersendiri, sesuai dengan jenis-jenis pemikiran yang dikembangkannya dalam rangka menemukan kebenaran dan kepastian-kepastian akademis. Didalam jalur akademis, pemikiran itu tidak pernah sampai kepada kata akhir, dan karena itu tidaklah dimaksudkan  untuk membuat keputusan praktis.
Maka dari itu kesimpulan-kesimpulan akademis tidak selalu menjadi ketetapan-ketetapan politik kenegaraan. Sebaliknya ketetapan-ketetapan politik kenegaraan tidak merupakan kesimpulan-kesimpulan akademis. Ketetapan politik kenegaraan dapat berkedudukan sebagai bahan untuk dimasukkan dalam pengolahan pemikiran akademis.

c.       Relevansi Pancasila di masyarakat Indonesia
1)      Sila I: Ketuhanan Yang Maha Esa
Kekerasan yang merebak dalam berbagai bentuk terjadi semakin seporadis dengan tingkat semakin massif, dari yang fisik hingga simbolis, mengindikasikan berkembang suburnya sisi kekerdilan manusia; cara berpikir dan bertindak atas nama ideologi agama, tetapi sebenarnya membenarkan doktrin sempit agama. Itu karena yang kita hadapi tidak hanya krisis identitas, tetapi juga krisis intelektual dan hati nurani yang mencerminkan krisis karakter bangsa.
Munculnya perda-perda syariah bermasalah menyangkut praksis keberagamaan, merebaknya partai-partai politik berdasarkan agama, menunjukan belum selesai tuntasnya hubungan agama dan negara, yang menyangkut dua hal pokok: pertama, hubungan negara dan agama, dan kedua, implementasi prinsip negara berketuhanan dan berkonstitusi.
Dalam pemaknaan keberagaman-pluralisme-multikulturalisme sebagai toleransi dan kerukunan hidup beragama terbentang tarik-ulur. Ketika kita menerima sejumlah agama resmi, berarti eksistensi agama-agama itu diakui sebagai kompetitor yang sah dalam menyebarkan dan menjalankan agama masing-masing. Sudah dengan sendirinya terjadi gesekan di antara agama yang satu dengan lainnya, tetapi juga dalam agama-agama itu sendiri.[3]
Refleksi dari nilai Ketuhanan dalam Pancasila itu sendiri sangat penting untuk dikembangkan, seperti sikap saling peduli, saling tenggang rasa, dan menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai kepercayaan masing-masing umat beragama yang ada di Indonesia dan yang diakui tadi, serta tidak saling mengganggu dan memaksakan suatu agama/kepercayaan kepada umat lain.[4]
2)      Sila II: Kemanusiaan yang adil dan beradab
Terlalu banyak contoh kekerasan komunal di negeri ini, terutama sejak era reformasi bergulir. Konflik-konflik sosial di berbagai pelosok Tanah Air kerap menghiasi layar kaca stasiun televisi mengisi halaman muka surat kabar, internet, dan siaran radio. Tak jarang karena persoalan sepele, seperti kasus kerusuhan di Ambon, merambat dan meluas menjadi pertikaian antar etnis yang berlarut-larut. Di tengah massa yang marah, nilai-nilai; Kemanusiaan yang adil dan beradab; hanya tinggal sebaris kata-kata.
Bagus Takwin, ahli psikologi sosial dari UI, tidak percaya sifat-sifat buruk itu melekat pada manusia-manusia Indonesia. Katanya, masyarakat Indonesia pada dasarnya bukan masyarakat pemarah. Kalaupun muncul kekerasan, hal itu lebih disebabkan oleh akumulasi kekesalan dan reaksi terpendam yang berkepanjangan.
Kalau segi sifat baik itu mulai tenggelam dalam keseharian hidup bermasyarakat, pasti ada sesuatu yang keliru pada pengelolaan bangsa ini. Euforia reformasi yang lebih menonjolkan sisi negatif perilaku anak-anak bangsa, antara lain ditandai munculnya konflik sosial di sejumlah tempat dalam berbagai tingkatan, seolah meniadakan semangat mulia yang terkandung dalam sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Semangat yang diusung para pendiri bangsa ketika merumuskan sila kedua ini tentulah berangkat pada kenyataan sejarah. Bangunan rumah bersama baik secara politik maupun kultural bernama Indonesia itu dengan Pancasila sebagai lapiknya, dijelmakan sebagai sesuatu yang diidamkan untuk kepentingan bersama.[5]
Kemanusiaan adalah bentuk lain dari semangat menghargai satu sama lain, sosok yang toleran, yang dalam perilaku sehari-hari didasarkan pada kepentingan bersama sebagai sesama anak bangsa. Refleksi nilai kemanusiaan ini adalah menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (humanisme), dan mengembangkan kepedulian, serta mengembangkan semangat gotong-royong demi kehidupan bersama.[6]
3)      Sila III: Persatuan Indonesia
Persatuan, itulah gagasan yang terus hidup menyertai perjalanan bangsa Indonesia hingga sekarang. Ada titik-titik dalam perjalanan itu di mana kita merasa telah mencapainya, tetapi tidak sedikit pula titik di mana kita merasa kehilangan. Meski telah dirumuskan, dan coba diimplementasikan, pada dasarnya persatuan masih harus dilihat sebagai hal yang rapuh.
Pengalaman melalui era pasca-Reformasi, yang justru diwarnai konflik antar etnik,dan merebaknya perilaku agresif oleh ormas dan lainnya yang tampak sulit menenggang perbadaan dan keragaman, meyakinkan kita bahwa persatuan Indonesia bukan hal yang bersifat “sekali jadi, lalu abadi.”
Dihadapkan pada pelbagai tantangan tradisional (yang terkait dengan sulitnya bersatu karena amat beragam) dan tantangan modern (yang dipicu oleh globalisasi yang memengaruhi gaya hidup dan pemikiran), pemimpin bangsa mau tak mau dituntut lebih rajin memberi teladan nyata dalam pembangunan kebangsaan. Salah satu yang urgen adalah pembangunan kapasitas bangsa di bidang penyelesaian konflik, yang-di tengah makin kisruhnya berbagai urusan kebangsaan- tampak tak tertangani.[7]
Baragam atau homogen, setiap bangsa membutuhkan persatuan agar bangsa ini tetap eksis dan berjaya. Dan refleksinya untuk “Persatuan Indonesia” adalah kesanggupan dan kerelaan berkorban entah itu dari para petinggi dan juga masyarakat Indonesia secara keseluruhan untuk berkorban demi kebersatuan bangsa dan negara.[8]
4)      Sila IV; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
Seiring berjalannya waktu, bangsa Indonesia melangkah dalam membangun demokrasi. Diawali dengan demokrasi parlementer atau liberal (1950-1959), demokrasi terpimpin (1959-1966) di bawah Soekarno, menuju demokrasi Pancasila (1967-1998) di bawah control Soeharto. Ketiga model demokrasi itu tidak berakhir dengan baik. Pasca-Orde Baru, demokrasi sedang mencari bentuknya, entah menuju demokrasi liberal atau model lain.
Apa yang sebenarnya terjadi dalam eksperimen demokrasi Indonesia? Prof. Azyumardi Azra, Guru Besar UIN Jakarta, menyebut euphoria demokrasi tidak berjalan sejajar dengan peningkatan pemahaman soal demokrasi itu sendiri. Kebebasan kerap disalahartikan sebagai “kebebasan tanpa aturan” (lawlessness freedom) dan tanpa kepatuhan pada hukum.
Gejala kekerasan yang terjadi menunjukkan masih jauhnya pemahaman demokrasi sebagai art of compromise. Demokrasi tidak cukup bisa dikembangkan sendiri. Ia harus dikembangkan secara terencana dan membutuhkan pendidikan kewarganegaraan yang akan mencakup democracy education, civic education, dan citizenship education.
Di mana musyawarah? Pancasila sebagai dasar Negara menyinggung pula soal demokrasi dalam sila keempat: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Bagi Muhammad Hatta ada lima unsur demokrasi khas Indonesia, yakni rapat, mufakat, gotong-royong, hak mengajukan protes bersama, dan hak menyingkir dari wilayah kekuasaan raja yang tidak adil.
Diskursus soal kerakyatan dan musyawarah-mufakat perlu dimunculkan. Pendidikan demokrasi menjadi keniscayaan di tengah pergerakan demokrasi yang tak terkontrol. Esensi musyawarah-mufakat yang terkandung dalam Pancasila perlu dibumikan.[9]
5)      Sila V: Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Tidak ada persatuan, kedamaian, dan kemakmuran yang merata tanpa keadilan. Ketidakadilan membuat frustasi, lalu memicu manusia berkonflik dan berperilaku anarki.
Di jalan raya misalnya, ketidakadilan masih sangat terasa. Tidak ada ruang bagi pejalan kaki, jalur khusus motor dan sepeda. Kalau di jalan raya saja masih belum tampak, bagaimana keadilan bisa tumbuh subur di wilayah dan aspek kehidupan yang tidak terlihat, padahal nyata terasa jauh dalam hati nurani rakyat.
Keadilan dalam konteks aturan, kebijakan, tindakan, dan perlakuan pemimpin terhadap rakyatnya dapat membuat masyarakat leluasa bermusyawarah dan bermufakat mencari solusi persoalannya. Keadilan akan membuat bangsa lebih mudah menyatukan kekuatan membangun kemakmurannya yang bermartabat.[10]
Refleksinya, manusia Indonesia diharapkan mengembangkan sikap adil, dimulai dari diri sendiri, kemudian mendarah daging dan berkembang menuju kepada keadilan yang lebih meluas lagi.[11] 
           
III.             PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Tak mudah mencintai Indonesia sekarang ini jika cita-cita berdirinya Republik Indonesia yang menjadi ukuran kecintaan kita kepadanya seperti yang ditulis dengan susah payah oleh para pendiri RI dalam Pembukaan UUD ’45, yaitu “mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.”
Jadi, apakah kemerdekaan itu? Perjuangan untuk membebaskan manusia dari penindasan, dominasi, dan penghinaan oleh manusia lainnya. Mendudukkan pemenuhan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya setiap warga Negara.
Membandingkan cita-cita kemerdekaan dengan realitas sosial kita selama ini adalah upaya membangkitkan kesadaran kritis. Jadi, bagaimana cara mencintai Indonesia? Kata Sutan Sjahrir dalam Renungan Indonesia, “Aku cinta pada negeri ini, terutama barangkali karena aku selalu mengenal mereka sebagai pihak yang menderita, pihak yang kalah.” Karena itu, optimislah dan jangan pernah letih mencintai Indonesia.

B.     PENUTUP
Demikian makalah ini kami susun, penulis menyadari dalam makalah ini masih banyak kesan kekurangan dan jauh dari kesan sempurna. Oleh karena itu  kritik dan saran yang kontruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah kami selanjutnya. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi siapa saja yang membaca dan membahasnya.

IV.             DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Drs. Asmoro, M.Hum., Paradigma Baru Filsafat Pancasila dan Kewarganegaraan, Penerbit Rasail, Semarang  2008
Penerbit Buku Kompas, Rindu Pancasila, Kompas Media Nusantara, Jakarta 2010
A.M.W. Pranarka, Sejarah Pemikiran tentang Pancasila, CSIS, Jakarta 1985



[1]  Drs. Asmoro Achmadi, M.Hum, Paradigma Filsafat Pancasila dan Kewarganegaraan, Jakarta, Penerbit Rasail, cet. th 2008, hal. 10-14
[2]  Pranarka, A.M.W, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila, CSIS, Jakarta 1985, hal.
[3]  Penerbit Buku Kompas, Rindu Pancasila, Kompas Media Nusantara, Jakarta 2010, hal.3-8
[4]  Drs. Asmoro Achmadi, M.Hum, Paradigma Filsafat Pancasila dan Kewarganegaraan, Jakarta, Penerbit Rasail, cet. th 2008, hal. 11
[5]  Penerbit Buku Kompas, Rindu Pancasila, Kompas Media Nusantara, Jakarta 2010, hal. 39-44
[6]  Drs. Asmoro Achmadi, M.Hum, Paradigma Filsafat Pancasila dan Kewarganegaraan, Jakarta, Penerbit Rasail, cet. th 2008, hal. 12
[7]  Penerbit Buku Kompas, Rindu Pancasila, Kompas Media Nusantara, Jakarta 2010, hal. 79-83
[8]  Drs. Asmoro Achmadi, M.Hum, Paradigma Filsafat Pancasila dan Kewarganegaraan, Jakarta, Penerbit Rasail, cet. th 2008, hal. 12
[9]  Penerbit Buku Kompas, Rindu Pancasila, Kompas Media Nusantara, Jakarta 2010, hal. 117-121
[10]  Ibid, hal. 157-160
[11]  Drs. Asmoro Achmadi, M.Hum, Paradigma Filsafat Pancasila dan Kewarganegaraan, Jakarta, Penerbit Rasail, cet. th 2008, hal. 13

2 comments:

Diah Paramitha said...

Terima kasih bapak atas makalahnya dapat menambah pengetahuan saya tentang pemaknaan Pancasila.

Unknown said...

Trimakasi atas makalanya.