Monday, May 20, 2013

Interelasi Nilai Budaya Jawa Dan Islam Dalam Aspek Ritual


Disusun Oleh : 
1. Ahliyatul Yumna
2. Umi Latifa Anwar
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Agama adalah sesuatu pedoman bagi kehidupan manusia untuk mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat. Adapun kebudayaan adalah suatu produk aktifitas  atau hasil kreasi manusia untuk menciptakan kerukunan, kebahagiaan, dan kesejahteraan yang dianggap pantas dan baik oleh masyarakat tersebut. Corak kebudayaan dipengaruhi oleh agama dan sebaliknya pemahaman agama dipengaruhi oleh tingkat kebudayaan (dalam hal ini kecerdasan).
 Islam hanyalah satu, namun kebudayaan Islam tidaklah satu. Begitu banyak dan bervariasi sesuai dengan kondisi ruang dan waktu juga masa para pencipta dan pengembang kebudayaan tersebut.
Dalam kehidupan keberagamaan, kecenderungan untuk memodifikasi Islam dengan kebudayaan Jawa telah melahirkan berbagai macam produk baru terutama pada hasil interelasi nilai budaya Jawa dan Islam terhapad aspek ritual.

B.     Rumusan Masalah
1.      Pengertian Interelasi Nilai Budaya Jawa dan Islam
2.      Interelasi Nilai Budaya Jawa dan Islam dalam Aspek Ritual
3.      Contoh-contoh Interelasi Nilai Budaya Jawa dan Islam


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Interelasi Nilai Budaya Jawa dan Islam
Dalam KBBI, Interelasi adalah hubungan satu sama lain. Jadi, Interelasi yang dimaksud di sini berarti hubungan antara nilai-nilai ajaran atau kebudayaan Jawa dengan budaya Islam. 
Agama di dalam memainkan perannya terhadap masyarakat mempunyai dimensi-dimensi keyakinan, praktek, pengalaman, pengetahuan dan konsekuensi-konsekuensi praktek keagamaan, mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agamanya.
B.     Interelasi antara Nilai Budaya Jawa dan Islam dalam Aspek Ritual
Peoses Akulturasi budaya Jawa dan Islam
Proses akulturasi budaya Islam dan Jawa tentunya tidak lepas dari proses penyebarannya. Islam masuk di jawa secara damai tanpa paksaan. Para muballigh dalam mengislamkan tanah Jawa agar nilai-nilai Islam diserap menjadi bagian dari budaya Jawa menggunakan dua pendekatan, yaitu:
1.      Islamisasi budaya Jawa          Mengislamkan budaya Jawa, yaitu budaya jawa ditampakkan agar bercorak Islam. Dalam arti, Islam mempengaruhi nilai-nilai budaya Jawa. Misalnya, dalam selametan kematian, kepercayaan-kepercayaan dari agama Hindu-Budha maupun animisme-dinamisme yang dulunya menggunakn sesajen untuk pemujaan, dalam perkembangan berikutnya para walisongo memasukkan nila-nilai islam yang mana melalui mengubah mantera-mantera yang ada dalam selametan tersebut dengan berbagai doa seperti, tahlil, tahmid, tasbih. Ini juga berlaku untuk selametan yang lain.                                  
2.      Jawanisasi Islam  Menjawakan budaya Islam yaitu upaya penginternalisasian nilai-nilai islam melalui cara penyusupan ke dalam buadaya Jawa. Berarti Islam dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya Jawa. Misalnya, penggunaan kata sekaten yang pada awalnya syahadatain, pada nama-nama orang banyak dipakai nama Durahmah, Durrazak yang aslinya Abdurrahman, Abdul Razak, karena mereka kesusahan dalam mengucapkan jika menggunakan bahasa arab.
Dalam ajaran agama Islam pada umumnya, kegiatan-kegiatan ritualistik adalah sesuatu yang harus dikerjakan bagi para pemeluknya. Kegiatan ritualistik ini meliputi berbagai bentuk ibadah, sebagaimana yang tersimpul dalam rukun Islam. Inti dari aktivitas tersebut adalah doa yang ditujukan kepada Allah SWT untuk mencapai ridlo-Nya.
Mayoritas bagi orang Jawa beranggapan bahwa dalam hidup ini penuh dengan upacara-upacara. Upacara-upacara itu pada awalnya dilakukan untuk menghindari pengaruh buruk dari kekuatan ghaib yang nantinya akan mengganggu kelangsungan hidup seseorang. Dalam kepercayaan lama, upacara tersebut dilakukan dengan menggunakan sesaji untuk disajikan kepada daya kekuatan ghaib seperti roh-roh, makhluk-makhluk halus dan dewa-dewa. Akan tetapai, seiring berjalannya waktu Islam datang dengan luwes memberikan corak baru pada upacara-upara itu dengan nama selmatan atau kenduren. Prosesi penyelenggaraan ritual disebut selamatan, berasal dari bahasa Arab salama yang mengalami desimilasi menjadi selamatan.
Di dalam selamatan tersebut pokok dari kegiatannya adalah doa (dongo) yang biasanya dipimpin oleh orang yang mempunyai pengetahuan lebih tentang Islam, seperti modin atau kiai desa. Orang yang menyelenggarakan atau shohibul hajat selamatan tersebut menyiapkan beberapa makanan inti berupa nasi tumpeng, ingkung ayam yang ditambah umbarape yang lain untuk dihidangkan bagi para peserta selamatan, dan juga ketika pulang juga akan mendapat makanan yang dibungkus atau dalam istilah orang Jawa berkat. Jumlah yang hadir dalam selamatan disesuaikan dengan tingkat pentingnya selamatan tersebut.
Tujuan dari ritual bagi masyarakat Jawa tidak lain hanyalah untuk mencari barakah, yang biasanya orang jawa menggunakan ngalap berkah (berharap memperoleh rahmat, keselamatan, dan  kebahagiaan  dari ritual tersebut). Upacara atau ritual dalam pelaksanaannya mengandung adanya suatu yang  bersifat sakral, suci, dan mistik.  
  Skaral di sini berarti mengarah pada suatu keyakinan dalam berfikir yang didasari mitologi, artinya bahwa kesakralan itu “dimitoskan”[1]. Sebagian orang Jawa yang beragama Islam menganggap makam sebagai suatu yang disakralkan jika makam tersebut adalah makam wali,  atau penyebar Islam yang diyakini memiliki kelebihan-kelebihan supranatural. Misalnya, sunan bonang yang dapat mengubah buah kelapa menjadi koin emas, Maulana Ishaq dapat menyembuhkan putri Blambangan dengan kekuatan ghaib, Sultan Agung dapat berjamaah di Makkah.
Suci, dalam hal ini dari awal sampai akhir diadakannya ritual mengandung kesucian. Artinya, dari orang, barang, dan tempat yang akan menjadi prosesi ritual harus dalam keadaan suci. Misalnya saja, dalam penyucian beras harus ke sumur wali, atau masjid daerah tersebut. Orang yang mencucinya harus dalam keadaan suci (baik dari hadats besar maupun kecil) bahkan harus lepas dari haidl, begitu juga orang yang memasak.
 Mistik, ini terjadi pada manusia atau benda yang memiliki kekuatan yang diyakini sebagai kekuatan yang lebih dibanding dengan manusia atau benda lainnya.[2] Misalnya, terdapat sosok manusia yang memiliki kelebihan di bidang tertentu yang bersifat supranatural (wali). Para wali itu memiliki mistifikasi yang berbeda-beda, sebut saja sunan Bonang yang memiliki misteri lebih besar di banding dengan Ibrahim Asmaraqandi, padahal beliau adalah kakeknya. Mistifikasi juga perlu suatu ruang untuk bertahan, seperti halnya mimbar dan ruang imaman masjid syaikh Ibrahim akan tetap terus dilestarikan meskipun masjid tersebut sudah mengalami beberapa kali renovasi. Semua ini bertumpu dengan alasan agar tetap mendapat keberkahan  dari pembuat masjid pendahulu.
Pandangan tentang mitologi dan mistifikasi di atas terhadap makam, sumur, dan masjid pada hakikatnya merupakan keberadaan alam sebagai subjek. Karena aura dari keunikan, misteri, dan kekuatan alam tersebut menjadikan fenomena yang bukan profan (duniawi).
Namun, ritual-ritual semacam ini jarang menjadi suatu ritual yang sakral. Akan tetapi, llebih kepada suatu tontonan yang sangant unik dan menarik.
Pada dasarnya, Islam adalah agama damai yang tidak mengenal kasta sebagaimana Hindu-Budha. Akan tetapi, pada realitanya terdapat beberapa golongan yaitu abangan, santri dan priyayi. Walaupun sebagian besar orang Jawa memeluk agama Islam, tetapi masih terdapat beberapa ragam dalam pengalaman ajaran Islam.

C.    Contoh-contoh Interelasi antara Nilai Budaya Jawa  dan Islam
1.      Ritus Lingkaran hidup
Dalam ritus lingkaran hidup, ada berbagai ritual, diantaranya:
a.      Selametan Kelahiran
Tingkeban / Mitoni
Tingkeban adalah selametan waktu kehamilan berusia tujuh bulan. Selametan ini diselenggarakan di rumah ibu si calon ibu. Pokok dari selametan  ini adalah membaca surat al-Fatihah tiga kali, surat al-ikhlas, surat al-‘alaq, dan surat an-nas masing-masing satu kali. Selain itu, juga membaca Al-Qur’an surat Maryam dan surat Yusuf. Pembacaan surat maryam dimaksudkan jika nanti anak yang dilahirkan perempuan memiliki kesucian seperti kesucian Maryam. Sedangkan surat Yusuf dimaksudkan jika anaknya laki-laki maka akan menjadi manusia seperti Nabi Yusuf. Ada juga berjanjenan dengan harapan bahwa bayi  yang akan dilahirkan kelak mempunyai akhlak seperti akhlakul karimah Nabi Muhammad.
        Jika hamil pertama, selametan tersebut dilakukan dengan rujakan (yang dicampuri sabut kelapa muda, gula merah, dan jeruk), nasi uduk yang di atasnya ada umbarapenya, kembang tujuh macam atau yang lazim disebut dengan kembang setaman (kembang melati, gading, kenanga, kantil, empon-empon, mawar, dan matahari), dan bubur merah putin. Semuanya itu di taruh dalam takir  ( berbentuk seperti perahu) terbuat dari daun pisang, masing-masing dua takir.
Bagi orang kaya di daerah Tuban, selametan menjadi persoalan yang kompleks selametan tingkeban in dimulai dari sore hari sekitar jam 4. Upacara dimulai dengan  sungkeman. Kemudian si calon ibu ganti pakain dari kain kebaya yang dililitkan sampai sebatas dada bagian atas, selanjutnya dimandikan oleh orang tua, mertua, dan terakhir suami dengan kembang tujuh rupa. Acara dilanjutkan dengan memasukkan kelapa muda (cengkir) kedalam pakaian isteri oleh suami untuk dijatuhkan. Jika cengkir itu pecah menandakan bayinya perempuan dan jika tidak pecah menandakan bayi berkelamin laki-laki. Acara belum selesai. Setelah ganti pakaian kering. Setelah itu, dilanjutkan dengan dodolan dawet duwit kereweng stelah si calon ibu ganti pakaian kering  berjualan dawet dengan menggunakan uang pecahan genting. Dawet melambangkan rezeki yang melimpah seperti dawet, dan uang pecahan genting melambangkan jenis koin emas yang berwarna menyala. Baru malam harinya dilakukan selametan sebagaimana umumnya.
Rangkaian prosesi selametan ini yang pertama adalah seluruh bahan selametan biasanya ditempatkan di antara tengah-tengah peserta yang hadir dengan membentuk suah lingkaran dan duduk sila, kemudian modin atau kiai desa membuka acara dengan mengantarkan maksud dan tujuan selametan tersebut sesuai dengan shohibul hajat, yang nantinya semua acara dipimpin oleh modin tersebut. Dilanjutkan dengan membaca berbagai do’a sebagaimana telah disebutkan diatas. Sebagai pertanda akan pulang, dibagikannya berkat kepada para undangan yang telah dimasukkan ke dalam tas kresek. Selang beberapa waktu, modin mengucapkan bacaan: Allahumma Shalli ‘ala Syayyidina Muhammad (semoga Allah memberikan keselamatan pada baginda Muhammad) sembari dengan bersalam-salaman.
                 Brokohan/ Babaran
Brokohan atau babaran adalah  upacara syukuran kelahiran bayi, untuk menandai bahwa bayi dilahirkan dengan selamat. Selanjutnya, setelah bayi dimandikan, kemudian diadzankan oleh sang bapak, karena  dan segera dukun mengambil tali pusar dan tembuni bayi dibungkus dengan kain putih kemudian dimasukkan ke dalam kendi dengan digarami kemudian dikubur di luar rumah. Yang terakhir, dukun itu meletakkan bayi di atas meja yang rendah dan menggebrak meja tiga kali untuk mengejutkan si bayi, agar kelak ia tidak mudah kaget atau jatuh sakit. Pada saati itu juga dukun memperkenalkan kepada si bayi ke dalam kehidupan manusia :
Dengan nama Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha penyayang. Saya bermaksud mengejutkan bayi ini yang dilahirkan dari rahim ibunya. Dan kewajiban agama yang  sudah ditetapkan (yakni Islam). Tiada Tuhan melainkan Allah. Dan Muhammad adalah utusan Allah. Allah Allah Allah.”
Pada malam harinya, baru diadakan  selametan dengan mengundang tetangga sekitar dan saudara-saudaranya.
                 Pasaran
Lima atau tujuh hari setelah kelahiran bayi, dilakukan selametan  pemberian nama dan pemotongan rambut. Dalam tradisi Islam, ritual ini disebut dengan korban akikah, ditandai dengan penyembelihan berupa kambir dua ekor jika bayinya laki-laki, dan satu ekor kambing jika bayinya perempuan. Untuk selametan ini biasanya diikuti dengan prosesi bacaan sebagaimana waktu ketika selametan tingkeban.
Ketika sampai pada acara berjanjen, ditengah acar ini terdapat mahalul qiyam di mana seluruh peserta berdiri. Pada saat inilah sang bapak membawa si bayi untuk dihadapkan ke seluruh peserta untuk mengoleskan air kelapa ke kepala bayi, ibunya hanya boleh melihat dari dalam rumah. Air kelapa di-nisbah-kan dengan air zam-zam, air  kalapa dianggap sebahai air suci. Seluruh bahan selametan seperti bubur merah dan nasi tumpeng dibagikan kepada para peserta sebagi tambahan nasi berkat. Setelah terbagi semua mereka boleh pulang ke rumah masing-masing.
Selapanan
Pada saat genap 36 hari, diadakanlah selametan selapanan dengan bubur dan tumpeng. Bubur  yang dibuat biasanya berwarna merah dan putih untuk melambangkan warna dalar yang mengalir pada tubuh si bayi dan tumpeng melambangkan tingginya keinginan yang hendak dicapai. Ketika anak sudah mencapai  usia tujuh atau delapan bulan, dilakukan bancaan bubur dan sego adem. Ini menandai tumbuhnya gigi anak tersebut. juga didapati upacara tedak sitik atau medun lemah ketika anak berusia tujuh bulan.
b.   Selametan Khitan
  Khitanan disebut juga sunatan adalah ritual yang menandakan  anak lelaki telah berani menantang kehidupan. Ritual khitan ini sebagai bentuk perwujudan secara nyata tentang pelaksanaan hukum Islam. Untuk pelaksanaannya, bisa anak ketika berusia 4 sampai 15 tahun, tergantung dari tradisi masyarakatnya.                                        Bagi masyarakat tertentu, biasanya khitanan diselenggarakan sehari setelah perayaan. Pada acara ini biasanya dibersamakan dengan kegiyatan duwe gawe yang  terkadang dilaksanakan secara besar-besaran yang berekonomi tinggi. Bahkan juga diadakan arak-arakan jaran jenggo atau nanggap barongan. Kuda  dihias dan anak yang akan disunat dinaikan kuda itu, kemudian diarak keliling desa  bahkan sering kali menyewa jalan utama  lintas kabupaten untuk kegiatan tersebut. Para tamu undangan lazimnya membawa sumbangan dalam bentuk uang bagi laki-laki,  bahan-bahan mentah atau matang dan juga uang bagi tamu undangan perempuan. Dilanjutkan pada malam harinya terdapat pertunjukan seperti, wayang kulit, dangdutan, pengajian dan khotmil Qur’an. Akan tetapi, semua itu dikembalikan selera dari shohibul hajat.
Setelah rentetan acara di atas, ditutup dengan doa bersama. Acara doa bersama tersebut seperti halnya selametan pada umumnya yang dipimpin oleh modin atau kiai desa. Kemudian berbagai sesajen diletakkan di sekitar pojok rumah untuk makhluk-makhluk halus.
Pagi harinya, dukun atau dokter diminta datang oleh orangtua si anak tersebut untuk men-khitan anaknya, terkadang dari pihak keluaraga yang mengantarkan anaknya yang akan dikhitan ke rumah dukun atu dokter.
c.    Selametan Perkawinan
        Upacara perkawinan dilaksanakan ketika pasangan muda-mudi akan memasuki kehidupan rumah tangga. Upacara ini ditandai secara khas dengan pelaksanaan syari’at Islam yakni aqad nikah (ijab qobul) yang dilakkan oleh pihak wali mempelai wanita dengan pihak mempelai pria dan disaksikan oleh dua orang saksi. Tahap yang pertama dalam ritual ini adalah ketuk pintu atau dalam istilah jawa nekokke, nyumuk, atau ndhodhok lawang. Pada tahap ini, orangtua dari pihak laki-laki datang bersilaturrahmi sekaligus menanyakan apakah anak perempuannya sudah ada yang melamar atau belum kepada orangtua dari pihak perempuan dengan membawa parsel atau panganan. Jika memang belum, maka dari pihak laki-laki akan melakukan lamaran resmi.
Tahapan selanjutnya yakni lamaran resmi, dalam lamaran itu keluarga pihak pria mengunjungi keluarga pihak perempuan untuk saling tukar basa-basi formalitas kosong yang sudah menjadi keahlian orang Jawa dulu. Ayah dari pihak laki-laki mungkin akan membuka pebincangan dengan uapan seperti “ embun di pagi hari berarti hujan di malam hari”, yang maksudnya bahwa soal yang nantinya akan diperbincangkan adalah masalah yang “ dingin”. Atau langsung kepada pokok persoalan dengan mengatakn bahwa ayah tadi ingin menjadi besan tuan rumah, dengan mengawinkan anak laki-lakinya dengan anak perempuan tuan rumah.
Setelah itu diadakan sebuah pertemuan yang direncanakan di rumah gadis  itu,  di mana calon dari mempelai laki-laki dan perempuan beserta para calon mertua. Pertemuan ini disebut dengan nontoni, ini ditandai dengan kepura-puraan yang sama dari keduanya. Mula-mula si gadis diminta oleh ibunya untuk menghidangkan teh kepada sang jejaka tanpa berbicara sama sekali, dan jejaka memandang untuk memperoleh suatu kesan tentang si gadis tersebut, ia akan mengataknnya ketika perjalanan pulang dan pernikahan pun diatur.
Lain halnya prosesi lamaran di Jawa Timur yang menurut adat tradisi bahwa yang melamar adalah keluarga dari pihak perempuan kepada keluarga pihak laki-laki. Karena jika yang melamar laki-laki dianggap kurang jantan atau cemen. Dengan demikian, dengan adanya perbedaan tradisi tersebut jika dari jawa timur yang kebetulan mendapatkan jodoh dari Jawa tengah sebaiknya diharapkan ada musyawarah bagiamana baiknya dari kedua belah pihak yang bersangkutan untuk mencapai prosesi yang harmonis.
Tardisi masyarakat jawa pada umumnya, anak laki-laki harus memberikan dua macam  hadiah perkawinan kepada pihak perempuan. Paningset - yang biasanya berupa pakaian dan perhiasan, sasrahan - biasanya berupa satu sampai dua ekor kebau atau sapi dan perabotan rumah tangga. Akan tetapi, zaman sekarang tradisi seperti sudah jarang dilakukan oleh daerah tertentu walaupun ada juga daerah lainnya masih menggunakannya.
Pada tahap ketiga dilaksanakan selametan perkawinan yang dilakukan pada malam hari menjelang  upacara yang sebenarnya. Selametan ini biasa disebut dengan midodareni. Acara selametan tersebut sama seperti selametan yang lain. Dalam acar ini pengantin perempuan menggunakan pakaian yang sederhana. Di sini si gadis akan duduk tanpa bergerak samasekali selama beberapa jam hingga tengah malam, sehingga pada saat itu di mana seorang bidadari akan turun dan memasukinya. Itulah sebabnya semua pengantin pada hari pernikahannya terlihat jauh lebih cantik dibandingkan hari-hari biasanya.
Keesokan harinya pengantin laki-laki, wali dari pengantin perempuan, dan modin datang ke KUA. Sang wali secara resmi meminta na’ib untuk menikahkan anak perempuannya dengan pengantin laki-laki. Substansi upacara ini  adalah akad nikah yang bisa diselenggarakan di rumah mempelai wanita atau KUA. Upacara ini dipimpin oleh Na’ib yang menjadi wakil dari bapak mempelai wanita untuk membimbing prosesi pernikahan sehingga perkawinan dua insan lain jenis tersebut abash.
Tiba di rumah mempelai perempuan, pesta yang sebenarnya sedang akan dimulai. Ditandai dengan adanya janur kuning yang dilengkungkan  membentuk busur setengah lingkaran dipasang pada pintu masuk pelataran. Sebuah sesajen khusus juga tidak lupa ditaruh di tempat-tempat tertentu dengan harapan prosesi pernikahan  yang sedang diselenggarakan berjalan dengan lancar tanpa ada gangguan. Menurut tradisi, keduanya berdandan layaknya seorang permaisuri dan pangeran. Pada saat yang telah dipilih, pengantin perempuan muncul dari rumah diikuti dengan dua anak perempuan sedangkan pengantin laki-laki masuk dari luar diiringi pula oleh dua anak laki-laki. Kedua mempelai masing-masing menggenggam gulungan kecil daun sirih dan begitu jarak di antara semakin dekat, mereka saling melempar daun sirih tersebut.
Setelah perbuatan itu dilakukan, pengantin laki-laki memecahkan telur (putihnya melambangkan hilangnya kesucian dan kuningnya melambangkan pecahnya selaput dara) serambi pengantin perempuan berlutut membasuh kaki pria itu dengan air bunga. Tindakan yang terakhir ini, yang menggambarkan pengabdiannya kepada suami. Namun, di daerah tertentu terkadang tidak diadakannya perbuatan tadi karena dianggap tidak sesuai dengan ide mutaakhir mengenai kedudukan yang setingkat antara pria dan wanita. Kemudian kedua mempelai masuk ke rumah, lalu duduk di tempat yang sudah ditentukan (dekorasi).
Dengan demikian, para tamu undangan selain memberikan sumbangan, juga bisa melihat kedua mempelai tersebut.
d.   Selametan Kematian
          Upacara yang bernada sedih adalah upacara kematian. Ada serangkaian selametan di sini, yaitu: tujuh hari (mitung dino), empat puluh hari (petangpuluhe), seratus hari (nyatus), setahun (pendak), dan seribu hari (nyewu dino). Setelah prosesi memandikan, mengkafani, mengkafani, dan menguburkan, setiap malam hari selam tujuh hari diadakan selametan mitung dino, yaitu kirim doa dengan didahului bacaan tasybih, tahmid, takbir, tahlil, dan shalawat Nabi yang semua rentatan bacaan tersebut dinamai dengan tahlilan. Rangkaian bacaan tersebut berlaku sama halnya ketika 40 harinya, seratus harinya, setahun dan seribu harinya.
          Jika terjadi kematian di suatu keluarga, maka hal yang pertama dilakukan adalah memanggil modin, selanjutnya menyampaikan berita kematian di daerah sekitar. Pemakaman orang Jawa dilaksanakan secepat mungkin sesudah kematian. Walaupun keluarganya terkadang menundanya mungkin hanya beberapa jam seandainya ada anggota keluarga yang harus diitunggu dari tempat yang jauh, namun mereka tidak akan menundanya terlalu lama. Alasannya, bahwa roh orang yang meninggal itu berkeliaran tak menentu (seringkali dibayangkan sebagai seekor burung) sampai jasadnya dikuburkan, dan ini berbahaya bagi setiap orang, khususnya bagi keluarga yang ditinggalkan.[3]
          Para tetangga segera meninggalkan pekerjannya untuk me-layat ke rumah keluarga yang tertimpa kematian setelah mendengar berita kematian itu. Menurut tradisi, setiap perempuan membawa beras dan segera ditanak untuk selametan. Sedangkan orang laki-laki membawa alat-alat pembuat alat nisan, usungan untuk membawa mayat ke makam (krenda), dan potongan papan untuk diletakkan di liang lahad.
          Ritul kematian  ini biasanya identik adanya penggolongan sosial, di mana jika orang yang meninggal dikenal sebagai tokoh agama di desa tertentu atau derajat sosialny tinggi, tak berlebihan jika yang menghadiri upacara kematiannya adalah seluruh tokoh desa itu atau dari lura desa, bahkan Bupati dan jajarannya juga hadir. Akan tetapi, jika yang meninggal rakyat biasa bukan keturunan orang kaya walaupun aktif dalam beribadah, maka yang datang di acara kematiannya juga tidak banyak. Pihak dari tokoh-tokoh desa pun tidak semuanya hadir, apalagi Bupati.
          Setelah mayat selesai dimandikan dan dikafani, kemudian mayat di bawa ke masjid atau mushalla terdekat untuk dishalatkan yang dipimpin oleh kiai desa. Dilanjtkan dengan adanya sambutan yang berisi wejangan atau petuah kepada para hadirin dari kiai desa tersebut seperti: misalnya, sebut saja namanya Pak Fakhruddin
“ apakah Pak Fakhruddin orang Islam ?”, maka serempak para hadirin menyatakan “ya”, “apakah Pak Fakhruddin orang baik ?” Jawaban hadirin semuanya menyatakan “ya”,  “apakah hadirin mau memaafkan kesalahan Pak Fakhruddin ?” Jawabannya “ya”, dan “jika Pak Fakhruddin memiliki hutang, apakah saudara mau menyelesaikannyapada ahli baitnya (keluarga yang ditinggalkan) ?” Semua menyatakan “ya”. Kemudian keranda yang berisi jenazah Pak Fkhruddin tadi diangkat oleh empat orang menuju pemakaman yang telah disediakan. Semua ini biasanya beralaku hanya untuk orang yang terkemuka di masyarakatnya. Sedangkan untuk rakyat biasa ( selain tokoh agama) sambutannya tidak panjang, hanya memohon maafkan atas segala kesalahn mayat dan mendoakan agar amalnya di terima Allah.
          Malam harinya, diadakanlah ngaji wong mati (membaca Al-Qur’an untuk orang mati) berlansung selama tujuh hari. Ngaji wong mati dilakukan kembali pada hari ke-40 dari kematiannya, demikian seterusnya, 100 hari, pendak (setahun), dan 1000 harinya.
2.      Upacara Hari Besar Islam
            Bentuk selametan lain yang tidak berkaitan dengan lingakaran hidup adalah upacara hari-hari besar yang dilaksanakan berdasarkan mengikuti kalender Islam, yakni yang bersangkutan dengan bulan-bulan Islam.
            Berikut adalah macam-macam selametan hari-hari besar Islam yang diakui orang Jawa:
a.      Suronan
            Syuro atau Muharram  merupakan bulan pertama dalam tahun Hijriyah, yang mana orang Jawa biasanya menyebutkan dengan istilah selametan tompo tahun. Yaitu selametan yang menandai pergantian tahun.
            Mengenai tata cara upacaranya yang benar menurut islam adalah:
Melakukan puasa 1 hari diakhir bulan besar atau diakhir tahun. Kemudian kira-kira ba’da sholat asar atau magribagar berdoa akhirussanah, selanjutnya pada tanggal satu syuro memberikan sedekah kepada anak-anak yatim sambil dielus-elus kepalanya. Pada saat itulah anak yatim diminta untuk mendoakan. Selain itu juga makan yang enak-enak, berbeda dengan biasanya. Hal ini dimaksudkan untuk menghormati bulan syuro. Pada tanggal 1-10, Nabi menganjurkan agar umatnya melakukan puasa. Selametan biasanya dilakukan di masjid atau di mushalla setelah shalat maghrib dengan membawa bubur suro dan juga pembacaan manaqib dilanjutkan tahlilan. Menurut kiai Irchamni, bulan asyuro memiliki makna penting, sebab:
“Tanggal 10 syuro terdapat peristiwa besar, antara lain: diterima taubatnya Nabi Adam, surutnya banjir besar Nabi Nuh, selamatnya nabi Ibrahim ketika dibakar Namrud, lepasnya Nabi Musa dari kejaran tentara Fir’aun, dan keluarnya Nabi Yunus dari perut ikan di dasar laut. Itulah sebabnya bulan syuro diperingati sebagai hari baik.”[4]
            Menurut critanya, suatu ketika di tanggal 10 syuro Nabi bekumpul dengan orang Yahudi. Ketika itu Nabi menyodorkan makanan kepadanya. Orang Yahudi itu menolak dan menyatakan dia sedang berpuasa. Dia berpuasa karena menghormati terlepasnya Nabi Musa dari kejaran bala tentara Fir’aun. Nabi kemudian menganjurkan umat Islam supaya berpuasa 2 hari, biar tidak sama dengan puasanya orang Yahudi.
b.      Shafaran
            Bulan shafar adalah bulan kedua Hijriyah. Syaikh Ad-Dairoh menyatakan, “menurut sebagian ulama ahli ma’rifat, setiap tahun ada 230.000 musibah yang diturunkan ke dunia, dan semua musibah itu diturunkan pada hari rabu terakhir bulan Shafar (rebo wekasan). Maka hari itu merupakan hari yang paling berat dibanding hari-hari yang lain selama satu tahun. Dan Al-Firdaus, Syaikh Al-Buni mengatakan, “Sesungghunya Allah SWT menurunkan musibah ke tempat di antara langit dan bumi pada hari rabu terakhir bulan shafar, kemudian malaikat yang bertugas menerimatersebut menyerahkan kepada malaikat yang bertugas di bumi yang bernama Quthubul Ghouts agar membagi seluruh alam. Maka segala sesuatu yang terjadi, kematian, kesialan, kesusahan dan sebaginya tiada lain berasal dari musibah yang dibagikan oleh Malaikat yang bernama Quthubul Ghouts.”[5]
            Maka dari itu, dianjurkan untuk melaksanakan amalan-amalan agar selamt dari bencana tersebut dengan tetap berkeyakinan bahwa hanya Allah SWT yang memberikan selamat. Amalan-amalan tersebut diantaranya:
Shalat dan berdo’a
            Menjalankan shalat sunnah 4 rakaat (dengan dua kali salam), dan setiap rakaatnya setelah membaca surat Al-Fatihah kemudian membaca surat Al-Kautsar 17 kali, surat Al-Ihlas 5 kali, surat Al-Falaq 1 kali dan surat An-Nas 1 kali, dan sesudah salam membaca do’a:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم ، وَ صَلَّى اللهُ تَعَالىَ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَ صَحْبِهِ وَسَلَّمَ، اَللهُمَّ يَا شَدِيْدَ الْقُوَى، وَ يَا شَدِيْدَ الْمِحَالِ يَ عَزِيْزُ ذَ لَّتْ لِعِزَّتِكَ جَمِيْعُ خَلْقِكَ، إِكْفِنِيْ عَنْ جَمِيْعِ خَلْقِكَ، يَا مُحْسِنُ يَا مُجَمِّلُ، يَا مُتَفَضِّلُ يَا مُنْعِمُ يَا مُكْرِمُ، يَا مَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّ اَنْتَ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ، اَللهُمَّ بِسِرِّ الْحَسَنِ وَاَخِيْهِ، وَجَدِّ هِ وَاَبِيْهِ اِكْفِنِيْ شَرّ هَذَا الْيَوْمِ وَمَا يُنْزَلُ فِيْهِ يَا كَافِيْ، فَسَيَكْفِيْكَهُمُ اللهُ وَهُوَ ااسَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ، وَحَسْبُنَ اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ اِلاَّ باِاللهِ الْعَظِيْمِ، وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِ نَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.                 
Minum air salamun
            Sesudah melakukan shalat tersebut, sebaiknya menulis ayat sebagai berikut di kertas. Setelah ditulis semua lalu dilebur dengan air yang agak banyak supaya nanti bisa diminum oleh orang-orang atau anak-anak yang tidak bisa menjalankan shalat.
سَلاَمٌ قَوْلاً مِنْ رَبٍّ الرَّحِيْمِ، سَلاَمُ عَلَى نُوْحٍ فِيْ العَا لَمِيْنَ، سَلاَمٌ عَلَى اِبْرَاهِيْمَ، سَلاَمٌ عَلَى مُوْسَى وَ هَارُوْنَ، سَلاَمٌ عَلَى اِلْيَا سِيْنَ، سَلاَمٌ عَلَيْكُمْ  طِبْتُمْ فَادْخُلُوْهَا خَا لِدِيْنَ، مِنْ كُلِّ اَمْرٍ سَلاَمٌ هِيَ مَطْلَعِ الْفَجْرِ.                                                                                
            Menurut sebagian Ulama, menganjurkan untuk membaca surat Yasin, ketika sampai pada lafazh :
 سَلاَمٌ قَوْلاً مِنْ رَبٍّ الرَّحِيْمِ                                                                           
            Maka, ayat tersebut diulangi 313 kali, dan kemudian dilanjutkan sampai selesai.
c.       Muludan atau Udukan
            Pada hari itu menurut tradisi, pada bulan itu Nabi dilahirkan dan meninggal dunia. Dari tanggal 1-11 biasanya diadakan berjanjen setelah shalat maghrib. Kemudian  pada tanggal 12 maulud, selametan ini ditandai dengan ayam utuh dan panganan (jajan),  biasanya upacara ini diselenggarakan di langgar atau dimasjid-masjid.
d.      Rejeban
            Yaitu selametan meraykan mi’raj atau perjalanan Nabi menghadap Tuhan dalam satu malam. Prosesi perayaannya sama dengan prosesi muludan. Acara ini dilaksanakan pada tanggal 27 rajab. Namun di daerah terkadang juga ada semacam pengjian untuk lebih meramaikan acara tersebut.



e.       Ruwahan atau Megenga
                                    Selametan ini dimaksudkan untuk menandai masuknya bulan puasa. Megeng artinya adalah menahan, yakni menahan hawa nafsu agar puasa yang diselenggarakan pada bulan puasa akan mencapai tujuannya.
            Ruwah, nama bulan itu berasal dari kata arab “arwah” yang artinya jiwa orang yang sudah meninggal. Sebagaimana layaknya slametan kematian, yaitu ditandai oleh panganan dari tepung beras (apem) yang merupakan lambang orang jawa untuk kematian. Sebelum acara selametan orang pergi kemakam untuk menyebarkan bunga di kuburan orang tuanya. Dan roh orang tuanya dianggap hadir dalam slametan untuk makan bau panganan. Orang juga mandi keramas untuk menyucikan diri menghadapi puasa. Dan upacara ini dilaksanakan pada tanggal 29 dibulan ruwah.
f.       Syawalan/Kupatan
            Selametan ini dilakukan tujuh hari setelah hari raya Idul Fitri. Selamatan ini ditandai dengan adanya pembuatan kupat dan lepet yang sebagian akan dibawa ke masjid, rumah kepala desa, atau tempat tertentu yang dianggap layak oleh kaum laki-laki untuk bahan selametan.
g.      Besaran
            Acara ini diselenggarakan pada tanggal 10 besar (dzul Hijjah) dengan maksud penghormatan terhadap pengorbanan Nabi Ibrahim dan hari Jemaah haji berkumpul di makkah untuk melakasanakan korban.


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Penjelasan tentang hubungan antara budaya Jawa dengan Islam terlihat baik secara tersirat maupun tersurat, yang mana telah begitu menyatu dalam tradisi masyarakat Islam yang mengaku orang Jawa tidak mau meninggalkan praktek Jawanya. Upaya akomodasi-akomodasi mulai ditemukan, sehingga akulturasi dengan adanya perbedaan budaya bisa menciptakan kedewasaan masyarakat dalam beragama.
Upaya itu telah dilakukan sejak Islam  mulai disebarkan oleh para mubaligh yang tergabung dalam Walisongo dan dilanjutkan oleh para ulama-ulama setelahnya, serta dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari oleh orang Jawa Islam. Upaya itu masih berproses hinggga dewsa ini. Sebagian dari nilai-nilai Islam itu telah  menjadi bagian dari budaya Jawa, kendatipun di sana- sini warisan nilai-nilai budaya pa-Islam masih tampak meski dalam wadah yang kelihatan Islami.


DAFTAR PUSTAKA
            Greertz, Clifford. Abangan, Santri, Priyayi dalam Maysarakat Jawa. 1989. Dunia Pustaka Jaya : Jakarta
            Amin, Darori, dkk. Islam dan Budaya Jawa. 2000. Gama Media : Yogyakarta
            Syam, Nur. Islam Pesisir. 2005. LkiS Pelangi Aksara: Yogyakarta
            Maftuh, Ashef.Arwaniyah.2012.Mubarokatan Thoyyibah: Kudus



[1] Mitos adalah kisah yang dirasakan masyarakat sebagai peristiwa yang sesungguhnya terjadi di masa lalu, meskipun tidak didukung oleh pembuktian kritis. Mitos ini berkesan memberi pelajaran moral dan juga memberi jawaban terhadap ketidaksesuaian logika dengan tata nilai yang berlaku.
[2] Dr.Nur Syam,Islam pesisir,hal.260
[3] Clifford Greettz,Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa,hal.92
[4] Nur syam., Islam pesisir,hal.180
[5] Lihat.Maftuh Asef,Arwaniayah.hal.81

4 comments:

M Khoirul A said...

mas mbak saya ijin kopi pasti ya...

Andika Maulana said...

Silahkan, semoga bermanfaat :)

Unknown said...

mbak makasih makalhnya dapat membantu saya,,,,
saya mnta ijinnya kopas ya mbak mas...

Unknown said...

terrma kash sekali