Monday, May 20, 2013

Hukum Syar'i Dan Pembagiannya



Disusun Oleh :
1. Ainul Azhari
2. Ahliyatul Yumna
3. Akhlis Amaliya
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al Ghazali, bahwa mengetahui hukum syara' merupakan inti dari ilmu fiqh dan Ushul Fiqih. Sasaran kedua disiplin ilmu ini memang mengetahui hukum syara' yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf, meskipun dengan tinjauan yang berbeda. Ushul Fiqih meninjau hukum syara' dari segi methodologinya dan sumber-sumbernya, sementara ilmu fiqih meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara', yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan pebuatan orang-orang mukallaf, baik berupa iqtidha' (tuntutan perintah atau larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa wadh'i (sebab akibat). Yang dimaksud dengan ketetapan Allah ialah sifat yang telah diberikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf. Seperti hukum haram, makruh, wajib, sunnah, mubah,sah, batal, syarat, sebab, halangan (mani') dan ungkapan-ungkapan lain yang dijelaskan pada pembahasan berikut. Kesemuanya itu merupakan objek pembahasan ilmu Ushul Fiqih.


B. Rumusan Masalah
1. Pengertian hukum syara'
2. Hukum Taklifi dan pembagiannya
3. Hukum Wadh'i dan pembagiannya
4. Perbedaan antara Hukum Taklifi dan Hukum Wadh'i


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Syara'

Secara etimologi dalam bahasa Arab, al-hukm berarti mencegah, memutuskan, menetapkan dan menyelesaikan. Sedangkan asy-syara’ yaitu jalan menuju aliran air, jalan yang mesti dilalui, atau aliran air sungai.[1]
Secara terminologi, menurut Ulama ushul fiqh yang dimaksud dengan hukum adalah :
خِطَابُ اللهِ الْمُتَعَلِّقُ بِأَفْعَالِ الْمُكَلَّفِيْنَ اقْتِضَاءً أَوْ تَخْيِيْرًا أَوْ وَضْعًا                               
Titah Allah SWT yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik dalam bentuk iqtidla’ (tuntutan), atau takhyir (pilihan), dan atau wadl’i (ketentuan yang ditetapkan).
Menurut Ulama fiqh, hukum syara’ mempunyai arti sifat-sifat dari suatu perbuatan mukallaf yang ditetapkan Allah, misalnya: wajib, sunnah,haram,makruh, dan mubah.
Hukum syara’ menurut para ahli ilmu ushul fiq ialah : Khithab Syari’ yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik dalam bentuk tuntunan, pilihan dan ketetapan.
Jadi, yang dimaksud Hukum Syara’ adalah firman (titah) Allah SWT (termasuk juga Hadits-hadits Nabi SAW) yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik dalam bentuk thalab (tuntutan/perintah utntuk melakukan perbuatan, ataupun larangan meninggalkan suatu perbuatan), ataupun takhyir (pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu pebuatan), dan wadl’i (ketentuan syari’ah dalam bentuk penetapan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau halangan dari suatu perbuatan tertentu.
Ulama ushul fiqh memberi nama istilah terhadap hukum yang berkaitan dengan mukallaf dari segi tuntutan dan pilihan sebagai : hukum taklifi, dan menyebut hukum yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf dari segi penetapan sebagai : hukum wadh'i. Oleh karena inilah, maka mereka menetapkan bahwasannya hukum syara' terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
v    Hukun Taklifi
v    Hukum Wadh'i
B. Hukum Taklifi dan Pembagiannya
1. Hukum Taklifi
Pengertian
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa hukum taklifi adalah sesuatu yang menuntut suatu pengerjaan dari mukallaf, atau menuntut untuk berbuat, atau memberikan pilihan kepadanya antara melakukan dan meninggalkannya. Sedang bentuk perintah atau larangan itu ada yang pasti dan ada juga yang tidak pasti jika perintah itu berbentuk pasti, maka disebut wajib, jika tidak pasti disebut mandub (sunnah). Demikian juga dengan larangan, bila berbentuk pasti maka disebut haram, bila tidak pasti disebut makruh. Sedang yang dimaksud takhyir (pilihan) adalah hukum mubah.
Pembagian
Penjelasan yang terperinci mengenai hukum taklifi di atas dapat dibagi menjadi lima macam yaitu, wajib, mandub, haram, makruh, dan mubah.
a. Wajib dan macamnya
Secara etimologi wajib berarti tetap. Sedangkan secara terminologi:
اَلْفِعْلُ الْمَطْلُوْبُ عَلَى وَجْهِ اللُّزُوْمِ بِحَيْثُ فَاعِلُهُ وَيُعَاقَبُ تَارِكهُ [2]                               
Wajib adalah perbuatan yang dituntut Allah SWT untuk dilakukan oleh mukallaf dengan sifat mesti (tidak boleh tidak ) dilakukan, yang jika perbuatan itu dilaksanakan, maka pelakunya diberi pahala, dan jika ia meninggalkan, maka ia dikenakan dosa.
Hukum wajib dapat ditinjau dari beberapa segi, di antaranya:
              @ Wajib ditinjau dari segi pelaksanaannya
Ditinjau dari segi orang yang melaksanakan hukum wajib, maka wajib  dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: al-wajib al-'aini dan al-wajib al-kafa'i.
a. Al-Wajib al-'aini الواجب العيني
Suatu perbuatan yang dituntut asy-syar’i (Allah dan RasulNya) untuk dikerjakan oleh setiap individu mukallaf. Kewajiban itu harus dilakukan sendiri dan tidak mungkin dilakukan oleh orang lainatau karena perbuatan orang lain. Umpamanya shalat dan puasa.
b. Al-Wajib al-kafa'i الواجب الكفائ 
Suatu perbuatan yang dituntut asy-syar’i untuk dikerjakan oleh sekumpulan mukallaf, bukan oleh setiap individu mukallaf. Umpamanya melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar, sholat jenazah dan lain-lain.
     @ Wajib ditinjau dari segi waktu pelaksanaannya
Ditinjau dari segi pelaksanaannya, wajib dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: al-wajib al-muthlaq dan wajib al-mu'aqqat.
a. Al-Wajib al-muthlaq(الواجب المطلق)
Kewajiban yang tidak ditentukan waktu pelaksanaannya, dengan arti tidak salah bila waktu pelaksanaannya ditangguhkan sampai waktu yang ia sanggup melakukannya. Umpamanya meng-qadha puasa Ramadhan yang tertinggal karena udzur. Ia wajib melakukannya dan dapat dilakukan kapan saja ia mempunyai kesanggupan.
b. Al-Wajib al-mu'aqqat (الواجب المؤقت)
Kewajiban yang waktu pelaksanaannya ditentukan dalam waktu tertentu dan tidak sah dilakukan di luar waktu yang telah ditentukan itu.
Dalam pada itu, wajb mu'aqqat ini dibagi pula kepada tiga macam, antara lain: al-wajib al-muwassa', al-wajib al-mudhayyaq, dan al-wajib zu syabhain.
~ al-wajib al-muwassa' (الواجب الوسع)
Suatu kewajiban yang waktu pelaksanaannya lebih luas daripada ukuran waktu pelaksanaannya perbuatan yang diwajibkan. Umpamanya shalat zuhur. Waktu yang disediakan untuk shalat zuhur itu ialah dari tergelincir matahari sampai ukuran baying-bayang sepanjang badan; atau sekitar tiga jam; sedangkan waktu untuk melaksanaakan shalat zuhur hanya sekitar 10 menit. Dalam bentuk wajib muwassa’ ini diberi kelapangan bagi mukallaf untuk melaksanakan kewajiban dalam rentangan waktu yang ditentukan itu.
~ al-wajib al-mudhayyaq(الواجب المضيق)
Suatu kewajiban yang panjang waktunya sama dengan waktu yang diperlukan untuk pelaksanaannya perbuatan yang diwajibkan. Umpamanya puasa Ramadhan. Waktu melaksanakan puasa Ramadhan itu adalah satu bulan, yaitu selama bulan Ramadhan itu. Dalam hal ini puasa wajib Ramadhan tidak dapat dilakukan di luar Ramadhan; sedangkan dalam bulan Ramadhan itu tidak dapat dilakukanpuasa lain selain puasa Ramadhan.hal ini telah disepakati oleh ulama ushul.
~ al-wajib zu syabhain (الواجب ذو شهين)
Suatu kewajiban yang waktu pelaksanaannya jika ditinjau dari satu sisi bersifat muwassa’, tetapi jika ditinjau dari sisi lain bersifat mudhayyaq. Umpamanya ibadah haji. Bahwa ibadah haji hanya satu kali dalam setahun dan tidak dapat dalam tahun itu dilaksanakan haji lainnya, disebut mudhayyaq, dari segi pelaksanaannya, ibadah haji lebih sempit waktunya dari pada waktu yang disediakan untuk melaksanakan rangkaian ibadah haji, ia disebut muwassa’. Dengan demikian. Ia memiliki titik kesamaan dengan dua bentuk tersebut. Karenanya di kalangan ulama disebut dzu syahhaini.
@ Wajib ditinjau dari segi bentuk perbuatan yang diperintahkan
Ditinjau dari segi bentuk perbuatan yang diperintahkan, wajib dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: al-wajib al-mu'ayyan dan al-wajib al-mukhayyar.
a. Al-Wajib al-mu'ayyan
Suatu kewajiban yang asy-syar’i memerintahkan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. Artinya, subyek hukum baru dinyatakan telah menunaikan tuntutan bila suatu yang tertentu itu telah dilaksanakannya dan tidak ada pilihan untuk melakukan yang lainya. Umpamanya membayar utang. Yang harus dilakukan oleh orang yang berutang adalah melunasi utangnya.
b. Al-Wajib al-mukhayyar
Suatu kewajiban yang asy-syar’i memerintahkan untuk melakukan salah satu dari beberapa perbuatan tertentu. Contohnya pilihan diantara tiga kemungkinan adalah pilihan di antara memberi makan 10 orang miskin atau memberi pakaian untuk 10 orang miskin atau memerdekakan hamba sahaya sebagai kafarat karena pelanggaran sumpah. Firman Allah (QS. Almaidah: 89)
@ Wajib ditinjau dari segi kadar kewajiban yang diperintahkan
Ditinjau daari segi kadar kewajiban yang diperintahkan, wajib dibagi menadi dua macam, yaitu: al-wajib al-muhaddad dan al-wajib ghair al-muhaddad.
a.      Al-Wajib al-muhaddad
Suatu kewajiban yang asy-syar’i menentukan perbuatan mukallaf itu berdasarkan kadar/ukuran tertentu. dengan arti bahwa mukallaf belum terlepas dari tanggung jawabnya bila ia telah melaksanakannya sesuai dengan jumlah yang telah kecuali melaksanakannya sesuai dengan jumlah yang telah ditentukn oleh syari'. Umpamanya zakat yang telah ditentukan dan zakat fitrah. Kewajiban zakat harta atau zakat fitrah telah ditentukan kadarnya, dalam arti bila telah terpenuhi syarat-syarat wajib, seseorang harus melaksanakannya menurut ukuran yang ditentukan. Ia belum dianggap melaksanakan kewajibannya kecuali kadar yang sudah ditentukan telah dilaksanakannya.
b.      Al-wajib ghair al-muhaddad
Suatu kewajiban yang asy-syar’i tidak menentukan ukuran/kadar kewajiban itu secara tertentu. Umpamanya nafkah untuk kerabat. Nafkah kerabat termasuk kewajiban yang tidak ditentukan kadarnya sebelum hakim menyatakan ukuran kewajibannya, yang menjadi prinsip dalam penetapan kewajiban dalam hal ini adalah menutupi kebutuhan kerabat yang miskin, sekadar kemampuan yang terpikul oleh orang yang wajib menafkahinya.
@ Wajib ditinjau dari segi pertanggungjawaban pelaksanaannya
Ditinjau dari segi dapat tidaknya suatu kewajiban dimintakan pertanggungjawaban pelaksanaannya dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu: al-wajib al-qadha'i dan al-wajib ad-diyani.
a. Al-Wajib al-qadha'i
Suatu yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pelaksanaannya di dunia melalui kekuasaan pemerintah atau keputusan pengadilan. Contoh, kewajiban membayar zakat.
b. Al-Wajib ad-diyani
Kewajiban yang jika tidak dilaksanakan, maka ia akan disiksa di akhirat, tetapi kewajiban tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya di dunia. Contoh, kewajiban seorang ibu untuk menyusukan anaknya untuk pertama kali setelah anak itu lahir.

b. Mandub dan macamnya
Sunnah secara etimologi adalah sesuatu yang dianjurkan karena bersifat                     penting. Sedangkan secara terminologi, mandub adalah:
مَا يُثَابُ عَلَى فَاعِلِهِ وَلاَ يُعَاقَبُ عَلَى تَارِكِهِ                                              
Sesuatu yang diberi pahala orang yang melakukannya dan tidak disiksa orang yang meninggalkannnya.[3]

Mandub dapat dibagi menjadi beberapa segi, yaitu:
@ Dari segi selalu dan tidak selalunya Nabi melaksanakan perbuatan   sunnah
1. Al- sunnah al-muakkadah
Perbuatan-perbuatan yang dijalankan oleh Rasulluah SAW secara kontinyu, tetapi beliau menjelaskan bahwa hal tersebut bukan fardhu yang harus dilaksanakan. Umpamanya shalat witir, dua rakaat fajar sebelum shalat shubuh.
2. Al-sunnah ghair al-muakkadah
Perbuatan-perbuatan yang dilakukan Rasulullah SAW, tetapi frekuensi perbuatan tersebut tidak bersifat rutin dan hanya sesekali dilakukan, sehingga bukan merupakan kebiasaan beliau. Umpamanya memberikan sedekah kepada orang miskin, shalat sunnah empat rakaat sebelum Zuhur dan sebelum Asar.
@ Dari segi kemungkinan meninggalkan perbuatan
1.      Sunnah hadyu
Perbuatan yang dituntut untuk melakukannya karena begitu besar faedah yang didapat darinya dan orang yang meninggalkannya dianngap sesat atau tercela. Umpamanya shalat berjamaah, shalat hari raya, adzan dan iqomah.
2.      Sunnah zaidah
Perbuatan yang jika dilakukan oleh mukallaf dinyatakan baik, tetapi bila ditinggalkan, yang meninggalkannya tidak diberi sanksi apa-apa, seperti cara-cara yang biasa dilakukan oleh Nabi dalam kehidupan sehari-harinya.
3.      Sunnah nafal
Perbuatan yang dituntut sebagai tambahan bagi perbuatan wajib. Seperti shalat sunnah 2 rakaat yang mengiringi shalat wajib (rawatib), shalat tahajud, witir, dan yang lainnya yang dalam kata lain disebut sunnah ghairu muakkadah.

c. Haram dan macamnya
Secara etimologi haram berarti sesuatu yang lebih banyak kerusakannya., terkadang juga digunakan dalam arti larangan. Sedangkan secara terminologi haram adalah :
مَايُثَابُ عَلَى تَارِكِهِ وَيُعَقَابُ عَلَى فَاعِلِهِ                                                     
Sesuatu yang diberi pahala orang yang meninggalkannya dan dikenai dosa bagi orang yang menjalankannya.
Hukum haram dapat dibagi berdasarkan:
@ Haram ditinjau dari segi sumber dalil penetapan hukum haramnya
1. Larangan yang bersumber dari dalil qathi'
Misalnya, larangan memakan bangkai, darah, daging babi, dan lain sebagainya yang disebutkan dalam Q.S. Al-Maidah : 3
2. Larangan yang bersumber dari dalil dzanni
Misalnya, larangan memakan keledai peliharaan yang ditetapkan dengan Hadits Ahad, diriwayatkan oleh Bukhari[4] :
Dari Ali r.a. berkata : “ Rasulullah SAW melarang nikah mut’ah pada tahun khaibar dan (melarang memakan) daging keledai jinak.”
@ Haram ditinjau dari segi esensi perbuatan yang dilarang
1. Haram dzati
Suatu perbuatan yang disengaja oleh Allah SWT mengharamkannya karena terdapat unsur perusak yang langsung mengenai  dharuriyat yang lima.
2. Haram ghairu dzati/'ardhi
Haram yang larangannya bukan karena dzatnya; tidak lansung mengenai unsur dharuriyat. Suatu perbuatan yang hukum syar’inya pada mulanya wujud, nadb, atau ibahah, akan tetapi ada sesuatu hal yang baru menyertainya yang menjadikannya sebagi sesuatu yang haram.[5]
d. Makruh dan macamnya
Makruh secara etimologi berarti sesuatu yang tidak disenangi atau dijahui. Sedangkan secara terminologi, makruh adalah:

مَايُثَابُ عَلَى تَارِكِهِ وَلاَ يُعَاقَبُ عَلَى فَاعِلِهِ                                                      
Sesuatu yang dituntut oleh pembuat hukum untuk ditinggalkan dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti.
 Menurut ulama Hanafiyah, makruh terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Makruh tahrim
Tuntutan meninggalkan suatu perbuatan secara pasti tetapi dalil yang menunjukannya bersifat zhanni. Makruh tahrim ini kebalikan dari wajib.
2. Makruh tanzih
Segala perbuatan yang meninggalkan lebih baik dari pada mengerjakannya. Makruh tanzih ini kebalikan dari hukum mandub.[6]

e. Mubah dan macamnya
Secara etimologi mubah adalah menjelaskan, memberitahukan, melepaskan, dan mengijinkan. Sedangkan secara terminologi, muba adalah :

مَا خَيَّرَ الشَّارِعُ الْمُكَلِّفَ بَيْنَ الْفِعْلِ وَالتَّرْكِ فَلَهُ اَنْ يَفْعَلَ وَلَهُ اَنْ لاَ يَفْعَلَ                     
Sesuatu yang diberi kemungkinan oleh pembuat hukum untuk memilih antara mmemperbuat dan meninggalkan, ia boleh melakukan atau tidak.
Yang dimaksud dengan mubah adalah segala perbuatan yang diberi kebebasan untuk memilihnya, melakukan atau tidak melakukan. Secara umum, mubah ini dinamakan juga halal atau jaiz.[7]
Hukum mubah ditetapkan karena ada salah satu dari tiga hal, yaitu:
1.   Perbuatan yang ditetapkan secara tegas kebolehannya oleh syara', dan manusia diberi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukannya.
2.   Perbuatan yang tidak ada dalil syara' menyatakan kebolehan memilih, tetapi ada perintah melakukannya. Hanya saja, perintah itu hanya dimaksudkan berdasarkan qarinah (tanda-tanda) atas diperbolehkannya perbuatan tersebut.
Perbuatan yang tidak ada keterangannya sama sekali dari syari' tentang kebolehan atau ketidak bolehannya. Contohnya, mendengarkan dan mempergunakan radio.
Imam Asy Syatibi membagi mubah ditinjau dari segi penggunaannya menjadi empat bagian, yaitu:
a.    Mubah yang dipergunakan untuk melayani suatu perintah yang diwajibkan, yang disebut dengan mubah juz'i (temporer), tapi secara kully (keseluruhan) diperintahkan seperti makan dan nikah, seseorang tidak diperbolehkan untuk meninggalkan selama-lamanya.
b.   Mubah yang dipergunakan untuk melayani suatu perbuatan yang  dilarang. Secara temporer perbuatan tersebut diperbolehkan, tetapi tidak diperbolehkan dikerjakan terus menerus. Seperti bergurau, mendengarkan radio diperbolehkan secara temporer, tetapi seorang yang berakal sehat tidak boleh menghabiskan waktunya untuk senda gurau, mendengarkan radio, rekreasi dan sebagainya.
c.                                       Mubah yang dipergunakan untuk melayani perbuatan yang mubah.
d.                                    Mubah yang tidak dipergunakan untuk melayani apa-apa.
Hanya saja, menurut Imam Asy Syatibi, bagian yang ketiga dan keempatini tidak ada wujudnnya secara nyata (al-muwafaqat, juz I, hal, 141-142).

C. Hukum Wadh'i dan pembagiannya
     Pengertian
Sebelumnya telah disinggung secara umum, yang dimaksud dengan hukum wadh'i adalah sesuatu yang menuntut penetapan sesuatu sebagai sebab sesuatu yang lain, menjadi syarat baginya, penghalang baginya atau sebagai keringanan baginya.
Pembagian
Hukum wadh'i terbagi dalam lima bagian, di antaranya : sebab, syarat, mani', rukhshah dan 'azimah, sah dan bathal.
a. Sebab dan macamnya
Sabab secara lughowi berarti sesuatuyang dapat menyampaikan kepada apa yang dimaksud. Dalam arti istilah dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut:[8]
اَلاَمْرُ الظَّاهِرُ الْمَنْضَبِطُ الَّذِىْ جَعَلهُ الشَّارِعُ اَمَا رَةً لِوُجُوْدِ الْحُكْمِ بِحَيْثُ يَلْزَمُ مِنْ وُجُوْدِهِ وُجُوْدُ الْمُسَبَّبِ اَوْ الْحُكْمِ وَيَلْزَمُ مِنْ عَدَمِهِ عَدَمُ الْمُسَبَّبِ اَوْالْحُكْمِ                  
Sesuatu yang jelas, dapat diukur, yang dijadikan pembuat hukum sebagai tanda adanya hukum, lazim dengan adanya hukum itu ada hukum dan dengan tidak adanya, tidak ada hukum.
Macam-macam sebab:
@ Sebab yang bukan berasal dari perbuatan mukallaf
Sebab yang di jadikan Allah SWT.sebagai pertanda atas adanya hukum.kita tidak dapat mengetahui kenapa hal itu yang dijadikan pertanda untuk hukum oleh Allah SWT. Umpamanya tergelincirnua matahari menjadi sebab masuknya waktu zuhur sebagaimana firman Allah dalam surat Al Isra:78
@ Sebab yang berasal dari perbuatan manusia
Sebab dalam bebtuk perbuatan mukallaf yang ditetapkan oleh pembuat hukum akibat hukumnya. Artinya, perbuatan mukallaf yang nyata dijadikan pertanda adanya hukum.  Umpamanya keadaan dalam perjalanan menjadi sebab bolehnya meng-qasar shalat. Perjalanan itu disebut sebab ia adalah perbuatan mukallaf yang dilakukannya dengan sadar dalam kemampuannya. Akibat adanya sebab ini dijadikan Allah adanya rukhsah melakukan shalat.

b. Syarat dan macamnya
Abu zahrah mengemukakan definisi Syarat yang lebih mudah dimengerti, yaitu:[9]

اَلاَمْرُ الَّذِىْ يَتَوَقَّفُ عَلَيْهِ وُجُوْدُ الْحُكْمِ يَلْزَمُ مِنْ عَدَمِهِ عَدَمُ الْحُكْمِ، وَلاَ  يَلْزَمُ مِنْ وُجُوْدِهِ وُجُوْدُ الْحُكْمِ                                                                                         
Sesuatu yang tergantung kepadanya adanya huku; lazim dengan tidak adanya, tidak ada hukum, tapi tidaklah lazim dengan adanya, ada hukum.
Dari satu segi, syarat sama dengan sebab, yaitu “hokum tergantung kepada adanya”, sehingga bila ia tidak ada, maka pasti hokum pun tidak ada. Perbedaan antara keduanya terdapat pada adanya sebab atau syarat itu. Pada sebab, keberadaannya melazimkan adanya hukum, tetapi adanya syarat belum tentu adanya hukum.
 Contohnya syarat wali dalam pernikahan yang menurut jumhur ulama merupakan syarat. Dengan tidak adanya wali pasti nikah tidak akan sah, tetapi dengan adanya wali belum tentu nikah itu sah karena masih ada syarat lain seperti saksi, akad, dan lainnya. Contoh sebab umpamanya masuk waktu bagi datangnya kewajiban shalat; dan dengan masuknya waktu pasti dating kewajiban shalat.
Syarat itu ada tiga bentuk:
1.                                                                                            syarat ‘aqly (الشرط العقلى)  
seperti kehidupan menjadi syarat untuk dapat mengetahui. Adanya paha menjadi syarat untuk adanya taklif atau beban hukum.
2.                                                                                            syarat ‘ady (الشرط العادى)
Berdasarkan atas kebiasaan yang berlaku, seperti bersentuhnya api dengan barang yang dapat terbakar menjadi syarat berlangsungnya kebakaran.
3.                                                                                            syarat syar’I (الشرط الشرعى)
Syarat berdasarkan penetapan syara’, seperti sucinya badan menjadi syarat untuk shalat. Nisab menjadi syarat wajibnya zakat. Bentuk yang ketiga inilah yang menjadi pokok pembahasan di sini.

c. Mani' dan macamnya

اَمْرُ الشَّرْعِيِّ الَّذِىْ يُنَافِيْ وُحُوْدُهُ الْغَرَضَ الْمَقْصُوْدَ مِنَ السَّبَبِ اَوِ الْحُكْمِ                
Sesuatu yang dari segi hukum, keberadaannya meniadakan tujuan dimaksud dari sebab atau hukum.
Telah dijelaskan bahwa sebab mempunyai kaitan erat dengan hokum yang menjadi akibat dari sebab itu. Artinya, bila sudah terdapat seba, maka hokum pun pasti ada. Keberadaan hokum pun masih bergantung kepada hal-hal lain yang harus di penuhi untuk sahnya kelangsungan hokum itu.
   Meskipun sudah terdapat sebab dan terpenuhi syarat belum tentu dapat dipastikan berlangsungnya hokum, karena mungkin ada hal-hal lain yang menyebabkan sebabnya menjadi tidak berarti atau hukumnya dianggap tidak terlaksana. Umpamanya hubungan kerabat dengan seseorang yang mati menyebabkan berlakunya suatu hokum, yaituhak kewarisan. Tetapi bila kematian yang mati itu disebabkan oleh perbuatan kerabatnya yang hidup itu, maka hubungan kewarisan tidak berlaku. Perbuatan pembunuhan itu dinamai mani’ atau penghalang terhadap kelangsungan hokum.
Dari defisi di atas tersebut ada dua macam mani’ bila dilihat dari segi sasaran yang dikenai pengaruhnya, yaitu:
1. Mani' yang berpengaruh terhadap sebab, dalam arti adanya mani’ mengakibatkan “sebab” tidak dianggap berarti lagi. Dengan tidak berartinya sebab itu dengan sendirinya musabab atau hukumpuntidak akan ada karena dia mengikut kepada sebab. Umpamanya dalam masalah “utang”. Keadaan berutang itu menyebabkan kekayaan se-nisab yang menjadi sebab diwajibkanya zakat tidak lagi perlu diperhatikan .
2. Mani' yang berpengaruh terhadap hukum, dalam arti menolak adanya hukum meskipun ada sebab yang mengakibatkan adanya hukum. Umpamanya keadaan pembunuh adalah ayah si korban menghalangi atau menolak berlakunya hukum qishash meskipun sebab untuk adanya hukum qishash yaitu pembunuhan tetap berlaku dalam kasus ini. Semestinya dengan adanya sebab itu (pembunuhan), tentu ada hukumnya (wajib qishash). Namun hukum dalam hal ini tidak ada karena adanya mani’ (si pembunuh adalah ayah si korban), sebagaimana hadits Nabi yang berbunyi: Tidaklah diqishash seseorang ayah karena membunuh anaknya”
d. Rukhshah dan 'Azimah serrta macamnya
*                  Rukhshah
Yang dimaksud dengan rukhsah adalah perturan-peraturan yang tidak dilaksanakan karena adanyahal-hal yang memberatkan dalam menjalankan ‘azimah. Dengan kata lain, rukhsah ialah pengecualian hukum-hukum pokok (‘azimah).[10]
مَا شُرِعَ مِنَ الْاَحْكَامِ للتخفيف عن العباد فياحوال خاصة                               
Hukum-hukum yang disyari'atkan untuk keringanan bagi mukallaf dalam keaadan tertentu.
          Rukhsah diberikan oleh syari’ sebagai keringanan bagi mukallaf sehingga mereka bebas memilih antara ‘azimah dan rukhsah. Namun, adakalanya pula rukhsah itu diwajibkan melaksanakannya bila hal itu berkaitan dengan pertimbangan-pertimbangan lain.
                                                Ulama Ushul Fiqih mengelompokkan rukhsah menjadi empat bagian, yaitu:[11]
a.  Pembolehan sesuatu yang dilarang (diharamkan) dalam keadaan darurat atau karena ada hajat yang sangat mendesak sebagai keringanan bagi mukallaf. Misalnya, barang siapa yang dipaksa mengucapkan kata-kata yang mengkafirkan, dibolehkan baginya mengucapkan kata-kata tersebut selama hatinya tetap beriman kepada Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah: (QS. An Nahl:106)
b.  pembolehan meninggalkan yang wajib karena udzur, dimana jika melaksanakan kewajiban itu akan menimbulkan kesulitan bagi si mukallaf. Misalnya, orang sakit atau sedang bepergian dibolehkan tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Ini sesuai dengan firman Allah (QS. Al Baqarah: 184)
c.  Pemberian pengecualian sebagian berkaitan karena menyangkut kebutuhan masyarakat dalam kehidupan muamalat (sehari-hari). Misalnya, transaksi jual –beli yang belum ada pada saat perikatan diadakan, tapi harganya sudah dibayar terlebih dahulu. Pada prinsipnya, jual-beli seperti ini tidak memenuhi persyaratan umum untuk sahnya suatu transaksi jual-beli yaitu barang yang akan diperjualbelikan itu ada di saat transaksi dilakukan, tetapi karena hal itu berlaku dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat maka perikatan tersebut disahkan secara rukhsah. Ini sesuai dengan hadits Nabi:
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم: عن بيع الإنسان ما ليس عنده
 و رخص فى السلم
Rasul melarang manusia menjual sesuatu yang ada bersamanya disaat transaksi, namun beliau memberi dispensasi untuk jual beli pesanan
e.  Pembatalan hukum-hukum yang merupakan beban yang memberatkan bagi umat terdahulu, misalnya kain yang terkena najis, mengeluarkan zakat seperempat harta, tidak boleh shalat selain di masjid, dan lain sebagainya. Semuanya itu tidak lagi berlaku terhadap umat islam, sebagai rukhsah bagi mereka. Karena itu, kalau ketentuan bagi umat terdahulu itu diberlakukan bagi umat islam, mereka akan banyak sekali menemukan kesulitan yang memberatkan.hal ini diisyaratkan oleh Allah dalam (QS. Al Baqarah: 286)

*                  ‘Azimah
                                     ما شرع من الاحكام الكلية ابتداء           Suatu ketentuan yang sejak semula disyari'atkan sebagai ketentuan         hukum yang umum
        Yang dimaksud ‘azimah adalah peraturan-peraturan Allah yang asli dan terdiri atas hukum-hukum yang berlaku umum. Artinya, hukum itu berlaku bagi setiap mukallaf dalam semua keadaan dan waktu biasa (bukan karena darurat atau pertimbangan lain) yang mendahuluinya. Misalnya, bangkai- menurut hukum asalnya- adalah haram dimakan oleh semua orang. Ketentuan ini disebut juga dengan hukum pokok.[12]

Hukum ‘Azimah dan Rukhsah
Selama tidakada hal-halyang menyebabkan adanya rukhsah seorang mukallaf diharuskan mengambil ‘azimah,karena memang begitulah ketentuan-keentuan pokok dari Allah dalam mensyari’atkan peraturannya. Namun, bila ada hal yang memberatkan sehingga menimbulkan kefatalan, dibolehkan mengambil rukhsah. Misalnya,  seseorang yang dalam keadaan terpaksa dibolehkan memakan bangkai, yang hokum asalnya adalah haram. Artinya, dalam keadaan normal seseorang diwajibkan untuk tidak memakan bangkai sehingga memakan bangkai itu hukumnya haram bagi orang tersebut. Maka dengan sendirinya hukum rukhsoh tersebut   adalah mubah. Ketentuan ini terdapat dalam firman Allah dalam surat Al-Baqarah:173

e. Sah dan Bathal
*                 Sah
Sah secara harfiah berarti “lepas tanggung jawab” atau “gugur kewajiban dunia serta memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat”. Umpamanya shalat yang dilaksanakan sesuai dengan yang diperintahkan syara’, jadi sah juga berarti suatu perbuatan yang dibebankan kepada mukallaf sudah ditetapkan rukun dan syaratnya dan perbuatan itu harus disesuaikan dengan perintah Allah dan tidak dilanggar.
*                 Bathal
Batal merupakan kebalikan dari sah, yang dapat diartikan tidak melepaskan tanggung jawab, tidak menggugurkan kewajiban di dunia, dan di akhirat pun tidak memperoleh pahala. Setiap perbuatan yang kurang rukun dan syaratnya serta bertentangan dengan ketentuan syara’ dinamakan batal.

D.  Perbedaan antara Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i
Ada beberapa perbedaan antara hukm at-taklifi dengan hukm al wadh'i yang dapat disimpulkan dari pembagian hukum di atas, perbedaan tersebut antara lain adalah:
1.    Dalam hukm at-taklifi terkandung tuntutan untuk melaksanakan, meninggalkan, atau memilih berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukm al wadh'i tidak ada, melainkan mengandung keterkaitan antara dua persoalan, sehingga salah satu diantara keduanya bisa dijadikan sebab, penghalang, atau syarat.
2.    Hukm at taklifi merupakan tintutan langsung pada mukallaf untuk dilaksanakan, ditinggalkan, atau melakukan pilihan untuk berbuat ataubtidak berbuat. Sedangkan hukm al wadh'i tidak dimaksudkan agar langsung dilakukan mukallaf.
3.    Hukm at taklifi harus sesuai dengan kemampuan mukallaf untuk melaksanakan atau meninggalkannya, karena di dalamnya tidak boleh ada kesulitan (masyaqqah) dan kesempitan (haraj) yang tidak mungkin dipikul oleh mukallaf. Sedangkan dalam  hukm al wadh'i hal seperti ini tidak dipersoalkan, karena masyaqqah dan  haraj dalam hukum al wadh'i adakalanya dapat dipikul mukallaf (seperti menghadirkan saksi sebagai syarat dalam pernikahan),dan adakalanya di luar kemampuan mukallaf (seperti tergelincirnya matahari bagi wajibnya shalat Zhuhur)
4.    Hukm at taklifi  ditujukan kepada para mukallaf, yaitu orang yang telah balligh dan berakal, sedangkan hukm al wadh'i ditujukan pada manusia mana saja, baik telah mukallaf maupun belum, misalnya anak kecil dan orang gila.[13]




BAB III
PENUTUP
 KESIMPULAN
*      Hukum syara’ secara etimologi dalam bahasa Arab, al-hukm berarti mencegah, memutuskan, menetapkan dan menyelesaikan.
Sedangkan asy-syara’ yaitu jalan menuju aliran air, jalan yang mesti dilalui, atau aliran air sungai.[14]
Secara terminologi, menurut Ulama ushul fiqh yang dimaksud dengan hukum adalah Titah Allah SWT yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik dalam bentuk iqtidla’ (tuntutan), atau takhyir (pilihan), dan atau wadl’i (ketentuan yang ditetapkan).
*      Hukum syara’ terbagi dua, yaitu:
a. Hukum Taklifi
b. Hukum Wadh’i
*      Hukum Taklifi adalah ketetapan Allah tentang perintah, larangan atau takhyir (pilihan). Hukum Taklifi terbagi lima, yaitu: wajib, mandub, haram, makruh, dan mubah.
*      Hukum wadh’I ialah titah Allah yang berhubungan dengan sesuatu yang macam, di antaranya : sebab, syarat, mani' rukhshah dan ‘azimah, dan sah dan bathal.
*      Perbedaan antara hukum Taklifi dan Hukum Wadh’I diantaranya:
a. Dilihat dari sudut pengertiannya, hukum taklifi dalah hukum Allah yang berisi tuntutan-tuntutan untuk berbuat atau tidak berbuat suatu perbuatan, atau membolehkan memilih antara berbuat dan tidak berbuat. Sedangkan hukum wadh’I tidak mengandung tuntutan atau memberi pilihan, hanya menerangan sebab atau halangan (mani’) suatu hukum, sah, dan batal.
b. Dilihat dari sudut kemampuan mukallaf untuk memikulnya, hukum taklifi selalu dalam kesanggupan mukallaf, baik dalam mengerjakan atau meninggalkannya. Sedangkan hukum wadh’I kadang-kadang dapat dikerjakan (disanggupi) oleh mukallaf dan kadang kadang tidak.

Ada beberapa perbedaan antara hukm at-taklifi dengan hukm al wadh'i yang dapat disimpulkan dari pembagian hukum di atas, perbedaan tersebut antara lain adalah:
1.    Dalam hukm at-taklifi terkandung tuntutan untuk melaksanakan, meninggalkan, atau memilih berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukm al wadh'i tidak ada, melainkan mengandung keterkaitan antara dua persoalan, sehingga salah stu diantara keduanya bisa dijadikan sebab, penghalang, atau syarat.
2.    Hukm at taklifi merupakan tintutan langsung pada mukallaf untuk dilaksanakan, ditinggalkan, atau melakukan pilihan untuk berbuat ataubtidak berbuat. Sedangkan hukm al wadh'i tidak dimaksudkan agar langsung dilakukan mukallaf.
3.    Hukm at taklifi harus sesuai dengan kemampuan mukallaf untuk melaksanakan atau meninggalkannya, karena di dalamnya tidak boleh ada kesulitan (masyaqqah) dan kesempitan (haraj) yang tidak mungkin dipikul oleh mukallaf. Sedangkan dalam  hukm al wadh'i hal seperti ini tidak dipersoalkan, karena masyaqqah dan  haraj dalam hukum al wadh'i adakalanya dapat dipikul mukallaf (seperti menghadirkan saksi sebagai syarat dalam pernikahan),dan adakalanya di luar kemampuan mukallaf (seperti tergelincirnya matahari bagi wajibnya shalat Zhuhur)
4.    Hukm at taklifi  ditujukan kepada para mukallaf, yaitu orang yang telah balligh dan berakal, sedangkan hukm al wadh'i ditujukan pada manusia mana saja, baik telah mukallaf maupun belum, misalnya anak kecil dan orang gila.[15]


DAFTAR PUSTAKA

Zahrah, Muhammad Abu, 1995,Ushul al-fiqh, Jakarta:Pustaka Firdaus.
Syarifuddin, Amir, 2009 ushul Fiqh Jakarta:Kencana.
Koto, Alaiddin,Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, 2004.Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Uman,Khaeruldkk, ushul fiqih, 1998. Bandung:Pustaka Setia.
Khallaf, Abdul wahab, Ilmu Ushul Fiqh, 1994, Dina Utama: Semarang
Dahlan, Abdurrahman, Ushul Fiqh, 2010, Amzah : Jakarta



[1] Dr.H.Abdurrahman Dahlan,Ushul Fiqh,hal.33
[2] Prof.Dr.H.Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh,hal.
[3]Ibid, hal.362
[4] Dr.H.Abdurrahman Dahlan,Ushul Fiqih,hal.60
[5] Prof.Abdul Wahab Khallaf,Ushul Fiqh,hal.164
[6] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, Jakarta: RajaGrafindo Persada 2004, hal.47
[7]Ibid, hal. 48
[8] Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh,(Jakarta:Kencana, 2009), hal. 394   
[9] Ibid, hal: 400
[10] Alaidin Koto, op.cit, hal. 54
[11] Ibid, hal.56
[12] Ibid,hal. 56
[13] Khaerul Uman dkk, ushul fiqih, Bandung, Pustaka Setia: 1998, h. 250
[14] Dr.H.Abdurrahman Dahlan,Ushul Fiqh,hal.33
[15] Uman, Khaerul dkk, ushul fiqih, Bandung, Pustaka Setia: 1998, h. 250

No comments: