Compiled by: ANDIKA MAULANA
PENDAHULUAN
Salah satu fitnah besar yang pernah menimpa umat Islam pada abad
pertama hijriah adalah tersebarnya hadits-hadits dha’if dikalangan umat. Hal
itu juga menimpa para ulama, kecuali sejumlah pakar dan kritikus hadits yang
dikehendaki Allah, seperti Imam Ahmad, Bukhari, Ibnu Muin, Abi hatim ar-Razi,
dan lainnya. Tersebarnya hadits-hadits semacam itu diseluruh wilayah Islam
telah meninggalkan dampak negatif yang luar biasa, diantaranya terjadi
perusakan pada segi akidah terhadap hal-hal gaib, syariat, dan sebagainya.
Diantara bukti nyata betapa sangat
buruk pengaruh hadits dha’if dan maudhu’ pada umat Islam adalah tumbuhnya sikap
meremehkan terhadap hadits Rasulullah SAW. Kalangan ulama, mubaligh, dan
pengajar yang kurang cermat dalam menukil periwayatan hadits juga semakin
mempercepat penyebaran dampak buruk tersebut. Belum lagi bilangan hadits yang
dipalsukan ternyata memang amat banyak.
Telah menjadi kehendak Ilahi yang
Maha Bijaksana untuk tidak membiarkan hadits-hadits semacam itu berserakan
disana sini tanpa mengutus atau memberikan keistimewaan pada sekelompok orang
berkemampuan tinggi untuk menghentikan dampak negatif serta menyingkap
tabirnya, kemudian menjelaskan hakikatnya kepada khalayak. Mereka itulah para
pakar hadits asy-Syarif, para pengemban panji sunnah nabawiyyah yang telah
didoakan Rasulullah SAW dengan sabdanya :
نضر الله امرأ سمع مقالتي فوعاها وحفظها وبلغها , فرب حامل فقه الى من
هو افقه منه ( اخرجه ابو داود و الترمذى وصححه ولسياق له ابن حبان )
“Allah SWT membaikkan kedudukan
seseorang yang mendengar sabdaku, memahaminya, menjaganya, dan kemudian
menyampaikannya kepada orang lain. Boleh jadi pengemban fiqih akan
menyampaikannya kepada yang lebih pandai darinya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi
serta Ibnu Hibban)
Para pakar hadits telah melakukan
penelitian dan menjelaskan keadaan hadits-hadits Rasulullah dengan
menghukuminya sebagai hadits shahih, dha’if, dan maudhu’. Mereka pun membuat
aturan dan kaedah-kaedah, khususnya yang berkenaan dengan ilmu tersebut.
Siapapun yang berpengetahuan luas dalam ilmu ini akan mudah mengenali derajat
suatu hadits, sekalipun tanpa adanya nash. Inilah yang dikenal dengan ilmu
Mushthalah Hadits. (1)
Dengan melihat kenyataan inilah,
pada makalah kali ini kami akan membahas seputar hadits dha’if serta yang
berkaitan dengannya sehingga kita bisa mengetahui mana hadits yang dha’if dan
mana yang shahih yang Insya Allah kami akan sistematiskan pembahasannya pada
bab pembahasan.
_______________________
1.
Muhammad
Nashiruddin al-Albany. Silsilatul-Ahaadiits adh-Dhaifah wal-Maudhu’ah wa
Atsaruhas-Sayyi’ fil Ummah. Jilid 1. Terj. A.M. Basalamah. Jakarta: Gema Insani
Press. 1999. hlm. 29-30.
POKOK PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Hadits Dha’if
2.
Sebab-Sebab
Kedha’ifan Hadits
3.
Pembagian
hadits Dha’if
a.
Dha’if
Ditinjau Dari Persambungan sanad
1.
Hadits
Mursal
2.
Hadits
Munqati’
3.
Hadits
Mu’dhal
4.
Hadits
Mu’allaq
5.
Hadits
Mudallas
b.
Dha’if
Ditinjau Dari Segi Sandarannya
1.
Hadits
Mauquf
2.
Hadits
Maqtu’
c.
Dha’if
Ditinjau Dari Segi Cacatnya Perawi
1.
Hadits
Matruk
2.
Hadits
Munkar
3.
Hadits
Mu’allal
4.
Hadits
Mudraj
5.
Hadits
Maqlub
6.
Hadits
Mudhtharib
7.
Hadits
Mushahhaf
4.
Kehujjahan
Hadits Dha’if
PEMBAHASAN
I. PENGERTIAN HADITS DHA’IF
Secara
etimologi, term dha’if berasal dari kata dhu’fun yang berarti “lemah”, lawan
dari term al-qawiy, yang berarti kuat. Dengan makna bahasa ini, maka yang
dimaksud dengan hadits dha’if adalah hadits yang lemah atau hadits yang tidak
kuat.
Secara
terminologis, para ulama berbeda pendapat dalam merumuskannya. Namun demikian,
secara substansial, kesemuanya memiliki persamaan arti, Imam al-Nawawi,
misalnya, mendefinisikan hadits dha’if dengan “ hadits yang di dalamnya tidak
terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat-syarat hadits hasan.
Nur
al-Din ‘Itr, merumuskan hadits dha’if dengan “hadits yang hilang salah satu
syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul” (hadits yang shahih atau hadits
yang hasan)
Berdasarkan
definisi rumusan ‘Itr di atas, dapat dipahami bahwa hadits yang kehilangan
salah satu syarat dari syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan, maka
hadits tersebut dapat dikategorikan sebagai hadits dha’if. Artinya, jika salah
satu syarat saja hilang, disebut hadits dha’if, lalu bagaimana jika yang hilang
itu dua atau tiga syarat ? seperti, perawinya tidak adil, tidak dhabith, atau
terdapat kejanggalan dalam matannya. Maka hadits yang demikian, tentu dapat
dinyatakan sebagai hadits dha’if yang sangat lemah sekali.(2)
II. SEBAB-SEBAB KEDHA’IFAN HADITS
Para
ulama muhaditsin mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadits dari dua jurusan,
yakni dari jurusan sanad dan jurusan matan.
Sebab-sebab
tertolaknya hadits dari jurusan sanad adalah :
1.
Terwujudnya
cacat-cacat pada rawinya, baik tentang keadilan maupun ke-dhabit-annya.
2.
Ketidak
bersambungannya sanad, dikarenakan adalah seorang rawi atau lebih, yang
digugurkan atau saling tidak bertemu satu sama lain.
Adapun
cacat pada keadilan dan ke-dhabith-an rawi itu ada sepuluh macam, yaitu sebagai
berikut :
1.
Dusta
2.
Tertuduh
dusta
3.
Fasik
4.
Banyak
salah
________________________
(2) Mohammad Nor Ichwan. Membahas Ilmu-Ilmu
Hadits. Semarang: RaSAIL Media Group. 2013. Hlm. 221-222
5.
Lengah
dalam menghapal
6.
Menyalahi
riwayat orang kepercayaan
7.
Banyak
waham (purbasangka)
8.
Tidak
diketahui identitasnya
9.
Penganut
bid’ah
10. Tidak baik hapalannya (3)
III. PEMBAGIAN HADITS DHA’IF
Berdasarkan
penelitian para ulama hadits, bahwa kedha’ifan suatu hadits bisa terjadi pada
tiga tempat, yaitu pada sanad, pada matan dan pada perawinya. Dari ketiga
bagian ini, lalu mereka membagi hadits ke dalam beberapa macam hadits dha’if
yang jumlahnya sangat banyak sekali.
A.
Dha’if
Ditinjau Dari Segi Persambungan Sanad
Ditinjau
dari persambungan sanadnya (ittishal al-sanad), ternyata para ulama’ hadits
banyak menemukan hadits yang sanadnya tidak bersambung atau terputus. Dengan perspektif
ini, maka hadits tersebut dapat dikategorikan sebagai hadits dha’if.
Hadits-hadits yang tergolong dalam kelompok ini, diantaranya adalah hadits
mursal, hadits munqati’, hadits mu’dal, dan hadits mudallas.
1.
Hadits
Mursal
Secara etimologi, “mursal” diambil dari kata “irsal” yang berarti
“melepaskan”. Kata ini digunakan sebagai istilah untuk menyebut suatu hadits,
karena orang yang meriwayatkannya melepaskan hadits itu langsung kepada Nabi,
tanpa menyebutkan rawinya, yakni tidak menyebutkan seseorang yang pertama
mengeluarkan hadits itu.
Al-Hakim mendefinisikan hadits mursal ini dengan “hadits yang
disandarkan langsung oleh tabi’in kepada Rasul SAW, baik berupa perkataan,
perbuatan, maupun taqrirnya. Tabi’in dimaksud bisa tabi’in kecil maupun tabi’in
besar.
Dalam konteks ini, tabi’in ketika meriwayatkan hadits tidak
menyebutkan bahwa ia menerima hadits tersebut dari sahabat, melainkan langsung
ia terima dari Rasulullah SAW.
Berdasarkan definisi di atas, maka hadits mursal ini dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu mursal al-jali dan mursal al-khafi. Jenis hadits yang disebut
pertama, mursal al-jali yaitu tidak disebutkannya nama sahabat tersebut
dilakukan oleh tabi’in besar, sedang jenis hadits yang kedua, mursal al-khafi,
yaitu pengguguran nama sahabat dilakukan oleh tabi’in yang masih kecil.
________________________
(3) M. Agus Solahuddin, Agus Suyadi. Ulumul
Hadits. Bandung: Pustaka Setia. 2011. Hlm. 148-149
Termasuk dalam kategori hadits jenis ini adalah hadits yang
diriwayatkan oleh seorang sahabat yang ia sendiri tidak langsung menerima dari
Rasulullah SAW. Kemungkinannya, ia ketika itu masih kecil atau tidak hadir di
majlis Rasul pada saat hadits itu diwurudkan, akan tetapi dikatakannya bahwa ia
menerima hadits itu dari Rasul SAW. Oleh para ahli hadits, hadits yang
diriwayatkan dengan cara ini disebut mursal al-sahabi.
Para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan hadits mursal.
Menurut Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib bahwa perbedaan tersebut sampai sepuluh
pendapat, tetapi yang tergolong masyhur hanya tiga pendapat.
Pertama, membolehkan berhujjah dengan hadits mursal secara mutlak.
Ulama yang termasuk kelompok pertama ini adalah Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
Ahmad, dan pendapat sebagian ahli Ilmu.
Kedua, tidak membolehkan secara mutlak. Diceritakan oleh Imam
Nawawi bahwa pendapat ini di dukung oleh jumhur ulama ahli hadits, Imam
Syafi’i, kebanyakan ulama ahli fiqih dan ahli ushul.
Ketiga, membolehkan menggunakan hadits mursal apabila ada riwayat
lain yang musnad, diamalkan oleh sebagian ulama, atau sebagian besar ahli ilmu.
Apabila terdapat riwayat lain yang musnad, maka hadits mursal itu bisa
dijadikan hujjah, demikian pendapat jumhur ulama dan ahli hadits.
2.
Hadits
Munqati’
Para ulama berbeda pendapat dalam merumuskan definisi hadits
munqati’. Menurut Muhammad al-Sabag, hadits munqati’ adalah “hadits yang gugur
pada sanadnya seorang rawi, atau pada sanad tersebut disebutkan seseorang yang
tidak dikenal namanya”.
Sedangkan Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib mendefinisikannya sebagai “hadits
yang gugur sanadnya di satu tempat atau lebih, atau pada sanadnya disebutkan
nama seseorang yang tidak dikenal namanya”.
Sementara itu Ibnu Shalah mendefinisikannya sebagai “ hadits yang
gugur seorang perawinya sebelum sahabat pada satu tempat, atau gugur dua orang
perawinya pada dua tempat, yang tidak berturut-turut”.
Dari beberapa definisi di atas, dapat dipahami bahwa gugurnya
perawi pada hadits munqati’, tidak terjadi pada thabaqah pertama, yakni
thabaqah sahabat, tetapi pada thabaqah berikutnya; mungkin pada thabaqah kedua,
ketiga dan mungkin juga pada thabaqah keempat. Kadang-kadang, yang digugurkan
itu seorang perawi dan terkadang dua orang dengan tidak berturut-turut.
Dilihat dari segi persambungan sanadnya, hadits munqati’ jelas
termasuk dalam kategori hadits dha’if. Oleh karenanya, hadits jenis ini tidak
dapat dijadikan hujjah. Sebab, dengan gugurnya seorang perawi atau lebih,
menyebabkan hilangnya salah satu syarat dari syarat-syarat shahih, dan
karenanya tidak memenuhi syarat hadits shahih.
3.
Hadits
Mu’dhal
Secara etimologi, kata mu’dhal berarti “sesuatu yang sulit dicari”
atau “sesuatu yang sulit dipahami”. Disebut hadits mu’dhal karena seolah-olah
hadits itu menyulitkan, sehingga orang yang meriwayatkannya tidak memperoleh
manfaat.
Sedangkan secara terminologis, hadits mu’dhal didefinisikan sebagai
“hadits yang gugur dua orang sanadnya atau lebih, secara berturut-turut”.
Ada juga yang merumuskan hadits mu’dhal dengan “hadits yang gugur
dua orang perawinya atau lebih, secara berturut-turut, baik gugurnya itu antara
sahabat dengan tabi’in atau dua orang sebelumnya”.
Dengan kedua pengertian di atas, menunjukan, bahwa hadits mu’dhal
berbeda dengan hadits munqati’. Pada hadits mu’dhal, gugurnya dua orang perawi
terjadi secara berturut-turut. Sedang pada hadits munqati’, gugurnya dua orang
perawi, terjadi secara terpisah (tidak berturut-turut).
4.
Hadits
Mu’allaq
Secara etimologi, kata mu’allaq adalah isim maf’ul dari kata
‘allaqa, yang berarti “menggantungkan sesuatu pada sesuatu yang lain sehingga
ia menjadi tergantung”.
Sedangkan secara terminologis, hadits mu’allaq adalah “hadits yang
di hapus dari awal sanadnya seorang perawi atau lebih secara berturut-turut”.
Pada umumnya hadits mu’allaq bisa terbentuk :
a.
Bahwa
mukharrij hadits langsung berkata : Rasul SAW bersabda “....”; atau
b.
Mukharrij
hadits menghapus seluruh sanadnya, kecuali sahabat dan tabi’in.
Contoh hadits mu’allaq adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari
pada muqaddimah bab mengenai “menutupi paha”, berkata Abu Musa, “Rasulullah SAW
menutupi kedua lutut beliau ketika ‘Utsman masuk”.
Hadits di atas adalah mu’allaq, karena Bukhari menghapus seluruh
sanadnya, kecuali sahabat, yaitu Abu Musa al-Asy’ari.
Hadits mu’allaq adalah hukumnya mardud (tertolak), karena tidak
terpenuhinya salah satu syarat qabul, yaitu persambungan sanad, yang dalam hal
ini adalah dihapuskannya satu orang perawi atau lebih dari sanadnya, sementara
keadaan perawi yang dihapuskannya tersebut tidak diketahui.
Hukum ini adalah untuk hadits mu’allaq secara umum. Akan tetapi,
hadits mu’allaq yang terdapat di dalam kitab shahih, seperti kitab Shahih
Bukhari dan Muslim, mempunyai ketentuan khusus. Hal tersebut dikarenakan pada
dasarnya sanad dari hadits-hadits itu adalah bersambung, namun karena untuk
meringkas dan mengurangi terjadinya pengulangan, maka sebagian perawinya
dihapus. Para ulama secara khusus telah melakukan penelitian terhadap
hadits-hadits mu’allaq yang terdapat pada kitab Shahih Bukhari, dan mereka
telah membuktikan bahwa keseluruhan sanadnya adalah bersambung. Di antara karya
yang terbaik dalam hal ini adalah kitab Taghliq al-Ta’liq karya Ibn Hajar
al-‘Asqalani.
5.
Hadits
Mudallas
Secara etimologi, kata mudallas merupakan isim maf’ul dari kata
tadlis, yang berarti “ menyembunyikan cacat barang yang dijual dari si
pembeli”. Kata al-dalsu mengandung arti “gelap” atau “berbaur dengan gelap”.
Sedangkan secara terminologi ilmu hadits, didefinisikan sebagai
“menyembunyikan cacat dalam sanad dan menampakkannya pada lahirnya seperti
baik.
Para ulama membagi mudallas menjadi dua bagian, yaitu tadlis
al-isnad, dan tadlis al-syuyukh.
1.
Tadlis
al-isnad adalah seorang perawi meriwayatkan hadits dari orang yang semasa
dengannya yang hadits tersebut tidak di dengarnya dari orang itu namun
seolah-olah dia mendengarnya dari orang tersebut dengan menggunakan perkataan :
“berkata si fulan” atau “dari si fulan”, dan yang seumpamanya. Boleh jadi dia
menggunakan gurunya, atau orang lain, yang dha’if masih kecil, agar hadits
tersebut dipandang baik.
Ada
juga yang mendefinisikan tadlis al-isnad dengan seorang perawi meriwayatkan
hadits dari orang yang pernah ia riwayatkan haditsnya, namun hadits yang sedang
diriwayatkannya tersebut tidak di dengarnya dari orang itu dan dia juga tidak
menyebutkan secara tegas bahwa hadits tersebut di dengarnya dari orang itu.
Dari
definisi di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan tadlis al-isnad
adalah bahwa seorang perawi meriwayatkan hadits dari seorang guru yang telah/
pernah mengajarkan beberapa hadits kepadanya. Namun, hadits yang di tadli-nya
itu tidak diperolehnya dari guru tersebut, tetapi dari guru lain yang kemudian
guru itu digugurkannya (disembunyikannya). Perawi itu kemudian meriwayatkan
hadits tersebut dari gurunya yang pertama dengan lafaz yang mengandung
pengertian seolah-olah dia mendengarnya darinya, seperti perkataan qala atau
sami’a atau ‘an, sehingga orang lain menduga bahwa dia mendengar dari gurunya
yang pertama di atas. Dia tidak menyatakan secara tegas bahwa dia mendengar
hadits tersebut dari gurunya yang pertama itu dengan tidak menggunakan lafaz
atau sami’tu atau haddatsani sehingga ia tidak dianggap berdusta. Perawi yang
di gugurkannya tersebut boleh jadi satu orang atau lebih.
2.
Tadlis
al-syuyukh yaitu seorang perawi memberi nama, gelar, nisbah atau sifat kepada
gurunya dengan sesuatu nama atau gelar yang tidak dikenal. Atau dapat juga
dimaknai sebagai seorang perawi meriwayatkan hadits dari seorang guru yang di
dengarnya langsung dari guru tersebut, maka perawi tersebut menyebut nama guru
itu, gelarnya, nasabnya, atau sifatnya yang tidak dikenal orang agar orang lain
tidak mengenalnya.
Umpamanya,
perkataan Abu Bakar Ibn Mujahid : “haddatsana ‘Abdullah bin Abi ‘Abdillah”.
Yang dimaksud dengan Abdullah disini adalah Abu Bakar Ibn Abi Dawud
al-Sijistani.
B.
Dha’if
Ditinjau Dari Segi Sandarannya
Para
ahli hadits memasukkan ke dalam kelompok hadits dha’if dari segi
persandarannya, segala hadits yang mauquf dan yang maqtu’. Berikut akan dijelaskan
secara singkat masing-masing hadits dimaksud.
1.
Hadits
Mauquf
Hadits
mauquf adalah “hadits yang diriwayatkan dari para sahabat, baik berupa
perkataan, perbuatan, atau taqrirnya. Periwayatannya, baik bersambung atau
tidak”.
Ada
juga yang mendefinisikan hadits mauquf sebagai “hadits yang disandarkan kepada
sahabat”.
Dengan
demikian dapat dipahami bahwa hadits mauquf adalah apa saja yang disandarkan
kepada sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrirnya. Disebut
mauquf, karena sandarannya terhenti pada thabaqah sahabat.
Ibnu
Shalah membagi hadits mauquf menjadi dua bagian, yaitu mauquf al-mausul dan
mauquf ghair al-mausul. Mauquf al-mausul, berarti hadits mauquf yang sanadnya
bersambung sampai kepada sahabat, sebagai sumber hadits. Sedang yang dimaksud
dengan mauquf ghair al-mausul adalah hadits mauquf yang sanadnya tidak
bersambung. Dilihat dari segi persambungan ini, maka hadits mauquf ghair
al-mausul dinilai sebagai hadits dha’if yang lebih rendah dari pada hadits
mauquf al-mausul.
2.
Hadits
Maqtu’
Yang
dimaksud dengan hadits maqtu’ adalah “hadits yang diriwayatkan dari tabi’in dan
disandarkan kepadanya, baik perkataan maupun perbuatannya”. Atau dengan kata
lain, bahwa hadits maqtu’ adalah perkataan atau perbuatan tabi’in.
Seperti
halnya hadits mauquf, hadits maqtu’ jika dilihat dari segi sandarannya adalah
hadits yang lemah, yang karenanya tidak dapat dijadikan hujjah. Di antara para
ulama ada yang menyebut hadits mauquf dan hadits maqtu’ ini dengan al-atsar dan
al-khabar.
C.
Dha’if
Ditinjau Dari Segi Cacatnya Perawi
Yang
dimaksud dengan cacat pada perawi adalah terdapatnya kekurangan atau cacat
(jarh) pada diri perawi, baik dari segi keadilannya, agama, atau dari segi
ingatan, hafalan, dan ketelitiannya. Para ulama telah menginventarisir bahwa
setidaknya ada sepuluh penyebab terjadinya cacat pada seorang perawi. Lima hal
berhubungan dengan keadilan dan agamanya, dan lima hal lagi berhubungan dengan
ingatan dan hafalannya.
Cacat
yang berhubungan dengan keadilan seorang perawi diantaranya adalah :
1.
Al-kadzib
(pembohong / pendusta)
2.
Al-tuhmah
bi al-kadzib (dituduh berbohong)
3.
Fasik
4.
Berbuat
bid’ah, dan
5.
Tidak
diketahui keadaannya.
Sedangkan cacat
yang berhubungan dengan ingatan dan hafalan perawi adalah:
1.
Fahsy
al-ghalath (sangat keliru / sangat dalam kesalahannya)
2.
Su’
al-hifzh (buruk hafalannya)
3.
Al-ghaflah
(lalai)
4.
Katsrat
al-awhani (banyak perasangka), dan
5.
Mukhalafat
al-tsiqat (menyalahi perawi yang tsiqah)
Berikut
ini akan dijelaskan macam-macam hadits dha’if berdasarkan cacat yang dimiliki
oleh perawinya sebagaimana yang disebutkan di atas.
1.
Hadits
Matruk
Maksudnya
adalah suatu hadits yang perawinya mempunyai cacat al-tuhmah bi al-kadzib,
tertuduh dusta, yaitu peringkat kedua terburuk sesudah al-kadzib, pembohong
atau pendusta. Menurut istilah ilmu hadits, yang dimaksud dengan hadits matruk
adalah hadits yang terdapat pada sanadnya perawi yang tertuduh dusta.
Pada
umumnya seorang perawi yang tertuduh dusta adalah karena dia dikenal berbohong
dalam pembicaraannya sehari-hari, namun bukan secara nyata kebohongan tersebut
ditujukannya terhadap hadits Nabi SAW atau hadits tersebut hanya diriwayatkan
oleh dia sendirian sementara keadaannya menyalahi kaidah-kaidah umum.
Contoh
hadits matruk adalah hadits Amr Ibn Syamr al-Ja’fi al-Syi’i dari jabir dari Abi
al-Thufail dari ‘Ali dan ‘Ammar, keduanya berkata, “adalah Nabi SAW pada shalat
subuh dan bertakbir pada hari arafah mulai dari shalat subuh dan berakhir pada
waktu shalat asar di akhir hari tasyriq”.
Al-Nasa’i
dan Dar al-Quthni serta para ulama hadits yang lain mengatakan bahwa ‘Amr Ibn
Syamr tersebut haditsnya adalah matruk.
Hadits
matruk termasuk hadits dha’if yang paling buruk keadaannya sesudah hadits
mawdhu’. Ibnu Hajar menyatakan bahwa hadits dha’if yang paling buruk keadaannya
adalah hadits mawdhu’, dan setelah itu hadits matruk, kemudian hadits munkar,
hadits mu’allal, hadits mudraj, hadits maqlub, dan hadits mudhtharib.
2.
Hadits
Munkar
Hadits
munkar adalah hadits yang perawinya memiliki cacat dalam kadar yang sangat
kelirunya atau nyata kefasikannya. Dapat juga didefinisikan sebagai hadits yang
terdapat pada sanadnya seorang perawi yang sangat kelirunya, atau sering kali
lalai dan terlihat kefasikannya secara nyata.
Ada
juga yang mendefinisikan sebagai hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang
dha’if yang hadits tersebut berlawanan dengan yang diriwayatkan oleh perawi
yang tsiqat.
Berdasarkan
definisi yang disebutkan terakhir ini, maka terdapat persamaan dan perbedaan
antara hadits munkar dengan hadits syadz. Persamaannya adalah adanya
persyaratan pertentangan (al-mukhalafah) dengan riwayat perawi yang lain.
Namun, perbedaannya adalah bahwa pada hadits syadz pertentangan ini adalah
antara riwayat seorang perawi yang maqbul, yaitu yang shahih atau hasan, dengan
riwayat yang lebih tinggi kualitas keshahihan atau kehasanannya (awla);
sementara pada hadits munkar, pertentangan terjadi antara riwayat perawi yang dha’if
dengan riwayat perawi yang maqbul.
3.
Hadits
Mu’allal
Hadits
mu’allal adalah hadits yang perawinya cacat karena al-wahm, yaitu banyaknya
dugaan atau sangkaanyang tidak mempunyai landasan yang kuat. Umpamanya, seorang
perawi yang menduga suatu sanad adalah muttashil (bersambung) yang sebenarnya
adalah munqathi’ (terputus), atau dia mengirsalkan yang muttashil, memauqufkan
yang marfu’ dan sebagainya.
Para
ulama hadits mendefinisikannya sebagai “hadits yang apabila diteliti secara
cermat terdapat padanya ‘illat yang merusak keshahihan hadits tersebut meskipun
tampak secara lahirnya tidak cacat.
Maksud
‘illat disini adalah sesuai dengan pengertian ulama hadits, yaitu sebab yang
terselubung dan tersembunyi yang merusak keshahihan hadits. Dengan demikian,
ada dua unsur yang harus terpenuhi bagi suatu ‘illat :
a.
Al-ghumudh
wa al-khafa’, yaitu sifat terselubung dan tersembunyi, dan
b.
Al-qadh
fi shihhat al-hadits (merusak pada keshahihan hadits)
‘Illat
tersebut terkadang terdapat pada sanad, dan terkadang terdapat pada matan, atau
kedua-duanya. Menurut ‘Ajjaj al-Khathib, sehubungan dengan seringnya terjadi
‘illat tersebut pada sanad, seperti al-irsal, al-inqitha’, dan al-waqf, serta
yang semakna dengannya, maka dia mengelompokkan hadits mu’allal ini ke dalam
kelompok hadits dh’if pada pembagian hadits dha’if kelompok pertama, yaitu
ditinjau dari segi terputusnya sanad hadits.
4.
Hadits
Mudraj
Secara
etimologi, kata idraj berarti memasukkan sesuatu kepada susuatu yang lain dan
menggabungkannya dengan yang lain itu. Dengan demikian, maka hadits mudraj
adalah hadits yang terdapat padanya tambahan yang bukan bagian dari hadits
tersebut.
Para
ulama hadits membagi mudraj menjadi dua macam, yaitu :
a.
Mudraj
al-isnad
Yang dimaksud
dengan mudraj al-isnad adalah hadits yang bukan penuturan sanadya.
Bentuk dari
mudraj al-isnad ini adalah sebagai berikut : bahwa seorang perawi sedang
menyampaikan satu rangkaian sanad, maka tiba-tiba ketika itu terjadi satu
peristiwa yang menyebabka si perawi tersebut mengucapkan kalimat-kalimat yang
lahir dari dirinya sendiri. Mendengar hal itu, sebagian pendengarnya menduga
bahwa kalimat-kalimat itu adalah matan dari sanad yang dibacakan oleh si perawi
tadi, maka yang mendengar tadi pun meriwayatkan dari si perawi tersebut sanad
dan kalimat-kalimat yang di duganya matannya itu.
Contoh mudraj
al-isnad ini adalah kisah Tsabit Ibn Musa al-Zahid mengenai riwayatnya tentang
hadits “ siapa yang banyak shalatnya pada malam hari, wajahnya akan bagus pada
siang hari”.
Asal dari kisah
tersebut adalah, bahwa Tsabit Ibn Musa al-Zahid masuk ke rumah Syuraik Ibn ‘Abdullah
al-Qadhi yang ketika itu sedang meng-imlak-an hadits. Pada saat Syuraik sedang
membacakan rangkaian sanad hadits yang sedang di-imlak-annya itu, yaitu :
“haddatsana al-A’masy ‘an Abi Sufyan ‘an Jabir qala : qala Rasulullah SAW...”
Ketika sampai pada
perkataan “bersabda Rasulullah SAW itu” Syuraik diam sejenak untuk memberi
kesempatan menulis kepada mereka yang sedang menerima imla’ tersebut. Dan pada
saat itu Syuraik melihat Tsabit Ibn musa al-Zahid yang telah berada di tempat
itu sejak dia meng-imlak-an rangkaian sanad tadi, lalu, ketika melihat Tsabit
tersebut, Syuraik berkata : “man katsurat shalatuhu bi al-lail hasuna wajhuhu
bi al-nahar”.
Yang
dimaksudkan Syuraik dengan perkataannya tersebut adalah Tsabit itu sendiri,
yang sifat zuhud dan wara’; namun Tsabit ternyata memahaminya lain, yang
dipahaminya adalah bahwa perkataan Syuraik itu merupakan matan dari sanad yang
baru saja didengarnya, sehingga Tsabit meriwayatkan sanad dan perkataan Syuraik
tersebut sebagai matannya.
b.
Mudraj
al-matan
Sedangkan yang
dimaksud dengan mudraj al-matan adalah sesuatu yang dimasukkan kedalam matan
suatu hadits yang bukan bagian dari matan hadits tersebut, tanpa ada pemisahan
di antaranya, yaitu antara matan hadits dengan sesuatu yang dimasukkan tadi.
Ada juga yang
mendefinisikannya sebagai memasukkan sesuatu dari perkataan para perawi hadits
kedalam matan hadits, sehingga di duga perkataan tersebut merupakan bagian dari
sabda rasulullah SAW.
Tipe yang kedua
ini, yaitu mudraj al-matan terbagi kepada tiga macam, yaitu :
a.
Mudraj
di awal hadits
b.
Mudraj
di pertengah hadits
c.
Mudraj
di akhir hadits
5.
Hadits
Maqlub
Hadits
maqlub adalah mengganti suatu lafadz dengan lafadz yang lain pada sanad hadits
atau pada matannya dengan cara mendahulukan atau mengakhirkannya.
Maqlub
terbagi kepada dua macam, yaitu :
1.
Maqlub
sanad, yaitu penggantian yang terjadi pada sanad hadits. Bentuknya ada dua,
yaitu :
a.
Adakalanya
dengan menjadikan nama perawi menjadi nama ayahnya atau sebaliknya, seperti
“Ka’ab Ibn Murrah” menjadi “Murrah Ibn Ka’ab; dan
b.
Yaitu
mengganti nama seorang perawi dengan perawi lain yang berbeda pada thabaqat
yang sama, seperti mengganti hadits yang masyhur berasal dari “Salim” menjadi berasal dari “Nafi”.
2.
Maqlub
matan, yaitu penggantian yang terjadi pada matan hadits. Bentuknya adalah
dengan mendahulukan sebagian dari matan hadits tersebut atas sebagian yang
lain, seperti hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Muslim, padanya terdapat
lafadz berikut : “warajulun tashaddaqa bi shadaqatin fa ahfaha hatta la ta’lama
yaminuhu ma tunfiqu syimaluhu”.
Pada hadits ini
telah terjadi penggantian pada apa yang diriwayatkan oleh sebagian perawi yang
lain, yaitu “hatta la ta’lama syimaluhu ma tunfiqu yaminuhu”. Maqlub matan ini
dapat terjadi dengan cara menukarkan sanad dari suatu matan ke matan yang lain.
Hadits maqlub
ini hukumnya adalah dha’if dan karenanya tertolak serta tidak dapat dijadikan
dalil dalam beramal. Adapun pelakunya, apabila dia melakukan dengan sengaja,
maka hukumnya haram dan perbuatannya itu sama dengan pembuat hadits mawdhu’
(palsu). Namun, apabila dilakukan karena kelalaiannya, maka riwayatnya tidak
diterima dan jadilah dia seorang perawi yang cacat.
6.
Hadits
Mudhtharib
Secara
etimologi, kata mudhtharib berasal dari kata al-idhthirab, yang berarti
“rusaknya susunan dan keteraturan sesuatu”. Sedangkan menurut terminologi ilmu
hadits, hadits mudhtharib didefinisikan sebagai hadits hadits yang diriwayatkan
dalam beberapa bentuk yang berlawanan yang masing-masing sama-sama kuat.
Sementara
itu, menurut Ibn Shalah, hadits mudhtharib adalah hadits yang terjadi
perselisihan riwayat tentang hadits tersebut. Sebagian perawi meriwayatkannya
menurut satu cara dan yang lainnya menurut cara yang lain yang bertentangan
dengan cara yang pertama, sementara kedua cara tersebut adalah sama-sama kuat.
Dari
definisi diatas dapat dipahami bahwa hadits mudhtharib adalah hadits yang
diriwayatkan dalam beberapa bentuk yang berbeda dan saling bertentangan antara
satu dengan yang lainnya, sementara perbedaan dan pertentangan tersebut tidak
dapat dikompromikan selamanya, dan juga tidak dapat dilakukan tarjih karena
masing-masing bentuk tersebut sama kuatnya. Dengan demikian, suatu hadits baru
dapat dikatakan mudhtharib apabila terpenuhi dua syarat, yaitu :
a.
Terjadinya perbedaan riwayat tentang suatu
hadits yang perbedaan tersebut tidak dapat dikompromikan; dan
b.
Masing-masing
riwayat mempunyai kekuatan yang sama, sehingga tidak mungkin dilakukan tarjih
terhadap salah satu dari riwayat yang berbeda tersebut.
Hukum
hadits mudhtharib adalah dha’if, karena terdapatnya perbedaan dan pertentangan
dalam periwayatan hadits tersebut, yang hal ini merupakan indikasi bahwa
perawinya tidak memiliki sifat dhabith. Sementara adanya sifat al-dhabith
adalah merupakan syarat dari hadits shahih dan hasan.
7.
Hadits
Mushahhaf
Secara
stimologi, kata al-tashhif mengandung arti “kesalahan yang terjadi pada catatan
atau pada bacaan terhadap suatu catatan”. Sedangkan pengertiannya secara
terminologi adalah mengubah kalimat yang terdapat pada suatu hadits menjadi kalimat
yang tidak diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqah, baik secara lafadz maupun
maknanya.
Sebagian
ulama hadits lebih mepertegas definisi di atas dengan menjelaskan bentuk
perubahan yang terjadi, yaitu perubahan satu huruf atau beberapa huruf dengan perubahan
titik, sementara bentuk tulisannya tetap.
Hadits
mushahhaf, jika dilihat dari tempat terjadinya, terbagi menjadi dua, yaitu :
a.
Tashhif
pada sanad, yaitu perubahan yang ada pada sanad hadits, seperti hadits Syu’bah
dari al-‘Awwam Ibn Murajim ditashhif oleh Yahya Ibn Ma’in dengan mengatakan
dari al-‘Awwam Ibn muzahim. Perubahan terjadi pada kata murajim menjadi
muzahim, yang dalam hal ini titik pada huruf jim pada kata murajim dipindahkan
kepada huruf ra’nya, sehingga menjadi za’.
b.
Tashhif
pada matan, yaitu perubahan yang terdapat pada matan hadits, seperti hadits Abu
Syaibah al-Anshari, bahwasannya Nabi SAW bersabda : “man shama ramadhana wa
atba’ahu sittan min syawwalin...”
Hadits
ini ditashhif oleh Abu Bakar al-Shuli dengan mengatakan “man shama ramadhana wa
atba’ahu syaian min syawwalin...” yaitu dengan mengubah sittan menjadi syai’an.
Sedangkan
berdasarkan pada sumbernya, tashhif dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:
a.
Tashhif
bashar, yaitu keraguan yang terjadi pada penglihatan si pembaca (perawi) atas
tulisan, karena buruk atau rusaknya tulisan tersebut, atau karena tidak ada
titiknya. Umpamanya seperti pada contoh tashhif matan diatas ; perubahan kata
sittan menjadi syai’an.
b.
Tashhif
al-sama’ yaitu perubahan yang terjadi karena rusaknya pendengaran atau jauhnya
tempat orang yang mendengar sehingga terjadi keraguan terhadap sebagian
kata-kata yang mempunyai wazan sharaf seperti hadits yang diriwayatkan dari
‘Ashim al-Ahwal berubah menjadi Washil al-ahdab.(4)
________________________
(4) Mohammad Nor Ichwan. Membahas Ilmu-Ilmu Hadits. Semarang:
RaSAIL Media Group. 2013. Hlm. 222-244.
IV.
KEHUJJAHAN
HADITS DHA’IF
Adapun
tentang hadits dha’if, ada beberapa pendapat ulama tentang boleh atau tidaknya
diamalkan, atau dijadikan hujjah, yakni :
1.
Hadits
dha’if dapat diamalkan secara mutlak, yakni baik yang berkenaan dengan masalah
halal haram maupun yang berkenaan dengan masalah kewajiban, dengan syarat tidak
ada hadits lain yang menerangkannya. Pendapat ini disampaikan oleh beberapa
imam yang agung, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud, dan sebagainya.
Pendapat ini
tentunya berkenaan dengan hadits yang tidak terlalu dha’if, karena hadits yang
sangat dha’if itu ditinggalkan oleh para ulama; disamping itu hadits yang
dimaksud harus tidak bertentangan dengan hadits lain.
Seakan-akan
arah pendapat ini adalah bahwa apabila suatu hadits dha’if dimungkinkan benar
dan tidak bertentangan dengan teks dalil lainnya, maka segi kebenaran
periwayatan hadits ini sangat kuat, sehingga dapat diamalkan.
Diriwayatkan
oleh Ibnu Mandah bahwa ia mendengar Muhammad bin Sa’d al-Bawardi berkata,
“diantara pendirian Abu Abdirrahman al-Nasa’i adalah mengeluarkan hadits dari
setiap rawi yang tidak disepakati untuk ditinggalkan”. Ibnu Mandah juga
berkata, “demikian pula Abu Dawud al-Sijistani, mengambil hadits sebagaimana
pengambilan al-Nasa’i dan mencantumkan sanad yang dha’if apabila pada bab yang
bersangkutan tidak ada hadits lain, karena hadits yang demikian lebih kuat dari
pada pendapat ulama.
Berikut ini
pendapat Imam Ahmad; ia berkata, “sesungguhnya hadits dha’if lebih saya senangi
dari pada pendapat ulama, karena kita tidak boleh berpaling kepada qiyas
kecuali setelah tidak ada nash”.
Sekelompok
ulama lain menta’wilkan ucapan kedua Imam diatas bahwa yang mereka maksud
adalah bukan pengertian dha’if yang telah dikenal, melainkan yang mereka
maksudkan adalah hadits hasan, karena hadits hasan juga lemah dibandingkan
hadits shahih.
Akan tetapi
ta’wil ini bertentangan dengan ucapan Abu Dawud berikut ini, “sesungguhnya
sebagian sanad hadits dalam kitab sunan-ku ini ada yang tidak bersambung, yaitu
hadits mursal dan hadits mudallas. Hal itu terjadi ketika tidak dapat ditemukan
hadits-hadits shahih pada umumnya ahli hadits pada arti muttashil. Hadits yang
saya maksud adalah seperti al-Hasan dari Jabir, al-Hasan dari Abu Hurairah, dan
al-Hakam dari Miqsam dari Ibnu Abbas...
Jadi Abu dawud
menjadikan hadits yang yang tidak muttashil sebagai hadits yang patut diamalkan
ketika tidak ada hadits shahih, padahal telah maklum bahwa hadits munqathi’ itu
termasuk salah satu jenis hadits dha’if, bukan hadits hasan.
Disamping itu,
kalaupun kata “dha’if’ dapat di ta’wilkan dengan “hasan”, maka tidak ada
artinya para imam itu mengkhususkan hadits “dha’if” itu untuk diamalkan dan
mendahulukannya dari pada qiyas karena demikianlah madzhab kebanyakan ulama.
2.
Dipandang
baik mengamalkan hadits dha’if dalam fadha’il al-a’mal, baik yang berkaitan
dengan hal-hal yang dianjurkan maupun hal-hal yang dilarang. Demikian madzhab
kebanyakan ulama dari kalangan muhadditsin, fuqaha, dan lainnya. Imam
al-Nawawi, Seykh Ali al-Qari, dan Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan bahwa hal
itu telah disepakati para ulama.
Al-Hafidz Ibnu
Hajar menjelaskan dengan sangat baik bahwa syarat mengamlakan hadits dha’if itu
ada tiga.
a.
Telah
disepakati untuk diamalkan, yaitu hadits dha’if yang tidak terlalu dha’if
sehingga tidak bisa diamalkan hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang
pendusta atau dituduh dusta atau orang yang banyak salah.
b.
Hadits
dha’if yang bersangkutan berada dibawah suatu dalil yang umum sehingga tidak
dapat diamalkan hadits dha’if yang sama sekali tidak memiliki dalil pokok.
c.
Ketika
hadits dha’if yang bersangkutan diamalkan tidak disertai keyakinan atas
kepastian keberadaannya, untuk menghindari penyandaran kepada Nabi SAW sesuatu
yang tidak beliau katakan.
Al-Hafidz
al-Haitami membenarkan penggunaan dalil dengan hadits dha’if dalam beramal
sehubungan dengan fadha’il al-a’mal. Untuk itu ia berkata, “para ulama sepakat
untuk mengamalkan hadits dha’if sehubungan dengan fadha’il al-a’mal, karena
seandainya hadits yang bersangkutan itu hakikatnya shahih maka sudah seharusnya
ia diamalkan dan seandainya ia tidak shahih maka pengamalan terhadapnya itu
tidak mengakibatkan mafsadah berupa menghalalkan hal yang haram, mengharamkan
yang halal, dan menyia-nyiakan hak orang lain.
3.
Hadits
dha’if sama sekali tidak dapat diamalkan, baik yang berkaitan dengan faha’il
al-a’mal maupun yang berkaitan dengan halal haram. Pendapat ini dinisbahkan
kepada Qadhi Abu Bakar Ibn al-‘Arabi. Demikian pula pendapat al-Syihab
al-Khafaji dan al-Jalal al-Dawani. Pendapat ini dipilih oleh sebagian penulis
dewasa ini dengan alasan bahwa fadha’il al-a’mal itu seperti fardhu dan haram,
karena semuanya adalah syara’ dan karena pada hadits-hadits shahih dan
hadits-hadits hasan terdapat jalan lain selain hadits-hadits dha’if.
Demikian
pendapat para ulama sehubungan dengan pengamalan hadits dha’if. Dalam masalah
ini terdapat banyak persoalan dan perdebatan, dan kami berharap dapat
mengemukakannya dalam kesempatan lain. Namun sudah jelas bahwa pendapat yang
kedua adalah pendapat yang paling moderat dan paling kuat. Karena bila kita perhatikan
syarat-syarat pengamalan hadits dha’if yang ditetapkan oleh para ulama, maka
kita akan tahu bahwa hadits dha’if yang kita bahas adalah hadits yang tidak
ditegaskan sebagai hadits palsu, akan tetapi tidak dapat dipastikan
kedudukannya yang sebenarnya, melainkan masih senantiasa serba mungkin;
sedangkan kemungkinan itu akan menjadi kuat apabila tidak ada dalil yang
bertentangan dengannya dan pada saat yang sama berada dibawah naungan dalil
syara’ yang dapat diamalkan dan dijadikan sebagai sunnah diamalkan dan dapat
diterima.
Adapun anggapan
para penentang bahwa mengamalkan hadits dha’if dalam fadha’il al-a’mal itu
berarti menciptakan ibadah dan mensyari’atkan sesuatu yang tidak diizinkan
Allah dalam agama, telah dijawab oleh para ulama bahwa kita dianjurkan
berhati-hati dalam menjalankan urusan agama. Dan pengamalan hadits dha’if itu
termasuk hal yang demikian; dan oleh karenanya tidak boleh menetapkan suatu hal
dalam syara’ dengan hadits dha’if.
Menurut hemat
kami bila kita perhatikan syarat-syarat pengamalan hadits dha’if diatas, maka
akan kita dapatkan bahwa syarat-syarat itu menghilangkan anggapan bahwa
pengamalan hadits hadits dha’if itu menetapkan syara’ baru. Para ulama
mensyaratkan kandungan hadits dha’if itu harus berada dibawah suatu dalil syara’
yang umum dan sudah pasti keberadaannya, sehingga pokok pensyari’atannya
ditetapkan dengan dalil syara’ yang umum tersebut dan hadits dha’if itu
bersesuaian dengannya.
Contohnya
adalah hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam kitab sunan-nya ;
meriwayatkan kepada kami Abu Ahmad al-Marrar bin Hammuyah, katanya:
meriwayatkan kepada kami Muhammad bin al-Mushaffa, katanya: meriwayatkan kepada
kami Baqiyyah bin al-Walid dari Tsaur bin Yazid dari Khalid bin Mi’dan dari Abu
Umamah dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda :
من قام ليلتي العيدين يحتسب لله لم يمت قلبه يوم تموت القلوب
Barang siapa
berdiri mengerjakan shalat pada malam dua hari raya semata-mata karena Allah,
maka tidak akan mati hatinya pada hari semua hati mati.
Para rawi sanad
diatas adalah tsiqat. Hanya saja Tsaur bin Yazid dituduh sebagai berpaham
Qadariyah namun dalam kesempatan ini ia meriwayatkan hadits yang tidak
berkaitan dengan perilaku bid’ahnya itu sehingga tidak menghalangi
kehujjahannya.
Muhammad bin
Mushaffa adalah shaduq dan banyak haditsnya sehingga Ibnu Hajar menjulukinya
sebagai seorang Hafidz. Al-Dzahabi berkata, “Ia adalah tsiqat dan masyhur. Akan
tetapi, dalam beberapa riwayatnya terdapat banyak kemungkaran.
Dalam sanad
hadits diatas terdapat Baqiyyah bin Walid. Ia adalah salah seorang Imam yang
Hafidz. Ia adalah shaduq, akan tetapi ia banyak melakukan tadlis dari perawi
yang dha’if dan Muslim meriwayatkan hadits darinya hanya sebagai mutaba’ah.
Dalam kesempatan ini ia tidak menegaskan bahwa ia mendengar hadits tersebut
secara langsung dari Tsaur bin Yazid dan karenanya hadits ini menjadi dha’if.
Para ulama
berpendapat bahwa kita disunatkan menghidupkan malam dua hari raya dengan
dzikir kepada Allah dan bentuk ketaatan yang lain atas dasar hadits dha’if
diatas karena sebagaimana ditegaskan oleh al-Nawawi bahwa hadits tersebut dapat
diamalkan sehubungan dengan fadha’il al-a’mal.
Disamping itu,
telah kita ketahui shalat malam itu dianjurkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah
yang mutawattir. Disamping itu, pendekatan diri kepada Allah dengan dzikir dan
doa serta yang sejenisnya disenangi Allah dalam setiap waktu dan keadaan.
Keumuman pernyataan itu mencakup dua malam hari raya yang memiliki keutamaan
tersendiri.
Hal ini
menunjukkan bahwa hadits itu tidak mensyari’atkan sesuatu yang baru, melainkan
hadits itu datang sebagai petunjuk operasional bagi pokok syari’ah dan
dalil-dalilnya yang umum; dan oleh karena itu sama sekali tidak dapat diragukan
keharusan diamalkannya dan diikuti petunjuknya.(5)
________________________
(5) Nuruddin ‘Itr. ‘Ulum Al-Hadits 2. Terj. Drs. Mujiyo. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya. 1997. Hlm. 56-61.
KESIMPULAN
Dari
uraian diatas dapat diambil kesimpulan :
1.
Secara
etimologi, term dha’if berasal dari kata dhu’fun yang berarti “lemah”, lawan
dari term al-qawiy, yang berarti kuat. Dengan makna bahasa ini, maka yang
dimaksud dengan hadits dha’if adalah hadits yang lemah atau hadits yang tidak
kuat.
Secara terminologis, para ulama berbeda pendapat dalam
merumuskannya. Namun demikian, secara substansial, kesemuanya memiliki
persamaan arti, Imam al-Nawawi, misalnya, mendefinisikan hadits dha’if dengan “
hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan
syarat-syarat hadits hasan.
2.
Nur
al-Din ‘Itr, merumuskan hadits dha’if dengan “hadits yang hilang salah satu
syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul” (hadits yang shahih atau hadits
yang hasan)
Berdasarkan definisi rumusan ‘Itr di atas, dapat dipahami bahwa
hadits yang kehilangan salah satu syarat dari syarat-syarat hadits shahih atau
hadits hasan, maka hadits tersebut dapat dikategorikan sebagai hadits dha’if.
Artinya, jika salah satu syarat saja hilang, disebut hadits dha’if, lalu
bagaimana jika yang hilang itu dua atau tiga syarat ? seperti, perawinya tidak
adil, tidak dhabith, atau terdapat kejanggalan dalam matannya. Maka hadits yang
demikian, tentu dapat dinyatakan sebagai hadits dha’if yang sangat lemah
sekali.
3.
Berdasarkan
penelitian para ulama hadits, bahwa kedha’ifan suatu hadits bisa terjadi pada
tiga tempat, yaitu pada sanad, pada matan dan pada perawinya. Dari ketiga
bagian ini, lalu mereka membagi hadits ke dalam beberapa macam hadits dha’if
yang jumlahnya sangat banyak sekali.
4.
Adapun
tentang hadits dha’if, ada beberapa pendapat ulama tentang boleh atau tidaknya
diamalkan, atau dijadikan hujjah, yakni :
a.
Hadits
dha’if dapat diamalkan secara mutlak, yakni baik yang berkenaan dengan masalah
halal haram maupun yang berkenaan dengan masalah kewajiban, dengan syarat tidak
ada hadits lain yang menerangkannya. Pendapat ini disampaikan oleh beberapa
imam yang agung, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud, dan sebagainya.
b.
Dipandang
baik mengamalkan hadits dha’if dalam fadha’il al-a’mal, baik yang berkaitan
dengan hal-hal yang dianjurkan maupun hal-hal yang dilarang. Demikian madzhab
kebanyakan ulama dari kalangan muhadditsin, fuqaha, dan lainnya. Imam
al-Nawawi, Seykh Ali al-Qari, dan Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan bahwa hal
itu telah disepakati para ulama.
c.
Hadits
dha’if sama sekali tidak dapat diamalkan, baik yang berkaitan dengan faha’il
al-a’mal maupun yang berkaitan dengan halal haram. Pendapat ini dinisbahkan
kepada Qadhi Abu Bakar Ibn al-‘Arabi. Demikian pula pendapat al-Syihab
al-Khafaji dan al-Jalal al-Dawani. Pendapat ini dipilih oleh sebagian penulis
dewasa ini dengan alasan bahwa fadha’il al-a’mal itu seperti fardhu dan haram,
karena semuanya adalah syara’ dan karena pada hadits-hadits shahih dan
hadits-hadits hasan terdapat jalan lain selain hadits-hadits dha’if.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Al-Albany,
Muhammad Nashiruddin. 1999. Silsilatul-Ahaadiits adh-Dhaifah wal-Maudhu’ah wa
Atsaruhas-Sayyi’ fil Ummah. Terj. A.M. Basalamah. Jakarta: Gema Insani Press.
2.
Agus
Solahuddin, M, Suyadi, Agus. 2011. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia.
3.
Ichwan,
Mohammad Nor. 2013. Membahas Ilmu-Ilmu Hadits. Semarang: RaSAIL Media Group.
4.
‘Itr,
Nuruddin. 1997. ‘Ulum Al-Hadits 2. Terj. Drs. Mujiyo. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
No comments:
Post a Comment