Wednesday, March 19, 2014

AL-SABIQ WA AL-LAHIQ





Compiled by: ANDIKAMAULANA

I.                   PENDAHULUAN
Sebelum kita mempelajari hadits, baik mengenai mufradat (makna kata) nya, maupun mengenai tarakib (susunan kalimat) nya; sebelum kita memahami dalalah (petunjuk) nya serta hikmah yang dikandung di dalamnya dan sebelum kita meninjau persoalan-persoalan yang telah di istidlalkan (ditunjukkan) oleh para ahli, maka alangkah baiknya kita mempelajari walaupun secara ringkas, beberapa persoalan penting dalam ilmu hadits, seperti: al-Sabiq wa al-Lahiq (dua orang rawi yang sama-sama meriwayatkan hadits dari seseorang. Kemudian salah seorang dari mereka meninggal lebih dahulu dengan selang waktu cukup jauh), al-Muttafiq wa al-Muftariq (satu nama, nasab, dan sebagainya yang dipakai oleh lebih dari seorang perawi), dan al-Mu’talif wa al-Mukhtalif (nama atau nisbat yang tulisannya serupa tetapi bacaannya berbeda).

II.                POKOK PEMBAHASAN
1.      As-Sabiq wa al-Lahiq
2.      Al-Muttafiq wa al-Muftariq
3.      Al-Mu’talif wa al-Mukhtalif

III.             PEMBAHASAN
A.                As-Sabiq wa al-Lahiq
Secara etimologi as-Sabiq artinya yang mendahului, yang terdahulu, yang lewat, sedangkan al-Lahiq artinya yang mendapati, yang berhubungan, yang menyusul.[1] Menurut istilah as-Sabiq wa al-Lahiq adalah dua orang rawi yang sama-sama meriwayatkan hadits dari seseorang. Kemudian salah seorang dari mereka meninggal lebih dahulu dengan selang waktu cukup jauh.[2]
Penjelasannya: Apabila dua orang rawi yang pernah bersama-sama menerima hadits dari seorang guru, kemudian salah seorang dari padanya meninggal dunia, maka riwayat yang disampaikan oleh rawi yang meninggal mendahului kawannya itu disebut Riwayatu al-Sabiq, sedang riwayat yang disampaikan oleh orang yang terakhir meninggalnya disebut Riwayatu al-Lahiq.[3]
Contohnya adalah riwayat Zuhri dari Imam Malik, muridnya. Zuhri meninggal tahun 124 H. kemudian ada rawi lain, yaitu Ahmad bin Ismail al-Sahmi (w. 259 H), yang dikenal jujur meriwayatkan hadits dari Malik pula. Jarak antara meninggalnya Zuhri dan Sahmi adalah 135 tahun.[4] Sesuai dengan ketentuan di atas, bahwa periwayatan Zuhri, yang meninggal duluan ini, disebut Riwayatu al-Sabiq, sedangkan riwayat Sahmi, yang meninggal belakangan, disebut Riwayatu al-Lahiq.
Faedah mengetahui Riwayatu al-Sabiq wa al-Lahiq ini, ialah untuk menghindari persangkaan, bahwa ada rawi yang dibuang. Sebab di kala diketahui bahwa rawi yang menerima dan meriwayatkan hadits dari seorang guru telah meninggal, tidak mustahil ada persangkaan bahwa antara rawi yang terakhir wafatnya dengan guru yang memberikan hadits terdapat perantara, padahal tidak demikian. Karena itu hilanglah persangkaan pengguguran sanad oleh rawi yang terakhir wafatnya.
Di samping itu juga untuk mengetahui ketinggian sanad suatu hadits. Sebab sebagaimana diketahui apabila dua orang rawi sama-sama menerima hadits dari seorang guru, kemudian salah satunya wafat duluan, maka ketinggian hadits itu terletak pada hadits rawi yang wafat duluan, karena kadang-kadang ketinggian sanad hadits itu, disebabkan Karena terdahulunya kematian rawi. Al-Hafidz Ibnu Hajar, membatasi jarak kematian antara dua orang rawi, maksimal 150 tahun.
Al-Hafidz Abu Bakar al-Baghdady menyusun sebuah kitab dalam pengetahuan ini dengan judul “al-Sabiq wa al-Lahiq”.[5]

B.                 Al-Muttafiq wa al-Muftariq
Al-Muttafiq secara etimologi berarti yang cocok, yang sama, sedangkan al-Muftariq berarti yang berlainan.[6] Dalam istilah ilmu hadits al-Muttafiq wa al-Muftariq adalah satu nama, nasab, dan sebagainya yang dipakai oleh seorang perawi. Dengan kata lain, mereka sama dalam nama, tetapi merupakan orang yang berbeda.[7]
Penjelasannya: Persesuaian antara rawi yang satu dengan yang lain itu mengenai nama asli, nama samaran, keturunan atau lain sebagainya dalam ucapan dan bentuk tulisannya, tetapi berlainan orangnya yang dimaksud dengan nama tersebut, maka disebut dengan al-Muttafiq dan sebagai lawannya disebut dengan al-Muftariq.[8]
 Abu Amr bin al-Shalah membagi al-Muttafiq wa al-Muftariq ini menjadi beberapa bagian. Di antaranya adalah sebagai berikut.
a.       Para rawi yang nama mereka dan nama bapaknya sama, seperti Anas bin Malik. Nama yang demikian disandang oleh sepuluh orang. Lima di antaranya adalah periwayat hadits; pertama, pelayan Nabi saw. Kedua, Ka’bi Qusyairi yang meriwayatkan satu buah hadits. Ketiga, ayah Imam Malik. Keempat, Himshi, dan yang terakhir Kufi.
b.      Para rawi yang nama mereka, nama bapak, dan nama kakek mereka sama seperti Ahmad bin Ja’far bin Hamdan. Nama yang demikian disandang oleh empat orang; al-Qathi’I yang meriwayatkan Musnad Ahmad, al-Bashri, al-Dinauri, dan al-Tharasusi.
c.       Para rawi yang kunyah dan nisbat mereka sama, seperti Abu Imran al-Jauni. Nama yang demikian disandang oleh dua orang, yaitu Abdul Malik bin Habib al-Tabi’I dan Musa bin Sahl al-Bashri. Beliau pernah tinggal di Baghdad.
d.      Para rawi yang memiliki kesamaan dalam nisbat saja. Contoh al-Amuli dan al-Amuli. Yang pertama adalah nisbat kepada Amul di Thabaristan, sedangkan yang kedua adalah nisbat kepada Amul di Jaihun. Abu Sa’d al-Sam’ani berkata, “Kebanyakan ahli ilmu berasal dari Amul Thabaristan.” Para ulama yang dinisbatkan kepada Thabaristan kemudian dikenal dengan al-Thabari. Ulama yang dikenal dengan nisbat kepada Amul Jaihun adalah Abdullah bin Hammad al-Amuli, guru al-Bukhari.[9]
Al-Khathib al-Baghdadi telah menulis kitab dalam bidang ini dengan nama al-Muttafiq wa al-Muftariq, sebuah kitab yang menarik. Al-Hafidz Abu al-Fadhl Muhammad bin Tharir (w. 507 H) juga telah menyusun sebuah kitab tentang kesamaan nisbat dengan judul al-Ansab al-Muttafiqah. Kitab ini banyak membawa faedah yang penting. Abu al-Hasan Muhammad bin al-Hayawiyah telah menyusun kitab dalam disiplin ini dengan judul Man Wafadat Kunyatuhu Kunyata Zaujatihi Min al-Shahabah; seperti halnya Ummu Ayyub al-Anshariyah istri Abu Ayyub dan Ummu Ma’qil al-Asadiyah istri Abu Ma’qil.[10]
Faedah mengetahui al-Muttafiq wa al-Muftariq adalah dapat membedakan dua rawi atau lebih yang memiliki nama yang sama karena sangat mungkin seseorang akan menduga sejumlah nama yang sama adalah seorang pribadi, sementara yang satu tsiqat dan lainnya dhaif. Dengan demikian, dia akan dapat mendhaifkan hadits yang shahih atau menshahihkan hadits yang dhaif.[11]

C.                Al-Mu’talif wa al-Mukhtalif
Al-Mu’talif secara etimologi artinya yang berkumpul, sedangkan al-Mukhtalif artinya yang berselisihan.[12] Al-Mu’talif wa al-Mukhtalif dalam istilah ilmu hadits adalah nama atau nisbat yang tulisannya serupa tetapi bacaannya berbeda.[13]
Penjelasannya: kalau nama rawi, kunyah, laqab dan lain sebagainya itu sama pada bentuk tulisannya (khat) saja, sedang pada lafadz (ucapannya) tidak, maka hadits yang sanadnya demikian itu, disebut hadits al-Mu’talif, dan sebagai lawannya disebut hadits al-Mukhtalif.
Misalnya seorang rawi yang bernama Sallam (dengan huruf L rangkap) adalah nama yang paling popular. Adapun kalau dibaca takhfif (L-nya tidak rangkap) maka kadang-kadang yang dimaksud ialah Salam, kakek Abi ‘Ali Jubai, dan kadang-kadang Salam bin Misykam al-Yahudy.[14]
Contohnya lagi: Hizam, dengan zay dan sebelumnya ha’ yang dibaca kasrah oleh orang Quraisy, dan Haram, dengan ra’ dan sebelumnya ha’ yang dibaca fatah oleh orang Anshar.
Al-Adzra’I dengan dzal, yaitu Ishaq bin Ibrahim al-Adzra’I, dan al-Adra’I dengan dal, adalah nisbat yang disandang oleh sekelompok jamaah pada al-Adra’, yaitu Abu Ja’far Muhammad bin Ubaidillah, salah seorang pemuka Ahli Bait yang membunuh singa yang memakai baju perang. Karenanya ia diberi nama Adra.[15]
Sangat banyak kitab yang telah disusun dalam membahas bidang ini. Diantaranya yang sudah dicetak dan yang paling penting adalah:
1.      Al-Ikmal fi Rafi al-Irtiyab ‘an al-Mu’talif wa al-Mukhtalif min al-Asma wa al-Kuna wa al-Ansab karya Ibnu Makulan Ali bin Hibatullah (w. 475 H), seluruhnya delapan jilid.
2.      Al-Musytabih karya al-Imam al-Dzahabi. Kitab ini disusun untuk menghimpun kitab Ibnu Makulan dan kitab-kitab yang telah merevisinya serta kitab lainnya.
3.      Tabshir al-Muntabih bi Tahrir al-Musytabih karya al-Hafizh Ibnu Hajar. Kitab ini merupakan kitab terbaik dalam bidangnya, karena dilengkapi dengan tanda-tanda baca yang tertulis jelas, seperti layaknya kitab yang menyempurnakan hal-hal yang tidak dilakukan oleh al-Dzahabi.[16]

Faedah mempelajari tema ini adalah mencegah terjadinya sangkaan yang salah tentang seorang rawi atau menyamaratakannya dengan periwayat lain. Barang siapa tidak mengetahui disiplin ilmu ini akan banyak bersalah dan tidak mustahil akan kebingungan menutup malu.[17]

IV.             KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Secara etimologi as-Sabiq artinya yang mendahului, yang terdahulu, yang lewat, sedangkan al-Lahiq artinya yang mendapati, yang berhubungan, yang menyusul. Menurut istilah as-Sabiq wa al-Lahiq adalah dua orang rawi yang sama-sama meriwayatkan hadits dari seseorang. Kemudian salah seorang dari mereka meninggal lebih dahulu dengan selang waktu cukup jauh.
2.      Al-Muttafiq secara etimologi berarti yang cocok, yang sama, sedangkan al-Muftariq berarti yang berlainan. Dalam istilah ilmu hadits al-Muttafiq wa al-Muftariq adalah satu nama, nasab, dan sebagainya yang dipakai oleh seorang perawi. Dengan kata lain, mereka sama dalam nama, tetapi merupakan orang yang berbeda.
3.      Al-Mu’talif secara etimologi artinya yang berkumpul, sedangkan al-Mukhtalif artinya yang berselisihan. Al-Mu’talif wa al-Mukhtalif dalam istilah ilmu hadits adalah nama atau nisbat yang tulisannya serupa tetapi bacaannya berbeda.
 
V.                DAFTAR PUSTAKA
Rahman, Fatchur. 1991. Ikhtishar Mushthalahul Hadits. Bandung: PT Alma’arif.
Hasan, A. Qadir. 2002. Ilmu Mushthalah Hadits. Bandung: CV Penerbit Diponegoro.
‘Itr, Nuruddin. 2012. Al-Manhaj An-Naqd Fii ‘Uluum Al-Hadits. Edisi Indonesia: ‘Ulumul Hadits. Terj. Drs. Mujiyo. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.




[1] A. Qadir Hasan. Ilmu Mushthalah Hadits. Bandung: CV Penerbit Diponegoro. 2002. Hlm. 343.
[2] Dr. Nuruddin ‘Itr. Al-Manhaj An-Naqd Fii ‘Uluum Al-Hadits. Edisi Indonesia: ‘Ulumul Hadits. Terj. Drs. Mujiyo. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2012. Hlm. 149.
[3] Drs. Fatchur Rahman. Ikhtishar Mushthalahul Hadits. Bandung: PT Alma’arif. 1991. Hlm. 237.
[4] Dr. Nuruddin ‘Itr. Al-Manhaj An-Naqd Fii ‘Uluum Al-Hadits. Edisi Indonesia: ‘Ulumul Hadits. Terj. Drs. Mujiyo. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2012. Hlm. 149.
[5] Drs. Fatchur Rahman. Ikhtishar Mushthalahul Hadits. Bandung: PT Alma’arif. 1991. Hlm. 237.
[6] A. Qadir Hasan. Ilmu Mushthalah Hadits. Bandung: CV Penerbit Diponegoro. 2002. Hlm. 318.
[7] Dr. Nuruddin ‘Itr. Al-Manhaj An-Naqd Fii ‘Uluum Al-Hadits. Edisi Indonesia: ‘Ulumul Hadits. Terj. Drs. Mujiyo. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2012. Hlm. 170.
[8] Drs. Fatchur Rahman. Ikhtishar Mushthalahul Hadits. Bandung: PT Alma’arif. 1991. Hlm. 242-243.
[9] Dr. Nuruddin ‘Itr. Al-Manhaj An-Naqd Fii ‘Uluum Al-Hadits. Edisi Indonesia: ‘Ulumul Hadits. Terj. Drs. Mujiyo. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2012. Hlm. 171.
[10] Ibid. hlm. 172.
[11] Ibid. hlm. 171.
[12] A.Qadir Hasan. Ilmu Mushthalah Hadits. Bandung: CV Penerbit Diponegoro. 2002. Hlm. 322.
[13] Dr. Nuruddin ‘Itr. Al-Manhaj An-Naqd Fii ‘Uluum Al-Hadits. Edisi Indonesia: ‘Ulumul Hadits. Terj. Drs. Mujiyo. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2012. Hlm. 172.
[14] Drs. Fatchur Rahman. Ikhtishar Mushthalahul Hadits. Bandung: PT Alma’arif. 1991. Hlm. 243.
[15] Dr. Nuruddin ‘Itr. Al-Manhaj An-Naqd Fii ‘Uluum Al-Hadits. Edisi Indonesia: ‘Ulumul Hadits. Terj. Drs. Mujiyo. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2012. Hlm. 173.
[16] Ibid. 175.
[17] Ibid. hlm. 174.

No comments: