Monday, March 24, 2014

HAJI DAN UMRAH



Compiled by: ANDIKAMAULANA


A.    PENDAHULUAN
Semenjak Nabi Ibrahim as diperintahkan Allah SWT untuk mengumandangkan panggilan haji, sejak saat itu pula hingga kini, ibadah haji telah dikenal_minimal oleh setiap Muslim_sebagai kewajiban yang ditetapkan oleh Allah SWT bagi setiap yang mampu.
Jika demikian, panggilan atau katakanlah undangan untuk melaksanakan haji telah diterima oleh semua manusia, lebih-lebih umat Islam. Karenanya, keliru ucapan sebagian orang yang enggan berkunjung ke rumah-Nya sambil berkata: “Tidak! Semua Muslim telah mendapat panggilan. Bukankah semua telah mengetahui bahwa haji adalah kewajiban bagi yang mampu?
Keliru pula orang yang menduga bahwa haji adalah panggilan Nabi Ibrahim as. Tidak! Haji adalah panggilan Ilahi, dank arena itu pula jamaah haji dinamai Dhuyuf ar-Rahman (Tamu-tamu Allah SWT Yang Maha Pengasih). Bukankah mereka berkunjung ke Baitullah (Rumah Allah)? Tuan rumah yang baik pastilah menyambut baik pula setiap tamunya. Tuan rumah yang pemurah akan menyediakan segala sesuatu yang menyenangkan tamunya, selama sang tamu tulus bertamu, bersikap wajar dan berucap baik. Janganlah Allah SWT sebagai tuan rumah, manusia terhormat pun demikian.[1]
Pada makalah kali ini, Insya Allah kami akan mencoba menguraikan sedikit tentang Haji dan Umrah, yang akan kami sistematiskan pembahasannya dirumusan masalah dibawah ini.

B.     POKOK PEMBAHASAN
1.      Definisi Haji dan Umrah
2.      Syarat-syarat Haji dan Umrah
3.      Hukum-Hukum A’mal Haji dan Umrah

PEMBAHASAN
1.      Definisi Haji dan Umrah
Syeikh Muhammad bin Qasim Asy-Syafi’i Rahmatullahi ‘Alaihi Waridlwanuhu, dalam kitabnya Fath al-Qarib mendefinisikan haji secara bahasa dengan arti “menuju”. Sedangkan menurut Syara’ ialah “menuju tanah Mekkah karena menjalankan Ibadah.[2]
Sementara itu, Dr. Wahbah al-Zuhaily dalam kitabnya al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, mendefinisikan haji secara bahasa dengan arti “sembarang maksud”. Beliau pun mengutip pendapatnya al-Khalil, “Haji itu bermaksud banyak terhadap siapa yang diagungkan”. Menurut syara’ (hukum Islam), haji bermaksud mengunjungi ka’bah untuk menunaikan perbuatan tertentu atau menziarahi tempat tertentu pada waktu tertentu dengan perbuatan tertentu. Ziarah adalah berpergian. Tempat tertentu adalah Ka’bah dan ‘Arafah. Waktu tertentu adalah bulan-bulan haji, yaitu Syawal, Dzulqaidah, Dzulhijjah (10 hari darinya). Setiap pekerjaan itu ada waktu-waktu khususnya. Menurut jumhur, thawaf contohnya dimulai dari sejak fajar pada hari Nahr. Perbuatan tertentu contohnya seseorang melakukan ihram untuk niat haji menuju tempat-tempat tertentu.[3]
Umrah menurut bahasa bermakna ziarah. Menurut pendapat yang lain, umrah bermakna menuju suatu tempat yang ramai. Disebut demikian, karena umrah dilaksanakan sepanjang umur. Sedangkan menurut syara’, umrah bermakna mengunjungi ka’bah untuk melaksanakan ibadah (nusuk), thawaf dan sa’i. umrah tidak mencakup haji, sedangkan haji mencakup umrah.[4]

2.      Syarat-Syarat Haji dan Umrah
Syarat-syarat haji dan umrah. Syarat-syarat itu ada yang bersifat umum yaitu meliputi laki-laki dan wanita, atau syarat-syarat khusus untuk wanita. Jika syarat-syarat itu telah terpenuhi, wajiblah melaksanakan haji. Jika syarat tidak terpenuhi, tidak wajib pula haji.

Syarat Umum, diantaranya;
a.       Syarat wajib, syarat sah dan syarat menunaikannya, yaitu Islam dan berakal;
b.      Syarat wajib dan memenuhi bukan syarat sahnya, yaitu balig dan merdeka;
c.       Syarat wajib saja, yaitu istitha’ah (mampu)
Syarat-syarat ini akan diterangkan sebagai berikut:
1.      Islam
Haji tidak wajib bagi orang kafir, tidak dituntut selama ia kafir di dunia, dan haji tidak sah baginya, karena ia tidak berhak untuk menunaikan ibadah. Jika orang kafir naik haji, kemudian ia Islam, maka wajib baginya haji secara Islam, serta haji semasa ia kafir tidak dianggap.
2.      Taklif (Balig dan Berakal)
Haji tidak wajib bagi anak kecil dan yang hilang akal, karena keduanya tidak dituntut hukum syara’. Keduanya tidak wajib menunaikan haji. Juga haji atau umrah tidak sah bagi yang hilang akalnya karena ia tidak mampu untuk ibadah.
3.      Merdeka
Haji tidak wajib bagi hamba, sebab haji merupakan ibadah yang memakan waktu panjang. Ia berhubungan dengan lamanya perjalanan juga disyaratkan mampu mengadakan bekal dan kendaraan. Dan si hamba akan menyia-nyiakan segala hak tuannya, maka haji tidak wajib baginya seperti tidak wajibnya jihad.
4.      Kesanggupan Badan, Harta dan Keamanan yang Menjamin Haji
Menurut Hanafiyah Istitha’ah itu meliputi tiga hal; yaitu mampu secara badan, harta dan jaminan keamanan. Kemampuan badan seperti kesehatan. Tidak perlu pergi haji bagi orang yang sakit atau yang berpenyakit menahun (tidak sembuh-sembuh), orang jompo, lumpuh, dll.
Adapun kemampuan harta adalah memiliki harta lebih dan kendaraan. Diperkirakan bekal pergi dan pulang serta kendaraan merupakan kelebihan setelah kebutuhan rumah tangga yang pasti seperti pakaian, alat-alat rumah tangga pembantu dan yang lainnya. Karena dari nafkah keluarganya yang wajib diberi nafkah setelah kepulangannya.
Adapun mampu dalam jaminan keamanan, yaitu perjalanan cukup menjamin keselamatan sekalipun dengan sogokan, sebab kemampuan haji tidak akan positif tanpa keamanan. Keamanan itu syarat wajib, menurut riwayat imam Abu Hanifah. Menurut sebagian, termasuk syarat melaksanakannya.[5]

Syarat-syarat Khusus bagi Wanita
a.       Disertai suaminya atau mahramnya
Jika salah satu dari keduanya tidak ada, maka ia tidak wajib haji. Hal ini sesuai dengan hadits, “wanita tidak boleh pergi bertigaan, kecuali disertai mahramnya”, dan hadits, “seorang istri tidak boleh pergi haji kecuali dengan istrinya.
b.      Tidak dalam keadaan beriddah karena di thalaq atau wafat
Allah telah melarang wanita yang sedang iddah untuk pergi keluar, dengan firmannya, “janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka diizinkan keluar,….” (Q.S. 65: 1). Sebab pelaksanaan haji mungkin dapat dilakukan pada tahun lain. Adapun pelaksanaan haji yang beriddah, wajib pada waktu khusus yaitu setelah dithalaq atau ditinggal mati suaminya. Terpenuhinya kedua syarat tersebut lebih utama.[6]

3.      Hukum-Hukum A’mal Haji dan Umrah
a.      A’mal Haji
1.      Ihram: Yaitu niat haji atau umrah atau keduanya seperti orang mengatakan: “Saya niat haji atau umrah dan saya ihram haji (umrah) karena Allah Ta’ala. Bila meghajikan atau mengumrahkan orang lain, ia mengatakan: “Saya niat haji atau umrah atas nama fulan dan ihram atas namanya karena Allah Ta’ala. Kemudian ia membaca Talbiyyah seusai shalat dua rakaat ihram.
2.      Memasuki Mekkah dari sebelah atasnya, yaitu kadaa’ kemudian masuk masjidil haram dari pintu Bani Syaibah lalu melakukan thawaf qudum dari mulai rukun aswad.
3.      Thawaf, yaitu ada tiga; thawaf qudum, ‘ifadah dan thawaf wada.
4.      Sa’I antara Shafa dan Marwah.
5.      Wuquf di Arafah dan Mina. Keluar menuju Mina pada tanggal 8 Dzulhijjah yaitu pada hari tarwiyah. Disana melaksanakan sholat Dzuhur, Ashar serta Mabit (menginap) kemudian pergi menuju ‘Arafah setelah terbit matahari, lalu menjama’ antara Dzuhur dan Ashar beserta imam di Masjid Namiroh atau masjid lainnya. Selanjutnya berwuquf di ‘Arafah ketika orang melakukannya.
6.      Mabit di Muzdalifah, yaitu tempat antara Mina dan ‘Arafah. Jamaah haji kumpul di Muzdalifah selama batas waktu terbit fajar malam Ied, mereka melaksanakan shalat fajar di Masjidil Haram, yaitu batas akhir tanah Muzdalifah, mereka melakukan wuquf untuk bertadharu’ dan berdoa kemudian bertolak dari Muzdalifah menuju Mina sebelum terbit matahari
7.      Melontar beberapa jumrah. Pada hari nahr seorang haji melontar jumrah Aqobah ula setelah terbit matahari dengan tujuh kerikil. Dan melontar tiga jumrah lainnya pada hari di Mina yaitu hari kedua ‘Ied, ketiga dan keempatnya. Setiap kali jumrah, melontar dengan tujuh kerikil, mulai dengan jumrah ula yang berdekatan dengan masjid Khaif dari arah ‘Arafah. Kemudian jumrah wustha selanjutnya jumrah Aqabah antara tergelincir dan terbenam matahari.
8.      Bercukur dan menggunting rambut. Bercukur lebih utama untuk pria dan wanita menggunting rambut, tidak mencukurnya serta memotong seluruh rambutnya sebatas ujung jari, dan berdoa ketika bercukur hal ini dilaksanakan pada hari nahr setelah melontar jumrah dan menyembelih hewan qurban bila wajib. Selanjutnya menuju Mekkah untuk melakukan thawaf ifadah sebagai thawaf fardhu.
9.      Menyembelih hewan qurban setelah melontar jumrah. Dan boleh bercukur sebelum qurban dan qurban sebelum jumrah, serta boleh menyembelih qurban sebelum terbit matahari.
10.  Thawaf wada, thawaf ini disunatkan menurut Malikiyah dan wajib menurut jumhur. Penduduk Mekkah dan penduduk lainnya yang bermukim di sana tidak disuruh thawaf wada. Menurut Malikiyah, bila dating haid setelah thawaf ifadah, wanita mesti pergi sebelum thawaf wada.[7]

b.      A’mal Umrah
1.      Ihram
2.      Thawaf
3.      Sa’I antara bukit Shafa dan Marwah, dan
4.      Bercukur atau menggunting rambut[8]

c.       Rukun Haji
Dalam ibadah haji, rukun adalah sesuatu yang apabila tidak dikerjakan sesuai ketentuannya, maka ibadah haji tidak sah.[9]
Rukun-rukun haji itu ada 4 (empat), yaitu:
1.      Ihram yang disertai dengan niat, yakni niat masuk menunaikan haji.
2.      Wuquf di tanah Arafah, yang dimaksudkan ialah datangnya orang yang ihram haji dalam waktu yang sebentar saja sesudah condongnya matahari pada hari tanggal 9 Dzulhijjah dengan syarat, bahwa orang yang wuquf itu ahli ibadah, tidak gila dan tidak pula ayan.
3.      Thawaf di Baitullah (Ka’bah) sebanyak 7 kali putaran. Thawaf tersebut dimulai dari arah Hajar Aswad, seluruh badannya ditepatkan (ketika memulai) pada Hajar Aswad itu. Seandainya seseorang memulai Thawaf selain dari arah Hajar Aswad, maka Thawafnya ini tidak ada artinya.
4.      Sa’I antara Shafa dan Marwah sebanyak 7 kali.
Adapun syaratnya Sa’i, yaitu hendaknya seseorang memulai pada permulaan Sa’inya dari Shafa dan mengakhirinya di Marwah. Dan dihitung perginya orang dari Shafa ke Marwah satu kali, kemudian kembalinya dari Marwah ke Shafa dihitung lagi satu kali
            “Shafa” dengan dibaca pendek, pengertiannya ialah bagian pinggir dari bukit Abi Qubaisy. Sedang “Marwah” dengan dibaca fathah Mimnya artinya ialah nama bagi suatu tempat yang sudah terkenal di negeri Mekkah.
            Dan masih ada lagi beberapa rukun haji, seperti mencukur atau menggunting rambut. Hal ini jika memang kami menjadikan masing-masing dari keduanya sebagai ibadah (rukun) dan yang demikian itu adalah pendapat yang masyhur.
            Jika kami berkata, bahwa sesungguhnya masing-masing dari keduanya itu sebagai usaha memperbolehkan perkara yang dilarang, maka keduanya bukanlah termasuk dari golongan rukun-rukun haji.[10]

d.      Rukun Umrah
Adapun rukun-rukunnya Umrah itu ada 3 perkara sebagaimana menurut sebagian keterangan, tetapi menurut sebagian keterangan lain rukun-rukun umrah itu ada 4 perkara, yaitu:
1.      Ihram
2.      Thawaf
3.      Sa’i
4.      Mencukur atau menggunting rambut (menurut salah satu dari dua pendapat)
Mengikuti salah satu dari dua pendapat itu adalah lebih unggul, seperti keterangan yang baru saja disebutkan di muka. Jika tidak mengikuti maka berarti mencukur atau menggunting rambut itu tidak termasuk ke dalam rukun-rukun umrah.[11]

e.       Wajib Haji
Wajib, dalam ibadah haji atau umrah, adalah sesuatu yang jika dibaikan­_ secara keseluruhan, atau tidak memenuhi syaratnya_maka haji atau umrah tetap sah, tetapi orang yang bersangkutan harus melaksanakan sanksi yang telah ditetapkan.
Adapun hal-hal yang bersifat wajib dalam konteks ibadah haji adalah:
1.      Berihram di Miqat
2.      Berada di Muzdalifah setelah pertengahan malam walau sejenak
3.      Berada di Mina pada malam hari-hari Tasyriq
4.      Melontar jamarat pada setiap hari-hari Tasyriq
5.      Menghindari apa yang diharamkan dalam konteks berihram.[12]

f.       Sunnah-Sunnah Haji dan Umrah
Secara garis besar sunnah-sunnah yang dianggap penting adalah:
1.      Mandi, memakai haruman ketika ihram dan shalat dua rakaat ihram.
2.      Membaca talbiyah seusai ihram dan sesudah tiap-tiap shalat.
3.      Thawaf qudum menurut jumhur, bahkan wajib menurut Malikiyah.
4.      Shalat dua rakaat thawaf menurut Syafi’iyah dan Hanabilah. Menunaikannya wajib menurut Hanafiyah dan Malikiyah.
5.      Mabit di Mina pada malam Arafah, melaksanakan shalat lima waktu di Mina pada hari Tarwiyah.
6.      Mabit di Muzdalifah pada malam nahar sampai kelihatan siang sebelum terbit matahari adalah sunat menurut Hanafiyah. Hanabilah mengatakan bahwa mabit di Muzdalifah adalah wajib. Wajibnya itu selama berhentinya melakukan perjalanan, menurut Malikiyah. Dan menurut Syafi’iyah, mabit di Muzdalifah cukup dengan hanya beberapa saat pada pertengahan malam.
7.      Mabit di Mina pada malam-malam Tasyriq sunat menurut Hanafiyah, dan wajib menurut imam lainnya, yaitu bagi yang tidak berhalangan, demi mengikuti sunnah Rasul SAW yang diriwayatkan Abu Dawud.
8.      Al-Tahshib, yaitu singgah di lembah Muhashab setelah nafar dari Mina menuju Mekkah di antara dua bukit pekuburan Hajun. Hal ini sunnah menurut Hanafiyah dan Hanabilah dan dianjurkan menurut yang lainnya. Serta disepakati semuanya, bahwa hal itu tidak termasuk salah satu manasik yang mesti dilaksanakan.
9.      Khutbah haji, yaitu satu kali khutbah ba’da Dzuhur. Kecuali khutbah Arafah yaitu dua khutbah sebelum shalat setelah zawal.[13]

KESIMPULAN
1.      Syeikh Muhammad bin Qasim Asy-Syafi’i Rahmatullahi ‘Alaihi Waridlwanuhu, dalam kitabnya Fath al-Qarib mendefinisikan haji secara bahasa dengan arti “menuju”. Sedangkan menurut Syara’ ialah “menuju tanah Mekkah karena menjalankan Ibadah.
Sementara itu, Dr. Wahbah al-Zuhaily dalam kitabnya al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, mendefinisikan haji secara bahasa dengan arti “sembarang maksud”. Beliau pun mengutip pendapatnya al-Khalil, “Haji itu bermaksud banyak terhadap siapa yang diagungkan”. Menurut syara’ (hukum Islam), haji bermaksud mengunjungi ka’bah untuk menunaikan perbuatan tertentu atau menziarahi tempat tertentu pada waktu tertentu dengan perbuatan tertentu.

2.      Syarat-Syarat Haji
Syarat Umum, diantaranya;
a)      Syarat wajib, syarat sah dan syarat menunaikannya, yaitu Islam dan berakal;
b)      Syarat wajib dan memenuhi bukan syarat sahnya, yaitu balig dan merdeka;
c)      Syarat wajib saja, yaitu istitha’ah (mampu)
Syarat-syarat Khusus bagi Wanita
a)      Disertai suaminya atau mahramnya
b)      Tidak dalam keadaan beriddah karena di thalaq atau wafat

3.      Hukum A’mal Haji dan Umrah
Rukun Haji
a.       Ihram
b.      Wukuf di Arafah
c.       Thawaf al-Ifadhah
d.      Sa’i antara Shafa dan Marwah
e.       Menggundul atau bercukur rambut
f.       Tertib/ Berurutan

Wajib Haji
1.      Berihram di Miqat
2.      Berada di Muzdalifah setelah pertengahan malam walau sejenak
3.      Berada di Mina pada malam hari-hari Tasyriq
4.      Melontar jamarat pada setiap hari-hari Tasyriq
5.      Menghindari apa yang diharamkan dalam konteks berihram
Rukun Umrah
1.      Ihram
2.      Thawaf
3.      Sa’i
4.      Mencukur atau menggunting rambut
Sunnah-sunnah Haji dan Umrah
1.      Mandi, memakai haruman ketika ihram dan shalat dua rakaat ihram.
2.      Membaca talbiyah seusai ihram dan sesudah tiap-tiap shalat.
3.      Thawaf qudum menurut jumhur, bahkan wajib menurut Malikiyah.
4.      Shalat dua rakaat thawaf menurut Syafi’iyah dan Hanabilah. Menunaikannya wajib menurut Hanafiyah dan Malikiyah.
5.      Mabit di Mina pada malam Arafah, melaksanakan shalat lima waktu di Mina pada hari Tarwiyah.
6.      Mabit di Muzdalifah pada malam nahar sampai kelihatan siang sebelum terbit matahari adalah sunat menurut Hanafiyah. Hanabilah mengatakan bahwa mabit di Muzdalifah adalah wajib. Wajibnya itu selama berhentinya melakukan perjalanan, menurut Malikiyah. Dan menurut Syafi’iyah, mabit di Muzdalifah cukup dengan hanya beberapa saat pada pertengahan malam.
7.      Mabit di Mina pada malam-malam Tasyriq sunat menurut Hanafiyah, dan wajib menurut imam lainnya, yaitu bagi yang tidak berhalangan, demi mengikuti sunnah Rasul SAW yang diriwayatkan Abu Dawud.
8.      Al-Tahshib, yaitu singgah di lembah Muhashab setelah nafar dari Mina menuju Mekkah di antara dua bukit pekuburan Hajun. Hal ini sunnah menurut Hanafiyah dan Hanabilah dan dianjurkan menurut yang lainnya. Serta disepakati semuanya, bahwa hal itu tidak termasuk salah satu manasik yang mesti dilaksanakan.
9.      Khutbah haji, yaitu satu kali khutbah ba’da Dzuhur. Kecuali khutbah Arafah yaitu dua khutbah sebelum shalat setelah zawal

DAFTAR PUSTAKA
Quraish Shihab, M. 2012. Haji dan Umrah bersama M. Quraish Shihab: Uraian Manasik, Hukum, Hikmah & Panduan Meraih Haji Mabrur . Tangerang: Lentera Hati.

Muhammad bin Qasim Asy-Syafi’I, Abu Abdillah. Tanpa Tahun. Fath al-Qarib. Terj. Drs. H. Imron Abu Amar. Kudus: Menara Kudus.

Al Zuhaily, Wahbah. 2006. Al-Fiqhul Islamy Wa Adillatuhu. Terj. Prof. KH. Masdar Helmy. Bandung: Pustaka Media Utama.



[1] M. Quraish Shihab. Haji dan Umrah bersama M. Quraish Shihab: Uraian Manasik, Hukum, Hikmah & Panduan Meraih Haji Mabrur . Tangerang: Lentera Hati. 2012. Hlm. 47-48.
[2] Abu Abdillah Muhammad bin Qasim Asy-Syafi’i. Fath al-Qarib. Terj. Drs. H. Imron Abu Amar. Kudus: Menara Kudus. Tanpa Tahun. Hlm. 198.
[3] Dr. Wahbah al Zuhaily. Al-Fiqhul Islamy Wa Adillatuhu. Terj. Prof. KH. Masdar Helmy. Bandung: Pustaka Media Utama. 2006. Hlm. 167.
[4] Ibid. hlm. 168.
[5] Ibid. hlm. 177- 189.
[6] Ibid. hlm. 189-190.
[7] Ibid. hlm. 225-226.
[8] Ibid. hlm. 226.
[9] M. Quraish Shihab. Haji dan Umrah bersama M. Quraish Shihab: Uraian Manasik, Hukum, Hikmah & Panduan Meraih Haji Mabrur . Tangerang: Lentera Hati. 2012. hlm. 227.
[10] Abu Abdillah Muhammad bin Qasim Asy-Syafi’i. Fath al-Qarib. Terj. Drs. H. Imron Abu Amar. Kudus: Menara Kudus. Tanpa Tahun. Hlm. 200-202.
[11] Ibid. hlm. 202.
[12] M. Quraish Shihab. Haji dan Umrah bersama M. Quraish Shihab: Uraian Manasik, Hukum, Hikmah & Panduan Meraih Haji Mabrur . Tangerang: Lentera Hati. 2012. hlm. 242-262.
[13] Dr. Wahbah al Zuhaily. Al-Fiqhul Islamy Wa Adillatuhu. Terj. Prof. KH. Masdar Helmy. Bandung: Pustaka Media Utama. 2006. Hlm. 331-333.

No comments: