Monday, March 24, 2014

FILSAFAT BARAT KONTEMPORER


(EXISTENSIALISME, FENOMENOLOGI, & FILSAFAT HIDUP)


Compiled by: ANDIKAMAULANA


I.                   PENDAHULUAN
Pada kira-kira tahun 1890 dimulailah suatu zaman yang baru, yang dalam banyak hal berbeda dengan zaman yang mendahuluinya, tetapi yang masih ada juga kesinambungannya. Abad ke-20 masih juga dijiwai oleh pandangan bahwa yang paling baik untuk menemukan kebenaran di bidang filsafat adalah cara yang dengan sadar meninggalkan apa yang telah dapat disumbangkan oleh para pemikir yang terdahulu di bidang itu. Dengan demikian sifat individualistis yang telah tampak pada abad ke-19 menjadi berlarut-larut, sehingga sering sukar sekali untuk mengerti pangkal pemikiran para ahli piker itu.
Pada umumnya pada bagian pertama abad ke-20 terdapat bermacam-macam aliran yang berdiri sendiri-sendiri dan yang terdapat di bermacam-macam Negara. Masing-masing menyebarkan pengaruh yang mendalam dalam masyarakat di sekitarnya. Pada zaman parohan pertama abad ke-20 umpamanya terdapat aliran Pragmatisme di Inggris dan Amerika, Filsafat Hidup di Prancis dan Jerman, Fenomenologi dan masih ada lain-nya lagi.[1]

II.                POKOK PEMBAHASAN
Di dalam makalah ini kita tidak akan membicarakan semua aliran yang ada. Kita akan membatasi diri pada beberapa aliran saja, sbb:
1.      Filsafat Eksistensialisme
2.      Fenomenologi Edmund Husserl
3.      Filsafat Hidup Bergson 

III.             PEMBAHASAN
A.    Filsafat Eksistensialisme
Setelah selesai Perang Dunia Kedua, penulis-penulis Amerika (terutama wartawan) berbondong-bondong pergi menemui filosof eksistensialisme, misalnya mengunjungi filosof Jerman Martin Heidegger (lahir 1839) di gubuknya yang terpencil di Pegunungan Alpen sekalipun ia telah bekerja sama dengan Nazi. Tatkala seorang filosof eksistensialisme, Jean Paul Sartre (lahir 1905), mengadakan perjalanan keliling Amerika, dia disebut oleh surat-surat kabar Amerika sebagai the king of Existensialism. Bila cerita-cerita sandiwaranya dipentaskan, orang telah menyiapkan ambulans untuk mengangkut penonton yang jatuh pingsan. Demikianlah sekadar penggambaran kehebatan filsafat eksistensialisme. Sayangnya filsafat ini sulit dipahami oleh pemula. Marilah kita mulai dengan memperhatikan lebih dulu definisi eksistensialisme.
Tidak mudah membuat definisi eksistensialisme. Kesulitannya ialah karena existensialism embraces a variety of style and convictions (Encyclopedia Americana: 10;762). Kaum eksistensialis sendiri tidak sepakat mengenai rumusan tentang apa sebenarnya eksistensialisme itu. Sekalipun demikian, ada sesuatu yang disepakati: baik filsafat eksistensi maupun eksistensialisme sama-sama menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.
Kata dasar eksistensi (existency) adalah exist yang berasal dari kata latin ex yang berarti keluar dan sistere yang berarti berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Pikiran semacam ini dalam bahasa Jerman disebut dasein. Da berarti di sana, sein berarti berada. Berada bagi manusia selalu berarti disana, di tempat. Tidak mungkin ada manusia tidak bertempat. Bertempat berarti terlibat dalam alam jasmani, bersatu dengan alam jasmani. Akan tetapi, bertempat bagi manusia tidaklah sama dengan bertempat bagi batu atau pohon. Manusia selalu sadar akan tempatnya. Dia sadar bahwa ia menempati. Ini berarti suatu kesibukan, kegiatan, melibatkan diri. Dengan demikian, manusia sadar akan dirinya sendiri. Jadi, dengan keluar dari dirinya sendiri manusia sadar tentang dirinya sendiri; ia berdiri sebagai aku atau pribadi.
Apa yang dapat diambil dari uraian singkat itu? Yang dapat dimabil antara lain ialah bahwa cara berada manusia itu menunjukkan bahwa ia merupakan kesatuan dengan alam jasmani, ia satu susunan dengan alam jasmani, manusia selalu mengonstruksi dirinya dalam alam jasmani sebagai satu susunan. Karena manusia selalu mengonstruksi dirinya, jadi ia tidak pernah selesai. Dengan demikian, manusia selalu dalam keadaan membelum; ia selalu sedang ini atau sedang itu. Jadi, manusia selalu menyedang. Sartre menyatakan bahwa hakikat beradanya manusia bukan etre (ada), melainkan a etre (akan atau sedang). Jadi, manusia itu selalu membangun ada-nya.
Filsafat eksistensi tidak sama persis dengan filsafat eksistensialisme. Yang dimaksud dengan filsafat eksistensi adalah benar-benar sebagaimana arti katanya, yaitu filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral. Ini adalah satu ragam filsafat. Tokoh-tokoh yang dapat dogolongkan ke dalam filsafat eksistensi telah banyak terdapat sebelum lahirnya filsafat eksistensialisme. Adapun yang dimaksud dengan filsafat eksistensialisme rumusan lebih sulit daripada eksistensi.
Eksistensialisme menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda lain tidaklah sama. Manusia berada di dunia; sapi dan pohon juga. Akan tetapi, cara beradanya  tidak sama. Manusia berada di dalam dunia; ia mengalami beradanya di dunia itu; manusia menyadari dirinya berada di dunia itu. Manusia juga menghadapi dunia, menghadapi dengan mengerti yang dihadapinya itu. Manusia mengerti guna pohon, batu, dan slah satu di antaranya ialah mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti. Apa arti semua ini? Artinya ialah bahwa manusia adalah subjek. Subjek artinya yang menyadari, yang sadar. barang-barang yang disadarinya disebut objek.[2]

B.     Fenomenologi Edmund Husserl
Filsafat zaman kita dipengaruhi secara mendalam oleh fenomenologi yang diajarakan oleh Edmund Husserl (1859-1938). Seperti halnya kaum neo-kantian, Husserl bertolak dari filsafat ilmu. Husserl, yang tadinya seorang ahli matematika, memandang perlu untuk memberikan dasar kefilsafatan yang semakin lanjut kepada masalah-masalah teoretik yang diajukan. Dalam hal ini ia sampai pada keinsyafan yang tegas, bahwa setiap pendekatan mengenai masalah-masalah tersebut harus dimulai dengan menemukan cara yang khas untuk memahami fenomena-fenomena. Fenomenologi berkembang sebagai metode untuk mendekati fenomena-fenomena dalam kemurniaanya. Gagasan ini merupakan pedoman yang tetap dalam seluruh perkembangan yang dialami oleh fenomenologi Husserl.
Apakah fenomena itu? Segala sesuatu yang dengan sesuatu cara tertentu tampil dalam kesadaran kita. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan maupun yang berupa kenyataan. Yang penting ialah pengembangan suatu metode, yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat mendeskripsikan seperti penampilannya. Untuk keperluan itu orang hendak memusatkan perhatiaannya kepada fenomena tersebut tanpa prasangka sama sekali. Seorang fenomenolog hendak menanggalkan segenap teori, praanggapan serta prasangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana adanya.
Tetapi sesungguhnya usaha kembali kepada barangnya sendiri ini tetap merupakan usaha kembali kepada barangnya, seagaimana penampilannya dalam kesadaran. Barang yang tampil dalam kesadaran itulah fenomena. Bagi Husserl pada masa pertama ajarannya mengenai fenomenologi, ini tidak berarti bahwa barang-barang tersebut hanya merupakan bentuk penampilan kesadaran, seperti yang dikatakan idealisme. Karena jika demikian halnya, berarti sudah mendasarkan pada diri atas suatu teori tertentu, sedangkan fenomenologi justru harus bersifat prateoritik. Yang demikian ini juga tidak berarti bahwa Husserl ingin menjadi seorang realis: sesungguhnya fenomenologi menempati kedudukan sebelum terdapatnya pembedaan antara realisme dengan idealisme.
Usaha kembali kepada fenomena ini memerlukan pedoman metodik. Kiranya tidak mungkin untuk melukiskan fenomena-fenomena sampai kepada hal-hal yang khusus satu demi satu, dan seandainya mungkin, juga tidak aka nada gunanya. Yang pokok ialah menangkap hakikat fenomena-fenomena. Karenanya metode tersebut harus begitu rupa, sehingga dapat menyisihkan hal-hal yang tidak hakiki, dan agar hakikat ini dapat mengungkapkan dirinya sendiri. Yang demikian ini bukan suatu abstraksi, melainkan suatu intuisi mengenai hakikat. Bagi Husserl masalah metode ini begitu mendasarnya, sehingga dalam karya-karyanya metodik ini senantiasa mendapat tempat yang utama. Hal ini berlaku baik dalam karyanya Logische Untersuchengen (1900-01), yang di dalamnya untuk pertama kalinya dimuat rencana fenomenologi, maupun dalam karya-karyanya yang kemudian. Dalam karya-karya yang diterbitkan sesudah ia meninggal, kita dapati penerapan-penerapan metode ini secara lebih kongkret pada berbagai bidang kenyataan yang ada.[3]

C.     Filsafat Hidup Bergson 
Pada abad yang ke-19 dan awal abad ke-20 ilmu pengetahuan dan tehnik berkembang dengan cepat, yang mengakibatkan perkembangan industrialisasi yang cepat juga. Hal ini menjadikan segala pemikiran orang diarahkan kepada hal-hal yang bendani saja. Akal manusia dipakai untuk menyelidiki segala sesuatu. Segala sesuatu di analisa, dibongkar dan ditafsirkan, serta disusun kembali. Juga ilmu yang menyelidiki jiwa manusia (psikologi) berbuat demikian. Baik jagat raya maupun manusia dipandang sebagai mesin, yang terdiri dari banyak bagian, yang masing-masing menempati tempatnya sendiri-sendiri, serta yang bekerja menurut hukum yang telah ditentukan bagi masing-masing bagian itu. Demikianlah juga halnya dengan manusia. Roh bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Kerjanya disebabkan karena akibat proses-proses bendani yang berjalan karena keharusan, seperti umpamanya: ginjal harus mengeluarkan air kencing, jantung harus memompa darah, otak harus mengeluarkan buah pikiran, dan lain sebagainya.
Salah satu reaksi terhadap pandangan yang demikian itu adalah filsafat hidup, yang salah seorang penganutnya adalah HENRI BERGSON (1859-1941), seorang yang berdarah campuran Perancis dan Yahudi, semula ia belajar Matematika dan Fisika. Tetapi karena justru kecakapannya untuk menganalisa itulah ia segera dihadapkan dengan persoalan-persoalan Metafisika yang tersembunyi di belakang tiap ilmu pengetahuan. Hal ini menyebabkan dia berpaling ke filsafat.
Banyak buah tulisannya, di antaranya: Essai sur les donnees immediate de la conscience, atau “Karangan mengenai hal-hal yang langsung ditemui dalam kesadaran” (1889), yang diterbitkan dalam bahasa inggris di bawah judul Time and Free Will, atau “Waktu dan Kehendak Bebas”; L’Evolution creatrice, atau “Evolusi yang Kreatif” (1907); Les Deux sources de la morale et de la religion, atau “Kedua sumber kesusilaan dan agama” (1932).
Semula Bergson mengagumi Spencer, tetapi makin ia mendalami ajaran Spencer makin ragu-ragu ia terhadap kebenaran ajaran yang mengemukakan, bahwa hidup berasal dari benda atau materi yang tanpa hidup.
Menurut Bergson, hidup adalah suatu tenaga eksplosif yang telah ada sejak awal dunia, yang berkembang dengan melawan penahanan atau penentangan materi (sesuatu yang lamban yang menentang gerak, yang oleh akal dipandang sebagai materi atau benda). Jikalau gerak perkembangan hidup itu digambarkan sebagai gerak ke atas, maka materi adalah gerak ke bawah, yang menahan gerak ke atas itu. Dalam perkembangannya sebagai gerak ke atas hidup menjumpai penahanan gerak ke bawah itu. Hal ini mengakibatkan hidup terbagi-bagi menuju arus yang menuju ke banyak jurusan, yang sebagian ditundukkan oleh materi, sedang bagian yang lain tetap memiliki kecakapannya untuk berbuat secara bebas dengan terus berjuang keluar dari genggaman materi. Bergson yakin akan adanya evolusi, tetapi tidak seperti yang diajarkan Darwin, yang menggambarkan evolusi sebagai perkembangan segaris, yang satu sesudah yang lain, dengan manusia sebagai puncaknya. Menurut Bergson evolusi adalah suatu perkembangan yang menciptakan, yang meliputi segala kesadaran, segala hidup, segala kenyataan, yang dalam perkembangannya itu terus menerus menciptakan bentuk-bentuk yang baru dan menghasilkan kekayaan yang baru. Evolusi ini tidak terikat kepada keharusan seperti keharusan yang tersirat di dalam hukum sebab akibat yang mekanis. Evolusi, demikian Bergson, bukan bergerak ke satu arah di bawah dorongan suatu semangat hidup yang bersifat tumbuh-tumbuhan perkembangan itu kandas dalam bentuk-bentuk yang tanpa kesadaran; pada binatang perkembangan itu berhenti dalam naluri, sedang pada manusia perkembangan itu berlangsung sampai pada akal.
Yang disebut naluri adalah tenaga bawaan kelahiran guna memanfaatkan alat-alat organis tertentu dengan cara tertentu. Kerjanya terjadi otomatis, tanpa memberi tempat kepada spontanitas atau pembaharuan (karena naluri burung membuat sarangnya). Naluri semata-mata diarahkan kepada kepentingan kelompok atau rumpunnya. Oleh karena itu sifat individual ditaklukkan kepada sifat kelompok (semut, lebah, dll).
Manusia memiliki akal, yaitu kecakapan untuk menciptakan alat-alat kerja bagi dirinya dan secara bebas dapat mengubah-ubah pembuatan alat-alat kerja itu. Akal mencakapkan manusia untuk menyadarkan diri akan kepentingan-kepentingan individu. Akan tetapi kala tidak dapat dipakai untuk menyelami hakikat yang sebenarnya dari segala kenyataan. Sebab akal adalah hasil perkembangan, yaitu perkembangan dalam rangka proses hidup. Akal timbul karena proses penyesuaian manusia. Dengan akalnya manusia dapat menyesuaikan diri dengan dunia sekitarnya. Oleh karena itu akal memiliki fungsi yang praktis. Itulah sebabnya akal tidak dapat menyelami hakikat yang sebenarnya dari segala kenyataan. Dalam hidup yang praktis itu akal harus mempergunakan pengertian-pengertian guna mengabadikan perubahan-perubahan yang ada. Padahal pengertian-pengertian adalah gagasan-gagasan yang tak bergerak, yang telah membeku, yang merusak hakikat kenyataan yang dirumuskan dalam pengertian itu. Kerja akal sama seperti kerja alat potret, yang mengabadikan gerak-gerak yang dipotret dalam gambar yang mati. Oleh karena itu akal berguna sekali bagi pemikiran ilmu fisika dan mekanika, tetapi tidak berguna bagi penyelaman ke dalam hakikat segala sesuatu.
Guna menyelami hakikat segala kenyataan diperlukan intuisi, yaitu suatu tenaga rohani, suatu kecakapan yang dapat melepaskan diri dari akal, kecakapan untuk menyimpulkan serta meninjau dengan sadar. Intuisi adalah naluri yang telah mendapatkan kesadaran diri, yang telah dicakapkan untuk memikirkan sasarannya serta memperluas sasaran itu menurut kehendak sendiri tanpa batas. Intuisi adalah suatu bentuk pemikiran yang berbeda dengan pemikiran akal, sebab pemikiran intuisi bersifat dinamis. Fungsi intuisi ialah untuk mengenal hakikat pribadi atau “aku” dengan lebih murni dan untuk mengenal hakikat seluruh kenyataan. Hakikat yang sebenarnya, baik dari “aku” maupun dari “seluruh kenyataan” oleh intuisi dilihat sebagai “kelangsungan murni” atau “masa murni”, yang keadaannya berbeda sekali dengan “waktu” yang dikenal akal.
Demikianlah filsafat hidup Bergson yang besar sekali pengaruhnya di Perancis.[4]

IV.             KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Eksistensialisme menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda lain tidaklah sama. Manusia berada di dunia; sapi dan pohon juga. Akan tetapi, cara beradanya  tidak sama. Manusia berada di dalam dunia; ia mengalami beradanya di dunia itu; manusia menyadari dirinya berada di dunia itu. Manusia juga menghadapi dunia, menghadapi dengan mengerti yang dihadapinya itu. Manusia mengerti guna pohon, batu, dan slah satu di antaranya ialah mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti. Apa arti semua ini? Artinya ialah bahwa manusia adalah subjek. Subjek artinya yang menyadari, yang sadar. barang-barang yang disadarinya disebut objek.
2.      Apakah fenomena itu? Segala sesuatu yang dengan sesuatu cara tertentu tampil dalam kesadaran kita. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan maupun yang berupa kenyataan. Yang penting ialah pengembangan suatu metode, yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat mendeskripsikan seperti penampilannya. Untuk keperluan itu orang hendak memusatkan perhatiaannya kepada fenomena tersebut tanpa prasangka sama sekali. Seorang fenomenolog hendak menanggalkan segenap teori, praanggapan serta prasangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana adanya.
3.      Bergson (1859-1941) kenyataan yang selalu “menjadi” hanya dapat dicapai dengan intuisi, tak dapat dinyatakan dengan pengertian-pengertian yang abstrak. Sangat besar pengaruhnya.

V.                DAFTAR PUSTAKA
Delfgaauw, Bernard. 2001. De Wijsbegeerte Van De 20e Eeuw. Filsafat Abad 20 (Edisi Indonesia). Terj. Drs. Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Hadiwijono, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: kanisius.
Tafsir, Ahmad. 2003. Filsafat Umum (Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra). Bandung: Remaja Rosdakarya.



[1] Dr. Harun Hadiwijono. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: kanisius. 1980. Hlm. 130.
[2] Prof. Dr. Ahmad Tafsir. Filsafat Umum (Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra). Bandung: Remaja Rosdakarya. 2003. Hlm. 217-222.
[3] Dr. Bernard Delfgaauw. De Wijsbegeerte Van De 20e Eeuw. Filsafat Abad 20 (Edisi Indonesia). Terj. Drs. Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana. 2001. Hlm. 104-106.
[4] Dr. Harun Hadiwijono. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: kanisius. 1980. Hlm. 135-139.

No comments: