Sumber Gambar Disini
Compiled by: ANDIKA MAULANA
I.
PENDAHULUAN
Tak
kenal maka tak sayang, demikianlah bunyi pepatah. Banyak orang mengaku mengenal
Allah, tapi mereka tidak cinta kepada Allah. Buktinya, mereka banyak melanggar
perintah dan larangan Allah. Sebabnya, ternyata mereka tidak mengenal Allah
dengan sebenarnya.
Ilmu
tentang mengenal Allah merupakan ilmu yang paling mulia. Ilmu tentang Allah
adalah pokok dan sumber segala ilmu. Maka barangsiapa mengenal Allah, dia akan
mengenal yang selain-Nya dan barangsiapa yang jahil tentang Rab-Nya, niscaya
dia akan lebih jahil terhadap yang selainnya.
Kita
beriman bahwa Allah memiliki nama-nama yang Dia telah menamakan diri-Nya dan
yang telah dinamakan oleh Rasul-Nya. Dan beriman bahwa Allah memiliki
sifat-sifat yang tinggi yang telah Dia sifati diri-Nya dan yang telah disifati
oleh Rasul-Nya.
Pada
makalah ini, akan dibahas Asma al-Husna (nama-nama Allah yang terbaik), yang
didasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an yang secara tersurat membahas tentang Asma
al-Husna serta penafsiran para Ulama Tafsir
tentang ayat-ayat tersebut.
II.
POKOK PEMBAHASAN
1. Bagaimana
Tafsir Surat Al-A’raf Ayat 180?
2. Bagaimana
Tafsir Surat Yusuf Ayat 39-40?
3. Bagaimana
Tafsir Surat Al-Isra’ Ayat 110-111?
4. Bagaimana
Tafsir Surat Al-Hasyr Ayat 22-24?
III.
PEMBAHASAN
A.
Tafsir
Surat Al-A’raf Ayat 180
“Hanya milik
Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul
husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam
(menyebut) nama-nama-Nya. nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang
telah mereka kerjakan.”
v
PENGERTIAN
SECARA UMUM
Kutipan
ayat sebelumnya, yaitu Surat Al-A’raf ayat 179:
“Dan
Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan
manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu
sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah
orang-orang yang lalai.”
Setelah Allah SWT menerangkan pada surat
Al-A’raf ayat 179, bahwa makhluk-makhluk Allah yang menjadi calon penghuni
neraka adalah mereka yang lalai menggunakan akal dan panca indera untuk
mengambil pelajaran dari tanda-tanda kebesaran Tuhan dan untuk memahami ilmu
yang berguna dalam mensucikan jiwa mereka, yang karena kelalaian tersebut maka
akibatnya mereka lupa sama sekali untuk memperbaiki diri mereka baik dengan
mengingat Allah, bersyukur kepadanya maupun memuji dengan sifat-sifat yang
patut dipanjatkan kepada-Nya, maka selanjutnya pada surat Al-A’raf ayat 180, Allah
menerangkan pula obatnya untuk menyembuhkan kelalaian tersebut, dan ditunjukkan
pula oleh-Nya jalan keluar agar mereka melakukan kebalikannya, yaitu selalu
ingat kepada Allah dan berdoa kepada-Nya, baik secara rahasia maupun
terang-terangan pagi maupun sore.[1]
v
PENJELASAN
Firman Allah SWT, “Hanya milik Allah Asma al-Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan
menyebut Asma al-Husna itu.” Firman ini adalah perintah Allah agar manusia
melakukan ibadah dengan ikhlas karena-Nya. Selain itu, ayat ini merupakan
perintah untuk menghindari orang-orang yang musyrik dan orang-orang yang sesat.
Muqatil dan beberapa ahli tafsir
mengatakan, ayat ini diturunkan berkenaan dengan kisah salah seorang muslim di
zaman Nabi SAW. Ketika itu ia shalat atau berdoa dengan membaca lafadz “ya rahman ya rahim.” Lalu orang-orang
musyrik Makkah berkata kepadanya, “Bukankah Muhammad dan teman-temannya
mengatakan bahwa mereka menyembah Tuhan Yang Maha Esa, lalu mengapa engkau
berdoa dengan menyebut dua nama Tuhan?” Tak lama kemudian turunlah firman Allah
SWT “Hanya milik Allah Asma al-Husna,
maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma al-Husna itu.”[2]
Kata al-asma’
adalah bentuk jamak dari kata al-ism
yang biasa diterjemahkan dengan nama.
Ia berakar dari kata as-sumuw yang
berarti ketinggian atau as-simah yang berarti tanda. Memang nama merupakan tanda bagi
sesuatu sekaligus harus dijunjung tinggi.[3]
Kata al-husna
adalah bentuk muannats/feminism dari
kata ahsan yang berarti terbaik. Penyifatan nama-nama Allah
dengan kata yang berbentuk superlative ini menunjukkan bahwa nama-nama tersebut
bukan saja baik tapi juga yang terbaik dibandingkan dengan yang lainnya, yang
dapat disandangnya atau baik hanya untuk hanya selain-Nya saja, tapi tidak baik
untuk-Nya.[4]
Didahulukannya kata lillah pada firman-Nya wa
lillah al-asma al-husna menunjukkan bahwa nama-nama indah itu hanya milik
Allah semata. Kalau Anda berkata Allah
Rahim, rahmat-Nya pasti berbeda
dengan rahmat si A yang juga boleh jadi Anda sandangkan padanya.[5]
Huruf ha’
yang terdapat pada dhamir pertama (hu) dalam lafadz fad’uhu kembali pada nama Dzat-Nya, yaitu Allah, sedangkan huruf ha’ yang terdapat pada dhamir kedua (ha)
dalam lafadz biha kembali pada
nama-nama-Nya, yaitu nama-nama yang dapat dipergunakan untuk memanggil atau
berdoa dengannya.[6]
Firman Allah SWT, “Maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma al-Husna itu,” maksudnya
adalah berdoalah kepada Allah dengan menggunakan sebutan yang sesuai dengan-Nya
atau dengan sifat-Nya. Misalnya apabila kita memohon untuk dikasihani maka
sebutkanlah doa itu bersama dengan menggunakana lafadz, “ya rahim irhamni”. Atau apabila kita memohon agar suatu hal dapat
diputuskan, maka sebutkanlah doa itu bersama dengan lafadz, “ya hakim uhkum li”. Atau apabila kita
memohon runtuk diberikan rezeki, maka panjatkanlah dengan lafadz “ya razzaq urzuqni”.[7]
Sangat popular berbagai riwayat yang
menyatakan bahwa jumlah Asma al-Husna
sebanyak sembilan puluh sembilan. Salah satu riwayat tersebut berbunyi:
“Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama – seratus kurang satu
– siapa yang ahshaha (mengetahui /
menghitung / memeliharanya) maka dia masuk surga. Allah ganjil (Esa) senang
pada yang ganjil” (HR. Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, dan
lain-lain).
Bermacam-macam penafsiran ulama tentang
kata ahshaha, antara lain “memahami
maknanya dan mempercayainya”, atau mampu melaksanakan kandungannya serta
berakhlak dengan nama-nama itu.
Betapapun, yang jelas ada manusia yang
sekadar membaca nama-nama itu disertai mengagungkannya, ada juga yang
mempercayai kandungan makna-maknanya, ada lagi yang menghafal, memahami
maknanya, dan mengamalkan kandungannya. Itu semua dapat dikandung oleh kata
tersebut dan mereka semua insya Allah dapat memperoleh curahan rahmat Ilahi
sesuai niat dan usahanya.[8]
Kembali kepada bilangan Asma al-Husna, para ulama berbeda
pendapat tentang lafadz-lafadz Asma al-Husna
dan jumlahnya, mengenai hal tersebut, dapat dibaca di kitab Tafsir al-Mishbah
vol 4 hal 379-389, terjemah Tafsir al-Qurthubi (ed. M. Ikbal Kadir) jilid 7 hal 818-830, dan terjemah Tafsir
al-Maraghi (terj. Bahrun Abu Bakar, Lc., dkk) hal 215-224.
Kembali ke penafsiran ayat di atas.
Firman Allah SWT, “Dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam
(menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang
telah mereka kerjakan.” Maksud ayat ini adalah, panggillah Allah dengan
Asma al-Husna itu hai orang-orang mukmin, jangan hiraukan semua orang yang
menyimpang dari kebenaran menyebut nama-nama Allah, baik dengan menyelewengkan
lafadz-lafadznya maupun menyelewengkan makna-maknanya dari kebenaran yang
semestinya kea rah yang berbeda-beda, seperti berubah, mentakwilkan,
memusyrikan, mendustakan, menambahi, mengurangi atau apa saja yang berarti
tidak menyebut Allah dengan nama yang tidak patut dikatakan dalam menyebut-Nya,
atau dengan nama yang bisa ditakwilkan menjadi sebutan-sebutan yang tidak patut
bagi Allah.
Kemudian Allah menerangkan kenapa
orang-orang yang menyimpangkan Asma al-Husna itu tak perlu dihiraukan, biarlah
mereka bermain-main dengan kesesatan, karena mereka akan menemui balasan amal
mereka adakan ditimpa hukuman di dunia sebelum mendapat siksaan di akhirat
kelak. Maka dari itu, hindarilah penyelewengan mereka supaya kamu jangan
ditimpa seperti yang akan menimpa mereka.[9]
B.
Tafsir
Surat Yusuf Ayat 39-40
“Hai kedua
penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu
ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?”
“Kamu
tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) Nama-nama yang kamu
dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun
tentang Nama-nama itu. keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah
memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus,
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui."
v PENJELASAN
Firman
Allah SWT, “Hai kedua sahabat penjara,” maksudnya
adalah, yang tinggal berdiam dalam penjara. Lafadz ini menggunakan kata “shahabah”, sebab keduanya sudah sekian
lama tinggal di dalam penjara. Contohnya, Ashabul
Jannah (penghuni surga) dan Ashabun
Nar (penghuni neraka).[10]
Kata
mutafarriquna (berbeda-beda) yang
menyifati kata arbabun (tuhan-tuhan)
dapat mencakup tiga kategori. Pertama,
berbeda-beda dan bermacam-macam zatnya, masing-masing menjadi tuhan. Ini
berarti tuhan banyak. Dan, bila demikian, tidak ada yang wajar dipertuhankan
karena semua tidak berkuasa penuh. Padahal, Tuhan adalah yang berkuasa penuh. Kedua, berbeda-beda dalam arti mereka
banyak tetapi bergantian menjadi tuhan. Ini pun menunjukkan kelemahan karena
Tuhan adalah yang kekal. Dan ketiga,
berbeda-beda karena pembagian tugas. Ini pun menunjukkan kelemahan karena
kesepakatan dan kerelaan membagi menunjukkan adanya factor yang menguasai
mereka, padahal seharusnya Tuhan berkuasa penuh.[11]
Oleh
karena itu, maksud ayat “manakah yang
baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha
perkasa?” adalah, apakah tuhan-tuhan yang sebanyak itu, yang punya kelakuan
yang berbeda-beda dan terbagi-bagi dengan segala akibatnya berupa pertentangan
dan perselisihan, di samping pekerjaan dan pengaturan yang bahkan akan
merupakan aturan itu, lebih baik bagi kalian berdua atau lainnya dalam
mengabulkan apa yang kalian pinta supaya menghilangkan bahaya dan mendatangkan
keuntungan, dan dalam segala hal yang kamu memerlukan bantuan dari alam ghaib;
ataukah Allah yang Maha Esa, Satu, Tunggal, dan tampak memohon itu lebih baik;
yang tak bisa ditentang dan tak bisa dilawan dalam segala tindakan dan
pengaturan-Nya, dan Dia pun mempunyai kekuasaan sempurna dan kemauan menyeluruh,
dan Dia pula yang menundukkan segala kekuatan dan undang-undang alam nyata,
yang dengan itu teraturlah segala tata alam langit dan bumi, baik cahaya, udara
maupun air, atau undang-undang alam gaib yang tak bisa kita lihat, seperti para
malaikat dan setan, yang oleh karena tidak diketahui hakikatnya, maka terus
disembah dan dianggap tuhan?[12]
Firman
Allah SWT, “kamu semua tidak menyembah
yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama,” menjelaskan
kelemahan dan kekurangan patung dan berhala.
“Yang kamu membuat-buatnya,” maksudnya adalah mengarangnya sendiri. Ada
yang mengatakan, maksud nama-nama tersebut adalah nama yang dibuat-buat, yakni
kamu hanya menyembah patung-patung yang tidak mempunyai sifat ketuhanan kecuali
hanya nama saja, sebab patung-patung itu hanyalah benda mati. “Kecuali hanya nama-nama yang kamu dan nenek
moyangmu membuat-buatnya,” objek kedua disini dihapus, sebab sudah
terkandung di dalam kalimat. Dengan demikian maknanya adalah nama-nama tuhan
yang kamu buat sendiri.[13]
Sayyid
Quthub berkomentar bahwa redaksi “Allah
tidak menurunkan suatu sulthan (hujjah) tentang hal itu,” yang ditemukan
berkali-kali dalam al-Qur’an merupakan satu ungkapan yang mengandung hakikat
yang sangat mendasar, yaitu bahwa setiap kalimat, atau syariat, atau adat
istiadat, atau ide tidak diturunkan Allah, ia bernilai rendah, pengaruhnya
kecil, dan segera lenyap. Fitrah manusia akan meremehkannya. Dari penjelasan
tersebut, dapat dipahami bahwa ayat ini merupakan isyarat tentang keharusan
adanya sulthan/hujjah bagi setiap
kata atau nama.[14]
“Keputusan itu hanyalah milik
Allah,” Dzat yang menciptakan semua. “Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah
agama yang lurus,” maksudnya adalah, yang lurus dan benar. “Tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.”[15]
C.
Tafsir
Surat Al-Isra’ Ayat 110-111
“Katakanlah:
"Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. dengan nama yang mana saja kamu seru,
Dia mempunyai Al asmaa-ul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu
mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan
carilah jalan tengah di antara kedua itu".
“Dan
Katakanlah: "Segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak dan tidak
mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan Dia bukan pula hina yang memerlukan
penolong dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya.”
v PENJELASAN
Firman
Allah SWT, “Katakanlah: ‘Serulah Allah
atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai
Al-Asmaaul Husna (nama-nama yang terbaik)’.”
Sebab
turunnya ayat ini adalah bahwa kaum musyrik mendengar Rasulullah SAW berdoa,
“Ya Allah, ya Rahman (Maha Pengasih)”, sehingga mereka berkata, “Muhammad menyuruh
kita berdoa kepada Tuhan yang Esa sedangkan dia sendiri berdoa kepada dua
Tuhan.” Demikian dikatakan oleh Ibnu Abbas.[16]
Sedangkan
Makhul berkata, “Rasulullah SAW menunaikan shalat tahajjud pada suatu malam.
Lalu di dalam doanya beliau mengucapkan, ‘Ya Rahman (Maha Pengasih), ya Rahim
(Maha Penyayang)’ sehingga terdengar oleh seseorang dari kalangan musyrik.
Ketika itu beliau sedang berada di Yamamah dan orang itu bernama Ar-Rahman.
Maka orang yang mendengar itu berkata, ‘Bagaimana Muhammad ini berdoa kepada
kedua orang bernama Ar-Rahman di Yamamah.’ Maka turunlah ayat ini yang
menjelaskan bahwa keduanya adalah untuk satu Dzat. Jika kalian seru Dia dengan
‘Allah’ maka yang demikian itu cukup, dan jika kalian seru dengan Ar-Rahman,
maka itu juga cukup.”[17]
Thalhah
bin Musharraf membaca: “Dengan nama apa
saja kamu seru, Dia mempunyai Al-Asmaaul Husna (nama-nama yang terbaik)”. Maksudnya,
Yang memastikan sifat-sifat paling utama dan makna-makna paling mulia.[18]
Firman
Allah SWT, “Dan janganlah kamu
mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan
carilah jalan tengah di antara kedua itu.” Maksud ayat ini adalah, dan
janganlah kamu mengeraskan bacaanmu, sehingga orang-orang musyrik itu
mendengar, lalu mereka mengecam al-Qur’an, dan jangan pula kamu membacakannya
kepada kepada sahabat-sahabatmu dengan suara terlalu rendah, sehingga mereka
tidak bisa mendengar al-Qur’an, lalu mereka tak bisa mengambil al-Qur’an
darimu. Tetapi, carilah jalan antara keras dan rendah.[19]
Ayat
ini juga memerintahkan untuk membaca al-Qur’an ketika shalat atau berdoa di
luar shalat dengan tidak terlalu mengeraskan suara dan tidak juga
merahasiakannya. Ini untuk menghindari gangguan terhadap orang lain sekaligus
menghindari gangguan dari orang lain. Nabi SAW melaksanakan tuntunan ini dalam
pelaksanaan doa dan shalat. Itu sebabnya pula sehingga pada saat orang-orang
musyrik masih berkeliaran, di waktu Zhuhur dan Asar, bacaan-bacaan shalat
dilakukan dengan suara yang rahasia (sangat perlahan). Sedangkan di waktu
Shubuh ketika mereka masih nyenyak tidur demikian juga Maghrib dan Isya ketika
mereka telah kembali ke rumah masing-masing, shalat-shlat itu dilaksanakan Nabi
SAW dengan bacaan yang dapat terdengar secara jelas oleh para makmum.[20]
Firman
Allah SWT, “Dan Katakanlah: ‘Segala puji
bagi Allah yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam
kerajaan-Nya dan Dia bukan pula hina yang memerlukan penolong’.” Di sini,
Allah SWT, telah mensifati diri-Nya dengan tiga sifat. Pertama, bahwa Dia tidak
mempunyai anak. Kedua, bahwa Allah tidak mempunyai serikat dalam kerajaan-Nya.
Ketiga, bahwa Allah tidak mempunyai penolong karena kehinaannya.
Kemudian
di penghujung ayat, Allah berfirman, “Dan
agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya.” Maksudnya, Agungkanlah
Tuhanmu, hai Rasul, dengan ucapan dan perbuatan yang telah kami perintahkan
kepadamu, untuk mengagungkan Allah dengannya. Dan taatilah Dia dalam segala
yang Dia perintahkan dan larang kepadamu.[21]
D.
Tafsir
Surat Al-Hasyr Ayat 22-24
“Dialah Allah
yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah
yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
“Dialah
Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, yang Maha Suci, yang Maha Sejahtera,
yang Mengaruniakan Keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha perkasa, yang Maha
Kuasa, yang memiliki segala Keagungan, Maha suci Allah dari apa yang mereka
persekutukan.”
“Dialah
Allah yang Menciptakan, yang Mengadakan, yang membentuk Rupa, yang mempunyai
asmaaul Husna. bertasbih kepadanya apa yang di langit dan bumi. dan Dialah yang
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
v PENJELASAN
Firman
Allah SWT, “Dia-lah Allah Yang tiada
Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang Mengetahui yang gaib dan yang
nyata. Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” Ibnu Abbas berkata,
“Yang mengetahui yang tersembunyi dan yang Nampak.”
Menurut
satu pendapat, yang mengetahui yang telah dan yang akan terjadi.
Menurut
satu pendapat, yang dimaksud dengan al-ghaib
adalah sesuatu yang tidak diketahui oleh hamba-hamba dan tidak mereka saksikan
dengan jelas, sedangkan yang dimaksud dengan asy-Syahadah adalah apa yang
mereka ketahui dan saksikan.[22]
Firman
Allah SWT, “Dialah Allah yang tiada Tuhan
selain Dia, Raja, yang Maha Suci, yang Maha Sejahtera, yang Mengaruniakan
Keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha perkasa, yang Maha Kuasa, yang
memiliki segala Keagungan, Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” Maksud
ayat ini adalah, Dia-lah yang memiliki segala sesuatu dan mengendalikannya
tanpa larangan dan tidak terelakkan, yang suci dari segala cela dan kekurangan,
yang makhluk-Nya aman dari kezaliman, karena Dia-lah yang mengawasi mereka,
sebagaimana Dia firmankan: “Dia Allah
Maha Menyaksikan segala sesuatu.” (QS. Al-Mujadilah, 58: 6). Dan “Maka apakah Tuhan yang menjaga setiap
diri terhadap apa yang diperbuat-Nya (sama dengan yang tidak demikian
sifatnya)?” (Ar-Ra’d, 13: 33).
Dia-lah
yang kuasa atas segala sesuatu dan memaksanya. Dia mengalahkan segala sesuatu
dengan keagungan dan keperkasaan-Nya, sehingga keperkasaan hanyalah pantas
bagi-Nya dan kesombongan hanya pantas bagi keagungan-Nya. Maha Suci Tuhan kita
dari istri dan anak yang dikatakan oleh orang-orang musyrik. Dia-lah Yang Satu,
Yang Tunggal, Yang menjadi tujuan, Yang tidak beranak, Yang tidak dianakkan dan
Yang tidak ada seorang pun menyamai-Nya.[23]
Firman
Allah SWT, “Dialah Allah yang
Menciptakan, yang Mengadakan, yang membentuk Rupa, yang mempunyai asmaaul
Husna. bertasbih kepadanya apa yang di langit dan bumi. dan Dialah yang Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Maksudnya, Dia-lah Allah Pencipta segala
sesuatu dan memunculkannya kea lam wujud menurut sifat yang dikehendaki-Nya.
Dia-lah yang mempunyai sifat-sifat yang baik yang disifatkan untuk diri-Nya,
dan tidak ada seorang pun yang menyamai-Nya di dalam sifat-sifat-Nya itu. Dan
Dia-lah yang sangat mendendam terhadap musuh-musuh-Nya dan sangat bijaksana
dalam mengatur makhluk-Nya. Dan dia mengendalikan mereka kepada apa yang
membawa kebaikan bagi mereka. Dia-lah yang sempurna qudrah dan ilmu-Nya.[24]
IV.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas,
dapat diambil kesimpulan sbb:
a. Sesungguhnya
Allah memiliki nama-nama yang baik, maka berdoalah dengan nama-nama tersebut.
Dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam menyebut
nama Allah, karena sesungguhnya mereka akan mendapatkan balasan terhadap apa yang
mereka kerjakan.
b. Sembahlah
hanya kepada Allah, bukan kepada nama-nama yang dibuat oleh nenek moyang
kalian. Karena sesungguhnya nama-nama yang kalian buat tersebut tidak bisa
mendatangkan manfaat dan mudarat.
c. Serulah
Dia dengan “Allah” dan Ar-Rahman, atau dengan Asma al-Husna. Sesungguhnya Allah
Maha Suci dari sifat manusia, seperti beristri, beranak, dll. Serta Maha Suci
Dia dari sekutu pada kekuasaan-Nya.
d. Dialah
Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata,
Dia-lah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Dialah Allah yang tiada
Tuhan selain Dia, Raja, yang Maha Suci, yang Maha Sejahtera, yang Mengaruniakan
Keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha perkasa, yang Maha Kuasa, yang
memiliki segala Keagungan, Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.
Dialah Allah yang
Menciptakan, yang Mengadakan, yang membentuk Rupa, yang mempunyai asmaaul
Husna. bertasbih kepadanya apa yang di langit dan bumi. dan Dialah yang Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.
V.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Maragi, Ahmad Mustafa , Tafsir Al-Maragi, diterjemahkan oleh
Bahrun Abubakar, Lc., Drs. Hery Noer Aly, dan K. Anshori Umar Sitanggal dari
“Tafsir Al-Maragi”, Juz 9, Semarang: PT. Karya Toha Putra, Cet. II, 1994.
, Tafsir Al-Maragi, diterjemahkan oleh
Bahrun Abubakar, Lc., Drs. Hery Noer Aly,
dan K. Anshori Umar Sitanggal dari “Tafsir
Al-Maragi”, Juz 12, Semarang: PT. Karya Toha Putra, Cet. II, 1993.
, Tafsir Al-Maragi, diterjemahkan oleh
Bahrun Abubakar, Lc., Drs. Hery Noer Aly,
dan K. Anshori Umar Sitanggal dari “Tafsir
Al-Maragi”, Juz 15, Semarang: PT. Karya Toha Putra, Cet. II, 1993.
, Tafsir Al-Maragi, diterjemahkan oleh
Bahrun Abubakar, Lc., Drs. Hery Noer Aly,
dan K. Anshori Umar Sitanggal dari “Tafsir
Al-Maragi”, Juz 28, Semarang: PT. Karya Toha Putra, Cet. II, 1993.
Al Qurthubi, Syaikh Imam, Tafsir Al Qurthubi, diterjemahkan oleh
Sudi Rosadi,Fathurrahman, dan
Ahmad Hotib; editor M. Ikbal Kadir dari “Al Jami’ li Ahkaam Al Qur’an”, Jilid 7, Jakarta: Pustaka Azzam, Cet. I, 2008
, Tafsir Al Qurthubi, diterjemahkan oleh
Muhyiddin Masridha; editor M. Ikbal Kadir dari “Al Jami’ li Ahkaam Al Qur’an”,
Jilid 9, Jakarta: Pustaka Azzam, Cet. I, 2008.
, Tafsir Al Qurthubi, diterjemahkan oleh
Asmuni; editor Mukhlis B Mukti dari “Al Jami’
li Ahkaam Al Qur’an”, Jilid 10, Jakarta: Pustaka Azzam, Cet. I, 2008.
, Tafsir Al Qurthubi, diterjemahkan oleh Dudi Rosyadi dkk; editor
Mukhlis B Mukti dari “Al Jami’ li Ahkaam Al Qur’an”,
Jilid 18, Jakarta: Pustaka Azzam, Cet. I,
2009.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah, vol 4, Jakarta:
Lentera Hati, Cet. V, 2012.
, Tafsir Al-Mishbah, vol 6, Jakarta:
Lentera Hati, Cet. V, 2012.
, Tafsir Al-Mishbah, vol 7, Jakarta:
Lentera Hati, Cet. III, 2005.
[1]
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi,
diterjemahkan oleh Bahrun Abubakar, Lc., Drs. Hery Noer Aly, dan K. Anshori
Umar Sitanggal dari “Tafsir Al-Maragi”, Juz 9, (Semarang: PT. Karya Toha Putra,
1994), Cet. II, h. 216.
[2]
Syaikh Imam Al Qurthubi, Tafsir Al
Qurthubi, diterjemahkan oleh Sudi Rosadi, Fathurrahman, dan Ahmad Hotib;
editor M. Ikbal Kadir dari “Al Jami’ li Ahkaam Al Qur’an”, Jilid 7, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008), Cet. I, h. 818-819.
[3]
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol
4, (Jakarta: Lentera Hati, 2012), Cet. V, h. 382.
[4]
Ibid.
[5]
Ibid. h. 382-383.
[6]
Syaikh Imam Al Qurthubi. Op. cit. h. 821.
[7]
Ibid. h. 823-824.
[8] M.
Quraish Shihab. Op. cit. h. 384.
[9]
Ahmad Mustafa Al-Maragi. Op. cit. h. 221-222.
[10]
Syaikh Imam Al Qurthubi, Tafsir Al
Qurthubi, diterjemahkan oleh Muhyiddin Masridha; editor M. Ikbal Kadir dari
“Al Jami’ li Ahkaam Al Qur’an”, Jilid 9, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), Cet.
I, h. 435-436.
[11]
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol
6, (Jakarta: Lentera Hati, 2012), Cet. V, h. 93.
[12]
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi,
diterjemahkan oleh Bahrun Abubakar, Lc., Drs. Hery Noer Aly, dan K. Anshori
Umar Sitanggal dari “Tafsir Al-Maragi”, Juz 12, (Semarang: PT. Karya Toha
Putra, 1993), Cet. II, h. 292.
[13]
Syaikh Imam Al Qurthubi. Op. cit. h. 436-437.
[14]
M. Quraish Shihab. Op. cit. h. 97-98.
[15]
Syaikh Imam Al Qurthubi. Op. cit. h. 437.
[16]
Syaikh Imam Al Qurthubi, Tafsir Al
Qurthubi, diterjemahkan oleh Asmuni; editor Mukhlis B Mukti dari “Al Jami’
li Ahkaam Al Qur’an”, Jilid 10, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), Cet. I, h. 855.
[17]
Ibid. h. 856.
[18]
Ibid. h. 857.
[19]
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi,
diterjemahkan oleh Bahrun Abubakar, Lc., Drs. Hery Noer Aly, dan K. Anshori
Umar Sitanggal dari “Tafsir Al-Maragi”, Juz 15, (Semarang: PT. Karya Toha
Putra, 1993), Cet. II, h. 216.
[20]
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol
7, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), Cet. III, h. 569.
[21] Ahmad
Mustafa Al-Maragi. Op. cit. h. 217-218.
[22] Syaikh
Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, diterjemahkan
oleh Dudi Rosyadi dkk; editor Mukhlis B Mukti dari “Al Jami’ li Ahkaam Al
Qur’an”, Jilid 18, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, h. 321-322.
[23] Ahmad
Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi,
diterjemahkan oleh Bahrun Abubakar, Lc., Drs. Hery Noer Aly, dan K. Anshori
Umar Sitanggal dari “Tafsir Al-Maragi”, Juz 28, (Semarang: PT. Karya Toha
Putra, 1993), Cet. II, h. 92-93.
[24] Ibid.
h. 93-94.
No comments:
Post a Comment