Monday, February 15, 2016

SEJARAH KODIFIKASI TAFSIR


Sumber Gambar Disini

Compiled by: ANDIKA MAULANA


I.                   PENDAHULUAN
Sudah jelas bahwa sejak zaman Nabi SAW, zaman sahabat dan zaman tabi’in, tafsir-tafsir itu dipindahkan dari seorang kepada seorang, atau diriwayatkan dari mulut ke mulut dan belum dibukukan.[1]
Pada permulaan abad kedua hijriyah, yaitu dikala banyak pemeluk agama Islam yang bukan dari bangsa Arab dan dikala bahasa Arab telah dipengaruhi oleh bahasa asing, barulah ulama merasa perlu membukukan tafsir, agar dapat dipahamkan maknanya oleh mereka yang tidak mempunyai dzauqah bahasa Arab lagi.[2]
Pembukuan dimulai pada akhir kekhalifahan Bani Umayah dan awal kekhalifahan Bani Abbasiyah. Dalam periode ini tafsir memasuki beberapa tahap, masing-masing dengan metode dan cirinya yang berbeda-beda.[3]
Untuk lebih jelasnya pemakalah kemukakan periode-periode pembukuan tafsir dari masa permulaan sampai masa pembukuannya.

II.                PEMBAHASAN
A.    Tahap Pertama
Pada tahap pertama, tafsir masih belum dibukukan sacara sistematis, yaitu disusun secara berurutan ayat demi ayat dan surat demi surat dari awal al-Qur’an sampai akhir, tetapi hanya merupakan usaha sampingan dari para ulama dalam rangka mengumpulkan hadits-hadits yang tersebar di berbagai daerah. Karena pada waktu itu, para ulama lebih memprioritaskan terhadap hadits, sehingga tafsir hanya merupakan salah satu bab dari sekian banyak bab yang dicakupnya, dan tafsir tersebut dibukukan dalam bentuk bagian dari pembukuan hadits.[4]
Para ulama yang mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap periwayatan tafsir yang dinisbahkan kepada Nabi, sahabat dan tabi’in disamping perhatiaannya terhadap pengumpulan hadits adalah:
1.      Yazid bin Harun As Salmi (w. 117 H)
2.      Syu’bah bin Al Hajjaj (w. 160 H)
3.      Waki’ bin Jarrah (w. 197 H)
4.      Sufyan bin Uyainah (w. 198 H)
5.      Ruh bin Ubadah Al Bashri (w. 205 H)
6.      Abdur Razaq bin Hammam (w. 211 H)
7.      Adam bin Abi Iyas (w. 220 H)
8.      Abd bin Humaid (w. 249 H) dll.
         Mereka ini dari imam-imam hadits, maka pengumpulan tafsir itu termasuk dalam bab hadits, tafsir belum dihimpun dengan mandiri. Hanya saja tafsir-tafsir mereka tidak sampai kepada kita sedikitpun, namun riwayat yang dinukil disandarkan kepada mereka dalam kitab-kitab tafsir bil ma’tsur.[5]

B.     Tahap Kedua
Pada tahap kedua, lalu muncul beberapa ulama yang menulis tafsir secara khusus dan berusaha memisahkan antara penafsiran al-Qur’an dari usaha pengumpulan dan pembukuan hadits serta menjadikannya sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri. al-Qur’an ditafsirkan secara sistematis, sesuai dengan tertib Mushaf. Usaha ini mulai berlaku dari akhir abad 3 H dan berakhir pada awal abad 5 H.[6]
Adapun tokoh-tokohnya adalah:
1.      Ibnu Majah (w. 273 H)
2.      Ibnu Jarir Ath Thabari (w. 310)
3.      Abu Bakar Al Mundzir An Naisaburi (w. 318 H)
4.      Ibnu Abi Hatim (w. 327 H)
5.      Abu Syaikh bin Hibban (w. 369 H)
6.      Hakim ( w. 405 H)
7.      Abu Bakar bin Mardawaih (w. 410 H) dll.
Semua tafsir itu disandarkan pada sanad-sanad dari Rasul SAW, para sahabat, dan tabiin (atau yang kita kenal dengan tafsir bil ma’tsur).[7]

C.    Tahap Ketiga
Tahap ketiga, perkembangan tafsir tidak berhenti sampai pada corak tafsir bil ma’tsur saja, sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa ulama tersebut di atas, tetapi berlanjut pada perkembangan berikutnya. Dimana muncul sejumlah mufassir yang dalam aktifitasnya mulai meringkas sanad-sanad dan menghimpun berbagai pendapat tanpa menyebutkan pemiliknya. Oleh karena itu, terjadilah pemalsuan dalam bidang tafsir yang mengakibatkan bercampurnya antara riwayat-riwayat yang shahih dengan yang tidak shahih. Sehingga para peneliti dan pengkaji kitab-kitab tersebut beranggapan bahwa semua riwayat yang terdapat di dalamnya adalah shahih, yang pada akhirnya mereka juga akan menjadikan riwayat-riwayat tersebut sebagai sumber penafsirannya. Di sisi lain mereka juga mulai menggunakan cerita-cerita israiliyat sebagai dasar penafsirannya tanpa diseleksi terlebih dahulu.[8]
     
D.    Tahap Keempat
Tahap keempat, bangunlah para ulama yang bersungguh-sungguh menafsirkan al-Qur’an. Maka di antara ulama-ulama tafsir ini terdapatlah ulama-ulama tafsir yang bersungguh-sungguh menafsirkan al-Qur’an dengan dasar dirayat yakni manfsirkan al-Qur’an bil Ma’qul.
Menafsirkan al-Qur’an dengan dirayat adalah salah satu hasil dari yang ditumbuhkan oleh perkembangan ilmu nahwu, lughah, balaghah dan kalam.
Pada periode ini, segala hadits telah dibukukan, begitu juga ilmu-ilmu hikmah, falsafah dan mantiq telah dipelajarinya dengan seksama, ilmu-ilmu balaghah telah disusun rapi. Kaedah-kaedah ushul, mushthalah dan adab-adab berunding telah diatur. Makna-makna al-Qur’an, baik yang musykil, yang lahirnya berlawanan, maupun yang majaz, telah dibukukan.
Maka mulailah golongan mufassirin mengoreksi riwayat-riwayat yang berasal dari Israiliyat dan mulailah pemeriksaan itu didasarkan atas petunjuk-petunjuk akal dan keterangan-keterangan yang nyata.
Mulai saat ini tafsirpun mempunyai sandaran yang lebih kuat lagi, karena para mufassir itu tidak lagi menerima riwayat-riwayat yang dinukilkan, melainkan yang shahih-shahih saja dan diterima oleh akal sehat, atau diterima oleh kaedah-kaedah ilmu bahasa.
Ringkasnya, golongan ini mengosongkan kitab tafsir yang mereka susun dari Israiliyat.
Tafsir Dirayat atau tafsir Aqli ini dikembangkan oleh golongan Mu’tazilah. Al-Jahid adalah salah satu tokoh yang menafsirkan dengan akal.
Dalam periode ini berkembang dengan luas tasir bir ra’yi (tafsir dengan menggunakan akal dan ijtihad) untuk seluruh ayat I’tiqad.
Yang mula-mula menyusun tafsir al-Qur’an yang lengkap atas dasar riwayat yang benar dan kaedah-kaedah yang kuat sesuai dengan kehendak bahasa ialah: Abu Muslim Muhammad ibn Bahar Al-Ashfahany. Beliau ini seorang tokoh Mu’tazilah. Tafsirnya diberi nama Jami’ut Ta’wil.
Tafsir besar ini tidak berkembang di dalam masyarakat. Tetapi sari patinya banyak dinukilkan oleh Ar-Razy ke dalam tafsirnya. Pendapat-pendapat yang telah dinukilkan oleh Ar-Razy itu telah dikumpulkan dalam sebuah tafsir yang dinamai Al Muqtat Haf.
Diantara tokoh-tokoh tafsir dirayah pula, ialah: Abu Bakar al-Asham, An Nadham, Al-Juba’I, Ubaidillah ibn Muhammad ibn Jarwu.
Ada salah satu tokoh tafsir yang terkenal dengan julukan Jarullah Az-Zamakhsyari (467-528 H) menulis tafsirnya yang bernama Al-Kasysyaf. Maka di tangannyalah tafsir bil ma’qul mencapai puncaknya. Az Zamakhsyari menerangkan dengan sempurna segala rahasia balaghah Al-Qur’an dan terkenallah tafsir ini dalam kalangan ulama sebagai suatu pedoman di dalam menerangkan balaghah al-Qur’an.[9]
Setelah kaum muslimin mempelajari ilmu logika, ilmu filsafat, ilmu eksakta, ilmu hukum, ilmu kedokteran dan lain sebaginya, maka timbullah suatu perubahan dalam penyusunan dan pemikiran tentang kitab-kitab tafsir.
Ahli-ahli tafsir tidak hanya mengutip riwayat dari sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in saja, melainkah telah mulai bekerja, menyelidiki, dan membandingkan apa-apa yang telah dikerjakan oleh orang-orang yang terdahulu dari mereka, bahkan mereka mengolah dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan ilmu pengetahuan yang telah mereka miliki. Karena itu terdapatlah kitab-kitab tafsir yang telah disusun dan ditinjau dari berbagai segi, sehingga tampaklah kitab-kitab tafsir itu, merupakan suatu fak dari pada suatu cabang ilmu pengetahuan.[10]

III.             KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Pada tahap pertama, tafsir masih belum dibukukan sacara sistematis, yaitu disusun secara berurutan ayat demi ayat dan surat demi surat dari awal al-Qur’an sampai akhir, tetapi hanya merupakan usaha sampingan dari para ulama dalam rangka mengumpulkan hadits-hadits yang tersebar di berbagai daerah. Karena pada waktu itu, para ulama lebih memprioritaskan terhadap hadits, sehingga tafsir hanya merupakan salah satu bab dari sekian banyak bab yang dicakupnya, dan tafsir tersebut dibukukan dalam bentuk bagian dari pembukuan hadits.
2.      Pada tahap kedua, lalu muncul beberapa ulama yang menulis tafsir secara khusus dan berusaha memisahkan antara penafsiran al-Qur’an dari usaha pengumpulan dan pembukuan hadits serta menjadikannya sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri. al-Qur’an ditafsirkan secara sistematis, sesuai dengan tertib Mushaf. Usaha ini mulai berlaku dari akhir abad 3 H dan berakhir pada awal abad 5 H.
3.      Tahap ketiga, perkembangan tafsir tidak berhenti sampai pada corak tafsir bil ma’tsur saja, sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa ulama tersebut di atas, tetapi berlanjut pada perkembangan berikutnya. Dimana muncul sejumlah mufassir yang dalam aktifitasnya mulai meringkas sanad-sanad dan menghimpun berbagai pendapat tanpa menyebutkan pemiliknya. Oleh karena itu, terjadilah pemalsuan dalam bidang tafsir yang mengakibatkan bercampurnya antara riwayat-riwayat yang shahih dengan yang tidak shahih.
4.      Tahap keempat, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, maka pembukuan tafsir sudah mulai mencapai kesempurnaan, yang ditandai dengan banyaknya cabang ilmu pengetahuan serta banyaknya mazhab yang bermunculan. Sehingga para mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an berpegang pada pemahaman pribadi dan mengarah pada berbagai kecenderungan.

IV.             DAFTAR PUSTAKA
Hasbi Ash Shiddieqy, Prof. Dr. T.M.,   Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an / Tafsir,                             Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, Cet. 8, 1980.
Amanah, Dra. H. St., Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Semarang: CV. Asy Syifa’,                            Cet. I, 1993.
Nor Ichwan, Mohammad, Belajar Al-Qur’an: Menyingkap Khazanah Ilmu-Ilmu al-                                   Qur’an Melalui Pendekatan Historis-Metodologis, Semarang: RaSAIL,                               Cet. I, 2005.



[1] Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an / Tafsir, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1980), Cet. 8, h. 237.
[2] Dra. H. St. Amanah, Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, (Semarang: CV. Asy Syifa’, 1993), Cet. I, h. 298.
[3] Mohammad Nor Ichwan, Belajar Al-Qur’an: Menyingkap Khazanah Ilmu-Ilmu al-Qur’an Melalui Pendekatan Historis-Metodologis, (Semarang: RaSAIL, 2005), Cet. I, h. 225.
[4] Ibid.
[5] Dra. H. St. Amanah. Op. cit. h. 299.
[6] Mohammad Nor Ichwan. Op. cit. h. 226.
[7] Dra. H. St. Amanah. Loc. cit.
[8] Mohammad Nor Ichwan. Op. cit. h. 226-227.
[9] Dra. H. St. Amanah. Op. cit. h. 301-302.
[10] Dra. H. St. Amanah. Op. cit. h. 302-303.

No comments: