Disusun oleh :
1. Ahliyatul Yumna
2. Umi Latifah Anwar
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Keberadaan Hadits sebagai sumber
hukum Islam merupakan refrensi kedua yang menjadi rujukan dalam segala
amal-amal yang dilakukan oleh kaum
muslimin setelah Al-Qur’an. Hadits juga bisa dijadikan sebagai penjelasan dan
nalar dari Al-Qur’an. Terlepas dari naik-turunnya perkembangan Hadits, tidak
dapat dinafikan bahwa sejarah dan perkembangan Hadits memberi pengaruh yang
besar dalam sejarah peradaban Islam.
Usaha mempelajari
sejarah pertumbuhan dan perkembangan Hadits ini bertujuan untuk dapat
mengetahui sikap dan tindakan umat Islam yang sebenarnya, khususnya para ulama
ahli Hadits terhadap Hadits, serta usaha
pemeliharaan mereka pada tiap-tiap periodenya sampai akhirnya terwujud kitab-kitab
hasil tadwin secara sempurna. Sebab studi tentang keberadaan Hadits ini
selalu makin menarik untuk dikaji seiring dengan perkembangan nalar manusia
yang semakin kritis.
Oleh karena itu,
dalam makalah ini diharapkan berguna dalam pengembangan ilmu terutama pada
bidang ulumul Hadits.
B.
Rumusan Masalah
1.
Pengertian
periodesasi sejarah perkembangan Hadits
2.
Sejarah
perkembangan Hadits dari masa ke masa
3.
Pola
pemikiran periodesasi sejarah perkembangan Hadits menurut Ulama ahli Hadits
BAB II
PEMBAHASAN
SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS
1.
Pengertian Sejarah Perkembangan Hadits
Perkembangan Hadits
adalah proses dan fase-fase pembinaan Hadits mulai dari masa Rasulullah SAW sampai
pentadwinan hadits dewasa ini. Yang dimaksud dengan sejarah perkembangan
Hadits adalah masa atau periode- periode yang telah dilalui oleh hadits
semenjak dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan dan
pengalaman umat dari generasi ke generasi.
Oleh karena
itu, megkaji sejarah berarti membicarakan atau mengungkap fakta-fakta yang
sebenarnya, sehingga sulit untuk ditolak keberadaannya. Perjalan Hadits pada
tiap-tiap periodenya mengalami berbagai persoalan dan hambatan yang
dihadapinya, yang antara periode satu dengan periode yang lainnya tidak
sama. Sejalan dengan bergantinya waktu,
para ulama Muhadditsin membagi beberapa periode dalam sejarah perkembangan Hadits,
yaitu dalam 3 periode, 5 peride, dan 7 periode.
2.
Sejarah Perkembangan Hadits dari Masa ke Masa
Pada masa awal
perkembangan Hadits lebih banyak menggunakan lisan, dikarenakan larangan Nabi
Muhammad SAW untuk menulis Hadits. Larangan tersebut berdasarkan kekhawatiran
Nabi akan tercampurnya nash Al-Qur’an dengan Hadits. Periodesasi pembukuan Hadits
secara resmi dimulai pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz .
a.
Perkembangan Hadits pada Masa Rasulullah SAW
Penyebaran
hadits
Rasulullah SAW
membina umatnya selama 23 tahun, masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu
dan diwurudkannya Hadits. Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan
kehati-hatian para sahabat untuk memahami segala sesuatu yang telah disampaikan
Rasulullah SAW yang mana mereka sebagai pewaris pertama ajaran Islam.
Rasulullah SWA merupakan sebagai maha guru semua umat manusia.
Para sahabat
menjadikan Nabi sebagai panutan dan pedoman bagi kehidupan mereka. Apabila
mereka mempunyai suatu permasalah baik dalam bidang ubudiah maupun sosial,
mereka bisa bertanya langsung kepada Nabi untuk menerima pencerahan dengan
jelas. Ini merupkan keberuntungan dan merupakan hal yang istimewa bagi para
sahabat karena masalah yang mereka hadapi dapat terselesaikan secara langsung.
Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Al-Hasyr:7
وَمَا أَتَا كُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْ هُ وَمَا نَهَا كُمْ
عَنْهُ فَا نْتَهُوا
Artinya: “ Dan apa yang diberikan Rasul
kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah”.(Al-Hasyr
:7).
Dalam masa penyebaran ini, Rasulullah SAW menyampaikan Hadits mempunyai
beberapa metode, yaitu:
Metode lisan
Pertama, Melalui para jama’ah pada pusat pembinaannya yang disebut
majelis al-‘ilmy. Rasulullah mengutus guru-guru pergi ke luar Madinah,
salah satunya adalah Malik bin Huwayrith. Terkadang juga kepala-kepala suku
dari luar Madinah juga mengirim
utusannya untuk belajar kepada Nabi dan kemudian disebarkan kepada kabilahnya.
Sebagaimana Sabda Nabi yang diriwayatkan oleh
al-Bukhari dari Ibn Amr ibn Ash:
بَلِّغُوْا عَنِّيْ وَلَوْاَيَةً
Artinya : “Sampaikanlah dariku, walaupun hanya satu
ayat”.(H.R.Bukhari)
Kedua,Rasulullah menyampaikan melalui sahabat-sahabat tertentu, kemudian
disebarkan kepada yang lain. Sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Ibn Abdi al-Barr
dari Abu Bakrah :
اَلاَ لِيُبَلِّغُ الشَّاهِدُ مِنْكُمُ
الْغَائِبَ
Artinya: “ Ketahuilah, hendaklah orang yang hadir
menyampaikan kepada orang yang tidak hadir.” [1]
Ketiga, Melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka. Biasanya, Rasulullah
memberikan ceramah tiap-tiap hari Jum’at dan waktu-waktu yang tidak ditentukan.
Sebagaimana sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dari ibn Mas’ud :
كَا نَ النَّبِيُّ – يَتَخَوَّلوْنَا
بِالْمَوْعِظَةِ فِى الْاَيَّامِ كَرَاهَةَ السَّأَمَةِ عَلَيْنَا
“ Nabi selalu mencari
waktu-waktu yang baik untuk memberikan pelajaran supaya kami tidak bosan.”
Metode tulis
Rasulullah SAW mengirim surat delegasi yang
ditulis oleh Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash khusus kepada para raja dan penguasa di
kawasan Timur Tengah, dan juga kepada para kepala suku dan Gubernur Muslim,
cara ini dapat dikategorikan sebagai metode penyebaran Hadits melalui media
tulis. Di dalamnya berisi ajakan untuk memeluk Islam bagi penguasa non Muslim,
dannjuga berisi tentang masalah hukum,
zakat, jizyah, dan cara-ibadah lainnya.
Metode peragaan praktis
Terhitung sejak beliau menerima wahyu, segala
perilaku, ucapan, persetujuan, dan peragaan praktis dianggap sebagi Hadits.
Rasul memperagakan cara wudlu, shalat, haji dan lain-lain. Dlam setiap segi
kehidupan, Rasul memberi pelajaran praktis disertai perintah yang jelas untuk
mengikutinya. Contoh:
صَلُّوْا كَمَا رَاَيْتُمُوْانِيْ
اُصَلِّى
“ Shalatlah kamu
sebagaimana aku mempraktekan shalat”.
Larangan dan perintah menulis hadits
Perhatian Nabi SAW bagi pemeliharaan kedua dasar dan sumber syari’at
begitu antusias. Terhadap Hadits, Nabi memerintahkan untuk dihafal dan
ditablighkan, tapi tidak ada perintah menyelenggaran penulisan Hadits
secara resmi seperti Al-Qur’an. Di
antara sebab-sebab penulisan Hadits tidak diselanggarakan secara resmi adalah:
a. Agar tidak adanya kesamaran terhadap
Al-Qur’an, dan menjaga agar tidak bercampur antara catatan Al-Qur’an dengan
hadits.
b. Karena kurangnya tenaga penulis pada masa
itu, maka tenaga penulis yang ada diutamakan untuk menulis Al-Qur’an.
c. Menyelenggaraka pemeliharaan Hadits dengan
hafalan tanpa tulisan secara keseluruhanberarti memelihara kekuatan hafalan
dikalangan umat Islam.
Sebab-sebab di atas bertumpu pada
Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Said Al-Khudri menyatakan:
لَا تَكْتُبُوْا عَنِّيْ شًيْئًا غَيْرَالْقُرْآنِ وَمَنْ كَتَبَ عَنِّيْ شَيْئًا
غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ وَحَدِّثُوْا عَنِّيْ وَلاَ حَرَجَ، وَمَنْ كَذَبَ
عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ
مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.
Artinya: “ janganlah kamu tulis sesuatu
dariku selain Al-Qur’an, dan barangsiapa menulis sesuatu dariku selain
Al-Qur’an maka hendaklah ia hapus, ceritakan saja apa yang kamu terima dariku,
tidak mengapa. Dan barangsiapa sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia
menduduki tempat duduknya di neraka”. (H.R. Muslim).
Oleh karena
itu, umat Islam dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan, khususnya di bidang keagamaan, umumnya hanya melalui ingatan dan
daya hafal saja. Semua itu di duga karena karena ketidak merataan pemahaman
umat terhadap sabda Nabi yang melarang penulisan Hadits. Pemahaman terhadap larangan tersebut yang tidak merata, menyebabkan
munculnya sikap anti untuk menuliskan Hadits adalah dasar ketaatan yang buta
terhadap sabda tersebut, yang menimbulkan kejumudan Hadis sekitar satu abad
dari pembukuan Al-Qur’an.
Akan tetapi, larangan penulisan Hadits itu tidak secara mutlak, yang mana dalam Hadits
lain Rasul menyuruh menulis tentang dirinya kepada sahabat tertentu. Misalnya,
sesaat ketika kota Makkah telah dikuasai kembali oleh Rasulullah SAW.
Diriwayatkan
oleh Al-Bukhari dalam shahih-nya pada kitab Al-‘Ilm dari Abu Hurairah, [2]berkata:
إِنَّ خُزَاعَةَ-هُذَيْلاً- قَتَلُوْا
رَجُلاً مِنْ بَنِيْ لَيْثٍ عَامَ فَتْحِ مَكَّةَ بِقَتِيْلٍ مِنْهُمْ
فَقَتَلُوْهُ فَأُخْبِرَ بِذَ لِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ،
فَرَكِبَ رَاحِلَتَهُ، فَخَطَبَ فَقَا لَ: إِنَّ اللهَ حَبَسَ عَنْ مَكَّةَ
الْقَتْلَ وَسَلَّطَ عَلَيْهِمْ رَسُوْلَ اللهِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ. وَإِنَّهَا لَمْ
تَحِلَّ لِأَحَدٍ مِنْ قَبْلِيْ وَلَنْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ بَعْدِيْ اَلاَ
وَإِنَّهَا أُحِلَّتْ لِيْ سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ، وَإِنَّهَا سَاعَتِيْ هَذِهِ :
حَرَامٌ لاَ يُخْتَلَى شَوْكُهَا، وَلاَ يُؤْخَذُ شَجَرَهَا، وَلاَ تُلْتَقَطُ
سَاقِطَتُهَا إِلاّ لِمُنْشِدٍ. فَمَنْ لَهُ قَتِيْلٌ فَهُوَ بِخَيْرِ
النَّظَرَيْنِ: إِمَّا اَنْ يَعْقِلَ، وَإِمَّا أَنْ يُقَا دَ أَهْلُ
الْقَتِيْلِ.
“ Bahwasannya golongan Khuza’ah (Hudzail)
membunuh seorang lelaki Bani Laits pada tahun nabi mengalahkan kota Makkah,
disebabkan satu pembunuhan yang telah lama dilakukan oleh Bai Laits terhadap
Bani Khuza’ah. Kejadian itu diberitahukan kepada Nabi SAW. Maka Nabi segera
mengendarai kendaraannya lalu berkhutbah: Bahwasannya Allah telah mencegah
pembunuhan di Makkah dan telah diberikan kekuasaan negeri Makkah kepada
Rasul-Nya dan para Mukmin. Dan bahwasannya Makkah itu tidak dihalalkan bagi
bagi seseoang sebelumku dan tidak pula bagi seseorang sesudahku. Ketahuilah,
bahwasannya dia telah dihalalkan bagiku pada suatu saat di suatu siang, dan
inilah saatku. Makkah itu haram (dilindungi), tidak boleh dipotong durinya,
tidak boleh dipotong pohonnya, tidak boleh diambil barang-barang yang jatuh
dari yang empunya, terkecuali untuk dicari siapa empunya. Maka barangsiapa
telah dibunuh salah seorang anggota keluarganya,maka dia boleh memilih salah
satu dari dua pilihan yang terbaik, yaitu: apakah dia menerima diyat, dan
apakah dia menuntut bela.”
Diwaktu
beliau berpidato, tiba-tiba seorang laki-laki yang berasal dari Yaman yang
bernama Abu Syah berdiri dan bertanya kepada Rasulullah SAW, ujarnya:
“ ya Rasulallah, Tulislah untukku !” Jawab Rasul “tulis
kamulah sekalian untuknya!”
Hal ini juga dilatarbelakangi
oleh seorang sahabat yang gemar menuliskan sabda-sabda Nabi yaitu Abdullah Ibnu
‘Amr bin ‘Ash r.a ( 7 SH-65 H) ,yang kemudian kejadian tersebut diketahui para
sahabat yang lain dan memperingatkannya agar tidak menuliskanya. Kasus pelarangan yang dipenuhi kekhawatiran
tersebut terdengar oleh Ibn Umar dan kemudian diadukan kepada Nabi. Beliau
kemudian bersabda:
أُكْتُبْ
! فَوَالَّذِى نَفْسِيْ بِيَدِهِ مَا يَخْرُجُ مِنْهُ اِلاَّ الْحَقُّ
“
Tulislah !Demi Dzat yang nyawaku ada di tanganNya, tidaklah keluar dari
padaNya, selain hak”. (H.R. Abu Dawud).
Naskah Abdullah bin Amr tersebut diberi nama “
Ash-shahifah Ash-shadiqoh “ karena ditulisnya secara langsung dari Rasulallah
SAW yang merupakan sebenar-benarnya apa yang diriayatkan dari padanya. Bila
naskah bentuk aslinya tidak sampai
kepada kita, maka kita bisa menemukan secara kutipan pada kitab Musnad Ahmad,
Sunan Abu Dawud,Sunan An-Nasa’i Sunan At-Turmudzi dan Sunan Ibnu Majjah[4].
Dengan adanya
kontroversi antara larangan dan perintah
penulisan Hadits, para Ulama telah menanggapai dan menelaah sampai akhirnya
diketahui ketentuan hukum dari menulis Hadits tersebut, sehingga bisa ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
Larangan
menulis Hadits dengan soal hafalan dan pemeliharaannya.
Titik
saran atau persoalan larangan penulisan Hadits terletak pada permasalahan
kekhawatiran tercampurnya antara Al-Qur’an dan Hadits.
Adanya
penelitian terhadap Hadits-hadits yang menjadi dalil bagi kedua pendapat
tersebut.
Perbedaan
para sahabat dalam menguasai Hadits
a.
Perbedaan
mereka dalam soal kesempatan bersama Rasulullah SAW.
b.
Perbedaan
mereka dalam soal kekuatan hafalan dan kesungguhan bertanya kepada para sahabat
yang lain.
c.
Perbedaan
mereka dalam waktu masuk Islam.
d.
Jarak
tempuh tempat tinggal mereka.
b.
Perkembangan Hadits pada Masa Khulafah Al-Rasyidin (11 H-40 H)
Periode kedua
adalah periode Khulafah Al-Rasyidin. Periode ini dikenal dengan periode
pembatasan periwayatan Hadits. periode ini terbagi atas dua kekhalifahan, yaitu
masa kekhalifahan Abu bakar Ash-shiddiq(51 SH-12 H) dan Umar bin Khattab (40 SH-22 H) dan masa kekhalifahan Utsman bin Affan (46 SH-34 H)
dan Ali bin Abi Thalib (18 SH- 40 H).
1. Masa Abu bakar dan Umar
Sepeninggal Nabi Muhammad SAW (w.11 H) para sahabat secara aklamasi
memilih Abu Bakar sebagi khalifah yang pertama. Kepada umatnya Nabi meninggalkan
dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup kepadanya, yaitu, Al-Qur’an dan
Hadits (Al Sunnah). Sebagaimana sabda Nabi:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ
تَضِلُّوْا بَعْدَ هُمَا كِتَا بَ اللهِ وَ سُنَّتِيْ (رواه الحا كم)
Namun semenjak Rasulullah SAW wafat, banyak
sahabat yang pindah ke kota-kota luar Madinah. Dengan demikian, Hadits begitu cepat menyebar. Hal inilah yang
menjadi kekhawatiran tidak otentitasnya Hadits. Sehingga khalifah Abu bakar dan
Umar menerapkan peraturan “pembatasan wirayat”.
Pada masa Abu Bakar yang ditekankan untuk dipelajari dan disebarluaskan
adalah Al-Qur’an, sedangkan Hadits pada waktu itu hanya dipelajari oleh
kalangan tertentu dan sedikit yang mendalaminya, bahkan para sahabat hanya
meriwayatkan Hadits jika ada permasalahan yang mendesak saja. Hal ini karena
khawatir akan dipergunakan oleh orang munafik menjadi jalan membuat Hadits
palsu, dalam hal ini berpegang pada Hadits:
اِيَا كُمْ وَكَثْرَةَ الْحَدِيْثِ وَمَنْ
قَا لَ عَنِّيْ فَلاَ يَقُو لَنَّ اِلاَّ حَقًا (رواه احمد و الحاكم)
Artinya:“ Jauhkanlah dirimu dari banyak meriwayatkan
hadits, barangsipa berkata atas namaku maka janganlah maka ia berkata selain dari yang hak.”(H.R.Ahmad
dan Hakim)
Abu
Bakar melakukan hal ini sebagai wujud penggalakkan Al-Qur’an sebagai hukum
tasyri’ yang pertama dan utama, juga mengingat Rasulullah SAW yang menyuruh
untuk bertindak hati-hati dalam meriwayatkan Hadits. Tidak beda dengan Abu
Bakar yang selalu meminta persyaratan berupa penyaksian dari sahabat lain, Umar
bin Khattab juga sangat teliti dalam menerima riwayat suatu Hadits, Umar
meminta bayyinah (keterangan) dari orang lain yang meriwayatkan Hadits.[5]
Kebijaksanaan yang dilakukan oleh kedua khalifah untuk tidak menyebarluaskan Hadits
adalah tidak lain agar Al-Qur’an menjadi
sumber ajaran utama.
2. Masa
Khalifah Utsman dan Ali
Pada masa kekhalifahan ini, peraturan mengenai periwayatan Hadits tidak
setegas pada masa kekhalifahan sebelumnya. Seiring dengan menyebarnya para
sahabat ke berbagai kota-kota lain dikarenakan wilayah kekuasaan Islam semakin
luas, mereka bermaksud untuk saling tukar pengetahuan dan mencari informasi
tentang Hadits, sehingga menyulitkan untuk mengontrol pembatasan riwayat secara
maksimal. Tapi dalam kesempatan lain, Utsman meminta kepada para sahabat supaya menerima Hadits
pada zaman Abu Bakar dan Umar.
Sedangkan pada masa Ali bin Abi Thalib, banyak terjadi persengketa yang
pada akhirnya berdampak pada periwayatan Hadits. Diantaranya:
Terjadi krisis dan fitnah dalam masyarakat.
Adanya peperangan antar beberapa kelompok politik.
Akibat dari rentetan permasalahan pada masa khalifah Utsman dan Ali ini,
merupakan awal munculnya Hadits-hadits palsu. Jadi, bisa ditarik kesimpulan
bahwa fitnah, bid’ah dan tersebar luasnya Hadits palsu merupakan pendorong
utama dari Muhadditsin untuk men-kodifikasi-kan Hadits.
Dalam prakteknya, strategi sahabat periwayatan Hadits adalah:
1. Dengan
lafazh asli, yakni menurut lafazh yang terima dari Nabi SAW yang mereka hafal
benar. Diantara para sahabat yang paling keras mengharuskan periwayatan Hadits
dengan jalan lafzhi adalah Ibn Umar, ia seringkali menegur sahabat yang
membacakan Hadits yang berbeda (walau satu kata) dengan yang pernah didengarnya
dari Rasulullah SAW., seperti yang dilakukannya terhadap Ubaid bin Amir.[6]
2. Dengan
maknanya saja, yakni
mereka boleh meriwayatkan maknanya bukan lafazhnya karena tidak hafal lafazh
yang asli dari Nabi.
c.
Perkembangan Hadits pada Masa Sahabat kecil
dan Tabi’in Besar (40 H-100 H)
Pada masa ini yaitu masa Daulah Bani Umayyah, wilayah kekuasaan Islam
sampai meliputi Mesir, Persia, Irak, Afrika Selatan, Samarkhan dan Spanyol,
disamping Madinah, makkah, Basrah, Syam dan Khurasan. Akibatnya, para sahabat
yang memerlukan untuk mengetahui Hadits-hadist Rasulullah SAW berangkat mencari
Hadits untuk belajar kepada sahabat senior yang sudah tersebar di pelosok
wilayah Daulah Islamiyah. Dengan tersebarnya periwayatan Hadits yang begitu
pesat dan perlawatan untuk mencari Hadits semakin ramai, maka muncullah
bendaharawan-bendaharawan Hadits dan lembaga-lembaga perkembangan Hadits.
Di antara bendaharawan hadits, yakni yang menerima Hadits, menghafal dan
mengembangkan atau meriwayatkan hadits
Abu Hurairah (95 SH-59 H), beliau meriwayatkan 5374 Hadits.
‘Abdullah bin Umar bin al-khattab (10 SH-74 H), beliau meriwayatkan 2630 Hadits.
Anas bin Malik (10 SH-93 H), beliau meriwayatkan 2276 Hadits.
Aisyah binti Abu Bakar
(w.58 H), beliau meriwayatkan 2210 Hadits
Abdullah bin ‘Abbas (3 SH-68 H), beliau meriwayatkan 1660 Hadits.
Jabir bin ‘Abdullah bin ‘Amr bin Haram (16 SH-78 H), beliau meriwayatkan 1540
Hadits.
Abu Said al-khudri (12 H-74 H), beliau meriwayatkan 1170 Hadits.
Para
sahabat yang banyak menerima hadits dari Rasulullah
a. Yang mula-mula masuk Islam yaitu, Khulafa al-Rasyidin dan
Abdullah ibn Mas’ud.
b. Yang selalu menyertai Nabi dan berusaha keras menghafalnya seperti,
Abu hurairah dan yang berusaha keras menulisnya seperti, Abdullah ibn amr ibn
Ash.
c. Yang lama hidupnya sesudah Nabi wafat karena dapat menerima Hadits
dari para sahabat lain seperti, Anas ibn Malik, Abdullah ibn Abbas, dan
Abdullah ibn Umar.
d. Yang erat hubungannya dengan nabi seperti, Aisyah dan ummu Salamah.
Adapun lembaga-lembaga Hadits
yang menjadi pusat usha penggalian, pendidikan dan pengembangan Hadits
terdapat di:Madinah, Makkah, Kuffah, Basrah, Syam, Mesir, Maghribi dan Andalus,Yaman
Khurasan.
Pemalsuan Hadits
Di akhir masa Khulafah al-Rasyidin, yaitu masa sebelum masa ketiga ini,
telah terjadi pemalsuan Hadits walaupun sangan minim. Hal ini dilatar belakangi
oleh terjadinya perang siffin (bulan shafar 37 H ) ketika kekuasaan dipegang
oleh Ali bin Abi Thalib. Namun, gejolak ini lambat laun berlarut-larut hingga
pada akhirnya menyebabkan terpecahnya Islam dalam beberpa kelompok, yaitu
Sy’iah dan khawarij.
Dengan demikian, dari pergolakan politik yang terjadi tentunya mempunyai
pengaruh positif dan negatif terhadap
pekembangan Hadits. Pengaruh negatifnya adalah munculnya Hadits-hadits palsu
yang mana untuk mendukung kepentingan politiknya masing-masing. Sedangkan
pengaruhnya yaitu lahir usaha untuk membukukan Hadits sebagai upaya
penyelamatan otentitas Hadits.
d.
Masa pentadwinan Hadits (101 H-300 H)
Secara etimologi, tadwin berarti kumpulan shahifah (mujtama’
ash-shuhuf). Secara terminologi menurut Al-Zahrani pengertian tadwin adalah:
تَقْيِيْدُ الْمُتَفَرِّقِ الْمُشَتَّتِ
وَجَمْعُهُ فِيْ دِيْوَا نٍ اَوْ كِتَأ بٍ تَجْمَعُ فِيْهِ الصُّحُفُ
“Menikat yang
berserak-serak kemudian mengumpulkannya menjadi satu diwan atau kitab yang
terdiri dari lembaran-lembaran.”
Jadi, pentadwinan Hadits yaitu pembukuan (kodifikasi)
secara resmi yang berdasarkan perintah kepala Negara, dengan melibatkan
beberapa personil yang ahli di bidangnya.
Hal-hal yang mendorong usaha untuk
mentadwinkan Hadits secara resmi adalah:
1. Pada akhir abad 1 H para penghafal Hadits
semakin berkurang karena sudah banyak yang wafat karena banyaknya peperangan.
2. Periwayatan secara lisan dengan
menghandalkan hafalan dan ingatan dalam keseragaman lafazh dan makna tidak bisa
berlangsung lama.
3. Mulai tahun 40 H, periwayatan Hadits dikaburkan
oleh timbulnya pemalsuan Hadits.
4. Pada masa tabi’in tidak dikhawatirkan lagi
tercampurnya antara Al-Qur’an dan Hadits.
5. Perkembangan ilmu pengetahuan semakin maju
karena luasnya jangkauan pengenalan umat.
Aktivitas tadwin Haditssecara resmi
dimulai pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz(63 H-101H), khalifah ke-8 dari
kekhalifahan Bani Umayyah yang terkenal ‘adil dan wara’ serta ahli dalam
berbagai bidang ilmu. Beliau terdorong hatinya untuk segera membukukan Hadits-hadits
Nabi. Melalui instruksinya kepada para pejabat daerah agar memperhatikan dan
mengumpulkan Hadits dari para penghapalnya. Kepada Abu bakar ibn Muhammad ibn
Amr ibn Hazm (gubernur Madinah) ia mengirim intruksi yang antara lain berbunyi:
اُنْظُرْ مَا كَا نَ مِنْ حَدِيْثٍ رَسُوْلِ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكْتُبْهُ فَإِنِّى خِفْتُ دُرُوْسَ
الْعِلْمِ وَذِهَابَ الْعُلَمَاءِ وَلاَ تَقْبَلْ اِلاَّ حَدِيْثَ رَسُوْلِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَفْشُ الْعِلْمَ وَتَجْلِسُوْا حَتَّى
يَعْلَمَ مَنْ لاَ يَعْلَمُ فَاِ نَّ الْعِلْمَ لاَ يَهْلِكُ حَتَّى يَكُوْنَ
سـِتْرًا .
“Perhatikan atau periksalah hadits-hadits Rasul.
Kemudian tuliskanlah ! aku khawatir akan lenyapnya ilmu dengan meninggalnya
para ulama (para ahlinya) dan janganlah kamu terima kecuali hadits Rasulullah
SAW dan sebarkanlan ilmu (Hadits) dan adakan
majlis-majlis ilmu supaya orang yang tidak mengetahui dapat mengetahutinya,
lantaran tidak lenyap ilmu hingga dijadikannya barang rahasia.”
Khalifah menginstruksikan kepada Abu bakar ibn Hazm
agar mengumpulkan Hadits-hadits yang ada pada Amrah binti Abdurrahman
Al-Anshari ( murid kepercayaan Siti Aisyah) dan al-Qasim ibn Muhammad Abi Bakr.
Intruksi yang sama ia tujukan kepada Muhammad ibn Syihab Az-Zuhri, yang
dinilainya sebagai orang yang lebih banyak mengetahui Hadits dari pada yang
lainnya. Abu Bakr ibn Hazm berhasil menghimpun Hadits dalam jumlah yang menurut
para Ulama kurang lengkap. Sedangkan Ibn Syihab az-Zuhri berhasil menghimpunnya,
yang dinilai oleh para Ulama lebih
lengkap.[7]
Pelopor mudawwin yang pertama kali berhasil menghimpun Hadits
dalam satu kitab sebelum khalifah meninggal dunia ialah Abu Bakar ibn Muhammad
bin Muslim bin ‘Ubaidillah ibn Syihab al-Zuhri al-Madani (w.124 H). Beliau ini
seorang ulama besar yang ahli di bidang Hadits dan fiqih. Tokoh-tokah lainnya
adalah:
Menurut para Ulama, pembahasan mengenai
aktivitas tadwin ini terbagi menjadi 3 fase, yaitu:
a. Fase tadwin
masa pertama
Pada fase ini para Mudawwin mengadakan tadwin dengan cara memasukkan
semua Hadits, baik sabda Rasul SAW maupun fatwa sahabat dan tabi’in. Jadi,
meliputi hadits marfu’, mauquf, maqthu’.[8]masa
ini berlangsung selama abad II H. Ada Ulama ahli hadits yang berhasil menyusun
kitab tadwin yang bisa diwariskan pada generasi sekarang, yaitu Malik ibn Anas
(94 H-179 H) Al-Muwatha’.
Kitab ini merupakan kitab terbesar pada masa ini yang disusun dengan
sistem tashnif, yaitu dengan
meletakkan Hadits yang ada hubungannya dengan yang lain dalam satu bab,
kemudian dikumpulkan bab-bab itu dalam satu mushannaf.
Al-Muwatha’ berisi 1726 Hadits yang terdiri dari 60 musnad, 228 mursal,
613 mauquf, dan 285 maqthu’. Perhatian para Ulama terhadap kitab ini begitu
besar, dengan bukti dari adanya perluasan kitab tersebut dengan mengusahakan syarahnya
dan mukhtashornya. Salah satu syarahnya yaitu Kasyf al-Mughoththo’ fi
Syarh al- Muwatha’ oleh al-Syuyuthi (w.911 H). Sedangkan mukhtashornya
adalah al-Taqashshi fi Musnad al-Muwaththa’ wa Musahhi oleh Ibn ‘Abd
al-Barr.
b. Fase tadwin
dengan kualifikasi
Pada masa awal abad III H ini, para ulama melaksanakan tadwin Hadits
dengan memisahkan antara sabda Nabi SAW dengan fatwa sahabat dan tabi’in
(kualifikasi). Namun antara Hadits shahih, hasan, dhaif masih bercampur.
Sistem yang dipakai pada fase ini yaitu menggunakan tasnid, yaitu
menyususn Hadits dalam kitab-kitab berdasarkan nama-nama sahabat perawi.
Kelemahan dari metode ini adalah sulitnya untuk mencari atau mengetahui hukum
syara’ karena tidak disusun berdasarkan maudhu’. Kitab yang disusun menggunakan
cara ini disebut dengan Musnad. Salah satu Musnad yang disusun pada masa ini
adalah Musnad Ahmad (w. 241 H) yang berisi 40.000 Hadits.
Perhatian para Ulama terhadap Musnad ini, juga begitu besar dengan adanya pen-syarahan oleh Ahmab ibn
‘Abd al-Rahman ibn Muhammad al-Banna yaitu bkitab Bulughul al-Amani.
c. Fase tadwin
dengan seleksi
Pentadwinan Hadits pada masa ini berlangsung dengan corak kualifikasi
antara Hadits marfu’, mauquf, dan maqthu’. Ulama yang pertama menggunakan
metode seleksi ini adalah Ishaq ibn Rahawih yang diikuti dan diteruskan oleh
al-Bukhari dan Muslim.
Dengan model seleksi ini, menghasilkan dua jenis karya diwan Hadits,
yaitu:
1. Shahih @ kitab-kitab yang terhimpun di
dalamnya berkualitas shahih saja. Kitab shahih antara lain:
Shahih al-Bukhari
Shahih Muslim
Shahih Ibn Hibban
Al-Mustadrak Hakim
Shahih Ibn Khuzaimah
Shahih Abu ‘Awanah
Shahih Ibn Jarud
2. Sunan @ tidak hanya menghimpun yang berkualitas
shahih saja, tetapi Hadits yang kualitasnya di bawah shahih dengan menjelaskan
kualitas masing-masing Hadits. Kitab sunan antara lain:
Sunan Abu Dawud
Sunan al-Turmudzi
Sunan al-Nasa’i
Sunan al-Dilami
Sunan al-Baihaqi
Sunan al-Daruquthni
Namun di antara macam-macam kitab di atas, yang termasyhur adalah Shahih
Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Turmudzi, Sunan al-Nasa’i,
dan Sunan Ibn Majjah yang sering di sebut dengan al-kutub al-sittah.
e.
Masa Mutaakhirin (301 H-656 H)
Ulama yang hidup mulai pada abad IV H
disebut Ulama Mutaakhirin. Pada masa ini, para Ulama mencukupkan periwayatan
dengan menukil dari kitab-kitab Hadits yang ditadwin pada abad sebelumnya.
Sedangkan Ulama yang hidup sebelumnya disebut Ulama Mutaqaddimin. Pada masa
Mutaqaddimin menggunakan model dengan penukilan langsung dari para penghafal.
Di
antara usaha-usaha ulama yang terpenting dalam periode ini adalah :
1. Mengumpulkan Hadits shahih Bukhari atau
Muslim dalam sebuah kitab.
2. Mengumpulkan Hadits-hadits dalam kitab
enam.
3. Mengumpulkan Hadits-hadits yang terdapat
dalam berbagai kitab.
4. Mengumpulkan Hadits-hadits hukum.
Pada
masa ini muncul usaha-usaha istikhraj dan istidrak. Istikhraj
yaitu mengambil suatu hadits dari al-Bukhari dan Muslim lalu meriwayatkannya
dengan sanad sendiri yang lain dari sanad al-Bukhari atau Muslim, seperti Al-Mustakhraj
Shahih Al-Bukhari oleh Hafidz al-Jurjani. Sedangkan Istidrak yaitu
mengumpulkan hadits-hadits yang memiliki syarat-syarat Bukhari dari Muslim atau
salah satunya Al-Mustadrak oleh Abu Dzar Al-Harawi.
Kitab-kitab yang termasyhur dalam abad ke-4
H
Al-Mu’jam al-Kabir, oleh Ath-Thabrany
Al-Mustadrak, oleh Al-Hakim
Ash-Shahih, oleh Ibn Khuzaimah
As-Sunan, oleh Ad-Daruqnuthy
Al-Mushannaf, oleh Ath-Thahawy
Al-Musnad, oleh Muhammad ibn Ishaq
Kitab-kitab
yang lahir dalam abad ke-5 H
Kitab Hadits yang paling terkenal pada masa ini adalah
karya Imam Al-Baihaqy (458 H) As-Sunan al-Kubra yang diterbitkan di India,
dengan disertai fihris(daftar) nama-nama sahabat dan tabi’in. Adapun
kitab yang lainnya adalah:
‘Umdat al-Ahkam, karya Al-Hafizh Abd al-Ghany Abu Abd al-Wahid
al-Maqdisy.
Al- Jami’ baina ash-shalihin, karya Muhammad ibn Nashir al-Humaidy
al-Andalusy.
Al-Ahkam ash-Shaghir, karya abu Muhammad Abd al-Haqqyang terkenak
dengan nama Ibn al-Kharrat.
Kitab-kitab
yang lahir pada abad ke-6 H
Tadrij ash-Shilah, susunan Abu al-hasan Muhammad ibn Razin ibn Muawiyyah al-Sarqasthy.
Mashabih ash-Shunnah, susunan Imam Husain ibn Mas’ud al-Baghdady.
Al-Jami’ baina ash-Shalihin, susunan Muhammad ibn Ishaq al-Asybily.
f.
Masa 656 H- sekarang
Pada masa ini masa setelah berakhirnya
kedaulatan abbasiyah ke-17 yaitu Al-Muktashim (w.656 H). Karena serangan dari
Mongol yaitu hulaghu Khan yang pada saat itu berada di Baghdad, sehingga
kegiatan perkembangan hadits berpindah ke Mesir dan india. Periode ini
dinamakan masa pen-syarahan, penghimpunan, pen-takhrijan, dan pembahasan.
Jalan-jalan
yang ditempuh para Ulama pada masa ini adalah
1. Menerbitkan isi kitab-kitab hadits.kitab
itu diberi nama kitab Zawaid. seperti, Zawaid Sunan Ibn Majjah.
2. Menyaringnya dan menyusun kitab-kitab
takhrij seperti,Takhrij Al-Hadits Tafsir Al-Kasyasyaf, karya
Az-Zaily (w.726 H).
3. Membuat kitab-kitab jami’ yang umum
seperti, Jami’ Al-Masanid was Sunan al-Hadi li Aqwami Sanan, karya
Al-Hafizh Ibn Katsir (w.774H).
4. Mengumpulkan Hadits-hadits Hukum seperti, Bulugh
al-Maram min Ahadits al-Ahkam oleh Al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalany
.(w.852H).
Tokoh-tokoh yang terkenal pada masa
a. Az-Zahaby (748 H)
b. Az-Zarkasi (794 H)
c. As-Sayuthi (911 H)
d. Al-Iraqy (806 H)
e. Ibn Katsir (744 H)
Kitab-kitab hadits yang disusun pada ke-7 H adalah:
Riyadhus
Shalihin dan Al-Arba’in oleh Imam An-Nawawi
Al-Mukhtarah susunan Muhammad ibn Abdil Wahid Al-Maqdisi (643 H)
Kitab-kitab hadits pada abad ke-8 H adalah:
Al-‘Ilmam
fi Ahadits Al-Ahkam karya Imam Ibn Daqiq Al-Ied (792 H)
Kitab-kitab hadits pada abad ke-9 H adalah :
Majma’
Az-Zawa’id wa Mamba’ Al-Fawaid karya Al-Hafizh Abu Al-Hasan Ali ibn Abi
bakr ibn Sulaiman Asy-Syafi’iy Al-Haitami (1303 H)
Kitab-kitab hadits pada abad ke-10 H adalah :
Al-Jami’ Ash-Shaghir min Ahadits Al-Basyir
an-Nadzir oleh As-Sayuti.
3. Pola
Pemikiran Periodesasi menurut Ulama Ahil
Hadits
a.
Mustafa Al-A’zami
Menurut Dr.
Muhammad Mustafa Al-A’zami, ada 2 periode perkembangan hadits.
1. Masa sebelum pentadwinan hadits, yakni masa Nabi Muhammad SAW
sampai akhir abad I H yang terbagi menjadi 4 fase. Antara lain:
Pada masa ketika para sahabat aktif
menerima dam menyampaikan hadits, pada masa ini ada sekitarb 50 sahabat yang
aktif.
Masa para tabi’in aktif menerima dan
menyampaikan hadits, pada fase ini ada sekitar 48 tabi’in yang terhitung aktif.
Tabi’it tabi’in menrima dan meriwayatkan
hadits dari para tabi’in, yang terhitung aktif pada fase ini berjumlah sekitar
86.
Aktifnya para guru dan ulama mengajarkan
hadits di madrasah-madrasah, yang terhitung aktif sekitar 256 orang.
2. Masa pengajaran dan penyebaran hadits periode ini dimulai sejak abad
ke-2 H, yakni sejak dikeluarkan perintah secara resmi oleh kholifah Umar bin
Abdul Aziz untuk membukukan hadits. Periode ini terbagi menjadi 3 fase. Antara
lain :
Ahli hadits dalam menyusun hadits juga
mengaitkan ayat-ayat Al-Qur’an,
atsar-atsar sahabat dan tabi’in dan disemua kota-kota besar yang masuk
dalam daerah Islam, ada ahli-ahli hadits yang terkenal.
Kitab-kitab hadits memuat hadits Nabi saja
dan urutan hadits yang termaktub dalam kitab-kitab hadits yang berdasarkan
topic dan ada yang berdasarkan yang meriwayatkan hadits tersebut.
Masa ini gencarnya mengenai pendewaan,
pengajaran, dan pembahasan mengenai hadits berada pada puncaknya.
b.
DR. Muhammad AbdurRauf
Menurut beliau, perkembangan terbagi atas 5 periode,
yaitu:
1. Marhalatus shohifah. Penulisan pada shahifah-shahifah (pelapah kurma,
kulit kayu dan tulang-tulang binatang). Periode ini terjadi pada masa
Rasulullah yang secara umum melarang dan secara khusus memerintahkan.
2. Marhalatul mushonnif. Penulisan kitab hadits berdasar dari permasalahan
yang berkembang. Dimulai sejak Rasulullah SAW wafat sampai pertengahan abad ke-2
H, tetapi menurut Maulana Muhammad Ali masa ini sampai akhir abad 1 H.
3. Marhalatus sanad. Penulisan kitab berdasar urutan sanad, terjadi pada
abad ke-2 H sejak perintah resmi keluar daru kholifah Umar bin Abdul Aziz
mengenai pendewaan hadits.
4. Marhalatus shohih. Tersusunnya hadits yang berkualitas shohih, dimulai
sejak abad ke-2 H sampai pertengahan abad 4.
5. Marhalatut tahliyat. Komentar dari kitab-kitab hadits yang sudah ada.
c.
TM. Hasbi Ash-shiddiqie
Menurut
TM. Hasbi Ash-Shiddiqie, ada 7 periode perkembangan hadits. Diantaranya adalah
:
1.
Masa
turunnya wahyu. Masa ini selama 23 tahun, yaitu tahun ke-8 SH sampai tahun 11H.
Masa ini sering di sebut masa pembentukan Tasyri Islami (Hukum Islam )
yaitu sejak awal kenabian sampai beliau wafat.
2.
Masa
khulafaur Rasyidin. Lamanya 29 tahun, yaitu mulai 11 H sampai 40 H. Masa ini
terkenal dengan masa kehati-hatian dan penyederhanaan riwayat.
3.
Masa
perkembangan riwayat dan perlawanan ke kota-kota untuk memberi hadits. Masa ini
lamanya 60 tahun. Yaitu mulai tahun 40 H-100 H.
4.
Masa
pembukuan hadits, yaitu mulai permulaan abad ke-2 H sampai lamanya kurang lebih
100 tahun yaitu dari 100 H sampai 200 H.
5.
Masa
pen-tashhih-an hadits. Yaitu sejak abad ke-3 H sampai 100 tahun lamanya.
6.
Masa
menafis dan penyaringan kitab-kitab hadits. Lamanya kira-kira 3,5 abad, mulai
abad ke-4 sampai 656 H.
7.
Masa
membuat syarah dan menyusun kitab-kitab takhrij, mengumpulkan hadits hukum, dan menyusunnya dalam
kitab-kitab jami’ sejak tahun 656 H sampai sekarang.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Perkembangan hadits pada masa Rasulullah
SAW bercorak antar lisan, tulisan, dan peragaan praktis dan mengalami
pelarangan penulisan dengan salah satu alasannya adalah khawatir akan
tercampurnya dengan Al-Qur’an.
2. Pada masa Khalifah al-Rasyidin, hadits
mengalami pasang surut dengan adanya pembatasan periwayatan pada masa Khalifah
Abu Bakar-Umar bin Khattab dan perluasan wilayah kekuasaan Islam pada masa
Khalifah Utsman-Ali sehingga menyebabkan bibit awalnya Hadits palsu.
3. Pada masa tabi’in, wilayah daerah kekuasaan
Islam bertambah luas. Perluasan daerah tersebut diikuti dengan penyebaran Ulama
untuk menyampaikan ajaran Islam di berbagai daerah . penyebaran Hadits
disesuaikan dengan kekuatan hafalan masing-masing Ulama itu sendiri, sehingga
tidak meratanya Hadits yang dimiliki Ulama Hadits. Maka kondisi tersebut
sebagai alasan kodifikasi Hadits selain faktor merajalelanya Hadits palsu.
4. Masa kodikasi Hadits secara resmi terjadi
pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang menginstruksikan kepada Abu Bakr
dan Ibn Syihab untu mengumpulkan Hadits-hadis yang ada di berbagai daerah.
Terdapat 3 fase dalam proses pentadwinan Hadits yaitu, fase tadwin
pertama, fase tadwin dengan kualifikasi, dan fase tadwin dengan seleksi.
5. Setelah hadits sudah terkodifikasi, muncul
usaha dari para Ulama Hadits masa mutaakhirin untuk mensyarah, mentakhrij,
membahas dari Hadits tersebut.
6. Masa (656 H-sekarang) ini merupakan sudah
banyaknya kitab-kitab hasil karya oleh para Ulama Hadits.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim
Soetari, Endang.2005.Ilmu
Hadits.Mimbar Pustaka : Bandung
Suparta, Munzier.
2003. Ilmu Hadits. Raja Grafindo : Jakarta
Nor Ichwan, Muhammad. 2013. Membahas Ilmu-ilmu Hadits. Rasail Media
Group : Semarang
Musahadi. 2000. Evolusi Konsep Sunnah. Aneka Ilmu : Semarang
Soebahar, Erfan. 2012. Periwayatan dan Penulihan Hadits Nabi.
Fak.Tarbiyah IAIN Walisongo : Semarang
Abdurrahman, Muhammad. Sumarna, elan. 2011. Metode Kritik Hadits.
Remaja Rosdakarya : Bandung
Hasbi, Muhammad ashiddiqiey. 2009. Sejarah dan Pengantar ilmu
hadits. Pustaka Rizki Putra: Semarang
Sholahuddin, Agus. Suyadi, Agus. 2008. Ulumul hadits. Pustaka Setia
: Bandung
[1] Prof.DR.
T.M.Hasbi ash-Shiddieqy.Sejarah dan Pengantar Ilmu hadits.hal 36
[2] Prof.DR.T.M.Hasbi ash-Shiddiqiey,Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadits,hal.33
[3] Ibid,
hal.30
[4]
Drs.Fatchur Rahman,Ikhtishar Musthalah al-hadits,hal.31
[5]
K.H.Prof.Dr.M.Abdurrahman,MA,Metode Kritik Hadits,hal.77
[6]
Drs.Munzier Suparta,MA,Ilmu Hadits,hal.83
[7]
Drs.Munzier Suparta,Ilmu Hadits,hal.90
[8] Hadits
Marfu’ (sanadnya sampai Nabi), Mauquf (periwayatannya berhenti pada sahabta),
Maqthu’ (terputus).
1 comment:
Kalau ingin membeli bukunya dimana ya?
Post a Comment