Showing posts with label Pendidikan Kewarganegaraan. Show all posts
Showing posts with label Pendidikan Kewarganegaraan. Show all posts

Monday, June 3, 2013

Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional





Compiled by: ANDIKA MAULANA


A.    PENDAHULUAN

Zaman ini ditandai oleh perubahan pesat dalam banyak bidang kehidupan masyarakat. Perubahan itu membawa kemajuan maupun kegelisahan pada banyak orang. Yang paling mencolok adalah bahwa komunikasi dan informasi antar daerah dan antar bangsa berkembang begitu pesat, sehingga dunia terasa semakin kecil. Orang bahkan sudah kerap melihat keadaan ruang angkasa, yang dulu hanya dapat dibayangkan dan diimpikan.

Salah satu hal yang menggelisahkan adalah Masalah Moral. Perubahan pesat dibanyak bidang menimbulkan banyak pertanyaan sekitar moral. Banyak orang merasa tidak punya pegangan  lagi tentang norma kebaikan, terutama dibidang-bidang yang paling dilanda perubahan pesat. Norma-norma lama terasa tidak meyakinkan lagi, atau bahkan dirasa usang dan tidak dapat dijadikan pegangan sama sekali. Orang juga tidak dapat lari pada hati nurani, karena hati nurani pun merasa tak berdaya menemukan kebenaran apabila norma-norma yang biasanya dipakai sebagai landasan pertimbangan menjadi serba tidak pasti.(1)

Dampak globalisasi yang terjadi saat ini membawa masyarakat Indonesia melupakan pendidikan karakter bangsa. Padahal, pendidikan karakter merupakan suatu pondasi bangsa yang sangat penting dan perlu ditanamkan sejak dini kepada anak-anak. “Dari berbagai peristiwa saat ini, mulai dari kasus pemerkosaan, pencurian, pembunuhan, korupsi dan tindakan kriminal lainnya, tentunya kita menjadi sadar  betapa pentingnya pendidikan karakter ditanamkan sejak dini”. Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa masyarakat ternyata mampu melakukan tindak kekerasan yang sebelumnya mungkin belum pernah terbayangkan. Hal itu karena globalisasi telah membawa kita pada “pemenuhan” materi sehingga terjadi ketidakseimbangan antara pembangunan ekonomi dan tradisi kebudayaan masyarakat.(2)

B.     POKOK PEMBAHASAN

1.      Realitas Pendidikan Kita dan Dampaknya
2.      Pendidikan Berkarakter Merupakan Solusi
3.      Lukmanul Hakim dan Mutiara Hikmahnya dalam Membentuk Karakter

_______________________
(1)     Dr. Al. Purwa Hardiwaroyo MSF. Moral dan Masalahnya. Yogyakarta : Penerbit Kanisius. 1990. Hlm. 9.
(2)     Masnur Muslich. Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Multidimensional. Jakarta : Bumi aksara. 2011. 1.



PEMBAHASAN

1.      Realitas Pendidikan Kita dan Dampaknya

Krisis akhlak disebabkan oleh tidak efektifnya pendidikan nilai dalam arti luas (di rumah, di sekolah, di luar rumah dan sekolah). Karena itu, dewasa ini banyak komentar terhadap pelaksanaan pendidikan nilai yang dianggap belum mampu menyiapkan generasi muda bangsa menjadi warga negara yang lebih baik. Memaknai hal tersebut reposisi, re-evaluasi, dan redefinisi pendidikan nilai bagi generasi muda bangsa sangat diperlukan.

Terpuruknya bangsa dan negara Indonesia dewasa ini tidak hanya disebabkan oleh krisis ekonomi melainkan juga oleh krisis akhlak. Oleh karena itu, perekonomian bangsa menjadi ambruk, korupsi, kolusi, nepotisme, dan perbuatan-perbuatan yang merugikan bangsa merajalela. Perbuatan-perbuatan yang merugikan dimaksud adalah perkelahian, perusakan, perkosaan, minum-minuman keras, dan bahkan pembunuhan. Keadaan seperti itu, terutama krisis akhlak terjadi karena kesalahan dunia pendidikan atau kurang berhasilnya dunia pendidikan dalam menyiapkan generasi muda.

Dunia pendidikan telah melupakan tujuan utama pendidikan yaitu mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan secara simultan dan seimbang. Dunia pendidikan kita telah memberikan porsi yang sangat besar untuk pengetahuan, tetapi melupakan pengembangan sikap/ nilai dan prilaku dalam pembelajarannya. Dunia pendidikan sangat meremehkan mata pelajaran yang berkaitan dengan pembentukan karakter bangsa.

Disisi lain, tidak dimungkiri bahwa pelajaran-pelajaran yang mengembangkan karakter bangsa seperti Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), Pendidikan Agama, Ilmu Pengetahuan Sosial dalam pelaksanaan pembelajarannya lebih banyak menekankan pada aspek kognitif daripada aspek afektif dan psikomotor. Di samping itu, penilaian dalam mata-mata pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan nilai belum secara total mengukur sosok utuh pribadi siswa.
Memperhatikan hal-hal tersebut, terjadi gugatan dan hujatan terhadap dunia pendidikan, kepada guru, dan terhadap proses pembelajaran. Di samping itu, terjadi pembicaraan dan diskusi tentang perlunya pemberian pembelajaran budi pekerti secara terpisah dari mata-mata pelajaran yang sudah ada atau secara terintegrasi ke dalam mata-mata pelajaran yang sudah ada (PPKn, Pendidikan Agama, dan sejenisnya) kepada para siswa sekolah dasar pada khususnya. Oleh karena itu, reposisi, re-evaluasi dan redefinisi terhadap “rumpun” pendidikan nilai khususnya, dipandang perlu agar tujuan kurikuler, tujuan nasional pendidikan yang bermaksud menyiapkan generasi bangsa yang berwatak luhur dapat tercapai.(3)

_______________________
(3)     Ibid. Hlm. 17-18.


2.      Pendidikan Berkarakter Merupakan Solusi

Barangkali tidak banyak yang menyadari bahwa sistem pendidikan di Indonesia sebetulnya hanya menyiapkan para siswa untuk ke jenjeng perguruan tinggi atau hanya untuk mereka yang memang mempunyai bakat pada potensi akademik (ukuran IQ tinggi) saja. Hal ini terlihat dari bobot mata pelajaran yang diarahkan kepada pengembangan dimensi akademik siswa yang sering hanya diukur dengan kemampuan logika-matematika dan abstraksi (kemampuan bahasa, menghapal, abstraksi atau ukuran IQ). Padahal, banyak potensi lainnya yang perlu dikembangkan. Berdasarkan teori Howard Gardner tentang kecerdasan majemuk, potensi akademik hanyalah sebagian saja dari potensi-potensi lainnya.

Pada sisi lain, kenyataan menunjukkan bahwa dimanapun manusia di muka bumi ini, yang memiliki IQ di atas angka 120 tidak lebih dari 10 persen jumlah penduduk. Sebaliknya, sebagian besar mereka memiliki dimensi-dimensi lainnya, misalnya pekerjaan teknisi, musisi, manual (motorik), artis, atau hal-hal lain yang sifatnya “lebih konkret”. Tantangannya adalah apakah penduduk mayoritas ini sudah dipersiapkan untuk dapat bekerja secara profesional sehingga dapat menghasilkan kehidupan yang berkualitas? Padahal, kualitas kehidupan (termasuk kualitas produksi barang dan jasa) sangat tergantung pada kualitas segmen penduduk yang mayoritas ini.

Menurut Thurow, dalam hal kualitas produksi, negara AS kalah deengan jepang karena strategi pendidikan di jepang lebih mementingkan bagaimana menyiapkan tenaga kerja yang berkualitas dan profesional, yang merupakan bagian terbesar dari penduduk. AS yang mementingkan 10 peresen siswa terpandai. Sebaliknya, strategi pendidikan jepang justru menyiapkan 50 persen siswa terbawah (dalam skala IQ) untuk menjadi tenaga kerja yang handal. Mereka yang sangat tinggi kemampuan akademisnya (yang populasinya tidak lebih dari 15 persen), akan masuk ke jenjang perguruan tinggi setelah menempuh ujian saringan perguruan tinggi yang sangat sulit. Dengan strategi seperti ini, sistem pendidikan di Jepang terutama pendidikan dasar dianggap relatif tidak sulit dan menyenangkan bagi anak-anak.

Bagaimana di Indonesia? Sistem pendidikan di Indonesia justru menyiapkan seluruh siswa untuk dapat menjadi ilmuwan dan pemikir (pilsuf). Seluruh mata pelajaran dirancang sedemikian rupa sulitnya sehingga hanya dapat diikuti oleh 10 sampai 15 persen siswa terpandai saja atau mereka yang mempunyai IQ diatas 115. Memang, beberapa siswa Indonesia bisa berprestasi mendapatkan hadiah olimpiade, namun dapat dipastikan bahwa mereka adalah bagian dari top 0.1 persen tingkat IQ tertinggi saja. Hal ini tentu bukanlah cerminan dari kondisi seluruh siswa Indonesia. Sudah puluhan tahun energi bangsa kita terbuang sia-sia untuk menciptakan manusia Indonesia yang menguasai IPTEK dengan segala beban kurikulum yang luar biasa beratnya. Padahal, jika potensi siswa yang ber-IQ 90 atau 100 diberikan pelajaran tambahan berapa pun tidak akan bisa meningkatkan IQ-nya menjadi 120. Seandainya energi kita lebih difokuskan pada bidang keterampilan untuk menyiapkan 85 persen penduduk agar mereka siap dan terampil bekerja secara profesional, mencintai pekerjaannya dan berkomitmen pada kualitas produksi yang tinggi, mungkin kondisi Indonesia tidak akan separah sekarang.

Apa yang telah dilakukan pemerintah (pemegang dan pembuat kebijakan) selama ini, ternyata “membuahkan hasil”. Kualitas SDM (Human Development Index) Indonesia “terjun bebas” berada dibawah Vietnam, atau nomor 4 dari bawah (102 dari 106 negara). Hasil survei PERC di 12 negara juga menunjukkan bahwa Indonesia berada di urutan terbawah, satu peringkat dibawah Vietnam. Hal senada, hasil survei matematika di 38 negara Asia, Australia, dan Afrika oleh TIMSS-R menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat 34. Mengapa kualitas SDM kita sedemikian buruknya? Salah satu “biang” atau sebab utamanya adalah pemerintah kita sejak merdeka hingga kini tidak mempunyai visi dan strategi yang jitu dalam membawa bangsa ini melesat jauh ke depan.(4)

3.      Lukmanul Hakim dan Mutiara Hikmahnya Dalam Membentuk Karakter

Ungkapan-ungkapan Lukman patut dijadikan teladan oleh siapapun pada zaman ini. Sistematika nasihatnya yang dikemas dengan indah, tersusun dengan teratur dan di dukung oleh contoh dan budi pekerti yang amat mulia sehingga terhujam kedalam hati. Ia mulai menaburkan nasihatnya dengan tauhid mengesakan Allah, mengajak untuk mendekatkan diri kepada Allah (beribadah) dan menanamkan budi pekerti yang mulia (akhlak al-karimah). Sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT. :

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". (QS. Luqman (31) : 13)

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”. (QS. An-Nisa’ (04) : 48)

Syirik merupakan aniaya yang besar, karena mengandung perbuatan menyamakan dalam masalah ibadah antara yang berhak disembah dengan orang yang tidak mempunyai hak untuk disembah, antara Dzat pemberi nikmat dengan orang yang diberi nikmat, antara Dzat yang Maha Kuat dengan orang yang lemah tak berdaya, antara Dzat yang Maha Pencipta dengan orang yang diciptakan.

Diriwayatkan, Putra Luqman bertanya kepada ayahnya tentang biji-bijian yang jatuh di dasar lautan, apakah Allah akan mengetahuinya? Luqman menjawab, sebagaimana dalam firman Allah : 

________________________
(4)     Ibid. Hlm. 21-22.


“(Luqman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha mengetahui”. (QS. Luqman (31) : 16)

(Yang dimaksud dengan Allah Maha Halus ialah ilmu Allah itu meliputi segala sesuatu bagaimana kecilnya)

Kemudian Luqman meneruskan wasiat kepada putra-putranya untuk senantiasa memelihara dan memupuk rasa keimanan kepada Allah dengan senantiasa mengadakan komunikasi dengan Allah melalui ibadah sholat, mengerjakan yang baik dan mencegah yang mungkar dan bersabar atas segala sesuatu yang menimpanya. Sebagaimana dalam firman Allah SWT :

“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (QS. Luqman (31) : 17)

Lebih lanjut Luqman mengingatkan putra-putranya untuk menjaga, memelihara dan menampilkan akhlak yang mulia. Saling mengasihi diantara mereka, tidak sombong dan angkuh, apalagi sampai membuang muka. Hal ini digambarkan oleh firman-Nya :

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”. (QS. Luqman (31) : 18)
“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai”. (QS. Luqman (31) : 19)
(Maksudnya: ketika kamu berjalan, janganlah terlampau cepat dan jangan pula terlalu lambat)

Yang mendapat perhatian utama Luqman adalah hati sebagaimana nasihatnya yang diriwayatkan oleh khalid :

“khalid ar-Ruba’i berkata : Luqman itu seorang hamba sahaya dari negeri Habsyi, lalu tuannya menyerahkan seekor kambing kepadanya dan berkata : “sembelihlah kambing ini dan berikanlah untukku dua potong daging yang paling baik!” lalu Luqman memberikan kepada tuannya itu daging lidah dan daging hati. Kemudian tuannya menyerahkan lagi seekor kambing lain dan berkata : “sembelihlah kambing ini dan berikanlah untukku dua potong daging yang paling buruk!” lalu Luqman memberikan kepada tuannya daging lidah dan daging hati. Lalu tuannya bertanya kepadanya tentang rahasia lidah dan hati itu, seraya dijawabnya, “Tidak ada sesuatu yang paling baik daripada kedua-duanya, apabila kedua-duanya itu baik dan tidak ada yang lebih buruk dari kedua-duanya, apabila kedua-duanya itu buruk.”

“Wahai anakku, apabila rumahmu terjaga dan gudangmu aman, maka berbahagialah engkau di dalam kehidupan dunia maupun kehidupan akhiratmu nanti.” (yang dimaksud dengan rumah dan gudang itu adalah hati dan lisan)

Luqman berkata kepada putranya, “Pilihlah delapan macam perkataan para Nabi as;
1.      Apabila engkau sedang melakukan shalat, maka peliharalah hatimu;
2.      Apabila engkau sedang berada dalam rumah orang lain, maka peliharalah matamu;
3.      Apabila engkau berada ditengah-tengah manusia, maka jagalah mulutmu;
4.      Apabila engkau sedang berada dalam hidangan, maka peliharalah orang disekelilingmu;
5.      Ingatlah dua hal dan lupakanlah dua hal pula. Adapun dua hal yang harus diingat ialah Allah SWT dan mati, sedangkan dua hal yang harus dilupakan ialah kebaikanmu terhadap orang lain dan kejelekan orang lain terhadap kamu.

Disamping itu pula ternyata Luqman al-Hakim sangat piawai dalam menanamkan rasa percaya diri dan sikap istiqomah kepada putra-putranya dalam beramal sholeh, ditengah-tengah terjangan badai yang sangat besar. Hal ini patut ditiru oleh orang tua, guru pada saat ini ditengah derasnya arus informasi yang susah dibendung, pergeseran budaya yang telah merusak tatanan kehidupan, dan merebaknya peredaran obat-obat terlarang. Maka nasihat Luqman yang membawa putranya terjun langsung dan merasakan bagaimana sikap orang lain, teman dan lingkungannya terhadap prilaku yang dilakukan ia dan Bapaknya.

Wahai anakku, “Kerjakanlah pekerjaan yang membuat kamu shaleh dalam urusan agama dan duniamu dan teruskanlah bekerja demi kepentingan itu hingga selesai. Janganlah engkau hiraukan orang lain, janganlah engkau dengarkan tanggapan-tanggapan mereka dan maafkanlah mereka, sebab memang tidak ada jalan untuk memuaskan mereka semua dan tidak ada cara untuk menjinakkan mereka semua.”

Wahai anakku ambillah seekor keledai dan lihatlah bagaimana tanggapan mereka, niscaya mereka tidak senang terhadap seseorang selama-lamanya. Lalu putranya itu membawa keledai keharibaan Luqman. Luqman menaiki keledai itu dan memerintahkan putranya untuk menuntun keledai. Kemudian keduanya lewat didepan sekelompok banyak orang, tiba-tiba mereka mengecam Luqman, seraya berkata, “Anak kecil itu berjalan kaki, sedangkan orang yang besar itu naik diatas keledai, alangkah kejam dan kasarnya dia!” Luqman bertanya kepada putranya, “bagaimana tanggapan orang, wahai anakku? Lalu putranya memberitahukan kepada Luqman tentang tanggapan orang tersebut.

Kemudian Luqman turun dan menuntun keledai itu, sedangkan putranya menaikinya, lalu lewat dikeramaian tempat lain, tiba-tiba mereka itu mencemoohkan putranya, seraya berkata, “anak muda itu menaiki keledai, sedangkan orang tuanya berjalan kaki, alangkah jeleknya anak muda ini dan betapa kurang ajarnya ia!” Luqman bertanya kepada putranya,”bagaimana tanggapan orang wahai anakku?” Lalu putranya memberi tahukan kepada Luqman tentang tanggapan orang tersebut, kemudian kedua-duanya sama-sama naik diatas seekor keledai itu, berboncengan, lalu lewat ditempat lain lagi. Tiba-tiba orang ditempat itu mencerca kedua-duanya, seraya berkata, “betapa kejamnya kedua orang itu, mereka berdua berboncengan menaiki seekor keladai itu, padahal mereka tidak sakit dan tidak pula lemah!” Luqman bertanya lagi kepada putranya, bagaimana tanggapan orang? Lalu putranya memberitahukan kepada Luqman tentang tanggapan orang tersebut.

Akhirnya Luqman dan putranya turun dari atas keledai, mereka berdua berjalan kaki sambil menuntun keledai itu, dan lewat ditempat lainnya. Tiba-tiba mereka mengecam juga, seraya berkata, “Subhanallah...., seeokor himar itu berjalan, padahal ia sehat dan kuat dan dua orang yang menuntunnya juga berjalan kaki, alangkah baiknya apabila salah seorang naik diatasnya. Luqman bertanya kepada putranya, “bagaimana tanggapan orang itu? Lalu putranya memberi tahu tentang tanggapan itu. Lalu Luqman mengulangi nasihatnya, “Wahai anakku, bukankah aku telah berkata kepadamu, kerjakanlah pekerjaan yang membuat engkau menjadi shaleh dan janganlah menghiraukan orang lain. Dengan peristiwa ini saya hanya menghendaki memberi pelajaran kepadamu.”

Dan Luqman selalu mengingatkan kepada putra-putranya bahwa iman, taqwa dan tawakkal adalah sebuah kesatuan yang akan menyelamatkan manusia dalam meraih ridha Allah baik di dunia maupun di akhirat.

Wahai anakku, “ Dunia ini merupakan sebuah lautan yang dalam, telah banyak orang-orang yang hanyut kedalamnya, maka jadikanlah iman sebagai kapalmu di dunia ini, taqwa sebagai isinya, dan tawakkal sebagai layarnya. Mudah-mudahan dengan demikian engkau bisa selamat dan saya khawatir engkau tidak bisa selamat.”(5)

_________________________
(5)     Abdul Majid, S.Ag. , M.Pd. , Dian Andayani, S.Pd., M.Pd.. Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. 2012. Hlm. 210-214.



KESIMPULAN

Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan :
1.      Krisis akhlak disebabkan oleh tidak efektifnya pendidikan nilai dalam arti luas (di rumah, di sekolah, di luar rumah dan sekolah). Karena itu, dewasa ini banyak komentar terhadap pelaksanaan pendidikan nilai yang dianggap belum mampu menyiapkan generasi muda bangsa menjadi warga negara yang lebih baik. Memaknai hal tersebut reposisi, re-evaluasi, dan redefinisi pendidikan nilai bagi generasi muda bangsa sangat diperlukan.
2.      Pada dasawarsa terakhir ini, krisis kepercayaan diri bangsa Indonesia sudah cukup memprihatinkan. Berbagai tindakan negatif banyak terjadi di berbagai daerah, mulai dari prilaku seks bebas, tawuran pelajar dan mahasiswa, hingga maraknya kasus bunuh diri. Dunia pendidikan telah memberikan porsi yang sangat besar untuk pengetahuan, tetapi melupakan tujuan utama pendidikan, yaitu mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan secara simultan dan seimbang. Terpuruknya bangsa Indonesia dewasa ini tidak hanya disebabkan oleh krisis ekonomi, melainkan juga oleh krisis akhlak yang berakar dari kurangnya penanaman pendidikan karakter.  
3.      Ungkapan-ungkapan Lukman patut dijadikan teladan oleh siapapun pada zaman ini. Sistematika nasihatnya yang dikemas dengan indah, tersusun dengan teratur dan di dukung oleh contoh dan budi pekerti yang amat mulia sehingga terhujam kedalam hati. Ia mulai menaburkan nasihatnya dengan tauhid mengesakan Allah, mengajak untuk mendekatkan diri kepada Allah (beribadah) dan menanamkan budi pekerti yang mulia (akhlak al-karimah).



DAFTAR PUSTAKA

1.      Hadiwardoyo MSF, Purwa. 1990. Moral dan Masalahnya. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
2.      Muslich, Masnur. 2011. Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Multidimensional. Jakarta : Bumi.
3.      Majid, Abdul, S.Ag., M.Pd., Andayani, Dian, S.Pd., M.Pd.. 2012. Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Wednesday, May 22, 2013

RELEVANSI PANCASILA BAGI KEHIDUPAN BANGSA


Disusun Oleh :
1. Azka Lailatu Sa'adah
2. Anam Muzakka


I.                   PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Melihat kenyataan sekarang ini, belum terlihat jelas upaya mewujudkan nilai sila-sila Pancasila secara sungguh-sungguh. Tidak pernah sepenuh hati dilaksanakan secara konkret. Jangankan dilaksanakan dengan kesungguhan, keinginan membicarakannya saja cenderung ogah-ogahan. Pancasila terkesan seperti ditelantarkan.
Sebaliknya, godaan menggantikannya sebagai ideologi negara tidak pernah surut meski tidak selalu terbuka. Upaya diam-diam, pelan-pelan, dan terselubung lebih berbahaya ketimbang terbuka karena lazimnya sulit diantisipasi. Godaan menggantikannya dengan ideologi lain, ditambah ketidakseriusan mewujudkannya, membuat posisi Pancasila sebagai dasar negara benar-benar terjepit.
Lebih memprihatinkan lagi, dan sungguh tidak adil jika Pancasila sampai dijadikan kambing hitam atas segala kemacetan dalam bidang ekonomi, sosial, keamanan, dan politik selama ini. Segala kegagalan mewujudkan Indonesia yang sejahtera dan berkeadilan antara lain karena tidak ada kesungguhan mewujudkan pembangunan yang mengacu pada nilai-nilai visioner Pancasila.
Upaya perwujudan nilai-nilai Pancasila selama ini terkesan hanya setengah hati. Tidak banyak yang peduli jika Pancasila diganggu oleh ideology lain. Lemahnya dukungan juga terlihat pada wacana tentang Pancasila yang cenderung melemah. Kalaupun Pancasila dibahas, semakin dilakukan jauh di pinggiran, dalam ruang-ruang sempit dan pengap, jauh dari pesona dan sensasi panggung, yang memang dibajak oleh para petualang politik yang hidup dari oportunitas harian.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Pengertian Pancasila
2.      Permasalahan-permasalahan dalam Pancasila dan penyelesaiannya.
3.      Relevansi Pancasila di masyarakat Indonesia

II.                PEMBAHASAN

a.       [1]Pengertian Pancasila
Pancasila secara etimologi terdiri dari kata panca yang berarti lima dan kata kata sila berarti aturan, sehingga istilah pancasila berarti lima aturan. Sedangkan secara terminologi berarti lima sila atau aturan yang menjadi atau aturan yang menjadi ideologi bangsa dan negara, pedoman bermasyarakat, dan pandangan hidup atau kepribadian bangsa dan negara Indonesia. Artinya, pancasila adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia yang memberikan kekuatan kepada bangsa Indonesia, dan memberikan bimbingannya dalam kesejahteraan hidp baik lahir maupun batin.
Artian pancasila secara dalam atau radiks atau filsafati, bahwa istilah Pancasila diartikan sebagai ideologi, dasar negara, dan dasar kehidupan atau filsafat bangsa atau Negara Indonesia. Sebagai pandangan hidup, Pancasila harus mampu membeikan semangat, memberikan keyakinan, arah berfikir, dan harapan masa depan yang lebih baik.
Artian Pancasila secara reflektif, bahwa nilai-nilai Pancasila harus dapat diimplementasikan atau direalisasikan atau dihayati dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara sesuai makna sila-sila Pancasila yang dirumuskan sebagai berikut:
Sila ke I           : Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila ke II         : Kemanusiaan yang adil dan beradab
Sila ke III        : Persatuan Indonesia
Sila ke IV           : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan
Sila ke V            : Keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia

b.      [2]Permasalahan-permasalahan dalam Pancasila dan penyelesaiannya
1.      perkembangan permasalahan mengenai pancasila
Sepanjang sejarah perkembangan pemikiran mengenai pancasila yang bersifat evolutif dan kompleks. Kita catat ada lima permasalahan mengenai pancasila: (1) masalah sumber; (2) masalah tafsir; (3) masalah pelaksanaan; (4) masalah apakah pancasila itu subject to change; dan (5) problem evolusi dan kompleksitas didalam pemikiran mengenai pancasila.
Masalah sumber adalah mengenai sumber dalam arti sumber pengenal (kenbron), yaitu sumber dari mana dapat dijumpai pancasila itu. Masalah ini antara lain terungkap dari plobematik mengenai naskah pancasila yang otentik. Hal ini terjadi karena adanya banyak naskah yang memuat uraian mengenai pancasila dan banyak pendapat yang berbeda-beda mengenai sumber pancasila .
Masalah tafsir menjadi tampak jelas ketika pemikiran mengenai pancasila memasuki fase refleksi dan fase kritik. Dipertanyakan: apakah pancasila itu dan apakah yang dimaksudkan dengan masing-masing sila di dalam pancasila tersebut. mengenai hal ini pun terdapat pendapat yang heterogen.
Problem pelaksanaan timbul karena sebagai ideologi nasional, dasar negara dan sumber hukum, Pancasila memerlukan pelaksanaannya. Masalah ini menjadi semakin urgen pada waktu terdapat pemikiran  mengenai pelaksanaan pancasila secara murni dan konsekuen, dimana pembangunan nasional dipandang sebagai pengamalan dari pancasila. Sejauh manakah pancasila itu dapat dipandang sebagai dan menjadi ideologi  pembangunan.
Masalah apakah Pancasila “subject to change” juga terungkap sebagai bagian dari perkembangan pemikiran yang menjadi kritis dan refleksif mengenai Pancasila. Sifat pemikiran yang evolutif terkait dengan kemungkinan terjadinya perubahan. Di samping itu problem tersebut juga dipacu oleh terjadinya interaksi antara berbagai aliran ideology yang ikut membentuk perkembangan pemikiran mengenai Pancasila itu, yang mempunyai dampaknya didalam perkembangan masyarakat dan kebudayaan Indonesia.
Semua itu menunjukkan bahwa didalam sejarah perkembangan pemikiran mengenai Pancasila itu terjadi rangkaian dialogyang terus-menerus antara permasalahan-permasalahan di satu pihak dengan jawaban-jawabannya masing-masing di lain pihak, suatu hal yang sebenarnya merupakan hakikat setiap sejarah pemikiran.
2.      Dua jalur pemecahan permasalahan mengenai pancasila
Dari sejarah pemikiran mengenai Pancasila sebagaimana dikemukakan didepan dapat terlihat bahwa dialog antara permasalah-permasalahan mengenai pancasila dan jawaban-jawaban terhadap masalah itu, berkembang melalui dua jalur utama: (1) jalur hukum kenegaraan ;dan (2) jalur akademik.
Bonneff dan kawan-kawannya, di dalam studi mengenai Pancasila membagi pemikiran mengenai Pancasila itu kedalam dua lingkup.
Pertama: pancasila sebagai pemikiran politik ( le pancasila , projet politique )
Kedua    : Pancasila sebagai pemikiran filosofis ( le pancasila, projet philosophique )
Pembagian pemikiran mengenai Pancasila menjadi dua jalur tersebut memang tampak dari sejarah.
Pancasila sebagai bagian dari gerakan kebangkitan nasional dan gerakan kemerdekaan bangsa Indonesia,adalah pemikiran politik yang terjadi pada masa itu. Ketika Pancasila selanjutnya mendapatkan penuangannya dalam bentuk konstitusi sebagai dasar negara, Pancasila menjadi dasar pemikiran untuk politik, hukum dan kehidupan kenegaraan, yang tidak terlepas dari sejarah politik, hukum dan negar Republik Indonesia. Pancasila sebagai acuan bagi pemegan kekuasaan politik di Indonesia sejak tahun 1945.
Dialog yang memuat permasalahan-permasalahan politik mengenai pancasila dengan jawaban-jawaban terhadapnya itu dapat dilihat dengan menelusuri sejarah konstitusi dan sejarah politik kenegaraan Republik Indonesia. Akan tetapi dialog itu tidak semata-mata terkait dengan keputusan-keputusan hukum dan kenegaraan saja. Pemikiran-pemikiran mengenai Pancasila terjadi didalam masyarakat luas, secara formal dan sistematis terjadi didalam perkembangan pemikiran akademik, ditanggapi serta diolah oleh aliran-aliran pemikiran yang ada didalam masyarakat dan kebudayaan Indonesia, sehingga Pancasila dapat disebut sebagai masalah filsafat.
Konstatasi  Bonneff mengenai Pancasila sebagai pemikiran filosofis juga mempunyai dasarnya di dalam sejarah. Namun demikian mengenai hal ini perlu dikemukakan beberapa catatan, terutama karena istilah filosofis yang digunakan itu dapat menimbulkan pertanyaan apakah segala jenis pemikiran sistematik mengenai pancasila tercakup didalamnya? Di dalam pemikiran yang terjadi di luar jalur hukum kenegaraan itu, tidak hanya terdapat pemikiran filosofis, akan tetapi juga pemikiran ideologis ilmiah dan theologis. Untuk itu penggunaan istilah akademis menurut kami adalah lebih sesuain.
Pemikiran akademis meliputi pemikiran-pemikiran sistematis mengenai Pancasila, baik yang bersifat ilmiah, theologis maupun filosofis.
3.      Mekanisme pemikiran politik kenegaraan dan mekanisme pemikiran akademis
walaupun terdapat interdependensi antara perkembangan pemikiran mengenai pancasila di dalam jalur politik kenegaraan di satu pihak dan dalam jalur akademis di lain pihak, antara keduanya terdapat perbedaan.
Di dalam jalur politik kenegaraan, orang berpikir untuk kepentingan mengambil keputusan praktis. Di dalam jalur akademik orang berpikir untuk sampai kepada kesimpulan kebenaran, ketetapan dan kepastian yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Jalur akademis mempunyai sifat terbuka untuk diskusi berkepanjangan sedang jalur politik kenegaraan mempunyai sifat decisif praktis terhadap perkembangan masyarakat.
Jalur politik kenegaraan itu mempunyai mekanisme yang diatur oleh Undang-Undang Dasar. Hukum dapat dipandang antara lain sebagai metodologi kerjayang menjadi dasar berpijak pemikiran-pemikiran mengenai Pancasila di dalam jalur politik kenegaraan. Di dalam jalur politik kenegaraan , kata akhir itu perlu dicapai, untuk diambil keputusan-keputusan sebagai dasar tindakan nyata. Sebaliknya perkembangan pemikiran didalam jalur akademis mempunyai metodologi tersendiri, sesuai dengan jenis-jenis pemikiran yang dikembangkannya dalam rangka menemukan kebenaran dan kepastian-kepastian akademis. Didalam jalur akademis, pemikiran itu tidak pernah sampai kepada kata akhir, dan karena itu tidaklah dimaksudkan  untuk membuat keputusan praktis.
Maka dari itu kesimpulan-kesimpulan akademis tidak selalu menjadi ketetapan-ketetapan politik kenegaraan. Sebaliknya ketetapan-ketetapan politik kenegaraan tidak merupakan kesimpulan-kesimpulan akademis. Ketetapan politik kenegaraan dapat berkedudukan sebagai bahan untuk dimasukkan dalam pengolahan pemikiran akademis.

c.       Relevansi Pancasila di masyarakat Indonesia
1)      Sila I: Ketuhanan Yang Maha Esa
Kekerasan yang merebak dalam berbagai bentuk terjadi semakin seporadis dengan tingkat semakin massif, dari yang fisik hingga simbolis, mengindikasikan berkembang suburnya sisi kekerdilan manusia; cara berpikir dan bertindak atas nama ideologi agama, tetapi sebenarnya membenarkan doktrin sempit agama. Itu karena yang kita hadapi tidak hanya krisis identitas, tetapi juga krisis intelektual dan hati nurani yang mencerminkan krisis karakter bangsa.
Munculnya perda-perda syariah bermasalah menyangkut praksis keberagamaan, merebaknya partai-partai politik berdasarkan agama, menunjukan belum selesai tuntasnya hubungan agama dan negara, yang menyangkut dua hal pokok: pertama, hubungan negara dan agama, dan kedua, implementasi prinsip negara berketuhanan dan berkonstitusi.
Dalam pemaknaan keberagaman-pluralisme-multikulturalisme sebagai toleransi dan kerukunan hidup beragama terbentang tarik-ulur. Ketika kita menerima sejumlah agama resmi, berarti eksistensi agama-agama itu diakui sebagai kompetitor yang sah dalam menyebarkan dan menjalankan agama masing-masing. Sudah dengan sendirinya terjadi gesekan di antara agama yang satu dengan lainnya, tetapi juga dalam agama-agama itu sendiri.[3]
Refleksi dari nilai Ketuhanan dalam Pancasila itu sendiri sangat penting untuk dikembangkan, seperti sikap saling peduli, saling tenggang rasa, dan menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai kepercayaan masing-masing umat beragama yang ada di Indonesia dan yang diakui tadi, serta tidak saling mengganggu dan memaksakan suatu agama/kepercayaan kepada umat lain.[4]
2)      Sila II: Kemanusiaan yang adil dan beradab
Terlalu banyak contoh kekerasan komunal di negeri ini, terutama sejak era reformasi bergulir. Konflik-konflik sosial di berbagai pelosok Tanah Air kerap menghiasi layar kaca stasiun televisi mengisi halaman muka surat kabar, internet, dan siaran radio. Tak jarang karena persoalan sepele, seperti kasus kerusuhan di Ambon, merambat dan meluas menjadi pertikaian antar etnis yang berlarut-larut. Di tengah massa yang marah, nilai-nilai; Kemanusiaan yang adil dan beradab; hanya tinggal sebaris kata-kata.
Bagus Takwin, ahli psikologi sosial dari UI, tidak percaya sifat-sifat buruk itu melekat pada manusia-manusia Indonesia. Katanya, masyarakat Indonesia pada dasarnya bukan masyarakat pemarah. Kalaupun muncul kekerasan, hal itu lebih disebabkan oleh akumulasi kekesalan dan reaksi terpendam yang berkepanjangan.
Kalau segi sifat baik itu mulai tenggelam dalam keseharian hidup bermasyarakat, pasti ada sesuatu yang keliru pada pengelolaan bangsa ini. Euforia reformasi yang lebih menonjolkan sisi negatif perilaku anak-anak bangsa, antara lain ditandai munculnya konflik sosial di sejumlah tempat dalam berbagai tingkatan, seolah meniadakan semangat mulia yang terkandung dalam sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Semangat yang diusung para pendiri bangsa ketika merumuskan sila kedua ini tentulah berangkat pada kenyataan sejarah. Bangunan rumah bersama baik secara politik maupun kultural bernama Indonesia itu dengan Pancasila sebagai lapiknya, dijelmakan sebagai sesuatu yang diidamkan untuk kepentingan bersama.[5]
Kemanusiaan adalah bentuk lain dari semangat menghargai satu sama lain, sosok yang toleran, yang dalam perilaku sehari-hari didasarkan pada kepentingan bersama sebagai sesama anak bangsa. Refleksi nilai kemanusiaan ini adalah menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (humanisme), dan mengembangkan kepedulian, serta mengembangkan semangat gotong-royong demi kehidupan bersama.[6]
3)      Sila III: Persatuan Indonesia
Persatuan, itulah gagasan yang terus hidup menyertai perjalanan bangsa Indonesia hingga sekarang. Ada titik-titik dalam perjalanan itu di mana kita merasa telah mencapainya, tetapi tidak sedikit pula titik di mana kita merasa kehilangan. Meski telah dirumuskan, dan coba diimplementasikan, pada dasarnya persatuan masih harus dilihat sebagai hal yang rapuh.
Pengalaman melalui era pasca-Reformasi, yang justru diwarnai konflik antar etnik,dan merebaknya perilaku agresif oleh ormas dan lainnya yang tampak sulit menenggang perbadaan dan keragaman, meyakinkan kita bahwa persatuan Indonesia bukan hal yang bersifat “sekali jadi, lalu abadi.”
Dihadapkan pada pelbagai tantangan tradisional (yang terkait dengan sulitnya bersatu karena amat beragam) dan tantangan modern (yang dipicu oleh globalisasi yang memengaruhi gaya hidup dan pemikiran), pemimpin bangsa mau tak mau dituntut lebih rajin memberi teladan nyata dalam pembangunan kebangsaan. Salah satu yang urgen adalah pembangunan kapasitas bangsa di bidang penyelesaian konflik, yang-di tengah makin kisruhnya berbagai urusan kebangsaan- tampak tak tertangani.[7]
Baragam atau homogen, setiap bangsa membutuhkan persatuan agar bangsa ini tetap eksis dan berjaya. Dan refleksinya untuk “Persatuan Indonesia” adalah kesanggupan dan kerelaan berkorban entah itu dari para petinggi dan juga masyarakat Indonesia secara keseluruhan untuk berkorban demi kebersatuan bangsa dan negara.[8]
4)      Sila IV; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
Seiring berjalannya waktu, bangsa Indonesia melangkah dalam membangun demokrasi. Diawali dengan demokrasi parlementer atau liberal (1950-1959), demokrasi terpimpin (1959-1966) di bawah Soekarno, menuju demokrasi Pancasila (1967-1998) di bawah control Soeharto. Ketiga model demokrasi itu tidak berakhir dengan baik. Pasca-Orde Baru, demokrasi sedang mencari bentuknya, entah menuju demokrasi liberal atau model lain.
Apa yang sebenarnya terjadi dalam eksperimen demokrasi Indonesia? Prof. Azyumardi Azra, Guru Besar UIN Jakarta, menyebut euphoria demokrasi tidak berjalan sejajar dengan peningkatan pemahaman soal demokrasi itu sendiri. Kebebasan kerap disalahartikan sebagai “kebebasan tanpa aturan” (lawlessness freedom) dan tanpa kepatuhan pada hukum.
Gejala kekerasan yang terjadi menunjukkan masih jauhnya pemahaman demokrasi sebagai art of compromise. Demokrasi tidak cukup bisa dikembangkan sendiri. Ia harus dikembangkan secara terencana dan membutuhkan pendidikan kewarganegaraan yang akan mencakup democracy education, civic education, dan citizenship education.
Di mana musyawarah? Pancasila sebagai dasar Negara menyinggung pula soal demokrasi dalam sila keempat: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Bagi Muhammad Hatta ada lima unsur demokrasi khas Indonesia, yakni rapat, mufakat, gotong-royong, hak mengajukan protes bersama, dan hak menyingkir dari wilayah kekuasaan raja yang tidak adil.
Diskursus soal kerakyatan dan musyawarah-mufakat perlu dimunculkan. Pendidikan demokrasi menjadi keniscayaan di tengah pergerakan demokrasi yang tak terkontrol. Esensi musyawarah-mufakat yang terkandung dalam Pancasila perlu dibumikan.[9]
5)      Sila V: Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Tidak ada persatuan, kedamaian, dan kemakmuran yang merata tanpa keadilan. Ketidakadilan membuat frustasi, lalu memicu manusia berkonflik dan berperilaku anarki.
Di jalan raya misalnya, ketidakadilan masih sangat terasa. Tidak ada ruang bagi pejalan kaki, jalur khusus motor dan sepeda. Kalau di jalan raya saja masih belum tampak, bagaimana keadilan bisa tumbuh subur di wilayah dan aspek kehidupan yang tidak terlihat, padahal nyata terasa jauh dalam hati nurani rakyat.
Keadilan dalam konteks aturan, kebijakan, tindakan, dan perlakuan pemimpin terhadap rakyatnya dapat membuat masyarakat leluasa bermusyawarah dan bermufakat mencari solusi persoalannya. Keadilan akan membuat bangsa lebih mudah menyatukan kekuatan membangun kemakmurannya yang bermartabat.[10]
Refleksinya, manusia Indonesia diharapkan mengembangkan sikap adil, dimulai dari diri sendiri, kemudian mendarah daging dan berkembang menuju kepada keadilan yang lebih meluas lagi.[11] 
           
III.             PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Tak mudah mencintai Indonesia sekarang ini jika cita-cita berdirinya Republik Indonesia yang menjadi ukuran kecintaan kita kepadanya seperti yang ditulis dengan susah payah oleh para pendiri RI dalam Pembukaan UUD ’45, yaitu “mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.”
Jadi, apakah kemerdekaan itu? Perjuangan untuk membebaskan manusia dari penindasan, dominasi, dan penghinaan oleh manusia lainnya. Mendudukkan pemenuhan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya setiap warga Negara.
Membandingkan cita-cita kemerdekaan dengan realitas sosial kita selama ini adalah upaya membangkitkan kesadaran kritis. Jadi, bagaimana cara mencintai Indonesia? Kata Sutan Sjahrir dalam Renungan Indonesia, “Aku cinta pada negeri ini, terutama barangkali karena aku selalu mengenal mereka sebagai pihak yang menderita, pihak yang kalah.” Karena itu, optimislah dan jangan pernah letih mencintai Indonesia.

B.     PENUTUP
Demikian makalah ini kami susun, penulis menyadari dalam makalah ini masih banyak kesan kekurangan dan jauh dari kesan sempurna. Oleh karena itu  kritik dan saran yang kontruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah kami selanjutnya. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi siapa saja yang membaca dan membahasnya.

IV.             DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Drs. Asmoro, M.Hum., Paradigma Baru Filsafat Pancasila dan Kewarganegaraan, Penerbit Rasail, Semarang  2008
Penerbit Buku Kompas, Rindu Pancasila, Kompas Media Nusantara, Jakarta 2010
A.M.W. Pranarka, Sejarah Pemikiran tentang Pancasila, CSIS, Jakarta 1985



[1]  Drs. Asmoro Achmadi, M.Hum, Paradigma Filsafat Pancasila dan Kewarganegaraan, Jakarta, Penerbit Rasail, cet. th 2008, hal. 10-14
[2]  Pranarka, A.M.W, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila, CSIS, Jakarta 1985, hal.
[3]  Penerbit Buku Kompas, Rindu Pancasila, Kompas Media Nusantara, Jakarta 2010, hal.3-8
[4]  Drs. Asmoro Achmadi, M.Hum, Paradigma Filsafat Pancasila dan Kewarganegaraan, Jakarta, Penerbit Rasail, cet. th 2008, hal. 11
[5]  Penerbit Buku Kompas, Rindu Pancasila, Kompas Media Nusantara, Jakarta 2010, hal. 39-44
[6]  Drs. Asmoro Achmadi, M.Hum, Paradigma Filsafat Pancasila dan Kewarganegaraan, Jakarta, Penerbit Rasail, cet. th 2008, hal. 12
[7]  Penerbit Buku Kompas, Rindu Pancasila, Kompas Media Nusantara, Jakarta 2010, hal. 79-83
[8]  Drs. Asmoro Achmadi, M.Hum, Paradigma Filsafat Pancasila dan Kewarganegaraan, Jakarta, Penerbit Rasail, cet. th 2008, hal. 12
[9]  Penerbit Buku Kompas, Rindu Pancasila, Kompas Media Nusantara, Jakarta 2010, hal. 117-121
[10]  Ibid, hal. 157-160
[11]  Drs. Asmoro Achmadi, M.Hum, Paradigma Filsafat Pancasila dan Kewarganegaraan, Jakarta, Penerbit Rasail, cet. th 2008, hal. 13