Sumber Gambar Disini
Compiled by: ANDIKA MAULANA
I.
PENDAHULUAN
Tafsir
Al-Kasysyaf, siapa yang tidak
mengenal tafsir fenomenal karya ulama Mu’tazilah Az-Zamakhsyari tersebut.
Tafsir yang sangat kaya dengan gaya bahasa, yang menjadi rujukan semua ulama
khususnya mengenai gramatika Arab. Tafsir yang menjadi kebanggan golongan
Mu’tazilah, serta mendapatkan banyak pujian dari lawan maupun kawan. Belum ada
seorang penafsir pun segiat Az-Zamakhsyari dalam menerangkan kemu’jizatan
balaghah (al-I’jaz al-balaghi) atas susunan Al-Qur’an. Ibnu Khaldun membuktikan
bahwa fenomena sastra historis yang muncul dalam perhatian yang diberikan
penduduk Timur terhadap seni bayan Arab ternyata lebih banyak daripada orang
Barat. Bahkan orang Timur, berbeda dengan orang Barat, sangat memperhatikan
tafsir Az-Zamakhsyari, karena semuanya itu dibangun atas seni ini, dan inilah
sebenarnya pokoknya.[1]
II.
POKOK
PEMBAHASAN
A. Biografi
Az-Zamakhsyari
Ø Az-Zamakhsyari
Ø Intelektualitas
dan Karyanya
Ø Madzhab
dan Akidahnya
B. Kitab
Tafsir Al-Kasysyaf
C. Model
Tafsirnya
D. Contoh
Penafsiran Az-Zamakhsyari
Ø QS.
Al-Baqarah Ayat 115
Ø QS.
Al-Baqarah Ayat 23
Ø QS.
Al-Qiyamah Ayat 22-23
E. Penilaian
Ulama Terhadap Tafsir Al-Kasysyaf
III.
PEMBAHASAN
A. Biografi Az-Zamakhsyari
Ø Az-Zamakhsyari
Ia
adalah Abu Al-Qasim Mahmud bin Umar Al-Khawarizmi Az-Zamakhsyari, sebuah
perkampungan besar di wilayah Khawarizm (Turkistan). Az-Zamakhsyari mulai
belajar di negerinya sendiri. Kemudian melanjutkan ke Bukhara, dan belajar sastra
kepada Syaikh Mansur Abi Mudhar. Lalu pergi ke Makkah dan menetap cukup lama
sehingga memperoleh julukan Jar Allah
(tetangga Allah). Di sana pula ia menulis tafsirnya, Al-Kasysyaf an Haqa’iq Ghawamidh At-Tanzil wa Uyun Aqawil fi Wujuh
At-Tanzil. Meninggal dunia pada 538 H. di Jurjaniah, Khawarizm, setelah
kembali dari Makkah. Sebagian orang meratapinya dengan menggubah beberapa bait
syair, antara lain, “Bumi Makkah pun
meneteskan air mata dari kelopak matanya, karena sedih ditinggal Mahmud Jar
Allah.”[2]
Ø Intelektualitas
dan Karyanya
Az-Zamakhsyari
termasuk salah seorang imam dalam bidang ilmu bahasa, ma’ani dan bayan. Bagi
orang yang membaca kitab-kitab ilmu nahwu dan balaghah, tentu sering menemukan
keterangan-keterangan yang dikutip dari kitab Az-Zamakhsyari sebagai hujjah.
Misalnya “menurut Az-Zamakhsyari dalam Al-Kasysyaf,
atau “dalam Asas Al-Balaghah…” Ia
adalah orang yang memiliki pendapat dan argumentasi sendiri dalam banyak
masalah bahasa Arab, bukan tipe orang yang suka mengikuti pendapat orang lain
yang hanya menghimpun dan mengutip saja, tetapi mempunyai pendapat orisinil
yang jejaknya dan diikuti orang lain. Ia mempunyai banyak karya dalam bidang
hadits, tafsir, nahwu, bahasa, ma’ani
dan lain-lain. Di antara karyanya:
a. Al-Kasysyaf
(tentang tafsir)
b. Al-Fa’iq
(tentang tafsir hadits)
c. Al-Minhaj
(tentang ushul)
d. Al-Musfashshal
(tentang ilmu nahwu)
e. Asas Al-Balaghah
(tentang bahasa)
Ø Madzhab dan
Akidahnya
Az-Zamakhsyari
bermadzhab fikih Hanafi dan penganut teologi Mu’tazilah. Ia mentakwilkan
ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan madzhab dan teologinya dengan cara yang hanya
diketahui oleh orang yang ahli. Ia menyebut kaum Mu’tazilah sebagai “saudara
seagama dan golongan utama yang selamat dan adil.”[4]
B.
Kitab
Tafsir Al-Kasysyaf
Adalah
Az-Zamakhsyari seorang ulama jenius yang sangat mumpuni dalam bidang gramatika
bahasa Arab (ilmu nahwu), sastra dan tafsir. Pendapat-pendapatnya tentang ilmu
nahwu diakui dan menjadi rujukan penting para pakar bahasa, karena dianggapnya
kritis dan orisinil.
Dalam
teologi, dia penganut paham Mu’tazilah. Dalam bidang fikih bermadzhab Hanafi. Untuk
mendukung “Mu’tazilaisme”-nya, ia menyusun kitab tafsirnya yang besar itu. Di
samping itu kitab tersebut sebagai bukti akan kecerdasan, dan kepakarannya.
Dalam pembelaannya terhadap madzhab itu, Ia mampu mengungkap isyarat-isyarat
ayat secara dalam dan jauh. Hal itu dilakukan dalam rangka menghadapi
lawan-lawan polemiknya. Tetapi dalam aspek kebahasaan ia berjasa menyingkap
keindahan Al-Qur’an dan daya tarik balaghahnya. Yang demikian karena ia
mempunyai pengetahuan luas tentang ilmu balaghah, ilmu bayan, sastra, nahwu dan
tashrif. Seba itulah Az-Zamakhsyari menjadi rujukan kebahasaan yang kaya. Di
dalam mukaddimah tafsirnya, Ia mengindikasikan hal tersebut. Menurutnya orang
yang menaruh perhatian terhadap tafsir dan tidak akan dapat menyelami hakikatnya
sedikitpun kecuali jika ia telah menguasai betul dua ilmu khusus Al-Qur’an;
ilmu ma’ani dan ilmu bayan yang didorong oleh cita-cita luhur
demi memahami kelembutan hujjah Allah, serta mu’jizat Rasul-Nya. Di samping itu
semua, ia sudah memiliki bekal cukup dalam disiplin ilmu-ilmu yang lain dan
mampu melakukan dua hal; penelitian dan pemeliharaan, banyak menelaah, sering berlatih,
lama merujuk dan akhirnya menjadi rujukan. Namun demikian ia tetap memiliki prilaku
sederhana dan kreativitas yang mandiri.
Menurut
Ibnu Khaldun, Tafsir Al-Kasysyaf
karya Az-Zamakhsyari tersebut, dalam hal bahasa, I’rab dan balaghahnya,
termasuk di antara kitab tafsir paling baik. Hanya saja penulisannya termasuk
pengikut fanatic aliran Mu’tazilah. Karena itu ia selalu memberikan
argumentasi-argumentasi yang dapat membela madzhabnya yang menyimpang setiap
kali menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dari segi balaghahnya. Cara demikian bagi
para peneliti Ahlusunnah dipandang sebagai penyimpangan. Sedang menurut jumhur
merupakan manipulasi terhadap rahasia dan kedudukan Al-Qur’an. Namun secara
obyektif, mereka tetap mengakui kepakarannya dalam hal bahasa dan balagahahnya.
Tetapi jika orang yang membacanya tetap berpijak pada madzhab Sunni dan
menguasai hujjah-hujjahnya, tentu ia akan selamat dari perangkap-perangkapnya.
Bagaimanapun kitab tersebut perlu dibaca mengingat keindahan dan keunikan seni
bahasa yang disajikannya. [5]
C.
Model
Tafsirnya
Tafsir
al-Kasyaf, karya Az-Zamakhsyari ini
merupakan sebuah kitab tafsir paling masyhur di antara sekian banyak tafsir
yang ditulis dengan metodologi tafsir bi
al-ra’yi, dan bahasa. Al-Alusi , Abu As-Su’ud, An-Nasafi dan para mufassir
lain banyak menukil dari kitab tersebut, tetapi tanpa menyebut sumbernya.
Mu’tazilaisme
dalam tafsirnya telah diungkap dan diteliti oleh Allamah Ahmad An-Nayyir. Lalu
dituangkan dalam bukunya, Al-Intishaf.
Dalam kitab itu An-Nayyir menyerang Az-Zamakhsyari dengan mendiskusikan
pemikiran Mu’tazilah yang dikemukakannya. Ia mengemukakan pandangan berlawanan
dengannya sebagaimana ia pun mendiskusikan pula masalah-masalah kebahasaan yang
ada dalam Al-Kasysyaf. Mustafa Husain
Ahmad melalui Al-Maktabah At-Tijariah Mesir, telah menerbitkan tafsir
Az-Zamakhsyari ini pada cetakan yang terbaru, dengan bebearapa empat buah buku
sebagai lampiran:
1. Al-Intishaf
oleh An-Nayyir;
2. Asy-Syafi fi
Takhrij Ahadits Al-Kasysyaf, oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani;
3. Hasyiah tafsir
Al-Kasysyaf, oleh Syaikh Muhammad Ulyan Al-Marzuq;
4. Masyahid
Al-Inshaf ala Syawahid Al-Kasysyaf, oleh Al-Marzuqi.
Kitab terakhir ini menunjukkan bahwa tafsir Al-Kasysyaf, banyak mengandung
faham Mu’tazilah yang diungkapkan secara tersirat.[6]
D.
Contoh
Penafsiran Az-Zamakhsyari
Ø QS. Al-Baqarah
Ayat 115
{ وَلِلَّهِ المشرق والمغرب } أي بلاد المشرق
والمغرب والأرض كلها لله هو مالكها ومتوليها { فَأَيْنَمَا تُوَلُّواْ } ففي
أي مكان فعلتم التولية ، يعني تولية وجوهكم شطر القبلة بدليل قوله تعالى : {
فَوَلّ وَجْهَكَ شَطْرَ المسجد الحرام وحيثما كُنتُمْ فَوَلُّواْ وُجُوهَكُمْ
شَطْرَهُ } . { فَثَمَّ وَجْهُ الله } أي جهته التي أمر بها ورضيها . والمعنى أنكم
إذا منعتم أن تصلوا في المسجد الحرام أو في بيت المقدس ، فقد جعلت لكم الأرض
مسجداً فصلوا في أي بقعة شئتم من بقاعها ، وافعلوا التولية فيها فإن التولية ممكنة
في كل مكان لا يختص [ إمكانها ] في مسجد دون مسجد ولا في مكان دون مكان { إِنَّ
الله واسع } الرحمة يريد التوسعة على عباده والتيسير عليهم { عَلِيمٌ } بمصالحهم .
وعن ابن عمر : نزلت في صلاة المسافر على الراحلة أينما توجهت . وعن عطاء : عميت
القبلة على قوم فصلوا إلى أنحاء مختلفة ، فلما أصبحوا تبينوا خطأهم فعذروا . وقيل
: معناه ( فأينما تولوا ) للدعاء والذكر ولم يرد الصلاة . وقرأ الحسن : فأينما
تَولوا ، بفتح التاء من التولي يريد : فأينما توجهوا القبلة.
Walillahi al-masyriqu wa al-maghribu
menurut Az-Zamaksyari maksudnya
adalah Timur dan barat, dan seluruh penjuru bumi, semuanya milik Allah. Dia
yang memiliki dan menguasai seluruh alam. Fainama tuwallu maksudnya ke
arah manapun manusia mengahadap Allah, hendaknya menghadap kiblat sesuai dengan
firman Allah SWT. Dalam surat al-Baqarah ayat 144, yang berbunyi :
Palingkanlah
mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu
ke arahnya.
Fatsamma wajhullahu menurut Az-Zamaksyari maksudnya di
tempat (Masjid al-Haram) itu adalah Allah, yaitu tempat yang disenangi-Nya dan
manusia diperintahkan untuk mengahadap Allah pada tempat tersebut. Maksud ayat
di atas adalah apabila seorang Muslim akan melaksanakan shalat dengan menghadap
Masjid al-Haram dan bait al-Maqdis, akan tetapi ia ragu akan arah yang tepat
untuk mengahadap ke arah tersebut. Allah memberikan kemudahan kepadanya untuk
menghadap kiblat ke arah manapun dalam shalat dan di tempat manapun sehingga ia
tidak terikat oleh lokasi tertentu.
Menurut
Ibnu Umar turunnya ayat ini berkenaan dengan shalat musafir di atas kendaraan,
ia menghadap ke mana kendaraannya menghadap. Akan tetapi menurut Atho’ ayat ini
turun ketika tidak diketahui arah kiblat shalat oleh suatu kaum, lalu mereka shalat
ke arah yang berbeda-beda (sesuai keyakinan masing-masing). Kemudian pagi
harinya, ternyata mereka salah menghadap kiblat, kemudian mereka menyampaikan
peristiwa tersebut kepada Nabi Muhammad SAW. Ada juga yang mengatakan bahwa
bolehnya menghadap ke arah mana saja itu adalah dalam berdoa, bukan dalam
shalat.
Al-Hasan
membaca ayat (فأينما تولوا) dengan memberi harokat fathah pada
huruf ta’ sehinngga bacaannya menjadi tawallau karena
menurutnya kata itu berasal dari tawalli, yang berarti ke arah
mana saja kamu menghadap kiblat.[7]
Ø QS. Al-Baqarah
Ayat 23
Dan
jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Quran yang Kami wahyukan kepada hamba
Kami (Muhammad), buatlah[8]
satu surat (saja) yang semisal Al-Quran
itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang
benar.
Menurut
Az-Zamaksyari kembalinya dhamir (kata ganti) hi pada
kata mitslihi, adalah pada kata ma nazzalna atau
pada kata abdina, tatapi yang lebih kuat dhamir itu
kembali pada kata ma nazzalna, sesuai dengan maksud ayat
tersebut, sebab yang dibicarakan dalam ayat tersebut adalah al-Quran, bukan
nabi Muhammad SAW.[9]
Ø QS. Al-Qiyamah
Ayat 22-23
Wajah-wajah
(orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.
kepada
Tuhannyalah mereka melihat.
Az-Zamakhsyari
mengesampingkan makna lahir kata nadzirah (melihat), sebab
menurut Mu’tzilah Allah SWT tidak dapat dilihat. Oleh karena itu, kata nadzirah
diartikan dengan al-raja’ (menunggu, mengaharapkan).
Az-Zamakshyari
juga memeperlihatkan keberpihakannya pada Mu’tazilah dan membelanya secara
gigih, dengan menarik ayat mutasyabihat pada muhakkamat.
Oleh karena itu, ketika ia menemukan suatu ayat yang pada lahirnya
(tampaknya) bertentangan dengan prinsip-prinsip Mu’tazilah, ia akan mencari
jalan keluar dengan cara mengumpulkan beberapa ayat, kemudian mengklasifikasikannya
pada ayat muhakkamat dan
mutasyabihat. Ayat-ayat yang sesuai dengan paham Mu’tazilah
dikelompokkan dalam ayat muhkamat, sedangkan ayat-ayat yang
tidak sesuai dengan paham Mu’tazilah dikelompokkan ke dalam ayat mutasyabihat, kemudian
ditakwilkan agar sesuai dengan rinsip-prinsip Mu’tazilah. Misalnya ketika ia
menafsirkan ayat al-Quran surat al-An’am ayat 103:
Dia
tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang
kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui.
Ayat
103 surat al-An’am dikelompokkan dalam ayat muhkamat, karena
maknanya sesuai dengan paham Mu’tazilah, sedang ayat 22-23 surat al-Qiyamah
dikelompokkan dalam ayat mutasyabihat, karena makna ayat
tersebut tidak sesuai dengan paham Mu’tazilah. Begitu juga kata nadzirah dicarikan
maknanya yang sesuai dengan paham Mu’tazilah, yaitu al-raja’ (menunggu,
mengharapkan).[10]
E.
Penilaian
Ulama Terhadap Tafsir Al-Kasysyaf
Dikalangan
Ulama, tafsir al-Kasysyaf sangat terkenal dalam mengungkapkan
keindahan balaghahnya. Disamping memiliki kelebihan, tafsir al-Kasysyaf
juga memiliki kelemahan dan kekurangan. Berikut penilaian ulama terhadap
tafsir al-Kasysyaf sebagai berikut :
1.
Imam Busykual
Imam
Busykual meneliti dua tafsir yaitu tafsir Ibn ‘Athiyyah dan tafsir Az-Zamakhsyari,
ia beropini: “Tafsir Ibn ‘Athiyyah banyak mengambil sumber dari naql, lebih
luas cakupannya dan lebih bersih. Sedangkan tafsir Az-Zamakhsyari lebih ringkas
dan mendalam”. Hanya saja Az-Zamakhsyari dalam menafsirkan Al-Qur’an sering
menggunakan kata-kata yang sukar dan banyak menggunakan syair, sehingga
mempersulit pembaca dalam memahaminya dan sering menyerang mazhab lain. Hal ini
terjadi karena ia berusaha membela madzhabnya, madzhab Mu’tazilah.
2.
Haidar al-Harawi
Haidar
menilai bahwa tafsir Al-Kasysyaf merupakan tafsir yang tinggi
nilainya dari pada tafsir-tafsir sebelumnya dan tidak ada yang dapat menandingi
keindahan maupun pendalamannya.
Kekurangan-kekurangan
pada tafsir al-Kasysyaf menurut Haidar, yaitu:
a. Sering melakukan penyimpangan makna
lafadz tanpa dipikir lebih mendalam.
b. Kurang menghormati ulama lain yang
tidak sama golongannya. Sehingga Al-Razi ketika menafsirkan surat al-Maidah
ayat 54, menunjukkannya pada penyusun al-Kasysyaf, karena
Al-Zamakhsyari sering melontarkan celaan kepada para ulama.
c. Terlalu banyak menggunakan
syair-syair dan pribahasa yang penuh kejenakaan yang jauh dari tuntunan
syariat.
d. Sering menyebut Ahli Sunnah wa
Al-Jama’ah dengan tidak sopan. Bahkan sering mengkafirkan mereka dengan
sindiran-sindiran.
3.
Ibnu Khaldun
Ibnu
Kaldun berpendapat bahwa tafsir diantara tafsir yang paling baik dan paling
mampu dalam mengungkapkan makna Al-Qur’an dengan pendekatan bahasa dan
balaghah serta i’rabnya adalah tafsir al-Kasysayaf. Kekurangan
tafsir Al-Kasysyaf menurut Ibnu Kaldun yaitu Dalam tafsir Az-Zamakhsyari sering
membela madzhabnya dalam menafsirkan Al-Qur’an.
4.
Mustafa al-Sawi al-Juwaini
Al-Sawi
berpendapat bahwa Az-Zamakhsyari seorang ulama Mu’tazilah yang fanatik dalam
membela pahamnya sehingga penafsirannya lebih condong pada madzhab Mu’tazilah.
5.
Ignaz Golziher
Dalam
bukunya Madzahib tafsir al-Islam, Ignaz mengatakan bahwa
tafsir al-Kasysyaf sangat baik, hanya saja pembelaannya
terhadap Mu’tazilah sangat berlebihan.
6.
Muhammad Husain al-Zahabi
Beliau berpendapat bahwa tafsir al-Kasysyaf
adalah kitab tafsir yang paling lengkap dalam menyingkap balaghah al-quran.[11]
IV.
KESIMPULAN
V.
Kitab tafsir ini berjudul al-Kasysyaf
an Haqaiq al-tanzil ‘Uyun al-Aqawil fi
Wujuh al-Ta’wil bermula dari permintaan suatu kelompok yang menamakan
diri al-Fi’ah al-Najiyah al-‘Adliyah. Kelompok yang dimaksud di
sini adalah kolompok Mu’tazilah. Dalam muqaddimah tafsir al-Kasysyafi disebutkan sebagai
berikut: ..... mereka menginginkan adanya sebuah kitab tafsir dan mereka
meminta saya supaya mengungkapkan hakikat makna al-Quran dan semua kisah yang
terdapat di dalamnya, termasuk segi-segi penakwilannya.
VI.
Kitab al-Kasysyaf adalah sebuah kitab tafsir yang paling masyhur diantara
sekian banyak tafsir yang disusun oleh mufassir bi al-ra’yi yang mahir dalam bidang bahasa. Al-Alusi, Abu Su’ud
an-nasafi dan para mufassir lannya banyak menukil dari kitab tersebut tetapi
tanpa menyebutkan sumbernya. Paham kemu’tazilahan dalam tafsirnya itu telah
diungkapkan dan telah diteliti oleh ‘Allamah Ahmad an-Nayyir yang
dituangkan dalam bukunya al-Intishaf. Dalam kitab ini
an-Nayyir menyerang Az-Zamkhsyari dengan
mendiskusikan masalah akidah madzhab Mu’tazilah yang dikemukakannya dan
mengemukakan pandangan yang berlawananan dengannya sebagaimana ia mendiskusikan
masalah kebahasaan.
VII.
Penafsiran yang ditempuh
al-Zamakhsyari dalam karyanya ini sangat menarik, karena uraiannya singkat dan
jelas sehingga para ulama’ Mu’tazilah mengusulkan agar tafsir tersebut
dipresentasikan pada para ulama Mu’tazilah dan mengusulkan agar penafsirannya
dilakukan dengan corak i’tizali, dan hasilnya adalah
tafsir al-Kasysyaf yang ada saat ini.
VIII.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qaththan, Syaikh
Manna, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an,
diterjemahkan oleh Ainur Rafiq
El-Mazni dari “Mabahits Fii Ulum Al-Qur’an,” Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
Cetakan VIII, 2013.
Goldziher, Ignaz, Mazhab Tafsir: Dari Aliran Klasik Hingga
Modern, diterjemahkan oleh M. Alaika Salamullah, dkk. dari “Madzahib
al-Tafsir al-Islami,” Yogyakarta: eLSAQ Press, Cetakan I, 2003.
Mahmud bin Umar
Al-Khawarizmi Az-Zamakhsyari, Abu Al-Qasim, Al-Kasysyaf
an Haqa’iq Ghawamidh At-Tanzil wa Uyun Aqawil fi Wujuh At-Tanzil, Jilid I, Beirut:
Darul Fikr, Cetakan I, 1977.
Mahmud bin Umar
Al-Khawarizmi Az-Zamakhsyari, Abu Al-Qasim, Al-Kasysyaf
an Haqa’iq Ghawamidh At-Tanzil wa Uyun Aqawil fi Wujuh At-Tanzil, Jilid IV,
Beirut: Darul Fikr, Cetakan I, 1977.
Mohammad Nabil Lazuardi
dalam sebuah makalah berjudul “Tafsir Al-Kasysyaf” di http://romziana.blogspot.com/2012/10/tafsir-al-kasysyaf.html,
diakses pada hari Sabtu, 08 Maret 2014.
[1]
Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir: Dari
Aliran Klasik Hingga Modern, diterjemahkan oleh M. Alaika Salamullah, dkk. Dari
“Madzahib al-Tafsir al-Islami,” (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003), Cetakan I, h.
149-154.
[2]
Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi
Ilmu Al-Qur’an, diterjemahkan oleh Ainur Rafiq El-Mazni dari “Mabahits Fii
‘Ulum al-Qur’an,” (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2013), Cetakan VIII, h.
481.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
h. 481-482.
[5] Ibid.
h. 459-460.
[6]
Ibid. h. 482.
[7]
Al-Qasim Mahmud bin Umar
Al-Khawarizmi Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf
an Haqa’iq Ghawamidh At-Tanzil wa Uyun Aqawil fi Wujuh At-Tanzil,Jilid I, (Beirut: Darul Fikr, 1977), Cetakan I,
h. 306-307.
[8] Ayat
ini merupakan tantangan bagi mereka yang meragukan tentang kebenaran Al-Quran
itu tidak dapat ditiru walaupun dengan mengerahkan semua ahli sastra dan bahasa
karena ia merupakan mukjizat Nabi Muhammad s.a.w.
[9] Ibid.
h. 238-246.
[10] Ibid.
Jilid IV. h. 192.
[11]
Mohammad Nabil Lazuardi dalam sebuah makalah berjudul “Tafsir Al-Kasysyaf” di http://romziana.blogspot.com/2012/10/tafsir-al-kasysyaf.html,
diakses pada hari Sabtu, 08 Maret 2014.
No comments:
Post a Comment