Sumber Gambar Disini
Compiled by: ANDIKA MAULANA
I.
PENDAHULUAN
Sudah jelas bahwa sejak zaman Nabi SAW, zaman
sahabat dan zaman tabi’in, tafsir-tafsir itu dipindahkan dari seorang kepada
seorang, atau diriwayatkan dari mulut ke mulut dan belum dibukukan.[1]
Pada permulaan abad kedua hijriyah, yaitu dikala
banyak pemeluk agama Islam yang bukan dari bangsa Arab dan dikala bahasa Arab
telah dipengaruhi oleh bahasa asing, barulah ulama merasa perlu membukukan
tafsir, agar dapat dipahamkan maknanya oleh mereka yang tidak mempunyai dzauqah
bahasa Arab lagi.[2]
Pembukuan dimulai pada akhir kekhalifahan Bani
Umayah dan awal kekhalifahan Bani Abbasiyah. Dalam periode ini tafsir memasuki
beberapa tahap, masing-masing dengan metode dan cirinya yang berbeda-beda.[3]
Untuk lebih jelasnya pemakalah kemukakan
periode-periode pembukuan tafsir dari masa permulaan sampai masa pembukuannya.
II.
PEMBAHASAN
A.
Tahap
Pertama
Pada
tahap pertama, tafsir masih belum dibukukan sacara sistematis, yaitu disusun
secara berurutan ayat demi ayat dan surat demi surat dari awal al-Qur’an sampai
akhir, tetapi hanya merupakan usaha sampingan dari para ulama dalam rangka
mengumpulkan hadits-hadits yang tersebar di berbagai daerah. Karena pada waktu
itu, para ulama lebih memprioritaskan terhadap hadits, sehingga tafsir hanya
merupakan salah satu bab dari sekian banyak bab yang dicakupnya, dan tafsir
tersebut dibukukan dalam bentuk bagian dari pembukuan hadits.[4]
Para
ulama yang mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap periwayatan tafsir
yang dinisbahkan kepada Nabi, sahabat dan tabi’in disamping perhatiaannya
terhadap pengumpulan hadits adalah:
1. Yazid
bin Harun As Salmi (w. 117 H)
2. Syu’bah
bin Al Hajjaj (w. 160 H)
3. Waki’
bin Jarrah (w. 197 H)
4. Sufyan
bin Uyainah (w. 198 H)
5. Ruh
bin Ubadah Al Bashri (w. 205 H)
6. Abdur
Razaq bin Hammam (w. 211 H)
7. Adam
bin Abi Iyas (w. 220 H)
8. Abd
bin Humaid (w. 249 H) dll.
Mereka ini dari imam-imam hadits, maka
pengumpulan tafsir itu termasuk dalam bab hadits, tafsir belum dihimpun dengan
mandiri. Hanya saja tafsir-tafsir mereka tidak sampai kepada kita sedikitpun,
namun riwayat yang dinukil disandarkan kepada mereka dalam kitab-kitab tafsir
bil ma’tsur.[5]
B.
Tahap
Kedua
Pada
tahap kedua, lalu muncul beberapa ulama yang menulis tafsir secara khusus dan
berusaha memisahkan antara penafsiran al-Qur’an dari usaha pengumpulan dan
pembukuan hadits serta menjadikannya sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri.
al-Qur’an ditafsirkan secara sistematis, sesuai dengan tertib Mushaf. Usaha ini
mulai berlaku dari akhir abad 3 H dan berakhir pada awal abad 5 H.[6]
Adapun
tokoh-tokohnya adalah:
1. Ibnu
Majah (w. 273 H)
2. Ibnu
Jarir Ath Thabari (w. 310)
3. Abu
Bakar Al Mundzir An Naisaburi (w. 318 H)
4. Ibnu
Abi Hatim (w. 327 H)
5. Abu
Syaikh bin Hibban (w. 369 H)
6. Hakim
( w. 405 H)
7. Abu
Bakar bin Mardawaih (w. 410 H) dll.
Semua
tafsir itu disandarkan pada sanad-sanad dari Rasul SAW, para sahabat, dan
tabiin (atau yang kita kenal dengan tafsir bil ma’tsur).[7]
C.
Tahap
Ketiga
Tahap
ketiga, perkembangan tafsir tidak berhenti sampai pada corak tafsir bil ma’tsur
saja, sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa ulama tersebut di atas, tetapi
berlanjut pada perkembangan berikutnya. Dimana muncul sejumlah mufassir yang
dalam aktifitasnya mulai meringkas sanad-sanad dan menghimpun berbagai pendapat
tanpa menyebutkan pemiliknya. Oleh karena itu, terjadilah pemalsuan dalam
bidang tafsir yang mengakibatkan bercampurnya antara riwayat-riwayat yang
shahih dengan yang tidak shahih. Sehingga para peneliti dan pengkaji
kitab-kitab tersebut beranggapan bahwa semua riwayat yang terdapat di dalamnya
adalah shahih, yang pada akhirnya mereka juga akan menjadikan riwayat-riwayat
tersebut sebagai sumber penafsirannya. Di sisi lain mereka juga mulai
menggunakan cerita-cerita israiliyat sebagai dasar penafsirannya tanpa
diseleksi terlebih dahulu.[8]
D.
Tahap
Keempat
Tahap
keempat, bangunlah para ulama yang bersungguh-sungguh menafsirkan al-Qur’an.
Maka di antara ulama-ulama tafsir ini terdapatlah ulama-ulama tafsir yang
bersungguh-sungguh menafsirkan al-Qur’an dengan dasar dirayat yakni manfsirkan
al-Qur’an bil Ma’qul.
Menafsirkan
al-Qur’an dengan dirayat adalah salah satu hasil dari yang ditumbuhkan oleh
perkembangan ilmu nahwu, lughah, balaghah dan kalam.
Pada
periode ini, segala hadits telah dibukukan, begitu juga ilmu-ilmu hikmah,
falsafah dan mantiq telah dipelajarinya dengan seksama, ilmu-ilmu balaghah
telah disusun rapi. Kaedah-kaedah ushul, mushthalah dan adab-adab berunding
telah diatur. Makna-makna al-Qur’an, baik yang musykil, yang lahirnya
berlawanan, maupun yang majaz, telah dibukukan.
Maka
mulailah golongan mufassirin mengoreksi riwayat-riwayat yang berasal dari
Israiliyat dan mulailah pemeriksaan itu didasarkan atas petunjuk-petunjuk akal
dan keterangan-keterangan yang nyata.
Mulai
saat ini tafsirpun mempunyai sandaran yang lebih kuat lagi, karena para
mufassir itu tidak lagi menerima riwayat-riwayat yang dinukilkan, melainkan
yang shahih-shahih saja dan diterima oleh akal sehat, atau diterima oleh
kaedah-kaedah ilmu bahasa.
Ringkasnya,
golongan ini mengosongkan kitab tafsir yang mereka susun dari Israiliyat.
Tafsir
Dirayat atau tafsir Aqli ini dikembangkan oleh golongan Mu’tazilah. Al-Jahid
adalah salah satu tokoh yang menafsirkan dengan akal.
Dalam
periode ini berkembang dengan luas tasir bir ra’yi (tafsir dengan menggunakan
akal dan ijtihad) untuk seluruh ayat I’tiqad.
Yang
mula-mula menyusun tafsir al-Qur’an yang lengkap atas dasar riwayat yang benar
dan kaedah-kaedah yang kuat sesuai dengan kehendak bahasa ialah: Abu Muslim
Muhammad ibn Bahar Al-Ashfahany. Beliau ini seorang tokoh Mu’tazilah. Tafsirnya
diberi nama Jami’ut Ta’wil.
Tafsir
besar ini tidak berkembang di dalam masyarakat. Tetapi sari patinya banyak
dinukilkan oleh Ar-Razy ke dalam tafsirnya. Pendapat-pendapat yang telah
dinukilkan oleh Ar-Razy itu telah dikumpulkan dalam sebuah tafsir yang dinamai
Al Muqtat Haf.
Diantara
tokoh-tokoh tafsir dirayah pula, ialah: Abu Bakar al-Asham, An Nadham,
Al-Juba’I, Ubaidillah ibn Muhammad ibn Jarwu.
Ada
salah satu tokoh tafsir yang terkenal dengan julukan Jarullah Az-Zamakhsyari
(467-528 H) menulis tafsirnya yang bernama Al-Kasysyaf. Maka di tangannyalah
tafsir bil ma’qul mencapai puncaknya. Az Zamakhsyari menerangkan dengan
sempurna segala rahasia balaghah Al-Qur’an dan terkenallah tafsir ini dalam
kalangan ulama sebagai suatu pedoman di dalam menerangkan balaghah al-Qur’an.[9]
Setelah
kaum muslimin mempelajari ilmu logika, ilmu filsafat, ilmu eksakta, ilmu hukum,
ilmu kedokteran dan lain sebaginya, maka timbullah suatu perubahan dalam
penyusunan dan pemikiran tentang kitab-kitab tafsir.
Ahli-ahli
tafsir tidak hanya mengutip riwayat dari sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in
saja, melainkah telah mulai bekerja, menyelidiki, dan membandingkan apa-apa
yang telah dikerjakan oleh orang-orang yang terdahulu dari mereka, bahkan
mereka mengolah dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan ilmu
pengetahuan yang telah mereka miliki. Karena itu terdapatlah kitab-kitab tafsir
yang telah disusun dan ditinjau dari berbagai segi, sehingga tampaklah
kitab-kitab tafsir itu, merupakan suatu fak dari pada suatu cabang ilmu
pengetahuan.[10]
III.
KESIMPULAN
Dari
penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Pada
tahap pertama, tafsir masih belum dibukukan sacara sistematis, yaitu disusun
secara berurutan ayat demi ayat dan surat demi surat dari awal al-Qur’an sampai
akhir, tetapi hanya merupakan usaha sampingan dari para ulama dalam rangka
mengumpulkan hadits-hadits yang tersebar di berbagai daerah. Karena pada waktu
itu, para ulama lebih memprioritaskan terhadap hadits, sehingga tafsir hanya
merupakan salah satu bab dari sekian banyak bab yang dicakupnya, dan tafsir
tersebut dibukukan dalam bentuk bagian dari pembukuan hadits.
2. Pada
tahap kedua, lalu muncul beberapa ulama yang menulis tafsir secara khusus dan
berusaha memisahkan antara penafsiran al-Qur’an dari usaha pengumpulan dan
pembukuan hadits serta menjadikannya sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri.
al-Qur’an ditafsirkan secara sistematis, sesuai dengan tertib Mushaf. Usaha ini
mulai berlaku dari akhir abad 3 H dan berakhir pada awal abad 5 H.
3. Tahap
ketiga, perkembangan tafsir tidak berhenti sampai pada corak tafsir bil ma’tsur
saja, sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa ulama tersebut di atas, tetapi
berlanjut pada perkembangan berikutnya. Dimana muncul sejumlah mufassir yang
dalam aktifitasnya mulai meringkas sanad-sanad dan menghimpun berbagai pendapat
tanpa menyebutkan pemiliknya. Oleh karena itu, terjadilah pemalsuan dalam
bidang tafsir yang mengakibatkan bercampurnya antara riwayat-riwayat yang
shahih dengan yang tidak shahih.
4. Tahap
keempat, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, maka pembukuan tafsir
sudah mulai mencapai kesempurnaan, yang ditandai dengan banyaknya cabang ilmu
pengetahuan serta banyaknya mazhab yang bermunculan. Sehingga para mufassir
dalam menafsirkan al-Qur’an berpegang pada pemahaman pribadi dan mengarah pada
berbagai kecenderungan.
IV.
DAFTAR
PUSTAKA
Hasbi Ash Shiddieqy, Prof. Dr. T.M., Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an /
Tafsir, Jakarta: Penerbit Bulan Bintang,
Cet. 8, 1980.
Amanah, Dra. H. St., Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Semarang: CV. Asy Syifa’, Cet.
I, 1993.
Nor Ichwan, Mohammad, Belajar Al-Qur’an: Menyingkap Khazanah Ilmu-Ilmu al- Qur’an Melalui Pendekatan Historis-Metodologis, Semarang:
RaSAIL, Cet.
I, 2005.
[1]
Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an / Tafsir, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang,
1980), Cet. 8, h. 237.
[2]
Dra. H. St. Amanah, Pengantar Ilmu
Al-Qur’an dan Tafsir, (Semarang: CV. Asy Syifa’, 1993), Cet. I, h. 298.
[3]
Mohammad Nor Ichwan, Belajar Al-Qur’an:
Menyingkap Khazanah Ilmu-Ilmu al-Qur’an Melalui Pendekatan Historis-Metodologis,
(Semarang: RaSAIL, 2005), Cet. I, h. 225.
[4]
Ibid.
[5]
Dra. H. St. Amanah. Op. cit. h. 299.
[6]
Mohammad Nor Ichwan. Op. cit. h. 226.
[7]
Dra. H. St. Amanah. Loc. cit.
[8]
Mohammad Nor Ichwan. Op. cit. h. 226-227.
[9]
Dra. H. St. Amanah. Op. cit. h. 301-302.
[10]
Dra. H. St. Amanah. Op. cit. h. 302-303.
No comments:
Post a Comment