Sumber Gambar Disini
Compiled by: ANDIKA MAULANA
I. I.
PENDAHULUAN
Tak kenal maka tak sayang. Peribahasa ini nampaknya
menjadi sebab utama, kenapa banyak dari kaum muslimin tidak mengerjakan shalat.
Tak usah jauh-jauh untuk melaksanakan sholat sunnah, sholat 5 waktu yang wajib
saja mereka tidak kerjakan padahal cukup 10 menit waktu yang diperlukan untuk
melaksanakan shalat dengan khusyuk. Padahal jika kita membaca hadits-hadits
Nabi SAW yang berkaitan dengan orang meninggalkan shalat, kita akan mendapati
informasi bahwa mereka termasuk orang kafir. Lebih tegas lagi sabda Nabi SAW,
bahwa shalatlah pembeda antara seorang mukmin dan kafir.
Oleh karena itu, dalam tulisan yang singkat ini,
kami akan mengemukakan pembahasan hukum meninggalkan shalat. Semoga dengan
sedikit goresan tinta ini dapat memotivasi kaum muslimin sekalian untuk selalu
memperhatikan rukun Islam yang teramat mulia ini.
II.
POKOK PEMBAHASAN
1. Matan
dan Terjemah Hadits Tentang Pembeda Muslim dan Kafir
2. Syarah
Hadits Tentang Pembeda Muslim dan Kafir
III.
PEMBAHASAN
1. Matan dan Terjemah Hadits Tentang
Pembeda Muslim dan Kafir
v
Hadits
Pertama
Abu Bakar bin Abu Syaibah dan Abu
Kuraib, keduanya berkata: Abu Muawiyah menceritakan kepada kami, dari
Al-A’masy, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah, dia berkata, Rasulullah SAW
bersabda, “Jika anak keturunan Adam membaca (ayat) as-Sajadah, lalu dia sujud,
maka syetan menyingkir sambil menangis, lalu berkata, “Aduh celaka, --- dalam
riwayat Abu Kuraib disebutkan dengan redaksi yaa wailii (aduh celaka aku) ---.
Anak keturunan Adam telah diperintahkan untuk sujud, lalu bersujud, maka dia
mendapatkan surga. Sedangkan aku telah diperintahkan untuk sujud, tetapi aku
enggan (untuk bersujud), maka aku mendapatkan neraka.” (HR.
Muslim No 81)[1]
Zuhair
bin Harb menceritakan kepadaku, Waki’ menceritakan kepada kami, Al-A’masy
menceritakan kepada kami. Hanya saja (dalam riwayat tersebut disebutkan kalau)
syetan berkata, “Lalu aku tidak
menaati, maka aku mendapatkan neraka.”[2]
v
Hadits
Kedua
Yahya bin Yahya At-Tamimi dan Utsman
bin Abu Syaibah menceritakan kepada kami, keduanya (meriwayatkan) dari Jarir.
Yahya berkata: Jarir mengabarkan kepada kami, dari Al-A’masy, dari Abu Sufyan,
dia berkata: Aku telah mendengar Jabir berkata: aku telah mendengar Nabi SAW
bersabda, “Sesungguhnya (yang memisahkan) antara seorang laki-laki dengan
kemusyrikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (HR.
Muslim No 82)[3]
Abu Ghassan Al-Misma’i menceritakan
kepada kami, Adh-Dhahhak bin Makhlad menceritakan kepada kami, dari Ibnu
Juraij, dia berkata: Abu Az-Zubair mengabarkan kepadaku bahwa dia telah
mendengar Jabir bin Abdillah berkata: Aku telah mendengar Rasulullah SAW
bersabda, “(Yang memisahkan) antara seorang laki-laki dengan kemusyrikan dan
kekufuran adalah meninggalkan shalat”[4]
2. Syarah Hadits Tentang Pembeda
Muslim dan Kafir
Hadits pertama dan kedua terdapat dalam
Shahih Muslim no 81 dan 82. Maksud Imam Muslim menyebutkan kedua hadits ini
adalah untuk menunjukkan bahwa ada beberapa hal yang jika ditinggalkan bisa
mengakibatkan kekufuran, baik kufur dalam arti yang sebenarnya maupun kufur
secara istilah. Adapun kekufuran Iblis yang disebabkan enggan untuk melakukan
perintah sujud, maka dapat diketahui dari firman Allah dalam surah Al-Baqarah
ayat 34, “dan (ingatlah) ketika Kami
berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah
mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah dia termasuk golongan
orang-orang kafir.” Menurut mayoritas ulama, makna ayat tersebut bahwa
Iblis dalam ilmu Allah memang telah diketahui termasuk golongan orang-orang
kafir. Namun sebagian ulama ada juga yang mengartikan ayat itu, “karena enggan bersujud” maka Iblis
menjadi golongan orang-orang yang kafir. Hal ini sebagaimana pengertian firman
Allah dalam surah Huud ayat 43, “dan
gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk
orang-orang yang ditenggelamkan.[5]
Adapun orang yang meninggalkan shalat dan
mengingkari kewajiban ibadah tersebut, maka menurut ijma’ kaum muslimin dia
dianggap sebagai orang kafir, keluar dari agama Islam, kecuali apabila dia
orang yang baru memeluk agama Islam dan tidak sempat bergaul dengan komunitas
kaum muslimin sehingga belum menerima informasi tentang kewajiban shalat.
Apabila dia meninggalkan shalat karena malas namun tetap yakin bahwa ibadah itu
hukumnya wajib sebagaimana yang dilakukan banyak orang, maka para ulama berbeda
pendapat mengenai statusnya. Menurut madzhab Malik, Syafi’i, dan mayoritas
ulama salaf serta khalaf bahwa orang seperti ini tidak kafir, tetapi fasik dan
disuruh untuk bertaubat. Jika dia mau bertobat, maka diampuni. Namun, apabila
eggan bertaubat, maka dikenai hukuman mati, sebagaimana yang berlaku bagi
pezina yang telah menikah. Namun ada juga sebagian ulama salaf yang menganggap
bahwa orang seperti ini menjadi kafir. Pendapat ini diriwayatkan dari Ali bin
Abu Thalib. Pendapat ini merupakan salah satu riwayat yang berasal dari Ahmad bin
Hanbal. Pendapat yang kedua ini juga dikemukakan Abdullah bin Al-Mubarak dan
Ishaq bin Rahawaih. Bahkan pendapat ini juga salah satu pendapat yang dianut
para ulama madzhab Syafi’i.[6]
Abu Hanifah, sebagian ulama Kufah, dan
Al-Muzani, salah seorang ulama penganut madzhab Syafi’i memilih bahwa orang
yang tidak shalat namun tetap meyakini kewajiban ibadah tersebut, maka tidak
sampai menjadi kafir dan tidak perlu dihukum mati. Namun dia harus mendapatkan
hukum ta’zir dan dikurung sampai dia mau mengerjakan shalat. Sedangkan sebagian
ulama yang menganggap kafir berargumen dengan hadits yang kedua seperti yang
disebutkan di atas dan menganalogikannya dengan kalimat tauhid. Kelompok ulama
yang berpendapat bahwa mereka tidak perlu dibunuh juga berargumen dengan hadits, “Tidak
halal darah seorang muslim, kecuali karena salah satu dari tiga perkara.” Ketiga
hal yang dimaksud ternyata tidak ada keterangan tentang meninggalkan shalat.
Adapun para ulama yang berpendapat bahwa orang yang tidak shalat tidak sampai
menjadi kafir berdalil dengan firman Allah dalam surah An-Nisa’ ayat 48, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni
dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi
siapa yang dikehendaki-Nya.” Mereka juga berdalil dengan sabda Rasulullah
SAW, “Barangsiapa berkata: Tidak ada
tuhan kecuali Allah, maka dia akan masuk surga,” --- “Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan mengetahui bahwa tidak ada
tuhan kecuali Allah, maka dia akan masuk surga,” --- “Tidak ada seorang hamba
pun yang bertemu dengan Allah dengan (mengikrarkan) dua kalimat syahadat tanpa
perasaan ragu, lalu dia dihalangi untuk masuk surga,” --- “Allah telah
mengharamkan neraka atas orang yang mengucpkan tidak ada tuhan kecuali Allah,” dan
banyak lagi hadits-hadits serupa yang mereka jadikan sebagai dalil.[7]
Sedangkan sebagian ulama yang berpendapat
bahwa orang-orang yang tidak shalat perlu dibunuh berdalil dengan firman Allah
dalam surah At-Taubah ayat 5, “Jika
mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah
kebebasan kepada mereka untuk berjalan,” dan sabda Nabi SAW, “Aku diperintah untuk memerangi manusia
sampai mereka mengatakan tiada tuhan kecuali Allah, mendirikan shalat, dan mengeluarkan
zakat. Jika mereka telah melakukan hal itu, maka darah dan harta mereka terjaga
dariku.”[8]
Mereka mentakwilkan sabda Nabi SAW, “Yang memisahkan anatara seorang laki-laki
dengan kemusyrikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat,” bahwa seorang
hamba berhak mendapatkan siksa seperti orang kafir, yakni dihukum mati apabila
meninggalkan shalat. Namun hal ini berlaku bagi orang yang menghalalkan
perbuatan meninggalkan shalat. Namun, ada juga yang mengartikan hadits tersebut
bahwa orang yang meninggalkan shalat telah melakukan perbuatan seperti
orang-orang kafir.[9]
“Jika
anak keturunan Adam membaca (ayat) As-Sajadah.”
Maksudnya, ketika membaca ayat-ayat As-Sajadah.
Sedangkan kalimat “yaa wailahu” dalam
redaksi hadits diatas merupakan salah satu bentuk etika dalam berbicara. Bentuk
etika bicara yang dimaksud adalah ketika menceritakan keburukan pihak lain,
lantas ada sebuah frasa yang menggunakan dhamir
mutakallim (kata ganti orang pertama), maka orang yang bercerita hendaknya
mengganti dhamir mutakallim tersebut.
Tujuannya agar tidak terkesan kalau dia menjelekkan dirinya sendiri.[10]
Dalam riwayat yang
lain, kata “yaa wailahu” tersebut
disebutkan dengan redaksi “yaa wailii.”
Namun lafadz ini bisa juga dibaca “yaa
wailaa.”[11]
Sedangkan sabdanya, “(yang memisahkan) antara seorang laki-laki
dengan kemusyrikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” Demikian
redaksi yang terdapat dalam di dalam semua kitab rujukan Shahih Muslim, yakni dengan menggunakan huruf wawu sehingga berbunyi asy-syirk
wa al-kufr. Sedangkan dalam kitab Sunan
Ad-Darimi dengan menggunakan huruf aw
sehingga berbunyi baina asy-syirk aw
baina al-kufr.[12]
Maksud “antara
seseorang dan kemusyrikan adalah meninggalkan shalat” adalah bahwa sesuatu
yang bisa mencegah kekufuran seseorang adalah mengerjakan shalat. Apabila
seseorang telah meninggalkan shalat, maka tidak ada lagi tabir penghalang
antara dirinya dengan kekufuran. Bahkan dia telah memasuki ruang kekufuran
tersebut.[13]
Redaksi “Inna baina ar-rajuli wa baina asy-syirki … “, redaksi tersebut
menggunakan kata “ar-rajuli”, yang
berarti seorang laki-laki. Itu bukan berarti untuk pengkhususan terhadap
laki-laki, tetapi perempuan juga termasuk di dalamnya.[14]
Selain dua hadits yang telah dijelaskan di
atas, terdapat hadits-hadits lainnya yang membahas hal yang sama diantaranya
sbb:
Dari
Buraidah RA, dari Nabi SAW beliau bersabda: “Ikatan janji di antara kami (umat
Islam) dengan mereka (orang-orang kafir) adalah shalat. Maka barangsiapa yang
meninggalkan shalat berarti ia kafir.” (HR. Tirmidzi No 2623 dan Ia
berkata: “Hadits Hasan Shahih”)[15]
Dari Syaqiq bin Abdullah seorang
ulama tabi’in yang telah disepakati memiliki kelebihan rahimahullah berkata:
“Para sahabat Nabi SAW tidak ada yang berpendapat tentang suatu perbuatan yang
apabila ditinggalkan menjadikan kafir, kecuali shalat.”
(HR. Tirmidzi No 2624 di kitab Iman dengan sanad shahih).[16]
IV.
KESIMPULAN
Dari
uraian di atas dapat diambil kesimpulan sbb:
1. Menurut
pendapat kebanyakan ulama, orang yang membolehkan meninggalkan shalat adalah
kafir. Sedangkan sebagian ulama berpendapat seperti redaksi hadits apa adanya,
jadi orang yang tidak shalat (apa pun alasannya) berarti telah kafir. Mereka
juga mengatakan, karena saat itu shalat merupakan tanda keislaman seseorang,
maka barangsiapa tidak shalat berarti dia kafir.
2. Menurut
sebagian ulama, orang yang meninggalkan shalat karena lalai atau malas, maka
dia tidak menjadi kafir, tapi harus dijatuhi hukuman mati. Sebagian ulama lain
berpendapat, orang itu dijatuhi hukuman cambuk hingga mau shalat.
3. Sebagian
sahabat dan ulama berpendapat bahwa meninggalkan shalat, meskipun karena malas,
adalah kekafiran dan murtad. Sedangkan kebanyakan ulama berpendapat bahwa orang
yang meyakini shalat tidak wajib adalah kafir. Sebagian ulama yang lain
berpendapat bahwa meninggalkan shalat mengarah pada kekafiran, karena maksiat
adalah pengantar kekafiran. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa hadits ini
dan semacamnya merupakan peringatan keras, tidak mengarah pada pengkafiran orang
yang meninggalkan shalat.
V.
DAFTAR
PUSTAKA
Ad-Darimi,
Imam, Sunan Ad-Darimi, Juz I, ttt:
Dar Ihya As-Sunnah An-Nabawiyah, tt.
An-Nawawi,
Imam, Syarah Shahih Muslim (2), diterjemahkan
oleh Wawan Djunaedi Soffandi dari “Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi”, Jilid
2, Jakarta: Pustaka Azzam, Cet. I, 2010.
,
Riyadh ash- Shalihin, “Taqriz wa
Taqdim Dr. Wahbah Zuhaili”, “Haqqaqahu wa Kharraja Ahaditsuhu wa ‘Allaqa alaihi
Ali Abdul Hamid Abu al-Khair”, Beirut: Dar al-Khair, Cet. IV, 1999.
Ash-Shiddiqi
Asy-Sayafi’i Al-Asy’ari Al-Makki, Muhammad bin ‘Allan, Dalil al-Falihin li Thuruqi Riyadh ash-Shalihin, Juz III, Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiah, tt.
[1]
Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim (2),
diterjemahkan oleh Wawan Djunaedi Soffandi dari “Shahih Muslim bi Syarh
An-Nawawi”, Jilid 2, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010), Cet. I, h. 245-246.
[2] Ibid.
h. 246.
[3] Ibid.
h. 246-247.
[4] Ibid.
h. 247.
[5] Ibid.
h. 247-248.
[6] Ibid.
h. 248-249.
[7] Ibid.
h. 249-250.
[8] Ibid.
h. 250.
[9] Ibid.
h. 250-251.
[10] Ibid.
h. 251.
[11] Ibid.
[12].
Imam Ad-Darimi, Sunan Ad-Darimi, Juz
I, (ttt: Dar Ihya As-Sunnah An-Nabawiyah, tt), h. 280.
[13] Imam
An-Nawawi. Loc. Cit.
[14]
Muhammad bin ‘Allan Ash-Shiddiqi Asy-Sayafi’i Al-Asy’ari Al-Makki, Dalil al-Falihin li Thuruqi Riyadh
ash-Shalihin, Juz III, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, tt), h. 517.
[15]
Imam An-Nawawi, Riyadh ash- Shalihin, “Taqriz
wa Taqdim Dr. Wahbah Zuhaili”, “Haqqaqahu wa Kharraja Ahaditsuhu wa ‘Allaqa
alaihi Ali Abdul Hamid Abu al-Khair”, (Beirut: Dar al-Khair, 1999), Cet. IV, h.
263.
[16]
Ibid.
No comments:
Post a Comment