Sumber Gambar Disini
Compiled by: ANDIKA MAULANA
A.
Biografi
Imam Al-Hakim An-Naisaburi
1.
Nama,
Silsilah Keturunan, dan Kelahirannya
Dia
adalah Al-Hafizh Muhammad bin Abdullah bin Hamdawaih bin Nu’aim bin Al-Hakim,
Abu Abdillah Adh-Dhabi Ath-Thahmani An-Naisaburi Asy-Syafi’i. Dia terkenal
dengan (sebutan) Ibnu Al-Bayyi’.
Dia
lahir di Naisabur pada hari Senin, 3 Rabiul Awwal, tahun 321 H.[1]
2.
Perjalanan
dalam Menuntut Ilmu
Al-Hakim
menuntut ilmu sejak kecil dengan dukungan ayah dan pamannya. Pertama kali dia menyimak
hadits pada tahun 330 H. Dia minta didektekan kepada Abu Hatim bin Hibban pada
tahun 334 H, ketika dia berusia 13 tahun.
Dia
mendapatkan sanad-sanad ali di
Khurasan, Irak, dan negeri-negeri di belakang sungai. Dia mendengar dari
sekitar 2000 syaikh. Di Naisabur, dia mendengar dari 1000 syaikh, lalu pergi ke
Irak pada usia 20 tahun. Dia tiba disana beberapa saat setelah Ismail
Ash-Shaffar meninggal dunia.
Dia
belajar riwayat kepada Ibnu Al-Imam, Muhammad bin Abu Manshur Ash-Sharram, Abu
Ali bin An-Naqqar (ahli qiraat Kuffah), dan Abu Isa Bakkar (ahli qiraat
Baghdad).
Dia
belajar fikih kepada Abu Ali bin Abu Hurairah, Abu Al-Walid Hassan bin
Muhammad, dan Abu Sahal Ash-Sha’luk.
Dia
belajar bidang-bidang hadits kepada Abu Ali Al-Hafizh, Al-Ja’abi, Abu Ahmad
Al-Hakim, Ad-Daruquthni, dll.
Di
antara guru-gurunya ada yang mengambil hadits darinya, yaitu Abu Ishaq
Al-Muzakki dan Ahmad bin Abu Utsman Al-Hairi.
Al-Hakim
juga mempunyai teman dari pembesar kalangan sufi, yaitu Ismail bin Nujaid,
Ja’far Al-Khaladi, dan Abu Utsman Al-Maghribi.[2]
3.
Pujian
Ulama Terhadap Al-Hakim
Banyak
ulama yang memuji Abu Abdillah Al-Hakim. Inilah komentar sebagian ulama tentang
Al-Hakim:
Al-Khathib
berkata, “Dia termasuk orang yang terhormat, berilmu, berwawasan luas, dan ahli
hadits. Dia banyak mengarang buku-buku tentang hadits.”
Al-Khathib
lalu berkata, “Dia adalah orang yang tsiqah
(terpercaya).
Abdul
Ghafir bin Ismail berkata, “Dia pemimpin ahli hadits pada masanya, dan
benar-benar pakar di dalamnya.”
Dia
melanjutkan, “Rumahnya adalah rumah kebaikan, wara’, dan ilmu dalam Islam.”
Dia
juga berkata, “Dalam karya-karyanya yang terkenal, dia menyebutkan nama
guru-gurunya.”
Dia
juga berkata, “Aku pernah mendengar guru-guru kami menyebut-nyebut saat-saat
hidupnya. Mereka menuturkan bahwa para seniornya yang semasa dengannya, seperti
Abu Sahal Ash-Sha’luki, Imam Ibnu Faurak, dan Imam-imam lainnya telah
mengutamakannya atas diri mereka. Mereka benar-benar mengakui kelebihannya dan
menghormatinya.”
Adz-Dzahabi
berkata, “Dia seorang Imam ahli hadits, kritikus, sangat pandai, dan syaikhnya
para muhaddits.”
Dia
juga berkata, “Seorang ulama besar dan Imamnya para periwayat hadits.”
Ibnu
Katsir berkata, “Dia seorang ahli agama, orang yang dapat dipercaya, dapat
menjaga diri, teliti (kuat hapalannya), obyektif, dan wara’.”[3]
4.
Karya-Karya
Ilmiahnya
Al-Hakim
meninggalkan banyak karya yang bermanfaat, yang belum pernah dikarang
sebelumnya, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Khalkan. Di antaranya adalah:[4]
a.
Al-Arba’in.
b.
Al-Asma’
wa Al-Kuna.
c.
Al-Iklil
fi Dalail An-Nubuwwah.
d.
Amali
Al-‘Asyiyyat.
e.
Al-Amali.
f.
Tarikh
Naisabur.
g.
Ad-Du’a.
h.
Su’alat
Al-Hakim li Ad-Daruquthni fi Al-Jarh wa Ta’dil.
i.
Su’alat
Mas’ud As-Sajzi li Al-Hakim.
j.
Adh-Dhu’afa’.
k.
Ilal
Al-Hadits.
l.
Fadhail
Fathimah.
m.
Fawa’id
Asy-Syuyukh.
n.
Ma
Tafarrada bihi Kullun min al-Imamain.
o.
Al-Madkhal
ila ‘Ilmi Ash-Shahih.
p.
Al-Madkhal
ila Ma’rifati Al-Mustadrak.
q.
Muzakki
Al-Akhbar.
r.
Mu’jam
Asy-Syuyukh.
s.
Al-Mustadrak
ala Ash-Shahihain.
t.
Ma’rifah
fi Dzikri Al-Mukhadramain.
u.
Maqtal
Al-Husain.
v.
Manaqib
Asy-Syafi’i.
5.
Wafatnya
Abu
Abdillah Al-Hakim wafat setelah meninggalkan karya-karya ilmiahnya kepada kita
yang sangat bernilai.
As-Subki
berkata dalam Thabaqat Asy-Syafi’iyyah,
“Benar dia wafat pada tahun 405 H. Namun ada yang mengatakan tahun 403 H.”[5]
B.
Al-Mustadrak
‘Ala Ash-Shahihain
Kitab Al-Mustadrak
karya Al-Hakim telah menimbulkan perdebatan ketika Al-Hakim mengaku telah
mengoreksi Al-Bukhari dan Muslim dalam hampir 9000 hadits yang seharusnya
dinukil keduanya dalam kitab Shahih-nya,
karena hadits-hadits tersebut sesuai syarat (kriteria) keduanya atau salah
satunya, atau memiliki sanad yang shahih, tetapi tidak memenuhi kriteria salah
satu dari keduanya.
Imam Nawawi berkata, “Maksud perkataan para
muhaddits, “sesuai syarat (kriteria) keduanya atau salah satunya”, adalah bahwa
para periwayat sanad tersebut terdapat dalam kitab Al-Bukhari dan Muslim atau
salah satunya, karena keduanya tidak memiliki (tidak menetapkan) syarat dalam
kitab keduanya dan tidak pula dalam selain kitab keduanya.[6]
Mahmud At-Tahan menyebutkan ada tiga macam hadits
yang dihimpun di dalam Al-Mustadrak:[7]
1. Hadits-hadits
shahih menurut syarat Al-Bukhari dan syarat Muslim atau salah satu di antara
keduanya tetapi keduanya tidak meriwayatkan dalam kitab shahihnya.
2. Hadits-hadits
shahih menurut Al-Hakim sekalipun tidak sesuai dengan syarat Al-Bukhari dan syarat
Muslim ataupun salah satu di antara keduanya yang ia istilahkan dengan Shahih Al-Isnad.
3. Hadits-hadits
tidak shahih menurut Al-Hakim tetapi beliau jelaskan sebab ketidak shahihannya.
C.
Kitab
Al-Mustadrak dalam Timbangan
Jika kita melihat kitab Al-Mustadrak secara umum,
maka akan mendapatkan bahwa Al-Hakim terlalu mudah dalam menilai “shahih” hadits-hadits yang tidak shahih.
Adz-Dzahabi berkata, “Dalam kitab Al-Mustadrak terdapat banyak hadits yang
sesuai kriteria Al-Bukhari dan Muslim atau salah satunya. Jumlahnya sekitar
separuh dari isi kitab. Seperempatnya memiliki sanad yang shahih.,
sedangkan sisanya (seperempat lagi) merupakan hadits-hadits munkar yang lemah dan tidak shahih, yang sebagiannya maudhu’.
Ini merupakan hal yang mengherankan, karena Al-Hakim
termasuk salah seorang ahli hadits yang brilian di bidangnya. Ada yang berkata,
“Hal itu disebabkan bahwa dia menulisnya pada akhir masa hidupnya, yang saat
itu dia sudah agak pelupa.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Al-Hakim bersikap
menggampangkan karena dia mengkonsep kitab tersebut untuk diralat kemudian,
tetapi dia meninggal sebelum sempat meralat dan membetulkannya.”
Banyak periwayat hadits yang berkata, “Sesungguhnya
sikap Al-Hakim yang menyendiri dari para Imam hadits dalam men-shahih-kan suatu hadits perlu dikaji,
sehingga dapat diketahui mana yang shahih,
hasan, dan dha’if.”[8]
D.
Manhaj
Al-Hakim fi Tashih wa Tad’if
Melalui penelitian mendalam, Abdurrahman
mengemukakan prinsip-prinsip tashih
dan tad’if Al-Hakim atas 4 prinsip,
antara lain:[9]
1. Prinsip
ijtihad, sebagaimana Al-Hakim menyatakan, “Saya memohon pertolongan kepada
Allah untuk menghimpun hadits-hadits dari rawi-rawi yang tsiqah, menghimpun hadits yang diriwayatkan “semisal” rijal yang
digunakan Syaikhani atau salah satu
dari keduanya, menghimpun hadits yang memenuhi kriteria fuqaha.”
2. Prinsip
status sanad, tampaknya Al-Hakim konsisten dengan sanad sebagai alat ukur
persambungan dan kualitas, dengan asumsi bahwa sanad disamping alat pengukur
juga merupakan perantara ilmu yang menjadi pangkal kebenaran dalam ajaran
agama.
3. Prinsip
matan, di samping sanad, matan hadits bagi Al-Hakim turut menentukan bagi keshahihan
hadits, sebagai komitmen dia dalam hal ini, ia turut serta dalam memaparkan
teori-teori yang terkait dengan matan, seperti rajah marjuh, nasikh mansukh, mukhtalif al-hadits, maqlub, mudtarib,
mudraj, dan lainnya, sehingga sampai pada kesimpulan hadits tersebut ma’mul bihi atau ghair ma’mul bihi.
4. Prinsip
perbedaan kritik matan, Al-Hakim mengakui adanya perbedaan kritik sanad, ada di
antara ahli nuqqad ini yang ta’annut
(kasar) dalam mengkritik seperti An-Nasa’I, ada yang tasyaddud (ketat) seperti Ibnu Ma’in, ‘Ali ibn al-Madini,
al-Bukhari, ada yang tawassut
(moderat) seperti Imam Ahmad, ada yang tasahul
(longgar) dan tasamuh (toleran)
seperti Ibnu Huzaimah, Ibnu Hibban, ‘Ali bin Abi Hatim (ulama memasukkan
Al-Hakim pada kategori ini).
Berdasarkan ijtihad di atas, Al-Hakim melakukan
klasifikasi hadits sedikit berbeda dengan klasifikasi ulama sebelumnya.
Klasifikasi hadits berdasarkan kuantitas menurut
Al-Hakim ada empat:[10]
1. Mutawatir,
sekalipun dalam teorinya ia tidak mendefinisikannya secara tegas.
2. Masyhur shahih
dan masyhur ghair shahih, di mana
definisi masyhur menurutnya adalah
hadits yang diketahui oleh orang banyak tidak soal apakah hal itu di tingkat
sahabat, tabi’in ataukah atba’ at-Tabi’in.
3. Gharib shahih,
gharib syuyukh, gharib mutun.
4. Afrad atau
fard, dengan gharib sama-sama riwayat yang menyendiri, hanya saja penekanan gharib pada sekelompok orang yang berada
di kota tertentu.
Kemudian klasifikasi hadits menurut kualitas, secara
umum ulama telah meletakkan kaedah keshahihan yang disepakati yaitu musnad, rawinya adil, dhabit, terhindar
dari syuzuz, dan ‘illat. Secara khusus Al-Hakim tidak mendefinisikan seperti di
atas. Al-Hakim mendefinisikannya sebagai hadits yang harus diriwayatkan oleh
ahli hadits yang sidq (jujur), tsabit (tegas), itqan (kuat hafalannya), sihhah
al-Usuli (akidahnya benar), mu’asarah
(sezaman), liqa’ (bertemu dengan
gurunya), tidak tahawun, tidak gaflah (tidak lalai dalam mempelajari
hadits), ilmunya dapat diandalkan, benar-benar haditsnya diterima dari gurunya
bukan sekedar dari buku catatan.[11]
Namun kriteria tersebut dapat dipahami secara
terpisah dalam teori kesahihan haditsnya. Puncaknya Al-Hakim mengklasifikasikan
hadits ke dalam tiga kelompok:[12]
1. Hadits
yang disepakati kesahihannya meliputi: hadits yang memenuhi kriteria al-Bukhari
dan Muslim, tidak diriwayatkan oleh seorang rawi saja sebagaimana dilakukan
Syaikhani, hadits tersebut diterima sekelompok tabi’in dari seorang sahabat,
hadits fard dan gharib namun disepakati kesahihannya, serta hadits yang diterima
melalui jalur keluarga secara beruntut.
2. Hadits
yang diperselisihkan kesahihannya meliputi: hadits mursal, periwayatan mudallis,
periwayatan tsiqah yang berbeda dari
periwayatan tsiqah lainnya,
periwayatan yang diyakini pernah didengar dari gurunya namun diragukan
hafalannya, serta riwayat dari kalangan ahli
bid’ah.
3. Hadits
yang dianggap oleh Al-Hakim sebagai al-majruh,
saqim, auha al-asanid atau dengan kata lain hadits dha’if meliputi sepuluh tingkatan sebagai berikut: hadits yang
diriwayatkan oleh mereka yang mendustakan nabi, berisi rekayasa sanad agar
asing bagi pendengarnya, dilakukan oleh orang yang rakus dalam periwayatan
hadits, mereka yang mengubah perkataan sahabat, sengaja memausulkan yang
mursal, mereka yang saleh dan ahli ibadah yang tidak mengkhususkan memelihara
hadits, mereka yang menggenaralisasikan sanad, mereka yang lalai ketika
mendengar dan menerima hadits dari gurunya, mereka yang berprofesi bukan ahli
hadits, dan mereka yang catatannya rusak.
E.
Daftar
Pustaka
Al-Hakim,
Imam, Al-Mustadrak, diterjemahkan
oleh Ali Murtadho dari “Al-Mustadrak ‘Ala
Ash-Shahihaini”, Cetakan Pertama, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010).
Ulama’I,
A. Hasan Asy’ari, Membedah Kitab Tafsir-Hadits
(Dari Imam Ibn Jarir al-Thabari hingga Imam al-Nawawi al-Dimasyqi), Cetakan
Pertama, (Semarang: Walisongo Press, 2008).
[1]
Imam Al-Hakim, Al-Mustadrak,
diterjemahkan oleh Ali Murtadho dari “Al-Mustadrak
‘Ala Ash-Shahihaini”, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010), Cetakan Pertama, h.
6.
[2] Ibid.
h. 6-8.
[3] Ibid.
h. 8-10.
[4] Ibid.
h. 11-12.
[5] Ibid.
h. 19.
[6] Ibid.
h. 25.
[7]
Dr. A. Hasan Asy’ari Ulama’i, M.Ag., Membedah
Kitab Tafsir-Hadits (Dari Imam Ibn Jarir al-Thabari hingga Imam al-Nawawi
al-Dimasyqi), (Semarang: Walisongo Press, 2008), Cetakan Pertama, h.
143-144.
[8] Imam
Al-Hakim, op. cit, h. 25-26.
[9] Dr.
A. Hasan Asy’ari Ulama’i, M.Ag., op. cit. h. 144-146.
[10] Ibid.
h. 146.
[11] Ibid.
h. 147.
[12] Ibid.
h. 147-148.
No comments:
Post a Comment