Compiled by: ANDIKAMAULANA
A.
PENDAHULUAN
Duduk-duduk di pinggir-pinggir jalan
sambil nongkrong, mengobrol atau makan dan minum sudah menjadi kebiasaan hampir
mayoritas penduduk di negeri ini. Siapapun pasti senang melakukannya, baik
dengan sengaja atau tidak.
Dibalik kebiasaan ini, mereka lupa bahwa apa
yang mereka lakukan itu mengganggu pengguna jalan yang berlalu lalang di sana,
padahal Dinul Islam sebagai agama mayoritas di negeri ini telah menyinggung hal
itu sejak dulu.
Islam, sebagai dien yang amat toleran dan
inklusif tetapi tetap kuat memegang prinsip, tidak serta merta melarang hal
itu. Ia mengambil sikap yang transparan dan selalu membawa solusi bagi
problematika kehidupan di dunia ini dalam segala aspeknya.
Diantara sikap transparan dan solutif itu
adalah dengan tidak melarangnya seratus persen dan mengikis habis kebiasaan
itu, tetapi memberikan solusi yang terbaik sehingga kebiasaan itu dapat
dihilangkan secara bertahap, yaitu dengan memperkenalkan kepada mereka hak yang
terkait dengan jalan tersebut. Hak tersebut dalam terminologi kekinian dapat
dikatakan sebagai kode etik, dimana harus diketahui dan dipatuhi oleh para
penggunanya.
Mengenai bagaimana sesungguhnya realitas
yang dulu dialami oleh para shahabat dan apa solusi Islam bagi para pengguna
jalan, maka kajian kali ini ingin mengupas masalah tersebut.
Harapan kami, kajian ini dapat menggugah
kita semua yang tentunya pasti termasuk pengguna jalan juga, bahkan barangkali
memiliki kebiasaan yang kurang baik tersebut dulunya dan belum mengetahui kode
etik yang terkait dengannya.
Dalam makalah ini juga, Insya Allah kami
akan membahas prilaku-prilaku tercela lainnya seperti buruk sangka, dengki,
tajassus (mencari-cari kesalahan orang lain), ghibah dan fitnah.
Untuk itu, semoga kajian ini bermanfaat dan
sebagaimana biasa bila terdapat kesalahan dan kekeliruan, kiranya sudi
memberikan masukan yang positif dan membangun guna perbaikan lebih lanjut.
B. POKOK PEMBAHASAN
1.
Larangan Buruk Sangka
2.
Larangan Duduk-duduk di Jalan dan
Pentingnya Menjaga Etika di Jalan
3.
Larangan Ghibah (Ngegosip) dan Buhthan
(Fitnah)
PEMBAHASAN
1.
Larangan
Buruk Sangka
(BUKHARI - 5604) : Telah
menceritakan kepada kami Bisyr bin Muhammad telah mengabarkan kepada kami
Abdullah telah mengabarkan kepada kami Ma'mar dari Hammam bin Munabbih dari Abu
Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Jauhilah
prasangka buruk, karena prasangka buruk adalah ucapan yang paling dusta,
Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang lain (tahassus),
janganlah saling memata-matai (tajassus), saling mendengki, saling
membelakangi, serta saling membenci, tetapi, jadilah kalian hamba-hamba Allah
yang bersaudara."
Rasulullah senantiasa memberi
peringatan kepada umatnya dari perkara-perkara yang mendatangkan kemudharatan
atau menimbulkan keretakan ukhuwah islamiyah antara kaum muslimin. Dalam hadits
tersebut, Nabi
mewaspadai umatnya dari sifat buruk sangka terhadap
saudaranya karena hal ini akan membawa kerusakan bagi mereka.
Adapun prasangka yang dicela dan dilarang dalam
hadits di atas adalah prasangka semata tanpa ada faktor penguat atau qorinah
(alasan) tertentu. Beliau
menyatakan bahwa hal ini adalah sedusta-dustanya berita,
karena ketika seseorang mulai berprasangka buruk, maka jiwanya berkata
kepadanya ‘si fulan berkata demikian, si fulan melakukan hal itu, dia ingin
berbuat demikian dan seterusnya’, hal ini Rasulullah namakan dengan
sedusta-dustanya pembicaraan.
Kandungan hadits ini mirip dengan firman Allah SWT
dalam QS. Al-Hujuraat (49) : 12 :
Hai orang-orang
yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian
dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan
janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka
memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik
kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Hujuraat (49) : 12)
Akan tetapi dalam ayat tersebut Allah berfirman “sebagian
dari pra-sangka itu adalah dosa”, Allah tidak berfirman semua prasangka, karena
prasangka yang bersandar pada bukti dan penguat tidaklah mengapa.[1]
Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata, “Allah SWT berfirman melarang
hamba-hamba-Nya yang beriman berprasangka yang bukan pada tempatnya terhadap
keluarganya, familinya dan terhadap orang lain pun, karena sebagian dari
prasangka itu merupakan perbuatan yang membawa dosa dan janganlah kamu
mengintai dan mencari-cari kesalahan orang lain. Allah memperumpamakan orang
yang menggunjing sesama saudaranya yang mukmin, seperti seorang yang memakan
daging saudara yang telah mati. Tentu tak seorang pun di antara kamu suka
berbuat demikian. Maka bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Dia Maha
Penerima taubat lagi Maha Penyanyang.”[2]
Diriwayatkan oleh Abu Ya’ala dari Barra’ bin ‘Aazib,
bahwa Rasulullah SAW bersabda dalam salah satu khotbahnya :
“Wahai
orang-orang yang beriman dengan lidahnya, janganlah kamu menggunjingi orang-orang
Islam dan janganlah kamu mencari-cari aurat-uarat (hal yang dirahasiakan)
mereka, karena barang siapa mencari-cari aurat saudaranya, Allah akan mencari
auratnya dan siapa yang dicari auratnya oleh Allah pasti akan terbukalah
auratnya itu walaupun ia ditengah-tengah rumahnya.”[3]
M. Quraish Shihab dalam tafsirnya Al-Mishbah mengatakan, “Ayat diatas (QS.
Al-Hujuraat (49) : 12) menegaskan bahwa sebagian dugaan adalah dosa yakni
dugaan yang tidak berdasar. Biasanya dugaan yang tidak berdasar dan
mengakibatkan dosa adalah dugaan buruk terhadap pihak lain. Ini berarti ayat di
atas melarang melakukan dugaan buruk yang tanpa dasar, karena ia dapat
menjerumuskan seseorang ke dalam dosa. Dengan menghindari dugaan dan prasangka
buruk, anggota masyarakat akan hidup tenang dan tentram serta produktif, karena
mereka tidak akan ragu terhadap pihak lain dan tidak juga akan tersalurkan
energinya kepada hal-hal yang sia-sia. Tuntunan ini juga membentengi setiap
anggota masyarakat dari tuntutan terhadap-hal-hal yang baru bersifat prasangka.
Dengan demikian ayat ini mengukuhkan prinsip bahwa : Tersangka belum dinyatakan
bersalah sebelum terbukti kesalahannya, bahkan seseorang tidak dapat dituntut
sebelum terbukti kebenaran dugaan yang dihadapkan kepadanya. Memang
bisikan-biskan yang terlintas di dalam benak tentang sesuatu dapat ditoleransi,
asal bisikan tersebut tidak ditingkatkan menjadi dugaan dan sangka buruk. Dalam
konteks ini Rasul SAW berpesan :”Jika kamu menduga (yakni terlintas dalam benak
kamu sesuatu yang buruk terhadap orang lain) maka jangan lanjutkan dugaanmu
dengan melangkah lebih jauh.” (HR. Ath-Thabarani)
Kata tajassasu
terambil dari kata jassa, yakni upaya
mencari tahu dengan cara tersembunyi. Dari sini mata-mata dinamai jasus. Imam
Ghazali memahami larangan ini dalam arti, jangan tidak membiarkan orang berada
dalam kerahasiaannya. Yakni setiap orang berhak menyembunyikan apa yang enggan
diketahui orang lain. Jika demikian jangan berusaha menyingkap apa yang
dirahasiakannya itu. Mencari-cari kesalahan orang lain biasanya lahir dari
dugaan negatif terhadapnya, karena itu ia disebutkan setelah larangan menduga.[4]
Dalam hadits diatas juga Rasul SAW melarang kita
untuk saling mendengki. Dengki adalah mengharapkan hilangnya kebahagiaan atau
kenikmatan dari orang yang didengki. Sifat ini merupakan salah satu perbuatan
yang dikategorikan dosa besar.
Marilah kita bayangkan apabila penyakit dengki telah
merambah ke setiap orang. Maka mereka akan saling berusaha untuk menghilangkan
kenikmatan atau kebahagiaan yang
diperoleh orang lain. Setiap orang yang mendapat kenikmatan atau kebahagiaan
tidak akan selamat dari kejahatan orang lain yang dengki atas dirinya. Apabila
demikian, bagaimana kehidupan manusia pada saat itu ?[5]
Dengan begitu, dapat disepakati bahwa penyakit
dengki dapat menghancurkan keharmonisan kehidupan manusia, selain itu juga
dapat menghancurkan kebahagiaan seseorang atau memecah suatu kelompok. Lihatlah
bagaimana penyakit dengki telah merusak hati para pendeta-pendeta sehingga menolak
kebenaran yang mereka ketahui dan yakini, maka penyakit ini pun akan dapat
menghancurkan umat ini.[6]
Allah berfirman dalam QS. Asy-Syura (42) : 14 :
“Dan mereka (ahli Kitab) tidak berpecah belah, kecuali setelah
datang pada mereka ilmu pengetahuan, karena kedengkian di antara mereka[7].
kalau tidaklah karena sesuatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulunya
(untuk menangguhkan azab) sampai kepada waktu yang ditentukan, pastilah mereka
telah dibinasakan. dan Sesungguhnya orang-orang yang diwariskan kepada mereka
Al-Kitab (Taurat dan Injil)[8]
sesudah mereka, benar-benar berada dalam keraguan yang menggoncangkan tentang
kitab itu.”
Dalam hadits diatas juga disebutkan bahwa sesama
muslim dilarang saling membelakangi, saling memusuhi. Ini menunjukkan bahwa
Islam sangat menjaga hubungan baik antar manusia, sehingga segala sesuatu yang
meretakkan hubungan baik tersebut, Islam pasti melarangnya.
Dan diakhir redaksi hadits diatas kita diperintahkan
untuk menjadi hamba Allah yang bersaudara. Artinya muslim yang satu dengan yang
lainnya saudara. Sehingga tidak sepantasnya berburuk sangka, saling
memata-matai, saling dengki, saling membelakangi, saling memusuhi sesama
muslim.
(BUKHARI - 2285) : Telah
menceritakan kepada kami Mu'adz bin Fadhalah telah menceritakan kepada kami Abu
'Umar Hafsh bin Maisarah dari Zaid bin Aslam dari 'Atha' bin Yasar dari Abu
Sa'id AL Khudriy radliallahu 'anhuma dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Janganlah kalian duduk duduk di pinggir jalan". Mereka
bertanya: "Itu kebiasaan kami yang sudah biasa kami lakukan karena itu
menjadi majelis tempat kami bercengkrama". Beliau bersabda: "Jika
kalian tidak mau meninggalkan majelis seperti itu maka tunaikanlah hak jalan
tersebut". Mereka bertanya: "Apa hak jalan itu?" Beliau
menjawab: "Menundukkan pandangan, menyingkirkan halangan, menjawab salam
dan amar ma'ruf nahiy munkar".
Penjelasan
Kebahasaan
1. Ungkapan
beliau: “mâ lanâ min majâlisinâ buddun” (kami tidak punya (pilihan) tempat
duduk-duduk) maksudnya adalah kami
membutuhkan untuk duduk-duduk di tempat-tempat seperti ini, karena adanya
faedah yang kami dapatkan.
2. Ungkapan
beliau : “fa a’thû ath-tharîqa haqqahu” [berilah jalan tersebut haknya] maksudnya
adalah bila kalian memang harus duduk di jalan tersebut, maka hendaklah kalian
memperhatikan etika yang berkaitan dengan duduk-duduk di jalan dan kode etiknya
yang wajib dipatuhi oleh kalian.
3. Ungkapan
beliau : “ghadl-dlul bashar” [memicingkan pandangan] maksudnya adalah
mencegahnya dari hal yang tidak halal dilihat olehnya.
4. Ungkapan
beliau : “kufful adza” [mencegah (adanya) gangguan] maksudnya adalah
mencegah adanya gangguan terhadap pejalan atau orang-orang yang lewat disana,
baik berupa perkataan ataupun perbuatan seperti mempersempit jalan mereka, mengejek
mereka dan sebagainya.
Sekilas Tentang Periwayat Hadits
Beliau adalah seorang shahabat yang agung, Abu Sa’îd, Sa’d bin Mâlik bin
Sinân al-Khazrajiy al-Anshâriy al-Khudriy. Kata terakhir ini dinisbatkan kepada
Khudrah, yaitu sebuah perkampungan kaum Anshâr.
Ayah beliau mati syahid pada perang Uhud. Beliau ikut dalam perang
Khandaq dan dalam Bai’atur Ridlwân. Meriwayatkan dari Nabi sebanyak 1170
hadits. Beliau termasuk ahli fiqih juga ahli ijtihad kalangan shahabat dan
wafat pada tahun 74 H.
Faedah-Faedah Hadits
& Hukum-Hukum Terkait
1. Diantara
tujuan agama kita adalah untuk mengangkat derajat masyarakat Islam kepada
hal-hal yang agung, kemuliaan akhlaq dan keluhuran etika. Sebaliknya, menjauhkan
seluruh elemennya dari setiap budi pekerti yang jelek dan pekerjaan yang hina.
Islam juga menginginkan terciptanya masyarakat yang diliputi oleh rasa cinta
dan damai serta mengikat mereka dengan rasa persaudaraan (ukhuwah) dan
kecintaan.
2. Hadits
diatas menunjukkan kesempurnaan Dinul Islam dalam syari’at, akhlaq, etika,
menjaga hak orang lain serta dalam seluruh aspek kehidupan. Ini merupakan
tasyr’i yang tidak ada duanya dalam agama atau aliran manapun.
3. Asal
hukum terhadap hal yang berkenaan dengan “jalan” dan tempat-tempat umum adalah
bukan untuk dijadikan tempat duduk-duduk, karena implikasinya besar,
diantaranya:
a. Menimbulkan
fitnah,
b. Mengganggu
orang lain baik dengan cacian, kerlingan ataupun julukan,
c. Mengintip
urusan pribadi orang lain,
d. Membuang-buang
waktu dengan sesuatu yang tidak bermanfaat.
4. Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam dalam hadits diatas memaparkan sebagian
dari kode etik yang wajib diketahui dan dipatuhi oleh para pengguna jalan,
yaitu:
1.
Memicingkan mata dan mengekangnya dari melihat
hal yang haram; sebab “jalan” juga digunakan oleh kaum wanita untuk
lewat dan memenuhi kebutuhan mereka. Jadi, memicingkan mata dari hal-hal yang
diharamkan termasuk kewajiban yang patut diindahkan dalam setiap situasi dan
kondisi. Allah berfirman:“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang
demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang mereka perbuat". (Q.S. 24/an-Nûr:30).
2.
Mencegah adanya gangguan terhadap orang-orang
yang berlalu lalang dalam segala bentuknya, baik skalanya besar ataupun kecil seperti
menyakitinya dengan ucapan yang tak layak; cacian, makian, ghibah, ejekan dan
sindiran. Bentuk lainnya adalah gangguan yang berupa pandangan ke arah bagian
dalam rumah orang lain tanpa seizinnya. Termasuk juga dalam kategori gangguan
tersebut; bermain bola di halaman rumah orang, sebab dapat menjadi biang
pengganggu bagi tuannya, dan lainnya.
3.
Menjawab salam; para ulama secara ijma’
menyepakati wajibnya menjawab salam. Allah Ta’ala berfirman: “Apabila kamu
dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah pernghormatan itu dengan
yang lebih baik atau balaslah (dengan yang serupa)…”. (Q.S. 4/an-Nisa’: 86).
Dalam hal ini, seperti yang sudah diketahui bahwa hukum memulai salam
adalah sunnah dan pelakunya diganjar pahala. Salam adalah ucapan hormat kaum
muslimin yang berisi doa keselamatan, rahmat dan keberkahan.
4.
Melakukan amar ma’ruf nahi mungkar ; ini
merupakan hak peringkat keempat dalam hadits diatas dan secara khusus
disinggung disini karena jalan dan semisalnya merupakan sasaran kemungkinan
terjadinya banyak kemungkaran.
Banyak nash-nash baik dari al-Kitab maupun as-Sunnah
yang menyentuh prinsip yang agung ini, diantaranya firman Allah Ta’ala: “dan
hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan dan
menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar…”. (Q.S. 3/Âli
‘Imrân: 104).
Dalam hadits Nabi, beliau Shallallâhu 'alaihi
wasallam bersabda: “barangsiapa diantara kamu yang melihat kemungkaran,
maka hendaklah dia mencegahnya dengan tangannya; jika dia tidak mampu, maka
dengan lisannya; dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya; yang demikian
itulah selemah-lemah iman”.
Banyak sekali nash-nash lain yang menyebutkan sebagian
dari kode etik yang wajib diketahui dan dipatuhi oleh para pengguna jalan,
diantaranya:
a. Berbicara dengan baik,
b. Menjawab orang yang bersin (orang
yang bersin harus mengucapkan alhamdulillâh sedangkan orang yang
menjawabnya adalah dengan mengucapkan kepadanya yarhamukallâh),
c. Membantu orang yang mengharapkan bantuan,
d.
Menolong orang
yang lemah,
e. Menunjuki jalan bagi orang yang sesat di
jalan,
f. Memberi petunjuk kepada orang yang dilanda
kebingungan,
g. Mengembalikan kezhaliman orang yang
zhalim, yaitu dengan cara mencegahnya.
3.
Larangan
Ghibah (Ngegosip) dan Buhthan (Fitnah)
(MUSLIM - 4690) : Telah
menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub dan Qutaibah dan Ibnu Hujr mereka
berkata; Telah menceritakan kepada kami Isma'il dari Al A'laa dari Bapaknya
dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah
bertanya: "Tahukah kamu, apakah ghibah itu?" Para sahabat menjawab;
'Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.' Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: 'Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu
yang tidak ia sukai.' Seseorang bertanya; 'Ya Rasulullah, bagaimanakah menurut
engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya
ucapkan? ' Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata: 'Apabila benar apa
yang kamu bicarakan itu ada padanya, maka berarti kamu telah menggunjingnya.
Dan apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah
membuat-buat kebohongan terhadapnya.'
Pembahasan masalah ini panjang
sekali. Oleh karena itu, pertama sekali kami akan menyebutkan tentang
tercelanya menggunjing dan dalil-dalil syara’ yang menjelaskannya. Allah SWT
menjelaskan celaan ghibah ini dalam al-Qur’an dan Allah menyamakan pelakunya
seperti orang yang makan bangkai. Allah SWT berfirman dalam surat al-Hujuraat:
12:
Hai orang-orang yang beriman,
jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari
purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.
dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang.
Nabi SAW bersabda : “Setiap muslim haram darahnya, hartanya, dan
kehormatannya bagi muslim yang lain” (HR. Muslim)[10]
M. Quraish Shihab dalam menafsirkan QS. Al-Hujurat ayat 12, berkata: kata
yaghtab terambil dari kata ghibah yang berasal dari kata ghaib yakni tidak hadir. Ghibah
adalah menyebut orang lain yang tidak hadir di hadapan penyebutnya dengan
sesuatu yang tidak disenangi oleh yang bersangkutan. Jika keburukan yang
disebut itu tidak disandang oleh yang bersangkutan, maka ia dinamai buhthan/ kebohongan besar. Dari
penjelasan diatas terlihat bahwa walaupun keburukan yang diungkap oleh
penggunjing tadi memang disandang oleh objek ghibah, ia tetap terlarang.
Memang, pakar-pakar hukum membenarkan ghibah untuk sekian banyak alasan antara
lain:
1. Meminta
fatwa, yakni seseorang yang bertanya tentang hukum dengan menyebut kasus
tertentu dengan member contoh. Ini seperti halnya seseorang wanita yang bernama
Hind meminta fatwa Nabi menyangkut suaminya yakni Abu Sufyan dengan menyebut
kekikirannya. Yakni apakah sang istri boleh mengambil uang suaminya tana
sepengetahuan sang suami?
2. Menyebut
keburukan seseorang yang memang tidak segan menampakkan keburukannya dihadapan
dihadapan umum. Seperti menyebut si A adalah Pemabuk, karena memang dia sering
minum di hadapan umum dan mabuk.
3. Menyampaikan
keburukan seseorang kepada yang berwenang dengan tujuan mencegah terjadinya
kemungkaran.
4. Menyampaikan
keburukan seseorang kepada siapa yang sangat membutuhkan informasi tentang yang
bersangkutan, misalnya dalam konteks menerima lamarannya.
5. Memperkenalkan
seseorang yang tidak dapat dikenal kecuali dengan menyebut aib/kekurangannya.
Misalnya “Si A yang buta sebelah itu”.[11]
Untuk mengakhiri penjelasan tentang larangan Ghibah dan Fitnah ini, ada
baiknya pemakalah akan mengutipkan beberapa ungkapan yang bisa kita renungkan,
sehingga kita tidak berbuat Ghibah dan Fitnah, sbb:
Ibnu Abbas berkata: “apabila kamu
ingin menyebut aib (kekurangan) saudaramu maka ingatlah kekuranganmu.” Abu
Hurairah berkata, “Salah seorang di
antara kamu melihat ada kotoran di mata saudaranya, tetapi ia tidak melihat
kekurangan di matanya sendiri.”
Al-Hasan bertutur, “Wahai manusia, sesungguhnya kamu tidak akan mendapatkan
hakikat keimanan sampai kamu meninggalkan perbuatan mencari kekurangan orang
lain yang juga ada pada dirimu sendiri
dan sampai kamu memulai untuk memperbaiki (kekurangan) itu lalu memperbaiki
kekurangan yang ada pada dirimu. Jika itu kamu lakukan maka kamu telah sibuk
dengan dirimu sendiri dan orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang
seperti itu.”
Umar RA berkata, “Kamu harus mengingat Allah selalu. Sebab itu merupakan
penawar dan jauhilah mengingat-ingat manusia sebab itu adalah penyakit. Semoga
Allah memberikan taufik agar selalu taat kepada Allah.”[12]
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan sbb:
1. Dari
hadits tentang larangan buruk sangka dapat diambil faedah sbb:
a. Larangan
berprasangka buruk tanpa ada faktor penguat atau qorinah tertentu
b. Prasangka
buruk merupakan sedusta-dustanya perkataan
c. Anjuran
berprasangka baik terhadap sesama muslim
d. Islam
sangat menjaga hubungan baik antar manusia, sehingga segala sesuatu yang
meretakkan hubungan baik tersebut, Islam pasti melarangnya
2. Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam dalam
hadits diatas memaparkan sebagian dari kode etik yang wajib diketahui dan
dipatuhi oleh para pengguna jalan, yaitu:
a. Memicingkan mata
dan mengekangnya dari melihat hal yang haram.
b. Mencegah adanya
gangguan terhadap orang-orang yang berlalu lalang dalam segala bentuknya, baik
skalanya besar ataupun kecil.
c. Menjawab salam
d. Melakukan amar
ma’ruf nahi mungkar
3. Berita
kejelekan orang lain bukanlah untuk disebarluaskan, tetapi ini adalah bahan
untuk introspeksi diri. Berburuk sangka, menggunjing, menghina, memfitnah,
menertawakan, mencela dan mengolok-olok serta meneliti kesalahan orang lain
adalah bagian dari akhlak tercela yang harus dijauhi oleh setiap muslim. Sebab
akan menghancurkan keimanan yang telah tertanam di dalam hati dan hanya akan
mengantarkan seseorang mendapatkan laknat Allah sehingga menjadi penghuni
neraka.
DAFTAR PUSTAKA
Shihab, M. Quraish. 2003. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta:
Lentera Hati.
Ibnu Katsier, Imam. 1992. Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier Jilid 7. Terj. H. Salim Bahreisy
& H. Said Bahreisy. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Hawwa, Sa’id. 2006. Tazkiyatun Nafs: Intisari Ihya Ulumuddin. Terj. Tim Kuwais: Abdul Amin,
Lc, dkk. Jakarta: Pena Pundi Aksara.
Kajian
hadits yang ditulis oleh Syaikh Nâshir asy-Syimâliy yang judul aslinya adalah:
“Haqq ath-Tharîq” Sabtu, 14/02/1423 H = 27/04/2002 M
Sumber
: http://suni2010.blogspot.com/2010/08/kode-etik-bagi-pengguna-jalan.html
, Diakses Selasa, 01/10/2013, Pukul 15.23.
[1]
M.
Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an.
Jakarta: Lentera Hati. 2003. Hlm. 254.
[2]
Imam Ibnu Katsier. Terjemah
Singkat Tafsir Ibnu Katsier Jilid 7. Terj. H. Salim Bahreisy & H. Said
Bahreisy. Surabaya: PT. Bina Ilmu. 1992. Hlm. 320.
[3]Ibid. Hlm. 320-321.
[4]
M.
Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an.
Jakarta: Lentera Hati. 2003. Hlm. 255.
[5] Sa’id Hawwa. Tazkiyatun Nafs:
Intisari Ihya Ulumuddin. Terj. Tim Kuwais: Abdul Amin, Lc, dkk. Jakarta: Pena
Pundi Aksara. 2006. Hlm. 215.
[6] Ibid.
hlm. 215
[7] Maksudnya: Ahli-ahli kitab itu
berpecah belah sesudah mereka mengetahui kebenaran dari nabi-nabi mereka.
sesudah datang Nabi Muhammad s.a.w dan nyata kebenarannya merekapun tetap
berpecah belah dan tidak mempercayainya
[8]
Yang dimaksudkan dengan orang-orang yang
diwariskan kepada mereka Al-Kitab ialah ahli kitab yang hidup pada masa Nabi
Muhammad s.a.w.
[9]
Disadur dari kajian hadits
yang ditulis oleh Syaikh Nâshir asy-Syimâliy yang judul aslinya adalah: “Haqq
ath-Tharîq” Sabtu, 14/02/1423 H = 27/04/2002 M
Sumber : http://suni2010.blogspot.com/2010/08/kode-etik-bagi-pengguna-jalan.html
, Diakses Selasa, 01/10/2013, Pukul 15.23.
[10] Sa’id Hawwa. Tazkiyatun Nafs:
Intisari Ihya Ulumuddin. Terj. Tim Kuwais: Abdul Amin, Lc, dkk. Jakarta: Pena
Pundi Aksara. 2006. Hlm. 541.
[11] M.
Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an.
Jakarta: Lentera Hati. 2003. Hlm. 257.
[12] Sa’id
Hawwa. Tazkiyatun Nafs: Intisari Ihya Ulumuddin. Terj. Tim Kuwais: Abdul Amin,
Lc, dkk. Jakarta: Pena Pundi Aksara. 2006. Hlm.
253.
No comments:
Post a Comment