Showing posts with label Studi Kitab Hadits. Show all posts
Showing posts with label Studi Kitab Hadits. Show all posts

Monday, February 15, 2016

UMDATUL QARI


Sumber Gambar Disini

Compiled by: ANDIKA MAULANA


I.                   PENDAHULUAN
Pergumulan pemahaman nash baik terhadap al-Qur’an maupun Hadis Nabi Saw., terus berlangsung dan mengkristal pada dua model pendekatan yang cukup besar yaitu pendekatan tekstual dan kontekstual.
Sementara pihak menganggap lahirnya pendekatan kontekstual baru muncul abad 20-an, namun sebenarnya jauh pada masa Nabi Saw. dan sahabatnya pemahaman ini telah ada, demikian pula pada generasi- generasi selanjutnya.
Dalam dunia ulumul Qur’an dan tafsir al-Qur’an, perkembangan tafsir Al-Qur’an baik secara tekstual maupun kontekstual demikian pesat dan mendapatkan perhatian banyak pihak hingga lahir karya-karya di bidang ini yang tidak terbilang jumlahnya. Sementara pada bidang hadis dan ulumul hadis, perhatian tersebut masih terbatas terutama pada aspek pemahaman terhadap hadis Nabi Saw (fiqh al-hadis), padahal ulama masa awal telah banyak melahirkan produk pemahamannya dalam karya tulis yang dikenal kemudian sebagai kitab syarah hadis.
Lebih lanjut, kitab-kitab syarah hadis (sebagai produk ulama dalam memahami hadis) tidak dapat dilepaskan dari pengaruh para syarih (orang yang memberikan penjelasan itu sendiri), baik pada kapasitas keilmuan, latar belakang kultur, masa dan tempat serta kepentingan-kepentingan lain yang turut mewarnai proses pen-syarah-an tersebut, sehingga tidak sedikit perbedaan yang muncul antara pen-syarah-an ulama tertentu dengan ulama lain di samping persamaan-persamaan yang dimiliki.
Di antara mereka ada yang mencukupkan pada pen-syarah-an yang simpel (memberikan keterangan sedikit kepada bagian teks yang musykil saja), namun ada pula yang memberikan pen-syarah-an yang “jelimet” (memberikan penjelasan secara rinci dari unsur bahasa, hikmah, dan lainnya dari seluruh sanad hingga seluruh matan hadis yang ada).
Berangkat dari fenomena di atas, kitab syarah hadis tak terhitung jumlahnya, dengan argumen bahwa dimungkinkan di setiap negara dan di setiap masa telah bermunculan syarah hadis sesuai dengan “bahasa” mereka. Salah satu kitab syarah hadis yang cukup besar, namun belum banyak dikenal di tengah masyarakat adalah ‘Umdat al-Qari karya Badr al-Din al-‘Aini, kitab ini mensyarahi Shahih al-Bukhari, bahkan kitab syarah Shahih al-Bukhari lainnya yang lebih terkenal seperti Fath al-Bari karya Ibn Hajar al-‘Asqalani banyak menyandarkan pensyarahannya terhadap kitab ini.[1]
Untuk mengenal lebih jauh sosok Badr al-Din al-‘Aini berikut model pemahaman hadisnya, pemakalah kemukakan penjelasannya sebagai berikut.

II.                PEMBAHASAN
A.    Biografi Badr al-Din al-‘Aini
Nama lengkap Badr al-Dinn al-‘Aini adalah Mahmud bin al-Qadli Syihab al-Din Ahmad bin Musa bin Ahmad bin al-Husain bin Yusuf bin Mahmud, dengan sandaran madzhabnya al-Hanafi, kemudian nasabnya al-‘Aini al-Mishri, ber-kunyah Abu Muhammad juga Abu al-Tsana’ dan bergelar al-Faqih Badr al-Din.
Badr al-Din al-‘Aini lahir 762 H, tepatnya pada bulan Ramadlan di Durabkeiken dan tumbuh di ‘Ainatab. Ayahnya (Syihab al-Din Ahmad bin Musa) adalah seorang qadli di ‘Ainatab yang meninggal pada tahun 784  (pada saat Badr al-Din telah berumur 22 tahun).
Melalui didikan orang tuanya, Badr al-Din al-‘Aini sudah menghafal al-Qur’an dan tafaqquh (mendalami ajaran agama) sejak dini, sehingga matang dalam memahami Islam. Pengetahuan agamanya disamping ia peroleh dari ayahnya juga dari beberapa ulama yang hidup di wilayahnya pada masa itu.
Perjalanan Ilmiah Badr al-Din al-‘Aini dimulai dari ‘Ainatab, baru kemudian ia melakukan rihlah ‘ilmiyyah (menimba ilmu) ke Halb dan berguru kepada al-‘Allamah Jamal al-Din Yusuf bin Musa al-Multhi al- Hanafi. Selanjutnya menuju Quds dan berguru kepada al-‘Ala’ al-Sairami, kemudian ke Kaero pada tahun 788 H.
Di Kaero inilah, Badr al-Din al-‘Aini mewarisi keahlian ayahnya yaitu menjadi seorang Qadli, hal ini disinyalir karena Badr al-Din al-‘Aini di damping dikenal sebagai faqih juga memiliki kedekatan dengan Raja, dan dalam memegang jabatan ini Badr al-Din al-‘Aini bertahan hingga tahun 842 H.
Badr al-Din al-‘Aini memiliki kemampuan dua bahasa yang populer pada saat itu di wilayah Timur Tengah, yaitu bahasa Arab dan bahasa Turki. Keilmuannya didukung oleh banyaknya buku dalam berbagai bidang ilmu agama yang ia kuasai mulai dari tafsir, fiqh, hadis, bahasa, nahwu, tashrif, tarikh dan lainnya, karenanya wajar bila wawasan ilmunya cukup luas khususnya di bidang bahasa.[2]

B.     Karya-Karya Badr al-Din al-‘Aini
Badr al-Din al-‘Aini wafat pada tahun 855 H, tepatnya malam Selasa pada tanggal 4 Dzul Hijjah di Kaero Mesir. Beberapa peninggalan berharga dari karya mu’allif ini antara lain:[3]
1. al-Binayah fi syarh al-Hidayah li al-Marhaniyani
2. Tarikh al-Ukamsarah
3. Tarikh al-Badr fi Awshaf ahl al-‘Ashr
4. Hasyiyah ‘ala syarh Ibn al-Mushannif li al-Alfiyyah
5. Al-Hawi syarh Qashidah al-Sawi fi al-‘Arudl
6. Durar li al-Bihar al-Zahirah fi Nudhum al-Bihar al-Zakhirah li Hisam al-   Rahawi
7. Al-Durar al-Fakhirah syarh al-Bihar al-Zahirah
8. Ramz al-Haqa’iq fi syarh Kanz al-Daqa’iq
9. Zain al-Majalis ‘Alim al-Salam
10.  Siyar al-Anbiya’
11.  Sirah al-Mulk al-Asyraf
12.  Sirah al-Mulk al-Dhahir Thughrul
13.  Sirah al-Mulk al-Muayyad
14.  Syarh sirah al-Muglatha
15.  Syarh al-Syafiyah li Ibn al-Hajib
16.  Syarh ‘Arudl li Ibn al-Hajib
17.  Syarh Quth’ah min Sunan Abi Dawud
18.  Thabaqat al-Hanafiyyah
19.  Thabaqat al-Syu’ara’
20.  ‘Aqd al-Jaman fi Tarikh ahl al-Zaman
21.  al-‘Ilm al-Haib fi syarh al-Kalam al-Thayyib li Ibn Taimiyyah
22.  ‘Umdat al-Qari fi syarh al-Jami’ al-Shahih li al-Bukhari
23.  Faraid al-‘Awa’id fi Ihtishar syarh al-Syawahid li al-Alfiyyah
24.  Kasf al-Litsam fi syarh Sirah Ibn Hisyam
25.  al-Masa’il al-Badriyyah al-Muntakhab min Fatawa al-Dhahiriyyah
26.  al-Mutajammi’ fi syarh al-Majma’ li Ibn al-Sa’ati
27.  Masyarih al-‘Usur fi al-khuthabi wa al-mawa’idhi
28.  Maghani al-Akhbar fi Rijal Ma’ani al-Atsar
29.  al-Maqashid al-Nahwiyyah fi syarh Syawahid  syuruh li al-Alfiyyah
30.  Malah al-Arwah fi Syarh al-Marah
31.  Minhah al-Suluk syarh Tuhfah al-Muluk fi al-Furu’
32.  Mizan al-Nushush fi ‘ilm al-‘Arudl
33.  Nakhab al-Afkar fi Tanqih Mabani al-Akhbar syarh Ma’ani al-Atsar
34.  Nihayah al-Bayan syarh ‘ala al-Hidayah li al-Marghaniyani

C.    Sekilas tentang Umdatul Qari
Pensyarahan hadis sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya merupakan proses transformasi pemahaman (fiqh al-hadits) dari budaya lisan ke budaya tulis, artinya bahwa pada awalnya penjelasan hadis banyak berlangsung secara safahi (lisan), kemudian berkembang kepada penuangan dari hasil pemahaman tersebut kepada media tulisan yang kemudian dikenal sebagai kitab syarh.
Salah satu hazanah kitab syarah hadis Nabi Saw karya Badr al-Din al- ‘Aini adalah kitab ‘Umdat al-Qari.  Kitab ini mensyarahi Shahih al-Bukhari karya Imam al-Hafidh Abu ‘Abd Allah Muhammad bin Isma’il al-Ju’fi al- Bukhari (w. 256 H)  -sebagai kitab himpunan hadis yang shahih pertama kali di antara kutub al-Sittah, Imam al-Nawawi dalam Syarah Muslim yang dikutip Haji Khalifah menyatakan bahwa ulama sepakat bahwa kitab yang paling shahih setelah al-Qur’an adalah Shahihani (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim), di antara keduanya Shahih al-Bukhari yang lebih utama.
Ulama banyak yang memberikan apresiasi terhadap kitab Shahih al- Bukhari ini diantaranya bukti adalah munculnya kitab-kitab syarah (penjelasan) atas kitab ini baik masih berupa naskah (makhthuth) maupun yang telah diterbitkan (mathbu’), lebih rinci dapat dilihat dalam kitab Kasyf al-dhunun karya Haji Khalifah. Salah satunya adalah Umdat al-Qari karya Badr al-Din al-‘Aini.[4]
Tentang karya Badr al-Din al-‘Aini ini, kitabnya memiliki nama lengkap Umdat al’Qari syarh Shahih al-Bukhari. Secara khusus Badr al-Din al-‘Aini dalam rangka menuliskan kitab ini, ia telah melakukan lawatan sebelumnya ke negeri Selatan  al-Nadiyah yaitu sebelum tahun 800 H dalam rangka memperoleh pengetahuan yang langka seperti mempelajari kitab al-Lalali al-Zawahir yang terkait dengan menampilkan rahasia kitab  Shahih al-Bukhari tersebut.
Kemudian dia kembali ke Mesir dan membuat syarah atas kitab Ma’ani al-Atsar karya  al-Imam Abu Ja’far Amad bin Muhammad bin Salamah al-Thahawi, kemudian mensyarahi Sunan Abi Dawud al-Sijistani, baru kemudian setelah selang beberapa waktu ia mensyarahi kitab Shahih al- Bukhari.
Badr al-Din al-‘Aini menyatakan bahwa ada beberapa hal yang ia hasilkan dari pensyarahan kitab Shahih al-Bukhari ini, antara lain:
1. Memahami keunggulan yang tersembunyi di dalamnya bahwa sebuah ilmu adalah pemberian Allah.
2. Penampakan dari ilmu Allah tersebut patut disyukuri agar ditambahkan nikmatnya oleh Allah yaitu dengan menyebarluaskan ilmu itu kepada ummat.
3. Banyaknya do’a dari para sahabat dalam penulisan kitab syarah hadis ini turut mendorong terwujudnya penjelasan yang simpel tapi jelas.[5]

D.    Langkah Pemahaman Hadis Badr al-Din al-‘Aini
Para syarih (pensyarah hadis) pada umumnya memberikan komentar atau penjelasan suatu hadis dalam kitab himpunan hadis tertentu dengan menggunakan sistematika yang beragam, ada yang sangat rinci (tafshili), ada pula yang ringkas atau terbatas pada kata ataupun kalimat tertentu (wajiz). Tentang sistematika pensyarahan Badr al-Din al-‘Aini dalam ‘Umdat al-Qari ini secara garis besar dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Muqaddimah Kitab, di antaranya memuat puji-pujian kepada Allah, shalawat, urgensi sunnah Nabi dan pentingnya pemahaman terhadapnya, penyendaran (isnad) Badr al-‘Aini terhadap imam al- Bukhari (melalui dua jalur), beberapa informasi di sekitar Shahih al- Bukhari mulai dari; penamaan, peringkat kitabnya di jajaran kitab hadis, status hadisnya, jumlah hadisnya, pembaban, rawi-rawi yang terlibat di dalamnya (5 Thabaqat), rawi yang dikritik, status syawahid dan mutabi’ hadis-hadisnya, penetapan nama-nama yang sering digunakan al-Bukhari serta status hadis yang tanpa sanad di dalamnya.
2. Penjelasan kitab ataupun bab. Dalam hal ini Badr al-Din al-‘Aini menyatakan bahwa “sudah menjadi kewajiban mushannif dalam memulai karyanya untuk menuliskan 3 hal (risalah): basmalah, hamdalah dan shalawat, ada pula yang menyatakan 4 yaitu ditambahkan tentang betapa penting dan terpujinya ilmu yang sedang ditulis tersebut”. Kemudian tentang penamaan kitab atau bab, mulai dari bayan al-tarjamah (penjelasan maksud isi), bayan al-lughah (telaah bahasa), bayan al-sharf (telaah sharafiyyah), bayan al-i’rab (telaah I’rab), bayan al-ma’ani (telaah makna), bayan al-bayan (telaah bayani), bayan tafsir (telaah penafsiran ayat), bayan tashdir al-bab bi al-ayat al-madzkurah (telaah argumentasi penggunaan ayat sebagai awal bab yang dimaksud). Secara umum sistematika penjelasan di atas konsisten digunakan Badr al-Din al-‘Aini, hanya saja penjelasan yang telah diberikan pada bagian-bagian awal tidak diulangi kembali bada bagian-bagian selanjutnya. Di samping itu penjelasan terhadap kitab ataupun bab tersebut tidak semuanya diberikan penjelasan dari point perpoint, melainkan yang dianggap perlu mendapatkan penjelasan sesuai sub tema pada point-point tersebut saja.
3. Penjelasan hadis yang terdiri dari penjelasan sanad berikut matannya, dalam hal ini sistematika yang digunakan Badr al-Din al-‘Aini sebagai berikut.
            Setelah  mengemukakan hadis secara lengkap, Badr al-Din al-‘Aini memulai penjelasannya dengan beberapa judul telaah (sebagaimana pada point sebelumnya) antara lain bayan ta’alluq al-hadits bi al-ayah (telaah korelasi hadis dengan ayat yang dikemukakan sebelumnya), bayan ta’alluq al-hadits bi al-tarjamah (telaah korelasi hadis dengan maksud isinya), bayan rijalihi (telaah rawi yang ada di dalam hadis tersebut), bayan dlabth al-rijal (telaah kepastian personal rawi melalui penyebutan yang tepat seperti al-humaidi dengan al-hamid), bayan al-ansab (telaah nasab terutama bila ada dua nama yang sama), bayan fawaid tata’allaq bi al-rijal (telaah manfaat yang terkait dengan informasi rawi), bayan lathaif isnadihi (telaah dari seluk beluk periwayatan di dalam rangkaian sanad hadis), bayan nau’ al-Hadits (telaah jenis hadis, seperti keterangan tentang mutawatir atau ahad-nya hadis, ittishal atau inqitha’-nya sanad, musnad ila al-Nabi atau mauqufan dan sejenisnya), bayan ta’addud al-hadits fi al- shahih (telaah jumlah hadis tersebut dalam shahih al-Bukhari ini, lihat contoh), bayan man akhrajahu ghairuh (telaah mukharrij lain yang mengutip hadis yang dimaksud), bayan Ikhtilaf lafdhihi (telaah perbedaan lafadh hadis), bayan ikhtiyarihi hadza fi al-bidayah (telaah argumen pemilihan hadis ini sebagai pendahuluan), bayan al-Lughah (telaah bahasa),  bayan al-i’rab (telaah i’rab),  bayan al-ma’ani (telaah makna), bayan al-bayan (telaah bayani), bayan al-badi’ (telaah keindahan sastranya),  al-as’ilah wa al-ajwibah (perbincangan di sekitar hadis),  bayan al-sabab wa al-maurud (telaah sebab munculnya hadis), faedah (beberapa manfaat hadis), bayan al-sharf (telaah sharaf), istinbath al-Ahkam (hukum yang dapat ditarik dari nash ini), hukm al-hadits (status hadis), bayan ikhtilaf al-riwayat (telaah berbagai perbedaan riwayat), serta Tambahan lain pada keterangan rijal yang ada di dalam sanad maupun matan hadis, antara lain Badr al-Din al-‘Aini juga memberikan keterangan tentang 1) bayan al-asma’ al-waqi’qh fihi (telaah nama yang dikutip dalam hadis),  2) bayan al-asma’ al-mubhamah (telaah nama yang samar), 3) bayan asma’ al- amakin fihi (telaah nama-nama tempat yan dikutip di dalamnya).
Sebagaimana penjelasan pada bab ataupun kitab, dalam konteks penjelasan hadis inipun Badr al-Din al-‘Aini secara umum menggunakan secara konsisten sistematika penjelasan  point-perpoint di atas,  hanya saja penjelasan yang telah diberikan pada bagian-bagian awal tidak diulangi kembali bada bagian-bagian selanjutnya. Di samping itu penjelasan terhadap rijal ataupun matan hadis tersebut tidak semuanya diberikan penjelasan dari point ke point, melainkan yang dianggap perlu mendapatkan penjelasan sesuai sub tema pada point-point tersebut saja.
Disamping itu ada beberapa penamaan sub tema dari penjelasan Badr al-Din al-‘Aini ini yang digabungkan, misal gabungan antara dua sub tema bayan ta’addud al-hadits dengan bayan man akhrajahu ghairuhu,  kemudian pada sub tema bayan al-ma’ani denan bayan al-bayan.  Ada pula dari bentuk sub tema mufrad diganti dalam bentuk jama’ seperti bayan al-lughah menjadi bayan al-lughat.[6]
E.     Pendekatan dan Corak Syarah
Berdasarkan pembacaan terhadap sistematika pensyarahan di atas, tampak sekali nuansa lughawi (corak kebahasaan) mendominasi pensyarahan yang dilakukan oleh Badr al-Din al-‘Aini.
Misalnya dalam menjelaskan nama bab ataupun kitab yang termuat dalam Shahih al-Bukhari hampir keseluruhannya dijelaskan melalui pendekatan bahasa, diantaranya telaah tarjamah, al-lughah, al-sharf, al- i’rab, al-ma’ani, al-bayan dan al-tafsir.
Satu point yang tidak terkait dengan pendekatan kebahasaan secara langsung, yaitu telaah korelasi judul dengan ayat al-Qur’an yang dimunculkan di tiap awal bab tersebut.
Demikian pula dalam menjelaskan hadis Nabi, sekalipun di awal dikemukakan telaah korelasi hadis dengan ayat yang dimunculkan pada awal bab-nya, dominasi pendekatan kebahasaan tetap lebih menonjol. Misalkan dalam menelaah rijal dalam sanad, Badr al-Din al-‘Aini menjelaskan secara detail huruf dan harakat nama-nama rawi yang ada di dalam sanad yaitu melalui sub tema bayan rijalihi, bayan dlabth al-rijal, bayan al-asma’ al-waqi’ah fihi, bayan al-asma’ al-mubhamah dan bayan al- asma’ al-amakin fihi.
Dalam memberikan penjelasan matan hadisnya, Badr al-Din al-‘Aini disamping menjelaskan keragaman redaksi di dalamnya melalui sub tema ikhtilaf lafdhihi maupun ikhtilaf al-riwayat, ia menjelaskan banyak hal pada isi hadis dengan pendekatan bahasa pula, seperti bayan al-lughat, bayan al-I’rab, bayan al-ma’ani, bayan al-bayan, bayan al-sharf, dan bayan al-badi’.
Dengan demikian hampir tidak kurang dari 80 prosen penjelasan Badr al-Din al-‘Aini dalam ‘Umdat al-Qari ini menggunakan pendekatan kebahasaan sehingga warna secara umum kitab syarah ini adalah laun al-lughawi (warna kebahasaan).
Sisanya hal-hal yang terkait dengan status hadis, Badr al-Din al-‘Aini menggunakan telaah ulama terdahulu untuk memantapkan status hadis yang sedang ia syarahi, demikian pula pada saat membandingkan riwayat satu dengan riwayat lain, lafal satu dengan lafal lain, ia gunakan pendekatan ilmu hadis seperti takhrij al-hadits dan i’tibar al-sanad.
Adapun hadis-hadis yang terkait dengan hukum ia dekati melalui ilmu ushul yang di dalamnya memuat metode istinbath al-ahkam. Dan lebih sering lagi ketika terkait dengan ahkam ini ia melibatkan keragaman pendapat yang ada di sekitar madzahib al-arba’ah berikut argumentasi mereka masing-masing.
Demikian pula hadis-hadis yang secara umum memiliki latar belakang historis (sabab al-wurud) atau hadis-hadis tentang tafsir al-Qur’an, Badr al-Din al-‘Aini tidak meningalkan riwayat-riwayat yang masyhur dalam rangka memperjelas maksud hadis yang disyarahi.[7]

III.             DAFTAR PUSTAKA
Hasan Asy’ari Ulama’I, “Pemahaman Hadits Badr al-Din al-‘Aini,” Jurnal Teologia, Volume 16, Nomor 1, (Januari, 2005).
Al-Syaikh al-Imam al-‘Allamah Badr al-Din Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad al-‘Aini (w. 855), Umdatul Qari Syarh Shahih al-Bukhari, Juz 1, (Beirut-Libanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 2001), cet. 1.



[1] A. Hasan Asy’ari Ulama’I, “Pemahaman Hadits Badr al-Din al-‘Aini,” Jurnal Teologia, Volume 16, Nomor 1, (Januari, 2005), h. 113-114.
[2] Ibid. h. 114-115.
[3] Al-Syaikh al-Imam al-‘Allamah Badr al-Din Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad al-‘Aini (w. 855), Umdatul Qari Syarh Shahih al-Bukhari, Juz 1, (Beirut-Libanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 2001), cet. 1, h. 15-18.
[4] A. Hasan Asy’ari Ulama’I. op. cit. h. 116-117.
[5] Ibid. h. 117-118.
[6] Ibid. h. 121-123.
[7] Ibid. h. 123-124.

Al-Mustadrak Imam Al-Hakim An-Naisaburi


Sumber Gambar Disini

Compiled by: ANDIKA MAULANA

A.    Biografi Imam Al-Hakim An-Naisaburi
1.      Nama, Silsilah Keturunan, dan Kelahirannya
Dia adalah Al-Hafizh Muhammad bin Abdullah bin Hamdawaih bin Nu’aim bin Al-Hakim, Abu Abdillah Adh-Dhabi Ath-Thahmani An-Naisaburi Asy-Syafi’i. Dia terkenal dengan (sebutan) Ibnu Al-Bayyi’.
Dia lahir di Naisabur pada hari Senin, 3 Rabiul Awwal, tahun 321 H.[1]
2.      Perjalanan dalam Menuntut Ilmu
Al-Hakim menuntut ilmu sejak kecil dengan dukungan ayah dan pamannya. Pertama kali dia menyimak hadits pada tahun 330 H. Dia minta didektekan kepada Abu Hatim bin Hibban pada tahun 334 H, ketika dia berusia 13 tahun.
Dia mendapatkan sanad-sanad ali di Khurasan, Irak, dan negeri-negeri di belakang sungai. Dia mendengar dari sekitar 2000 syaikh. Di Naisabur, dia mendengar dari 1000 syaikh, lalu pergi ke Irak pada usia 20 tahun. Dia tiba disana beberapa saat setelah Ismail Ash-Shaffar meninggal dunia.
Dia belajar riwayat kepada Ibnu Al-Imam, Muhammad bin Abu Manshur Ash-Sharram, Abu Ali bin An-Naqqar (ahli qiraat Kuffah), dan Abu Isa Bakkar (ahli qiraat Baghdad).
Dia belajar fikih kepada Abu Ali bin Abu Hurairah, Abu Al-Walid Hassan bin Muhammad, dan Abu Sahal Ash-Sha’luk.
Dia belajar bidang-bidang hadits kepada Abu Ali Al-Hafizh, Al-Ja’abi, Abu Ahmad Al-Hakim, Ad-Daruquthni, dll.
Di antara guru-gurunya ada yang mengambil hadits darinya, yaitu Abu Ishaq Al-Muzakki dan Ahmad bin Abu Utsman Al-Hairi.
Al-Hakim juga mempunyai teman dari pembesar kalangan sufi, yaitu Ismail bin Nujaid, Ja’far Al-Khaladi, dan Abu Utsman Al-Maghribi.[2]
3.      Pujian Ulama Terhadap Al-Hakim
Banyak ulama yang memuji Abu Abdillah Al-Hakim. Inilah komentar sebagian ulama tentang Al-Hakim:
Al-Khathib berkata, “Dia termasuk orang yang terhormat, berilmu, berwawasan luas, dan ahli hadits. Dia banyak mengarang buku-buku tentang hadits.”
Al-Khathib lalu berkata, “Dia adalah orang yang tsiqah (terpercaya).
Abdul Ghafir bin Ismail berkata, “Dia pemimpin ahli hadits pada masanya, dan benar-benar pakar di dalamnya.”
Dia melanjutkan, “Rumahnya adalah rumah kebaikan, wara’, dan ilmu dalam Islam.”
Dia juga berkata, “Dalam karya-karyanya yang terkenal, dia menyebutkan nama guru-gurunya.”
Dia juga berkata, “Aku pernah mendengar guru-guru kami menyebut-nyebut saat-saat hidupnya. Mereka menuturkan bahwa para seniornya yang semasa dengannya, seperti Abu Sahal Ash-Sha’luki, Imam Ibnu Faurak, dan Imam-imam lainnya telah mengutamakannya atas diri mereka. Mereka benar-benar mengakui kelebihannya dan menghormatinya.”
Adz-Dzahabi berkata, “Dia seorang Imam ahli hadits, kritikus, sangat pandai, dan syaikhnya para muhaddits.”
Dia juga berkata, “Seorang ulama besar dan Imamnya para periwayat hadits.”
Ibnu Katsir berkata, “Dia seorang ahli agama, orang yang dapat dipercaya, dapat menjaga diri, teliti (kuat hapalannya), obyektif, dan wara’.”[3]
4.      Karya-Karya Ilmiahnya
Al-Hakim meninggalkan banyak karya yang bermanfaat, yang belum pernah dikarang sebelumnya, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Khalkan. Di antaranya adalah:[4]
a.      Al-Arba’in.
b.      Al-Asma’ wa Al-Kuna.
c.       Al-Iklil fi Dalail An-Nubuwwah.
d.      Amali Al-‘Asyiyyat.
e.       Al-Amali.
f.        Tarikh Naisabur.
g.      Ad-Du’a.
h.      Su’alat Al-Hakim li Ad-Daruquthni fi Al-Jarh wa Ta’dil.
i.        Su’alat Mas’ud As-Sajzi li Al-Hakim.
j.        Adh-Dhu’afa’.
k.       Ilal Al-Hadits.
l.        Fadhail Fathimah.
m.    Fawa’id Asy-Syuyukh.
n.      Ma Tafarrada bihi Kullun min al-Imamain.
o.      Al-Madkhal ila ‘Ilmi Ash-Shahih.
p.      Al-Madkhal ila Ma’rifati Al-Mustadrak.
q.      Muzakki Al-Akhbar.
r.       Mu’jam Asy-Syuyukh.
s.       Al-Mustadrak ala Ash-Shahihain.
t.        Ma’rifah fi Dzikri Al-Mukhadramain.
u.      Maqtal Al-Husain.
v.       Manaqib Asy-Syafi’i.
5.      Wafatnya
Abu Abdillah Al-Hakim wafat setelah meninggalkan karya-karya ilmiahnya kepada kita yang sangat bernilai.
As-Subki berkata dalam Thabaqat Asy-Syafi’iyyah, “Benar dia wafat pada tahun 405 H. Namun ada yang mengatakan tahun 403 H.”[5]

B.     Al-Mustadrak ‘Ala Ash-Shahihain
Kitab Al-Mustadrak karya Al-Hakim telah menimbulkan perdebatan ketika Al-Hakim mengaku telah mengoreksi Al-Bukhari dan Muslim dalam hampir 9000 hadits yang seharusnya dinukil keduanya dalam kitab Shahih-nya, karena hadits-hadits tersebut sesuai syarat (kriteria) keduanya atau salah satunya, atau memiliki sanad yang shahih, tetapi tidak memenuhi kriteria salah satu dari keduanya.
Imam Nawawi berkata, “Maksud perkataan para muhaddits, “sesuai syarat (kriteria) keduanya atau salah satunya”, adalah bahwa para periwayat sanad tersebut terdapat dalam kitab Al-Bukhari dan Muslim atau salah satunya, karena keduanya tidak memiliki (tidak menetapkan) syarat dalam kitab keduanya dan tidak pula dalam selain kitab keduanya.[6]
Mahmud At-Tahan menyebutkan ada tiga macam hadits yang dihimpun di dalam Al-Mustadrak:[7]
1.      Hadits-hadits shahih menurut syarat Al-Bukhari dan syarat Muslim atau salah satu di antara keduanya tetapi keduanya tidak meriwayatkan dalam kitab shahihnya.
2.      Hadits-hadits shahih menurut Al-Hakim sekalipun tidak sesuai dengan syarat Al-Bukhari dan syarat Muslim ataupun salah satu di antara keduanya yang ia istilahkan dengan Shahih Al-Isnad.
3.      Hadits-hadits tidak shahih menurut Al-Hakim tetapi beliau jelaskan sebab ketidak shahihannya.

C.    Kitab Al-Mustadrak dalam Timbangan
Jika kita melihat kitab Al-Mustadrak secara umum, maka akan mendapatkan bahwa Al-Hakim terlalu mudah dalam menilai “shahih” hadits-hadits yang tidak shahih.
Adz-Dzahabi berkata, “Dalam kitab Al-Mustadrak terdapat banyak hadits yang sesuai kriteria Al-Bukhari dan Muslim atau salah satunya. Jumlahnya sekitar separuh dari isi kitab. Seperempatnya memiliki sanad yang shahih., sedangkan sisanya (seperempat lagi) merupakan hadits-hadits munkar yang lemah dan tidak shahih, yang sebagiannya maudhu’.
Ini merupakan hal yang mengherankan, karena Al-Hakim termasuk salah seorang ahli hadits yang brilian di bidangnya. Ada yang berkata, “Hal itu disebabkan bahwa dia menulisnya pada akhir masa hidupnya, yang saat itu dia sudah agak pelupa.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Al-Hakim bersikap menggampangkan karena dia mengkonsep kitab tersebut untuk diralat kemudian, tetapi dia meninggal sebelum sempat meralat dan membetulkannya.”
Banyak periwayat hadits yang berkata, “Sesungguhnya sikap Al-Hakim yang menyendiri dari para Imam hadits dalam men-shahih-kan suatu hadits perlu dikaji, sehingga dapat diketahui mana yang shahih, hasan, dan dha’if.[8]   

D.    Manhaj Al-Hakim fi Tashih wa Tad’if
Melalui penelitian mendalam, Abdurrahman mengemukakan prinsip-prinsip tashih dan tad’if Al-Hakim atas 4 prinsip, antara lain:[9]
1.      Prinsip ijtihad, sebagaimana Al-Hakim menyatakan, “Saya memohon pertolongan kepada Allah untuk menghimpun hadits-hadits dari rawi-rawi yang tsiqah, menghimpun hadits yang diriwayatkan “semisal” rijal yang digunakan Syaikhani atau salah satu dari keduanya, menghimpun hadits yang memenuhi kriteria fuqaha.”
2.      Prinsip status sanad, tampaknya Al-Hakim konsisten dengan sanad sebagai alat ukur persambungan dan kualitas, dengan asumsi bahwa sanad disamping alat pengukur juga merupakan perantara ilmu yang menjadi pangkal kebenaran dalam ajaran agama.
3.      Prinsip matan, di samping sanad, matan hadits bagi Al-Hakim turut menentukan bagi keshahihan hadits, sebagai komitmen dia dalam hal ini, ia turut serta dalam memaparkan teori-teori yang terkait dengan matan, seperti rajah marjuh, nasikh mansukh, mukhtalif al-hadits, maqlub, mudtarib, mudraj, dan lainnya, sehingga sampai pada kesimpulan hadits tersebut ma’mul bihi atau ghair ma’mul bihi.
4.      Prinsip perbedaan kritik matan, Al-Hakim mengakui adanya perbedaan kritik sanad, ada di antara ahli nuqqad ini yang ta’annut (kasar) dalam mengkritik seperti An-Nasa’I, ada yang tasyaddud (ketat) seperti Ibnu Ma’in, ‘Ali ibn al-Madini, al-Bukhari, ada yang tawassut (moderat) seperti Imam Ahmad, ada yang tasahul (longgar) dan tasamuh (toleran) seperti Ibnu Huzaimah, Ibnu Hibban, ‘Ali bin Abi Hatim (ulama memasukkan Al-Hakim pada kategori ini).
Berdasarkan ijtihad di atas, Al-Hakim melakukan klasifikasi hadits sedikit berbeda dengan klasifikasi ulama sebelumnya.
Klasifikasi hadits berdasarkan kuantitas menurut Al-Hakim ada empat:[10]
1.      Mutawatir, sekalipun dalam teorinya ia tidak mendefinisikannya secara tegas.
2.      Masyhur shahih dan masyhur ghair shahih, di mana definisi masyhur menurutnya adalah hadits yang diketahui oleh orang banyak tidak soal apakah hal itu di tingkat sahabat, tabi’in ataukah atba’ at-Tabi’in.
3.      Gharib shahih, gharib syuyukh, gharib mutun.
4.      Afrad atau fard, dengan gharib sama-sama riwayat yang menyendiri, hanya saja penekanan gharib pada sekelompok orang yang berada di kota tertentu.
Kemudian klasifikasi hadits menurut kualitas, secara umum ulama telah meletakkan kaedah keshahihan yang disepakati yaitu musnad, rawinya adil, dhabit, terhindar dari syuzuz, dan ‘illat. Secara khusus Al-Hakim tidak mendefinisikan seperti di atas. Al-Hakim mendefinisikannya sebagai hadits yang harus diriwayatkan oleh ahli hadits yang sidq (jujur), tsabit (tegas), itqan (kuat hafalannya), sihhah al-Usuli (akidahnya benar), mu’asarah (sezaman), liqa’ (bertemu dengan gurunya), tidak tahawun, tidak gaflah (tidak lalai dalam mempelajari hadits), ilmunya dapat diandalkan, benar-benar haditsnya diterima dari gurunya bukan sekedar dari buku catatan.[11]
Namun kriteria tersebut dapat dipahami secara terpisah dalam teori kesahihan haditsnya. Puncaknya Al-Hakim mengklasifikasikan hadits ke dalam tiga kelompok:[12]
1.      Hadits yang disepakati kesahihannya meliputi: hadits yang memenuhi kriteria al-Bukhari dan Muslim, tidak diriwayatkan oleh seorang rawi saja sebagaimana dilakukan Syaikhani, hadits tersebut diterima sekelompok tabi’in dari seorang sahabat, hadits fard dan gharib namun disepakati kesahihannya, serta hadits yang diterima melalui jalur keluarga secara beruntut.
2.      Hadits yang diperselisihkan kesahihannya meliputi: hadits mursal, periwayatan mudallis, periwayatan tsiqah yang berbeda dari periwayatan tsiqah lainnya, periwayatan yang diyakini pernah didengar dari gurunya namun diragukan hafalannya, serta riwayat dari kalangan ahli bid’ah.
3.      Hadits yang dianggap oleh Al-Hakim sebagai al-majruh, saqim, auha al-asanid atau dengan kata lain hadits dha’if meliputi sepuluh tingkatan sebagai berikut: hadits yang diriwayatkan oleh mereka yang mendustakan nabi, berisi rekayasa sanad agar asing bagi pendengarnya, dilakukan oleh orang yang rakus dalam periwayatan hadits, mereka yang mengubah perkataan sahabat, sengaja memausulkan yang mursal, mereka yang saleh dan ahli ibadah yang tidak mengkhususkan memelihara hadits, mereka yang menggenaralisasikan sanad, mereka yang lalai ketika mendengar dan menerima hadits dari gurunya, mereka yang berprofesi bukan ahli hadits, dan mereka yang catatannya rusak.    

E.     Daftar Pustaka
Al-Hakim, Imam, Al-Mustadrak, diterjemahkan oleh Ali Murtadho dari “Al-Mustadrak ‘Ala Ash-Shahihaini”, Cetakan Pertama, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010).

Ulama’I, A. Hasan Asy’ari, Membedah Kitab Tafsir-Hadits (Dari Imam Ibn Jarir al-Thabari hingga Imam al-Nawawi al-Dimasyqi), Cetakan Pertama, (Semarang: Walisongo Press, 2008).


[1] Imam Al-Hakim, Al-Mustadrak, diterjemahkan oleh Ali Murtadho dari “Al-Mustadrak ‘Ala Ash-Shahihaini”, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010), Cetakan Pertama, h. 6.
[2] Ibid. h. 6-8.
[3] Ibid. h. 8-10.
[4] Ibid. h. 11-12.
[5] Ibid. h. 19.
[6] Ibid. h. 25.
[7] Dr. A. Hasan Asy’ari Ulama’i, M.Ag., Membedah Kitab Tafsir-Hadits (Dari Imam Ibn Jarir al-Thabari hingga Imam al-Nawawi al-Dimasyqi), (Semarang: Walisongo Press, 2008), Cetakan Pertama, h. 143-144.
[8] Imam Al-Hakim, op. cit, h. 25-26.
[9] Dr. A. Hasan Asy’ari Ulama’i, M.Ag., op. cit. h. 144-146.
[10] Ibid. h. 146.
[11] Ibid. h. 147.
[12] Ibid. h. 147-148.