Disusun oleh :
1.
Vina Inayatul Maula (124211008)
2.
Fathin
Nabela (124211009)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadits merupakan sumbar warisan yang di
tinggalkan Rasulullah SAW kepada umatnya untuk dapat menjadikannya pedoman
setelah Al Qur’an, sehingga kedudukan hadits menjadi penting sebagai rujukan
pengambilan hukum Islam setelah Al Qur’an. Untuk dapat menentukan apakah sebuah
Hadits layak untuk menjadi rujukan dalam hukum Islam, maka memerlukan suatu
cabang ilmu yang disebut Ulumul Hadits.
Nabi Muhammad SAW bukanlah seorang
kepala Negara atau raja, tetapi beliau dihormati oleh para sahabatnya. Seluruh
perbuatan serta tutur katanya menjadi perhatian para sahabat. Segala
gerak-gerik beliau dijadikan contoh dan pedoman hidup bagi para sahabat. Karena
itu, mereka sangat memperhatikan perilaku serta apa yang telah disabdakan Nabi
SAW. Sebagai seorang nabi, tentu beliau memiliki teknik dan cara tersendiri
untuk mencontohkan perilaku serta menyampaikan hadits kepada para sahabatnya.
Menurut riwayat Imam Bukhari, Ibnu Mas’ud pernah berkata, “Untuk tidak
melahirkan rasa jenuh di kalangan sahabat, Nabi SAW menyampaikan hadits-haditsnya
dengan berbagai cara.”
Dalam
konteks historis, periwayatan hadits tidak seberuntung Al-Qur’an yang memang
sejak awal telah dilakukan kodifikasi dan pembukuan. Sementara kodifikasi hadits
dilakukan lebih belakangan jauh setelah wafatnya Nabi SAW. Dengan demikian
periwayatan hadits menjadi problematik dan banyak mengundang kritik dari para
orientalis yang cukup tajam dan bahkan memandang terhadap otentisitasnya. Untuk
itu, kajian dalam makalah ini ingin mengungkap dan menelusuri pengertian periwayatan
hadits, metode periwayatan hadits, dan syarat-syarat periwayatan hadits.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian periwayatan dan kesaksian?
2. Apa
saja syarat-syarat dalam meriwayatkan hadits?
3. Bagaimana
tata cara periwayatan hadits?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian periwayatan dan kesaksian
Periwayatan
secara etimologi
diambil dari kata Al-Riwayat dalam bahasa Arab yang merupakan bentuk masdar dari
kata kerja “rawa yarwi riwayatan” yang dapat berarti al-naql
(penukilan), Al-zikr (penyebutan), al-fatl (pintalan) dan al-istiqa
(pemberian minum sampai puas), atau dalam istilah ini terkait dengan kegiatan
menghimpun kitab-kitab hadis yang dikenal riwayat hadis. Dalam bahasa Indonesia periwayatan yang
diserap dari bahasa Arab mempunyai
arti cerita atau sejarah. Adapun orang yang
meriwayatkannya disebut dengan rawi, yang diriwayatkan disebut marwiy,
rangkaian para periwayatanya yaitu sanad dan substansi yang setelah
sanad dinamai matan.
Sedangkan
periwayatan
hadits adalah proses penerimaan (naql dan tahammul) hadits oleh
seorang rawi dari gurunya dan setelah dipahami, dihafalkan, dihayati, diamalkan
(dhabth), ditulis
dan disampaikan
kepada orang lain sebagai murid dengan menyebutkan sumber pemberitaan riwayat
tersebut.
Dalam proses
ini terjadi dua peristiwa, yaitu tahammul dan ada’. Tahammul
adalah cara penyampaian hadits dari seorang syaikh atau guru kepada muridnya.
Sedangkan ada’ adalah proses penerimaan hadits oleh seorang murid dari
syaikh atau gurunya. Dengan demikian, antara dua peristiwa di atas tidak bisa
dipisahkan karena keduanya saling berkaitan.
Sedangkan
pengertian syahadah atau kesaksian, secara etimologi mempunyai tiga arti, yaitu
menghadiri atau mendapati, mengkhabarkan dan mengetahui.
Secara terminologi kesaksian adalah
suatu khabar yang khusus, dimaksudkan untuk menjadi dasar putusan hakim.
Demikian kata Al-Mazari dalam syarah Al Burhan. Sedangkan menurut Ibnu Faris
kesaksian adalah mengkhabarkan yang disaksikan.[1]
Ulama umumnya berpendapat, persamaan periwayatan dan kesaksian terletak
pada empat hal, yaitu pelakunya haruslah beragama islam, berstatus mukalaf
(baligh dan berakal),
bersifat adil dan bersifat dlabit. Dan semua itu menjadi syarat yang harus dipenuhi bagi
periwayat hadis dan saksi. Oleh karena itu periwayat hadis pun bisa dikatakan
saksi atas berita yang diriwayatkannya, seperti yang dikenal dalam ilmu
sejarah, selama hal ini tidak disamakan persis dalam kesaksian perkara
dikarenakan terdapat persamaan dan perbedaan dalam hal ini.
B.
Syarat-syarat dalam periwayatan Hadits
Semua
ulama’ hadits, ushul dan fiqih mensyaratkan untuk orang yang dapat kita
berhujjah dengan riwayatnya memenuhi persyaratan-persyaratan, yakni sebagai
berikut:
1. Islam
Pada waktu meriwayatkan suatu
hadits, maka seorang perawi harus muslim, tidak dapat di terima riwayat orang
kafir, walaupun dia bukan orang yang berdusta. Allah menyuruh kita berhati-hati
menerima riwayat orang fasik, sebagaimana yang di terangkan dalam ayat 6 surat
Al Hujurat:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang
kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar
kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
2.
Sudah sampai umur (baligh)
Tidak dapat di terima riwayat anak-anak
yang belum sampai umur, mengingat hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad Abu Daud
dan Al Hakim dari Umar dan ‘Ali yaitu:
رُفِعَ القَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ
الْمَجْنُوْنِ المَغْلُوْبِ عَلَى عَقْلِهِ حَتَّى يَبْرَأُ وَعَنِ النَا ئِمِ حَتَّى
يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمُ (رواه ابوداود والنسإ)
Artinya:
“Diangkat kalam dari tiga orang: dari orang gila, yang di
gagahi akalnya sehingga dia sembuh, dari
orang tidur sehingga ia bangun dan dari anak-anak sampai dia mimpi (baligh).”
(HR. Abu Daud dan Nasa’i)
Sampai umur adalah dasar untuk
menetapkan seseorang itu mempunyai paham dengan pengertian.
Para ulama’tidak menerima riwayat
anak kecil adalah karena anak kecil belum menyadari akibat berdusta dan syara’
tidak membenarkan anak kecil menjadi wali terhadap dirinya sendiri dalam urusan
keduniaan.
3. Keadilan
Yaitu sifat yang tetap terhunjam
pada seseorang yang bersifat dengan keadilan itu berlaku taqwa dan memelihara
muru’ah, karenanya timbullah kepercayaan masyarakat kepadanya.
Disamping itu ia memelihara diri
dari dosa dosa besar dan sebagian dosa kecil, seperti mencuri sesuatu makanan
orang, serta keharusan menjauhi perbutan-perbuatan yang mubah yang merusakkan
muru’ah, seperti makan sambil berjalan, berkemih dijalan besar, menggauli
orang-orang yang rendah pekerti atau terlalu suka bergurau.
4. Kedlabitan
Dlabith adalah perhatian perawi
kepada yang didengar ketika dia menerimanya serta memahami apa yang didengarnya
itu, sehingga ia menyampaikannya kepada orang lain.
Dlabith terbagi menjadi 2:
-
Dlabith shadar adalah perawi yang
menghafalkan dengan baik
-
Dlabith kitab adalah perawi memelihara
kitabnya dengan baik dari kemasukan sisipan ataupun sebagainya.
C. Tata
cara periwayatan Hadits
Berbagai
keterangan sejarah telah menjelaskan bahwa menghafal merupakan cara utama dalam
menjaga sunah, baik pada periode nabi, sahabat, maupun tabi’in. Hafalan-hafalan
yang dilakukan oleh para periwayat hadits tentunya di dapatkan dari guru-guru
mereka, tetapi bagaimana cara-cara mereka mendapatkan hadits (طرق التّحمّل) dari gurunya tersebut.
Dalam ilmu
hadits ada istilah bentuk penyampaian (صيغة الأداء) yang digunakan untuk meriwayatkan
atau menyampaikan hadits. Bentuk penyampaian dan periwayatan hadits tersebut
berpengaruh pada tingkatan peiwayatan hadits nantinya.jika hadits di terima
dengan cara sama’ (mendengar), maka nilainya akan lebih tinggi
dibandingkan dengan penyampaian hadits dalam bentuk qira’ah (membaca),
dan seterusnya. Selain itu, bentuk penyampaian periwayatan juga akan
berpengaruh pada bentuk lafal penyampaian haditsnya. Misalnya, kata سَمِعْتُ “aku telah
mendengar” dan حَدَّثَنِي “telah bercerita kepadaku” adalah bentuk
bentuk lafal periwayatan hadits dari seorang periwayat yang mendengarkan hadits
secara langsung dari gurunya. Jadi, dalam periwayatan hadits ada beberapa lafal
atau kata yang digunakan untuk meriwayatkan hadits.[2]
Jalan
untuk meriwayatkan hadits ada delapan, yaitu as-sama’, al-qira’ah, al-munawalah,
al-kitabah, al-i’lam, al-washiyyah, dan al-wijadah.
Berikut ini masing-masing
penjelasannya:
1. As-Sama’ (السَّمَاعُ)
Maksud periwayatan hadits dengan
cara as-sama’ adalah seorang rawi menerima langsung periwayatan gurunya
dengan cara mendengarkan bacaan dari hafalan atau tulisan sang guru. Dalam
periwayatan bentuk as-sama’, biasanya seorang guru membacakan haditsnya,
sedangkan murid mendengarkan dengan seksama untuk kemudian menulis apa yang
telah ia dengar, atau hanya mendengar saja untuk kemudian menghafalnya.
Di dalam periwayatan yang berbentuk as-sama’,
disyaratkan antara guru dan murid terjadi pertemuan. Namun, pertemuan tersebut
tidak harus bertemu muka. Menurut pandangan jumhur ulama’, periwayatan hadits
dengan adanya tabir (penghalang) yang memisahkan antara sang guru dan murid
sudah dianggap sah dan tergolong periwayatn bentuk as-sama’. Syaratnya,
yang di dengar sang murid benar-benar suara gurunya.
Periwayatan hadits dari belakang
tabir pernah dicontohkan oleh Aisyah. Ketika meriwayatkan hadits, Aisyah berada
di belakang tabir,kemudian para sahabat berpedoman pada suara tersebut dalam
meriwayatkan hadits-hadits Aisyah.
Menurut jumhur ulama’, as-sama’
merupakan periwayatan yang paling tinggi dalam periwayatan hadits. Jika melihat
pada masa Nabi, cara as-sama’ adalah cara yang sering dilakukan. Para sahabat
mendengarkan dengan seksama apa yang dikatakan Nabi SAW, kemudian para sahabat
saling mencocokkan hadits yang telah didapat dari Nabi SAW tersebut.
Kata atau lafal yang digunakan dalam
penyampaian hadits dengan cara as-sama’ diantaranya adalah سَمِعْتُ‘ ‘aku telah mendengar’ dan حَدَّثَنِي ‘telah
menceritakan kepadaku’. Namun, jika yang meriwayatkan itu banyak, maka lafalnya
adalah سَمِعْنَا ‘kami telah mendengar’ dan حَدَّثَنَا ‘telah
menceritakan kepada kami. Kata-kata tersebut menunjukkan bahwa rawi
mendengarkan hadits dari sang guru secara bersama-sama.
2. Al-Qira’ah (القِرَاءَةُ)
Al-Qira’ah adalah periwayatan hadits
dengan cara seorang murid membacakan hadits kepada sang guru. Periwayatan
tersebut biasanya disebut dengan istilah Al-Aradl. Disebut Al-‘Aradl,
karena seorang rawi menyuguhkan bacaan haditsnya kepada sang guru, dan guru
mendengarkan bacaan tersebut. Bisa jadi bacaan tersebut berasal dari hafalan
atau buku perawi, dan sang guru mengikuti bacaan tersebut dengan hafalannya,
memegang kitabnya sendiri, atau memegang kitab orang lain yang tsiqqah. Para
ulama’ berbeda pendapat mengenai periwayatan hadits dengan cara al-qira’ah.
Ada sebagian ulama’ yang menilai periwayatan hadits dengan cara al-qira’ah
setingkat dengan periwayatan hadits dengan cara as-sama’. Tetapi,
pendapat yang lebih kuat mengatakan bahwa periwayatan hadits dengan cara al-qira’ah
tingkatannya lebih rendah dibandingkan dengan periwayatan hadits dengan cara as-sama’.
Ketika menyampaikan periwayatan
hadits dengan cara al-qira’ah, perawi biasanya menggunakan kalimat: قَرَأْتُ فُلاَنًا ‘aku telah membaca kepada si fulan’ atau قَرَأْتُ عَلَيْهِ ‘aku
telah membaca dihadapannya’ atau قُرِئَ عَلَى فُلاَنٍ وَاَنَا
أَسْمَعُ ‘dibacakan oleh seseorang dihadapannya
dan aku mendengarkannya’. Namun, yang umum dipakai menurut ahl hadits adalah
lafal أَخْبَرَنَا ‘telah mengabarkan kepada kami’.
3. Al-ijazah(الإِجَازَةُ)
Maksud periwayatan hadits dengan
cara al-ijazah adalah izin meriwayatkan sesuatu tertentu kepada orang
tertentu. Biasanya izin ini di berikan oleh seorang guru kepada muridnya untuk
meriwayatkan suatu hadits dalam bentuk ucapan atau tulisan. Lafal ijazah
yang digunakan oleh sang guru kepada muridnya adalah ”aku izinkan kepadamu
untuk meriwayatkan dariku demikian.”
Adapun macam-macam ijazah,yaitu:
Ø Ijazah
fi mu’ayyanin li mu’ayyanin, yaitu ijazah yang berarti pemberian izin untuk
meriwayatkan suatu hadits tertentu kepada orang tertentu. Misalnya, seorang
guru berkata, ”Aku ijazah-kan kepadamu Shahih Muslim.” Menurut
pandangan ulama’, derajat ijazah ini memiliki tingkatan paling tinggi
dibandingkan dengan ijazah lainnya.
Ø Ijazah
fi gairi mu’ayyanin li mu’ayyanin, yaitu ijazah yang berarti pemberian izin seorang guru
kepada seseorang dengan tanpa menentukan apa yang di-ijazah-kannya.
Misalnya, guru meng-ijazah-kan dengan lafal “Aku ijazah-kan
kepadamu untuk meriwayatkan semua riwayatku”.
Ø Ijazah
gairi mu’ayyanin bi gairi mu’ayyanin, yaitu ijazah yang berarti pemberian
izin seorang guru kepada siapa saja (tanpa ditentukan orangnya),dan tidak
ditentukan pula apa yang di-ijazah-kannya. Misalnya, meng-ijazah-kan
dengan lafal “Aku ijazah-kan semua riwayatku kepada semua orang pada
zamanku.”
Ø Syaih
meng-ijazah-kan sesuatu yang ia terima dengan jalan ijazah kepada orang
yang tertentu. Misalnya, ”Aku ijazahkan kepadamu apa-apa yang di-ijazahkan
kepadaku”.
Kata-kata yang dipakai dalam
menyampaikan riwayat lewat jalur ijazah adalah أَجَازَلِفُلاَنٍ ‘ia telah memberikan ijazah kepada si fulan’, حَدَّثَنَاإِجَازَةً ‘ia telah memberikan hadits dengan ijazah kepada kami’, أخْبَرَنَاإجَازَةً ‘telah mengabarkan kepada kami dengan cara ijazah’, atau أنْبَأنَاإجَازَةً ‘ia telah memberikan kepada kami dengan ijazah’
4. Al-Munawalah (المُنَاوَلَةُ)
Munawalah artinya:memberikan, menyerahkan.
Yakni: ”Guru memberikan kitabnya
kepada murid”,atau “ia menyuruh murid menyalin kitab itu”, atau “ia pinjamkan
kitabnya itu”, atau “seorang rawi menyerahkan satu kitab kepada gurunya;
sesudah guru memperhatikannya benar benar lalu ia kembalikannya kepada rawi
tadi”.
Al-Munawalah ada dua macam, yaitu:
a. Al-munawalah yang disertai dengan ijazah.
Misalnya, seorang guru memberikan kitabnya kepada sang murid, lalu mengatakan
kepadanya, “Riwayatkanlah kitab ini dari saya,” Kemudian kitab tersebut
dibiarkan untuk dimilikinya atau dipinjamkan agar disalin.
b. Al-munawalah yang tidak dibarengi dengan ijazah.
Misalnya, seorang guru memberikan kitabnya kepada sang murid dengan hanya
mengatakan, “Ini adalah riwayatku,” tanpa diikuti dengan perintah
meriwayatkannya.
Menurut Ibnu Salah dan An-Nawawi, periwayatan dengan cara
ini dianggap tidak sah. Para ahli hadits mencela orang-orang yang membolehkan
riwayat dengan al-munawalah tanpa dibarengi ijazah.
Dalam redaksi hadits yang diterima
dengan jalan al-munawalah terdapat kata-kata seperti: نَاوَلَنِيْ وَأجَازَنِي ‘ia telah memberikan munawalah dan ijazah kepadaku’,
حَدَّثَنَامُنَاوَلَةًوَإجَازَةً ‘ia telah menceritakan kepada kami dengan munawalah dan
ijazah’, atau أخْبَرَنَامُنَاوَلَةً ‘ia telah
mengabarkan kepada kami dengan munawalah’.
5. Al-Mukatabah (ألمُكَاتَبَةُ)
Periwayatan hadits dengan cara al-mukatabah
adalah model periwayatan hadits dengan cara seorang guru menulis sendiri atau
menyuruh orang lain menuliskan riwayatnya untuk diberikan kepada orang yang ada
dihadapannya ataupun yang tidak hadir.
Al-mukatabah ada dua macam:
a. Mukatabah
al-maqrunah bi al-ijazah, yakni mukatabah yang disertai dengan ijazah.
Misalnya, perkataan guru dengan lafal “Aku ijazahkan kepadamu apa yang aku
tulis untukmu”, atau yang semisal dengannya.
Riwayat dengan cara ini adalah sahih, karena kedudukannya
sama kuat dengan munawalah yang disertai ijazah.
b. Mukatabah
ghairu al-maqrunah bi al-ijazah, yakni mukatabah yang tidak disertai dengan ijazah.
Misalnya, seorang guru menulis sebagian hadits untuk muridnya dan tulisan itu
dikirimkan kepadanya, tetapi sang murid tidak diperbolehkan untuk
meriwayatkannya.
Kata-kata
yang sering digunakan dalam riwayat dengan mukatabah misalnya, كَتَبَ إلَيَّ فُلاَنٌ ‘seseorang telah menulis untukku’.
6. Al-I’lam (الإِعْلاَمُ)
Periwayatan
hadits dengan cara al-i’lam adalah pemberitahuan sang guru kepada
seorang muridnya bahwa hadits tertentu atau kitab tertentu adalah riwayatnya
sendiri dari si fulan (guru seseorang), namun tidak disertakan izin untuk
meriwayatkannya.
Para ulama’ berbeda pendapat tentang
hukum meriwayatkan hadits dengan cara ini. Sebagian ulama’ membolehkan dan
sebagian yang lain melarangnya. Sebagian ulama’ yang melarang beralasan bahwa
kemungkinan sang guru mengetahui dalam hadits tersebut ada kecacatan, karenanya
sang guru tidak member izin untuk meriwayatkannya.
Kata-kata yang digunakan untuk menyampaikan riwayat dengan
cara ini misalnya
أعْلَمَنِي
شَيْخِي ‘guruku telah member tahu kepadaku’.
7. Al-Washiyyah (الوَصِيَّةُ)
Washiyyah artinya: memesan atau
mewashiyati.
Periwayatan hadits dengan cara al-washiyyah
adalah model periwayatan hadits dengan cara seorang guru memberikan wasiat pada
saat mendekati ajalnya atau pada saat mau mengadakan perjalanan kepada seorang
rawi untuk meriwayatkan haditsnya, atau dengan memberikan sebuah kitab yang ia
miliki.
Biasanya
kata-kata yang digunakan dalam meriwayatkan hadits dengan cara wasiat adalah أوْصَى إلَيَّ فُلاَنٌ بِكِتَابٍ ‘si
fulan telah mewasiatkan kepadaku sebuah kitab’, atau حَدَّثَنِي فُلاَنٌ وَصيَّةً ‘si fulan telah bercerita kepadaku dengan sebuah wasiat’.
8.
Al-Wijadah (الوِجَادَةُ)
Wijadah artinya: mendapat.
Periwayatan hadits dengan cara
al-wijadah yaitu: seorang rawi mendapat hadits atau kitab dengan tulisan orang
yang meriwayatkannya, sedang hadits-hadits ini tidak pernah si rawi mendengar
atau menerima dari yang menulisnya.
Para ulama’ berbeda pendapat
mengenai hadits yang diriwayatkan lewat jalur wijadah. Kalangan ulama’ Malikiyyah
tidak memperbolehkan hadits diriwayatkan dengan cara wijadah, sedangkan
Imam Syafi’i memperbolehkannya.
Dalam menyampaikan hadits dengan
cara wijadah, biasanya rawi menggunakan kalimat ‘Aku mendapatkan buku
ini dari tulisan si fulan’, atau ‘Aku telah membaca tulisan si fulan’.
Ada yang berpandangan bahwa hadits
yang diriwayatkan dengan cara wijadah tergolong hadits munqati’, karena
rawi tidak menerima sendiri dari orang yang menulisnya.
BAB
III
KESIMPULAN
ü periwayatan
hadits adalah proses penerimaan (naql dan tahammul) hadits oleh
seorang rawi dari gurunya dan setelah dipahami, dihafalkan, dihayati, diamalkan
(dhabth), ditulis
dan disampaikan
kepada orang lain sebagai murid dengan menyebutkan sumber pemberitaan riwayat
tersebut.
ü Syarat-syarat
dalam periwayatan Hadits:
1.
Islam
2.
Sudah sampai umur (baligh)
3.
Keadilan
4.
Kedlabitan
ü Tata
cara periwayatan Hadits:
1. As-sama’
2. Al-qira’ah
3. Al-ijazah
4. Al-munawalah
5. Al-mukatabah
6. Al-I’lam
7. Al-washiyyah
8. Al-Wijadah
BAB
IV
PENUTUP
Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin. Demikianlah makalah yang dapat kami buat,
kami menyadari akan keterbatasan pengetahuan kami dalam pembuatan makalah ini.
Untuk itu, kami mengharap adanya kritik dan saran dari pembaca demi sempurnanya
makalah kami yang selanjutnya. Kami mohon maaf atas segala kekurangan makalah
yang kami buat ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Hassan,
A. Qadir. 2007. Ilmu Mushthalah Hadits. Diponegoro:Bandung
Khumaidi,
Irham. 2008. Ilmu Hadits untuk Pemula. Artha Rivera:Jakarta
Suparta
MA, Munzier. 2013. Ilmu Hadis. Raja Grafindo Persada:Jakarta
As-Shiddieqy,
TM. Hasbi. 1994. Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits II. PT. Bulan
Bintang:Jakarta
No comments:
Post a Comment