Disusun oleh :
1.
Vina Inayatul Maula (124211008)
2.
Fathin
Nabela (124211009)
BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menelisik
sejarah Jawa yang menjadi tempat untuk didatangi bangsa-bangsa lain, dan
kemudian menjadi tempat penyebaran dan tumbuh kembangnya agama-agama besar
dunia, maka membuktikan bahwa budaya dan peradaban Jawa ramah dan toleran
terhadap budaya dan peradaban lain.
Salah satu dari
sifat masyarakat Jawa adalah bahwa mereka religius dan bertuhan. Sebelum agama-agama
besar datang ke Indonesia, khususnya Jawa, mereka sudah mempunyai kepercayaan
adanya Tuhan yang melindungi dan mengayomi mereka. Dan keberagaman ini semakin
berkualitas dengan masuknya agama-agama besar seperti Hindu, Budha, Islam,
Katholik dan protestan ke Jawa. Namun dengan pengamatan selintas dapat
diketahui bahwa dalam keberagamaan rata-rata masyarakat Jawa adalah nominalis,
dalam arti bahwa mereka tidak bersungguh-sungguh dalam melaksanakan
ajaran-ajaran agamanya. Ada diantara mereka yang benar-benar serius dalam
melaksanakan ajaran-ajaran agamanya. Ada juga yang berusaha serius tetapi ada
hambatan-hambatan khusus, seperti ewuh dengan lingkungan yang tidak
mendukung, takut dikatakan sok semuci dan sebagainya, membuat mereka
kurang serius dalam mengekspresikan keagamaannya secara utuh.
Dengan ini
berakibat kepada beberapa hal, yang antara lain mudahnya mereka untuk tergiur
dalam mengadopsi kepercayaan, ritual dan tradisi dari agama lain, termasuk
tradisi asli pra Hindu Budha yang dianggap sesuai dengan alur pemikiran mereka.
Dengan demikian, secara sadar atau tidak, mereka telah melakukan sinkretisasi
antara ajaran Islam dengan ajaran-ajaran dari luar Islam (Budha, Hindu dan
kepercayaan asli).[1]
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian sinkretisme
2. Munculnya Islam sinkretik dalam
masyarakat Jawa
3. Contoh-contoh sinkretisme
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sinkretisme
Secara
etimologi, sinkretisme berasal dari perkataan syin dan kretiozein
atau kerannynai, yang berarti mencampurkan elemen-elemen yang saling
bertentangan. Adapun pengertiannya adalah suatu gerakan di bidang filsafat dan
teologi untuk menghadirkan sikap
kompromi pada hal-hal yang agak berbeda dan bertentangan. Simuh menambakan
bahwa sinkretisme dalam beragama adalah suatu sikap atau pandangan yang tidak
mempersoalkan benar salahnya suatu agama, yakni suatu sikap yang tidak
mempersoalkan murni atau tidaknya suatu agama. Bagi yang menganut paham ini
semua agama dipandang baik dan benar. Oleh karena itu, mereka berusaha
memadukan unsur-unsur yang baik dari berbagai agama, yang tentu saja berbeda
antara satu dengan lainnya, dan dijadikannya sebagai suatu aliran, sekte dan
bahkan agama.[2]
Di kalangan
masyarakat Jawa terdapat orang-orang muslim yang benar-benar berusaha menjadi
muslim yang baik, dengan menjalankan perintah agama dan menjauhi larangannya.
Disamping itu juga terdapat orang-orang yang mengakui bahwa diri mereka muslim,
tetapi dalam kesehariannya tampak bahwa ia kurang berusaha untuk menjalankan
syariat agamanya dan hidupnya sangat diwarnai oleh tradisi dan kepercayaan lokal.
Dalam
menerangkan keberagaman masyarakat muslim Jawa, Koentjaraningrat membagi mereka
menjadi dua, yaitu agama Islam Jawa dan agama Islam santri. Yang pertama,
kurang taat kepada syari’at dan bersikap sinkretis yang menyatukan unsure-unsur
pra Hindu, Hindu dan Islam. Sedangkan yang kedua lebih taat dalam menjalankan
ajaran-ajaran agama Islam dan bersifat puritan (orang yang hidup saleh dan
menganggap kemewahan dan kesenangan sebagai dosa). Namun demikian, meski tidak
sekental pengikut agama Islam Jawa dalam keanekaragamaan, para pemeluk Islam
santri juga masih terpengaruh oleh animisme, dinamisme dan Hindu Budha.[3]
B.
Munculnya Islam sinkretik dalam masyarakat Jawa
Membaca lahirnya sinkretisme Islam-Jawa ada
baiknya jika dihubungkan dengan masuknya Islam di Jawa. Ada tiga hal yang
sangat penting untuk diketahui berkaitan dengan latar belakang sejarah
sinkretisme Islam-Jawa. Pertama, pada waktu itu sejarah Islam tercatat
dalam periode kemunduran. Runtuhnya Dinasti Abbasiyah oleh serangan Mongol pada
1258 M., dan tersingkirnya Dinasti Al-Ahmar (Andalusia/Spanyol) oleh gabungan
tentara Aragon dan Castella pada 1492 M menjadi pertanda kemunduran politik
Islam. Begitu juga arus keilmuan dan pemikiran Islam saat itu terjadi stagnasi
(kemacetan).
Hal ini berpengaruh pada tipologi penyiaran
Islam yang elastis dan adaptif terhadap kekuatan unsur-unsur local, mengingat kekuatan
Islam baik secara politik maupun keilmuan sedang melemah. Bertepatan pada akhir
abad XV di mana terjadi Islamisasi secara besar-besaran di tanah Jawa, maka
metode dakwah Islam seperti pada umumnya waktu itu bercorak apresiatif dan
toleran terhadap budaya dan tradisi setempat.
Kedua, pandangan
hidup masyarakat Jawa sangat tepo seliro dan bersedia membuka diri serta
berinteraksi dengan orang lain. Menurut Marbangun Hardjowirogo, masyarakat Jawa
lebih menekankan sikap atau etika dalam berbaur dengan seluruh komponen bangsa
yang bermacam-macam suku dan bahasa, adat dan termasuk agama. Karena manusia
Jawa sadar bahwa tak mungkin orang Jawa dapat hidup sendiri. Pandangan demikian
senada dengan filsafat Tantularisme khas Jawa yang mengajarkan humanisme
dalam segala bidang dan menentang segala bentuk ekslusivisme (paham yang
mempunyai kecenderungan untuk memisahkan diri dengan masyarakat) dan
sektarianisme (semangat membela
suatu sekte atau mazhab, kepercayaan, atau pandangan agama yang berbeda dari
pandangan agama yang lebih lazim diterima oleh para penganut agama tersebut).
Ketiga, sebelum Islam
membumi di Jawa, yang membingkai corak kehidupan masyarakat adalah agama
Hindu-Budha serta kepercayaan animisme maupun dinamisme. Hindu, Budha, animisme
maupun dinamisme yang menjadi sistem kepercayaan atau agama tentunya (sesuai
agama-agama lain) telah mengajarkan konsep-konsep religiusitas yang mengatur
hubungan menusia dengan Tuhan yang diyakini sebagai pencipta alam.
Bahwasanya pada dasarnya semua system
kepercayaan maupun agama telah membangun nilai-nilai universal tentang tatanan
hubungan manusia dengan Tuhan maupun dengan sesamanya, merupakan esensi dan
substansi ajaran yang terserap dalam tradisi-tradisi lokal di tanah Jawa. Hal
ini secara langsung mempengaruhi pemikiran masyarakat Jawa terhadap nilai baru
yang bernama Islam. Untuk meneropong universalisme budaya dan agama Jawa
terhadap substansi ajaran agama lain, dapat kita lihat dengan mendekatkan
ajaran-ajaran tersebut, yakni Hindu, Budha, animisme dan dinamisme yang menjadi
prinsip keberagamaan masyarakat Jawa Pra-Islam.
Tiga hal inilah yang melatarbelakangi masuknya
Islam di tanah Jawa, terhitung cukup mudah dan bisa berinteraksi secara damai
dengan masyarakat. Tetapi di samping itu tidak terlepas pula peran besar
Walisongo yang menggunakan metode yang toleran dan akomodatif terhadap budaya
dan agama Jawa.
Pada masa awal sinkretisasi Islam-Jawa, agama
Islam lebih dulu kuat di pedesaan. Setelah itu, baru kemudian Islam masuk ke
ranah perpolitikan. Berdirinya Kerajaan Demak pada abad XVI sekaligus sebagai
kerajaan Islam pertama di Jawa adalah bukti usaha penyiaran Islam yang
dipelopori oleh Walisongo dengan membangun kekuatan politik. Dan secara
keseluruhan model-model etika menghormati kepercayaan yang sudah ada ditekankan
sekali, dan sinkretisme-lah metode yang paling tepat pada waktu itu untuk
menyebarkan Islam.[4]
C.
Contoh-contoh
sinkretisme
Untuk lebih
mengkongkritkan pengertian dan pemahaman tentang masalah sinkretisme, berikut
ini diuraikan beberapa contoh:
a. Penggabungan antara dua agama atau aliran atau
lebih
Menggabungkan dua agama atau lebih dimaksudkan untuk membentuk suatu aliran baru, yang biasanya merupakan sinkretisasi antara kepercayan (lokal Jawa) dengan ajaran agama Islam dan agama lainnya.
Sebagai contoh dari langkah ini adalah ajaran Ilmu Sejati yang diciptakan oleh Raden Sujono alias Prawirosudarso, yang berasal dari Madiun. Menurut pengakuannya, ajaran Ilmu Sejati diasaskan pada kesucian yang dihimpun dari ajaran Islam, Kristen, dan Budha. Dan apabila ajaran tersebut diteliti dengan seksama, akan terlihat bahwa pengakuannya tidak salah. Sebagai contoh, aliran ini mengajarkan sadat (syahadat) yang berbunyi sebagai berikut: “Ashadu Allah ananingsun, anane ambekan, anane rasul, anane johar. Wa ashadu anane urip, anane mukamad, anane nur, nur tegese padhang, johar tegese padhang, mukamad lan rasul iku tegese cahya, nur johar tegese padhang”.
Menggabungkan dua agama atau lebih dimaksudkan untuk membentuk suatu aliran baru, yang biasanya merupakan sinkretisasi antara kepercayan (lokal Jawa) dengan ajaran agama Islam dan agama lainnya.
Sebagai contoh dari langkah ini adalah ajaran Ilmu Sejati yang diciptakan oleh Raden Sujono alias Prawirosudarso, yang berasal dari Madiun. Menurut pengakuannya, ajaran Ilmu Sejati diasaskan pada kesucian yang dihimpun dari ajaran Islam, Kristen, dan Budha. Dan apabila ajaran tersebut diteliti dengan seksama, akan terlihat bahwa pengakuannya tidak salah. Sebagai contoh, aliran ini mengajarkan sadat (syahadat) yang berbunyi sebagai berikut: “Ashadu Allah ananingsun, anane ambekan, anane rasul, anane johar. Wa ashadu anane urip, anane mukamad, anane nur, nur tegese padhang, johar tegese padhang, mukamad lan rasul iku tegese cahya, nur johar tegese padhang”.
b.
Bidang ritual
Bagi masyarakat
tradisional, pergantian waktu dan perubahan fase kehidupan adalah saat-saat
genting yang perlu dicermati dan diwaspadai. Untuk itu mereka mengadakan crisis
rites dan rites de passage, yaitu upacara peralihan yang berupa
slametan, makan bersama (kenduri), prosesi dengan benda-benda keramat dan
sebagaimya. Begitu pula sebelum Islam datang, di kalangan masyarakat Jawa sudah
terdapat ritual-ritual keagamaan. Hal ini diwujudkan dalam bentuk slametan yang
berkait dengan siklus kehidupan, seperti kelahiran, kematian, membangun dan
pindah rumah, menanam dan memanen padi, serta penghormatan terhadap roh para
leluhur dan roh halus. Ketika Islam datang ritual-ritual ini tetap dilanjutkan,
hanya isinya diubah dengan unsur-unsur dari ajaran Islam. Maka terjadilah
islamisasi Jawaisme (keyakinan dan budaya Jawa).
1.
Upacara
Midodareni
Upacara
Midodareni misalnya, adalah suatu ritual yang dilangsungkan pada malam hari
menjelang hari perkawinan. Ritual ini dimaksudkan sebagai usaha keluarga
pengantin untuk mendekati para bidadari dan roh halus supaya melindungi kedua
calon pengantin dari marabahaya yang menganggu jalannya perkawinan dan
hari-hari sesudahnya. Dikalangan muslim yang taat dalam beragama, ritual ini
diisi dengan pembacaan barzanji, kalimat toyyibah, dan tahlil. Tapi dikalangan
masyarakat yang kurang taat dalam beragama, acara ini digunakan sebagai alasan
untuk mengadakan lek-lekan dan keplek sampai pagi.
2.
Upacara
brokohan dan sepasaran
Dalam Islam,
ketika seorang bayi lahir, ayah ibunya disyariatkan untuk melaksanakan aqiqah,
dengan menyembelih seekor kambing kalau yang dilahirkan perempuan, dan dua ekor
kambing kalau yang dilahirkan laki-laki. Namun kenyataan menunjukkan masyarakat
muslim Jawa tidak melaksanakan perintah ini. Sebagai gantinya mereka mengadakan
upacara brokohan (diadakan setelah bayi lahir ke dunia ni dengan selamat) dan
sepasaran (ketika bayi berusia lima hari), dengan harapan dan doa, agar anak
yang dilahirkan tersebut akan menjadi orang linuwih di kemudian hari.
c.
Dalam doa dan
mantera
Salah satu jasa
Sunan Makhdum Ibrahim, yang dikenal sebagai Sunan Bonang, dalam menyebarkan
Islam di Jawa adalah mengganti nama-nama dewa-dewa yang terdapat dalam
mantera-mantera dan doa dengan nama nabi, malaikat, dan tokoh-tokoh terkenal di
dalam Islam. Dengan cara ini diharapkan masyarakat berpaling dari memuja
dewa-dewa dengan menggantinya dengan tokoh-tokoh yang berasal dari dunia Islam.
Berikut ini adalah dua contoh mantera dan doa.
1.
Mantera atau
doa untuk mendapatkan keperkasaan jasmani:
Bismillahirrohmanirrohim
“jabarail sumurup maring Fatimah.fatimah
sumurup maring badandu.kapracaya dening Allah ta’ala.cikantik macan putih dudu
macan putih.mangko iki macan putih saking Allah.ia ilaha illa’llah Muhammad
Rosulu’llah”.
Doa ini dibaca setelah mandi 14 kali dalam
semalam dan memakan 80 biji botor(biji kecipir).
2.
Mantera atau
doa untuk dapat menghilang.
Bismillhirrohmanirrohim.
“Cur mncur cahyaning Allah,sungsum balung
rasaning pangeran,getting daging rasaning pangeran,otot lamat-lamat rsaning pangeran.kulit
wulu rasaning pangeran,iya ingsun mancuring allah jatining manungsa,ules pulih
Muhammad lungguhku, allah,nek putih rasaning nyawa,badan allah sangkalebet
putih iya ingsun nagara sampurna. .
d.
Menggabungkan
agama dengan budaya local
Yang dimaksud
dalam konteks ini adalah melaksanakan syari’at Islam dengan kemasan budaya
Jawa. Berbakti kepada orang tua adalah wajib. Dalam melaksanakan syari’at ini
masyarakat Jawa biasanya menggunakan media sungkem. Begitu pula dalam
rangka memperingati Idul Fitri, masyarakat menyiapkan hidangan kupat dan
lontong. Secara keratabasa, ‘kupat’ dapat diartikan ngaku lepat. Sedangkan
lontong dapat diartikan olone kothong.[5]
D.
Reaksi terhadap
Usaha Sinkretisasi
Dalam mengahadapi sinkretisasi ajaran-ajaran
Islam dengan tradisi Jawa pra-Islam, paling tidak telah muncul tiga pendapat.
Di kalangan masyarakat Jawa terdapat orang-orang muslim taat, yang kalu ditanya
tentang landasan dalam mengamalkan ajaran-ajaran Islam, mereka menjawab
landasanya adalah al-Quran dan as-Sunnah. Namun meskipun mereka mempunyai
landasan yang sama, implementasi gagasan ini di lapangan berbeda antara satu
kelompok dengan kelompok yang lainnya. Kelompok pertama, yang berusaha
untuk mengamalkan ajaran-ajaran Islam dengan baik dan bersikap hati-hati dalam
menyikapi tradisi dan budaya lokal, terutama yang dianggapnya berbau takhayul,
khurafat, dan syirik. Bagi yang menerima pendapat ini, al-Quran dan as-Sunnah
sudah mengatur peri kehidupan serta semua tata cara ritual dan kepercayaan
untuk semua pemeluk agama Islam. Oleh karena itu bagi mereka, ritual-ritual dan
kepercayaan-kepercayaan yang tidak diajarkan di dalam al-Qur’an dan Sunnah
Rasul tidak perlu, dan bahkan haram dikerjakan. Kelompok kedua, kelompok
moderat. Orang-orang yang berada dalam kelompok ini beranggapan bahwa dalam
berdakwah, seorang dai atau mubaligh harus menggunakan al-hikam (cara-cara yang
bijak). Oleh karena itu, dalam menghadapi masyarakat Jawa yang sudah mbalung
sum-sum dengan tradisi dan adat istiadat lama tidak boleh digunakan
cara-cara radikal yang justru dapat menjauhkan para mubaligh dari obyek dakwah.
Kelompok ketiga, mereka yang dapat menerima sinkretisme secara
keseluruhan.[6]
BAB III
KESIMPULAN
Secara etimologi, sinkretisme berasal dari perkataan syin
dan kretiozein atau kerannynai,yang berarti mencampurkan elemen-elemen
yang saling bertentangan. Adapun pengertiannya adalah suatu gerakan di bidang
filsafat dan teologi untuk menghadirkan
sikap kompromi pada hal-hal yang agak berbeda dan bertentangan.
Munculnya Islam sinkretik dalam masyarakat Jawa: Pertama, pada waktu
itu sejarah Islam tercatat dalam periode kemunduran. Kedua, pandangan
hidup masyarakat Jawa sangat tepo seliro dan bersedia membuka diri serta
berinteraksi dengan orang lain. Ketiga, sebelum Islam membumi di Jawa,
yang membingkai corak kehidupan masyarakat adalah agama Hindu-Budha serta
kepercayaan animisme maupun dinamisme.
BAB
IV
PENUTUP
Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin. Demikianlah makalah yang dapat kami
buat, kami menyadari akan keterbatasan pengetahuan kami dalam pembuatan makalah
ini. Untuk itu, kami mengharap adanya kritik dan saran dari pembaca demi
sempurnanya makalah kami yang selanjutnya. Kami mohon maaf atas segala
kekurangan makalah yang kami buat ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Amin,
MA, Drs. H. M. Darori. Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta:Gama Media, 2000