Disusun Oleh :
1. Azka Lailatu Sa’adah (124211001)
2. Ahmad Miftah Farid (124211017)
3. Bahrul Labib (124211031)
I.
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Menurut Abdul Wahab Khallaf, kata adillah syar’iyyah (sumber hukum
Islam), bersinonim dengan istilah adillah al-ahkam, ushul al-ahkam,
al-mashadir al-tasyri’iyyah lil-al-ahkam.[1]
Para ulama’ membagi dalil hukum syara’ menjadi dua, 1) dalil yang
disepakati (muttafaq), dan 2) dalil yang tidak disepakati (mukhtalaf).
Dalil yang disepakati dibagi menjadi 4, Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan Qiyas.
Mareka juga menyepakati bahwa keempatnya harus digunakan secara berurutan dan
tidak melompat-lompat. Jika terjadi suatu peristiwa, maka dilihat lebih dulu
hukumnya dalam al-Qur’an, jika tidak ditemukan dilihat hukumnya di dalam
hadits, jika di dalam hadits belum juga ditemukan atau kurang jelas, maka
mencari hukumnya dalam ijma’, jika belum ditemukan juga di dalam ijma’,
maka berijtihad untuk mendapatkan hukumnya dengan menggunakan qiyas[2].
Allah SWT berfirman:
يا أيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر
منكم فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر
ذلك خير وأحسن تأويلا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS.
An-Nisa/4:59)
Selanjutnya dalil yang tidak disepakati (mukhtalaf), menurut
Wahbah Zuhaeli dibagi menjadi tujuh, yaitu istihsan, maslahah mursalah
(istislah), istishab, urf, mazhab sahabi, syar’u man qoblana, dan saddu
al-zariah[3]. Tetapi, menurut Abdul
Wahab Khallaf hanya ada enam, dengan menghilangkan saddu al-zariah, maka
menurutnya keseluruhan adillah syar’iyyah berjumlah 10 macam[4].
Sebagai dalil muttafaq, al-Qur’an menempati urutan yang utama
karena merupakan kalam Allah yang diturunkan oleh-Nya melalui perantaraan
malaikat Jibril ke dalam hati Rasulullah Muhammad bin Abdullah dengan lafazh
yang berbahasa Arab dan makna-maknanya yang benar, untuk menjadi hujjah bagi
Rasul atas pengakuannya sebagai Rasulullah, menjadi undang-undang bagi manusia
yang mengikuti petunjuknya, dan menjadi qurbah di mana mereka beribadah
dengan membacanya[5].
Dan pada makalah ini, penulis akan memaparkan makna al-Qur’an, bagaimana kehujjahannya,
dalalah al-Qur’an, serta isi kandungan dan hukum-hukum yang dimuat di dalamnya.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apakah pengertian al-Qur’an itu?
2.
Apa bukti kehujjahan al-Qur’an?
3.
Apa saja kandungan isi al-Qur’an?
4.
Apa saja
dalalah dari ayat-ayat al-Qur’an itu?
5.
Apa saja hukum-hukum yang ada di dalam al-Qur’an?
II.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian al-Qur’an
Lafadz al-Qur’an dalam bahasa Arab diambil dari kata Qara’a (قرأ)
seperti lafadz Al-ghufran yang diambil dari kata ghafara (غفر).
Dikatakan qira’a, yaqra’u, qira’atan
dan qur’anan ( قرأ- يقرؤ- قرأة-)[6].
Diantaranya adalah firman Allah SWT:
Dan dalam Kamus Ilmu Ushul Fikih, dikatakan bahwa lafadz al-Qur’an
merupakan bentuk mashdar dari qara’a (قرأ) yang sepadan dengan kata fu’lan.
Ada dua pengertian al-Qur’an dalam bahasa Arab, yairu qur’an (قرآن)
berarti bacaan, dan apa yang tertulis padanya, maqru (مقرؤ),
isim fa’il (subjek)dari qara’a (al-Qiyamah (75) ayat 17-18)[7].
Secara terminologi, ada beberapa definisi dari pengertian al-Qur’an,
antara lain:
1.
Menurut ahli Ushul, al-Qur’an adalah kalamullah yang
diturunkan kepada Muhammad saw. yang ditulis dalam mushaf yang berbahasa Arab,
telah dinukilkan (dipindahkan) kepada kita dengan jalan mutawatir, dimulai
dengan Surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan Surah An-Nas, yang
kita beribadah dengan membacanya.
2.
Ali Ash-Shabuni, membatasi pengertian al-Qur’an
sebagai berikut:
“al-Qur’an
adalah kalam Allah yang mengandung mukjizat yang diturunkan kepada Nabi atau
Rasul-Nya yang penghabisan dengan perantaraan Malaikat Jibril yang ditulis pada
mushaf-mushaf, dinukilkan kepada kita secara mutawatir, membacanya
adalah ibadah, dimulai dengan Surah al-Fatihah dan diakhiri dengan Surah
an-Nas[8].
3.
Menurut Abdul Wahab Khallaf, al-Qur’an ialah kalam
Allah yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril
dengan lafadz berbahasa Arab dangan makna yang benar sebagai hujjah bagi Rasul,
sebagai pedoman hidup, dianggap ibadah membacanya dan urutannya dimulai dari
surat al-Fatihah dan diakhiri oleh surat an-Nas serta dijamin
keasliannya[9].
Dari beberapa pengertian
al-Qur’an di atas, secara umum al-Qur’an adalah wahyu atau firman Allah swt
yang diturunkan kepada Rasulullah saw melalui perantaraan malaikat Jibril
dengan menggunakan bahasa Arab, untuk pedoman bagi umat manusia, merupakan
mukjizat Nabi Muhammad saw yang terbesar, dinukilkan kepada kita secara
mutawatir dan dinilai ibadah bagi yang membacanya.
B.
Bukti Kehujjahan al-Qur’an
Abdul Wahhab Khallaf mengemukakan tentang kehujjahan al-Qur’an sebagai
berikut: “Bukti bahwa al-Qur’an menjadi hujjah atas manusia yang hukum-hukumnya
merupakan aturan-aturan yang wajib bagi manusia untuk mengikutinya, ialah
karena al-Qur’an datang dari Allah swt. dan dibawa kepada manusia dengan jalan
yang pasti yang tidak diragukan kebenarannya. Sedang bukti bahwa al-Qur’an itu
datang dari Allah swt adalah bahwa al-Qur’an membuat orang-orang tidak mampu
membuat atau mendatangkan sesuatu seperti al-Qur’an (kemukjizatan al-Qur’an).[10]”
Bukti dari kemukjizatan al-Qur’an tidak dilihat dari segi lafadznya saja,
tetapi juga makna dan isinya. Di dalamnya berisi rahasia-rahasia alam yang
hingga kini masih banyak yang belum terungkap. Ayat-ayat di dalamnya merupakan
kalam Allah yang indah yang tak dapat ditandingi oleh siapapun (lihat QS (2):23, (28):49-50 ).
I’jaz, maksudnya menetapkan ketidakmampuan orang lain, tidak akan
terealisir kecuali apabila tiga hal terpenuhi:
a.
Adanya tantangan, maksudnya permintaan untuk beradu,
saling menjatuhkan, dan berlawanan.
b.
Adanya motivasi yang mendorong kepada penantang
untuk mengajukan tantangan dan perlawanan.
c.
Tidak ada penghalang yang menghalanginya dari
perlawanan ini[11].
Al-Qur’an telah lengkap dalam melakukan tantangan, dan terdapat pula
motivasi bagi orang yang menantangnya untuk melawan, dan tidak suatu penghalang
bagi mereka. Kendati demikian, mereka tidak sanggup melawannya dan juga
mendatangkan yang semisal al-Qur’an[12].
Aspek kemukjizatan al-Qur’an yang dapat dicapai oleh akal, antara lain:
a.
Keharmonisan struktur redaksinya, maknanya,
hukum-hukumnya, dan teori-teorinya (Q.S, an-Nisa’: 82).
b.
Persesuaian ayat al-Qur’an dengan teori ilmiah yang
dikemukakan ilmu pengetahuan (Q.S, Fushshilat: 52-53).
c.
Pemberitahuan al-Qur’an terhadap berbagai peristiwa
yang hanya diketahui oleh Allah Yang Maha Mengetahui terhadap hal-hal yang gaib
(Q.S, Hud : 49).
d.
Kefasihan lafadz al-Qur’an, kepetahan redaksinya,
dan kuatnya pengaruhnya[13].
C.
Isi Kandungan al-Qur’an
Berdasarkan terjemahan Departemen Agama RI, al-Qur’an terdiri dari 30
juz, 114 surat, 6.326 ayat, dan 324.345 huruf.
Kandungan pokok dalam al-Qur’an antara lain sebagai berikut:
Ø
Masalah tauhid, termasuk di dalamnya segala
kepercayaan terhadap yang ghaib. Manusia diajak kepada kepercayaan yang benar,
yaitu mentauhidkan Allah swt.
Ø
Ibadat, yaitu kegiatan-kegiatan dan perbuatan yang
mewujudkan dan menghidupkan iman di dalam hati dan jiwa.
Ø
Janji dan ancaman (al-wa’du wal wa’id), yaitu
janji dengan balasan yang baik/pahala bagi mereka yang berbuat baik, dan
ancaman, yaitu siksa bagi mereka yang berbuat kejelekan. Janji dan ancaman di
akhirat berupa surga dan neraka.
Ø
Riwayat, yaitu sejarah orang-orang terdahulu, baik
itu sejarah bangsa-bangsa, tokoh-tokoh, maupun nabi-nabi utusan Allah swt.
Ø
Akhlak, yaitu perilaku yang harus dijadikan
perhiasan oleh setiap mukallaf dengan menjalankan hal-hal yang utama dan
menghindarkan diri dari hal-hal yang menghinakan.
Ø
Muamalah, yaitu hukum-hukum yang termasuk di
dalamnya hukum badan pribadi, perdata, pidana,, hukum acara, hukum tata Negara,
hukum internasional, hukum ekonomi, dan keuangan.
Berdasarkan
turunnya, ayat al-Qur’an terbagi menjadi dua, yaitu;
·
Makiyyah, yaitu ayat-ayat yang diturunkan pada masa sebelum
Rasul hijrah ke Madinah. Ayat makiyyah ini mempunyai cirri-ciri yang menonjol,
yaitu; 1) kandungannya berbicara tentang masalah keimanan (akidah), dalam
rangka meluruskan keyakinan umat pada masa Jahiliyah dan menanamkan ajaran
tauhid. Karena tanpa mengajarkan tauhid terlebih dahulu syariat Islam akan
sulit untuk diterima. Misalnya dalam Q.S al-Anbiya’ ayat 25;
وما
أرسلنا من قبلك من رسول إلا نوحي إليه أنه لا إله إلا أنا فاعبدون
Artinya:
“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan
kepadanya: Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah
olehmu sekalian akan Aku.” 2) Berbicara tentang kisah-kisah umat terdahulu
sebagai pelajaran bagi umat Nabi Muhammad SAW.
·
Madaniyah, yaitu ayat-ayat yang diturunkan pada masa setelah
hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Ayat-ayat Madaniyah mempunyai ciri
yaitu berupa masalah hukum dengan
berbagai aspeknya. Contohnya sebagai berikut:
o
Perintah membayar zakat (Q.S. al-Baqarah : 43)
وأقيموا
الصلاة وآتوا الزكاة واركعوا مع الراكعين
Artinya:
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang
yang rukuk.”
o
Perintah puasa (Q.S. al-Baqarah: 183)
يا أيها الذين آمنوا
كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
o
Perintah haji (Q.S. al-Baqarah: 196)
وأتموا
الحج والعمرة لله…
Artinya:
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah…”
o
Larangan memakan harta orang lain dengan bathil (QS.
al-Baqarah: 188):
ولا
تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل وتدلوا بها إلى الحكام لتأكلوا فريقا من أموال الناس
بالإثم وأنتم تعلمون
Artinya:
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. ”
o
Talak (QS. at-Talak: 1)
يا
أيها النبي إذا طلقتم النساء فطلقوهن لعدتهن وأحصوا العدة واتقوا الله ربكم لا
تخرجوهن من بيوتهن ولا يخرجن إلا أن يأتين بفاحشة مبينة وتلك حدود الله ومن يتعد
حدود الله فقد ظلم نفسه لا تدري لعل الله يحدث بعد ذلك أمرا
Artinya:
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu
ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan
hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah
kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar
kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum
Allah, dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia
telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali
Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.”
o
Tentang warisan (QS. an-Nisa’: 11-12)
o
Cara pembagian harta rampasan perang[14]
(QS. al-Anfal: 1):
يسألونك
عن الأنفال قل الأنفال لله والرسول فاتقوا الله وأصلحوا ذات بينكم وأطيعوا الله
ورسوله إن كنتم مؤمنين
Artinya:
“Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang.
Katakanlah: harta rampasan perang kepunyaan Allah dan Rasul, oleh sebab itu
bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu; dan
taatlah kepada Allah dan rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman.”
D.
Dalalah Ayat al-Qur’an
Dalil dalam bahasa Arab ad-dalil (الدليل) jamaknya al-adillah (الأدلة),
dan secara terminologi berarti:
“petunjuk
kepada sesuatu baik yang bersifat material maupun non material (maknawi).”
Adapun pengertian dalil secara
terminologi menurut ushul fiqh:
“Sesuatu
yang dapat (mungkin) kita sampai dengan mempergunakan yang benar kepada sesuatu
hasil yang bersifat khabar (hukum).”
Wahbah az-Zuhaili, dalam Ushul
al-Fiqh al-Islami, memberikan batasan dengan:
“Suatu
petunjuk yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum
syara’ yang bersifat praktis, baik yang statusnya qath’I (pasti) maupun zhanni
(relatif).[15]”
Nash-nash al-Qur’an seluruhnya
bersifat qath’i dari segi kehadirannya dan ketetapannya, dan periwayatannya
dari Rasulullah saw. kepada kita[16].
Artinya, semua ayat al-Qur’an yang kita baca adalah pada hakikatnya nash yang
diturunkan oleh Allah swt. kepada Rasulullah saw., karena apabila surat atau
ayat turun, maka Rasulullah saw. membacakan kemudian ditulis oleh para sahabat
yang ditugaskan untuk menuliskannya, dan dihafal serta dibaca ketika shalat.
Adapun nash-nash al-Qur’an itu dari
segi dalalahnya terhadap hukum-hukum yang dikandungnya, maka ia terbagi menjadi
dua bagian:
a.
Nash yang qath’i dalalahnya terhadap hukumnya,
b.
Nash yang zhanni dalalahnya terhadap hukumnya.
Nash yang qath’i dalalahnya ialah nash yang menunjukkan kepada makna yang
pemahaman makna itu dari nash tersebut telah tertentu dan tidak mengandung
takwil serta tidak ada peluang untuk memahami makna lainnya dari nash itu.
Misalnya firman Allah swt.:
ولكم
نصف ما ترك أزواجكم إن لم يكن لهن ولد…
Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh istri-istri kamu jika mereka tidak mempunyai anak.” (Q.S
an-Nisaa: 12)
Ayat ini menjelaskan bahwa bagian suami dalam kondisi seperti ini adalah
seperdua (qath’i).
Sedangkan nash yang zhanni dalalahnya adalah nash yang menunjukkan atas
suatu makna, akan tetapi masih memungkinkan untuk ditakwilkan atau dipalingkan
dari makna ini dan makna lainnya dimaksudkan darinya. Seperti firman Allah
swt.:
والمطلقات
يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء
…
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu)
selama tiga kali quru’…” (QS. al-Baqarah: 228)
Kata quru’ dalam bahasa Arab disebut lafadz musytaraq yaitu
satu kata yang memiliki dua makna atau lebih. Maka kata quru’ bermakna
suci dan haid[17].
E.
Macam-macam Hukum al-Qur’an
Hukum yang dikandung oleh al-Qur’an itu ada tiga macam, yaitu[18];
Pertama: hukum-hukum I’tiqadiyah, yang berkaitan dengan hal-hal
yang harus dipercaya oleh setiap mukallaf, yaitu mempercayai Allah,
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, dan hari akhir.
Kedua: hukum moralitas, yang berhubungan dengan sesuatu yang harus
dijadikan perhiasan oleh setiap mukallaf, berupa hal-hal keutamaan dan
menghindarkan diri dari hal yang hina.
Ketiga: hukum amaliyyah yang bersangkut paut dengan sesuatu yang
timbul dari mukallaf, baik berupa perbuatan, perkataan, perjanjian hukum, dan
pembelanjaan. Macam yang ketiga ini adalah fiqh al-Qur’an. Dan inilah yang
dimaksud dengan sampai kepadanya dengan ilmu ushul fiqh.
Hukum-hukum amaliyyah di dalam al-Qur’an terdiri dari dua macam,
yaitu;
§
Hukum-hukum ibadah, seperti shalat, puasa, zakat,
haji, nadzar, sumpah, dan ibadah-ibadah lainnya yang dimaksudkan untuk mengatur
hubungan manusia dengan Tuhannya (habluminallah).
§
Hukum muamalat, seperti akad, pembelanjaan, hukuman,
pidana, dan lainnya yang bukan ibadah dan dimaksudkan untuk mengatur hubungan
antar sesama mukallaf, baik sebagai individu, bangsa, atau kelompok (habluminannas).
Menurut istilah modern,
hukum muamalat telah dibagi menurut sesuatu yang berkaitan dengannya dan maksud
yang dikehendakinya menjadi beberapa macam;
1.
Hukum keluarga, yaitu hukum yang berhubungan dengan
keluarga, mulai dari pembentukannya, dan ia dimaksudkan untuk mengatur hubungan
antara suami istri dan kerabat satu sama lain.
2.
Hukum perdata, yaitu hukum yang bertalian dengan
perhubungan hukum antara individu-individu dan pertukaran mereka, baik berupa
jual-beli, penggadaian, jaminan, persekutuan, utang piutang, dan memenuhi janji
dengan disiplin. Hukum ini dimaksudkan untuk mengatur hubungan harta kekayaan
individu dan memelihara hak masing-masing yang berhak.
3.
Hukum pidana, yaitu hukum yang berkenaan dengan
tindak criminal yang timbul dari seorang mukallaf dan hukuman yang dijatuhkan
atas pelakunya. Hukum ini dimaksudkan untuk memelihara kehidupan manusia, harta
mereka, kehormatan mereka, dan hak-hak mereka, serta menentukan hubungan antara
pelakunya, korban tindak kriminal, dan umat.
4.
Hukum acara, yaitu hukum yang berkaitan dengan
pengadilan, kesaksian, dan sumpah. Hukum ini dimaksudkan untuk mengatur
usaha-usaha untuk mewujudkan keadilan di antara manusia.
5.
Hukum perundang-undangan, yaitu hukum yang
berhubungan dengan pengaturan pemerintahan dan pokok-pokoknya. Hukum ini
dimaksudkan untuk menentukan hubungan penguasa dan rakyat, dan menetapkan
hak-hak individu dan masyarakat.
6.
Hukum tata Negara, yaitu hukum yang bersangkutan
dengan hubungan antara Negara Islam dengan negara lainnya, hubungan dengan
orang-orang non-Islam yang berada di Negara Islam. Hukum ini dimaksudkan untuk
menentukan hubungan Negara Islam dengan Negara non-Islam, baik dalam keadaan
damai maupun dalam suasana peperangan, serta menentukan hubungan antara umat
Islam dengan non-Islam di berbagai Negara Islam.
7.
Hukum ekonomi dan keuangan, yaitu hukum yang
berhubungan dengan orang miskin, baik yang meminta-minta maupun yang tidak,
berkenaan dengan harta orang kaya, dan pengaturan berbagai sumber dan
perbankan. Hukum ini dimaksudkan untuk mengatur hubungan kekayaan antara
orang-orang dan orang-orang kafir, dan antar Negara dan rakyat.
Menurut Muhammad Khuderi
Bek dalam bukunya “Tarikh Tasyri’ al-Islami”, ada tiga prinsip yang
melandasi hukum dalam al-Qur’an[19];
a.
Tidak memberatkan (عدم التدرج)
Prinsip ini mengandung arti bahwa hukum al-Qur’an itu bersifat
memudahkan. Pelaksanaannya disesuaikan dengan tingkat kemampuan manusia.
Sehingga hukum itu tidak menjadi beban. Prinsip ini didasari oleh banyak ayat
al-Qur’an, diantaranya dalam surat al-Baqarah ayat 185:
…يريد
الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر ….
Artinya: “… Allah menghendaki kemudahan darimu dan tidak menghendaki
kesulitan…”
Contoh prinsip yang pertama ini antara lain hukum kebolehan berbuka puasa
bagi orang yang sedang dalam perjalanan, dan hukum boleh melaksanakan shalat
sesuai kemampuan.
b.
Menyedikitkan beban
Prinsip ini mengandung arti bahwa dalam melakukan perintah Allah swt. itu
harus memperhatikan objek yang diperintahkan dengan tidak melakukan penambahan
dan pengurangan, seperti dalam firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 102:
Artinya: “janganlah
kamu bertanya tentang sesuatu yang jika dia diterangkan kepadamu akan
menyusahkan kamu.”
Contoh dari prinsip kedua ini adalah kewajiban haji hanya satu kali
seumur hidup bagi yang mampu.
c.
Berangsur-angsur
Salah
satu keutamaan hukum Islam adalah cara penetapannya yang tidak sekaligus,
tetapi secara berangsur-angsur dan bertahap, sehingga tidak memberatkan dan
lebih memberikan kelonggaran. Karena al-Qur’an sangat memperhatikan proses
perubahan sosial budaya yang berkembang di masyarakat. Contohnya dalam tahapan
pengharaman khamr[20].
III.
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1.
Al-Qur’an secara terminologi adalah mashdar yang
bermakna qiro’ah (bacaan dan apa yang ditulis di dalamnya). Sedangkan makna
al-Qur’an secara etimologi berarti kalam Allah swt. yang diturunkan kepada nabi
Muhammad saw. dalam bahasa Arab yang dinukilkan kepada kita dengan jalan yang
mutawattir, jika membacanya dihukumi ibadah, dan diawali dengan Surat
Al-Fatihah dan diakhiri Surat an-Naas.
2.
Bukti kehujjahan Al-Qur’an adalah, al-Qur’an
diturunkan dari Allah swt., disampaikan kepada manusia dengan jalan yang pasti
dan tidak terdapat keraguan tentang kebenarannya tanpa ada campur tangan
manusia dalam penyusunannya. Hal ini mengandung arti bahwa al-Qur’an merupakan
mukjizat yang membuat manusia tidak mampu untuk mendatangkan yang semisalnya.
3.
al-Qur’an terdiri dari 30 juz, 114 surat, 6.326
ayat, dan 324.345 huruf. Kandungan isi dalam al-Qur’an yang utama yaitu;
a.
Tauhid, adalah tentang kepercayaan yang benar, yaitu
pentauhidan terhadap keesaan Allah swt.
b.
Ibadat, berisi amalan-amalan yang memperkokoh
keimanan seseorang.
c.
Janji dan ancaman, yaitu janji dengan pahala/balasan
terhadap amalan yang baik yang dilakukan oleh seorang mukallaf, dan ancaman
yang berupa peringatan bagi seseorang yang berbuat maksiat, berupa balasan
dengan siksa/adzab.
d.
Riwayat, yaitu kisah-kisah umat terdahulu yang
berisi hikmah.
e.
Akhlaq, adalah perilaku yang harus dijadikan
perhiasan oleh seorang mukallaf.
f.
Muamalah, hukum-hukum yang termasuk di dalamnya
hukum perdata, pidana, dan sebagainya.
Berdasarkan turunnya, kandungan isi al-Qur’an dibagi
menjadi dua, yaitu;
a.
Makiyyah, yaitu ayat-ayat atau surat-surat dalam
al-Qur’an yang turun selama periode sebelum hijrahnya Nabi ke Madinnah. Berisi tentang ketauhidan kepada pengesaan
Allah swt.
b.
Madaniyyah, yaitu ayat-ayat atau surat-surat dalam
al-Qur’an yang turun selama periode setelah hijrahnya Nabi ke Madinnah. Berisi
tentang hukum-hukum yang berlaku sampai saat ini.
4.
Nash-nash al-Qur’an seluruhnya bersifat qath’i dari
segi kehadirannya dan ketetapannya, dan periwayatannya dari Rasulullah saw.
kepada kita[21]. Nash-nash al-Qur’an dari
segi dalalahnya dibagi menjadi dua;
a.
Nash-nash yang qath’I dalalahnya, yaitu jika suatu
ayat dalam al-Qur’an yang maknanya qath’I (pasti) dan tidak memerlukan
penjelasan dari sumber lain (missal: as-Sunnah).
b.
Nash-nash yang zhanni dalalahnya, adalah jika suatu
ayat dalam al-Qur’an itu lafadznya pasti, tapi masih memerlukan penjelasan,
karena merupakan kalimat yang masih memungkinkan untuk ditakwil.
5.
Hukum-hukum dalam al-Qur’an di antaranya;
1.
Hukum-hukm I’tiqadiyyah, yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan keimanan seseorang.
2.
Akhlaq dan moral, yaitu sesuatu yang harus dijadikan
perhiasan mukallaf dan menghindari hal-hal yang hina.
3.
Hukum-hukum amaliyyah, yaitu hukum-hukum yang
bersangkutan dengan sesuatu yang timbul dari mukallaf (fiqh al-Qur’an)
Tiga prinsip yang melandasi hukum al-Qur’an;
a.
Tidak memberatkan: hukum-hukum dalam al-Qur’an
bersifat memudahkan, pelaksanaannya disesuaikan dengan kemampuan seseorang.
b.
Menyedikitkan beban: dalam al-Qur’an, hukum-hukumnya
memperhatikan objek dan tidak melakukan penambahan dan pengurangan.
c.
Berangsur-angsur: cara penetapan hukum-hukum dalam
Islam tidak sekaligus, tapi berangsur-angsur dan bertahap.
B.
PENUTUP
Demikian makalah
ini kami susun, penulis menyadari dalam makalah ini masih banyak kesan
kekurangan dan jauh dari kesan sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang kontruktif sangat kami
harapkan demi kesempurnaan makalh kami selanjutnya. Semoga makalah ini bisa
bermanfaat bagi siapa saja yang membaca dan membahasnya.
DAFTAR PUSTAKA
Mutholib Al Jabali Abdul, Al-Fiqhu wa
Ushuluhu, Maktab Idarah as-Syu’un ad-Diniyyah, Jawa Tengah 2011
Prof. Wahhab Khallaf Abdul (terj. Drs. H.
Moh. Zuhri, Dipl. TAFL, dkk), Ilmu Ushul Fiqh, Dina Utama, Semarang 1994
Drs. Shidiq Sapiudin, M.A., Ushul Fiqh,
Kencana Predana Media Group, Jakarta 2011
Drs.
Jumantoro Totok, M.A., Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag., Kamus Ilmu Ushul Fikih,
Penerbit Amzah, Jakarta 2009
Drs.
Umar Muin, Dkk., Ushul Fiqh I, Departemen Agama RI, Jakarta 1986
[1] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh,
Mesir: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, tt., hlm. 20.
[2] Ibid, hlm. 21.
[3] Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami,
Damaskus: Daar al-Fikr, 1986, Cet. ke-1, Juz: 1, hlm. 417.
[4] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh,
Mesir: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, tt., hlm. 22.
[5] Abdul wahhab Khallaf, terj., Ilmu Ushul Fiqh,
Semarang: Dina Utama Semarang, 1994,
hlm. 18.
[6] Ibid, hlm. 18
[7] Drs. Totok Jumantoro, M.A., Drs. Samsul Munir
Amin, M.Ag., Kamus Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Penerbit Amzah 2009, hlm.
6
[8] Ibid, hlm. 7
[9] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh,
Mesir: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, tt., hlm. 23
[10] Drs. Muin Umar, Dkk., Ushul Fiqh I,
Jakarta: Departemen Agama RI, 1986, hlm. 70
[11] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh,
Semarang: Dina Utama Semarang, 1994, hlm. 21
[12] Ibid, hlm.21
[13] Ibid, hlm. 26-33
[14] Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh,
Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2009, Cet. ke-3, hlm. 84-92
[15] Drs. Totok Jumantoro, M.A., Drs. Samsul Munir
Amin, M.Ag., Kamus Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Penerbit Amzah 2009, hlm.
54-55
[16] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh,
Semarang: Dina Utama Semarang, 1994, hlm. 36
[17] Ibid, hlm. 37-39
[18] Ibid, hlm. 34-36
[19] Drs. Sapiudin Shidiq, M.A, Ushul
Fiqh, Jakarta: Kencana Predana Media Group, cet. ke-1 2011, hlm. 49-52
[20] Lihat Q.S. al-Baqarah: 219, Q.S. an-Nisaa: 43,
Q.S. al-Maidah: 90
[21] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh,
Semarang: Dina Utama Semarang, 1994, hlm. 36