Compiled by: ANDIKA MAULANA
PENDAHULUAN
Disamping
empat dalil syara’ yang disepakati (muttafaq ‘alaiha) dikalangan jumhur
ulama’ yaitu : Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, terdapat dalil-dalil lain yang penggunaannya
sebagai dalil tidak disepakati oleh seluruh ulama’ ushul fiqh (mukhtalaf
fiha) yaitu : Istihsan, Mashalih Mursalah, ‘Urf dan yang lainnya(1).
Pada
makalah ini kami akan membahas salah satu dari dalil yang tidak disepakati oleh
jumhur ulama’ yaitu Istihsan. Sering terdapat kata Istihsan dalam pembicaraan
ulama’ hanafi dan mereka sering menjadikannya sebagai lawan qiyas seraya
berkata : Qiyas bisa menimbulkan keharaman dan istihsan bisa menimbulkan ibahah
(pembolehan). Maka mereka menjadikannya dalil syar’i yang menentang dalil yang
menyamainya dan mengadakan tarjih atasnya. Para penentang mereka telah
menyangkal penamaan lafadz ini, karena mereka menganggapnya sebagai tasyri’
tanpa dalil. Dari sebab ini imam syafi’i berkata : “Barang siapa melakukan
istihsan berarti ia telah membentuk hukum.”(2)
Istihsan
adalah sumber hukum yang banyak dipakai dalam terminologi dan istinbath hukum
oleh dua Imam Madzhab, yaitu Imam Malik dan Imam Abu Hanifah. Bahkan Imam Malik
menilai, pemakaian Istihsan merambah 90% dari seluruh ilmu (fiqh), sementara
itu, murid-murid Abu Hanifah, seperti diceritakan Imam Muhammad bin Hasan,
tidak sejalan dengan gurunya. Istihsan dipandang tidak jelas kriterianya.
Apabila Abu Hanifah berkata : “Pakailah Istihsan”, maka tak seorangpun
murid-muridnya yang menuruti perintahnya. Pada dasarnya Imam Abu Hanifah masih
tetap menggunakan dalil qiyas, selama masih dipandang tepat. Namun jika pemakaian
dalil itu pada situasi tertentu dinilai kurang pas, maka ia beralih kepada
dalil Istihsan. Lalu, apa sesungguhnya yang dimaksud dengan Istihsan yang
banyak dipakai oleh dua Imam Madzhab itu?(3)
_________________
1.
Dr.
H. Abd. Rahman Dahlan, M.A. USHUL FIQH. Jakarta : AMZAH. 2011. hlm. 196.
2.
Syaikh
Muhammad al-Khudari Biek. Ushul al-Fiqh. Terj. Faiz El Muttaqien. Jakarta :
Pustaka Amani. 2007. hlm. 732.
3.
Prof.
Muhammad Abu Zahrah. USHUL FIQH. Terj. Saefullah Ma’shum, Slamet Basyir, Mujib
Rahmat, Hamid Ahmad, Hamdan Rasyid, Ali Zawawi. Jakarta. PT Pustaka Firdaus.
1995. hlm. 401.
POKOK PEMBAHASAN
1. Pengertian
Istihsan secara Etimologi dan Istilah.
2. Klasifikasi
Istihsan
a.
Istihsan Qiyasi
b.
Istihsan Istitsna’i, meliputi :
1.
Istihsan bi an-Nash
2.
Istihsan bi al-Ijma’
3.
Istihsan bi al-‘Urf
4.
Istihsan bi al-Dharurah
5.
Istihsan bi al-Maslahah Mursalah
6.
Istihsan dengan kaidah Raf’ al-Harj wa al-Masyaqqah
3. Pro kontra di
sekitar kehujjahan Istihsan.
PEMBAHASAN
1. Pengertian Istihsan
Dari segi
etimologi, Istihsan berarti menilai sesuatu sebagai baik. Sedangkan menurut
istilah ushul fiqh, terdapat beberapa definisi yang dikemukakan ulama, antara
lain(4) :
a.
Menurut al-Bazdawi :
العدول عن موجب قياس الى قياس اقوى منه او هو تخصيص قياس بدليل اقوى
منه
Beralih dari konsekuensi suatu qiyas
kepada model qiyas lain yang lebih kuat dari qiyas yang pertama.
b.
Menurut al-Karakhi, sebagaimana dikutip oleh al-Bukhari :
ان يعدل الإنسان عن ان يحكم فى المسألة بمثل ما حكم به فى نظائرها الى
خلافه لوجه اقوى يقتضى العدول عن الأول
Seorang mujtahid beralih dari hukum
suatu masalah yang sama hukumnya berdasarkan metode qiyas, kepada hukum lain
yang berbeda, karena ada faktor yang lebih kuat yang menuntut adanya pengalihan
tersebut dari hukum yang pertama.
c.
Menurut Imam malik :
العمل بأقوى الدليلين , او الأخذ بمصلحة جزئية فى مقابلة دليل كلي
Menetapkan yang
terkuat diantara dua dalil, atau menggunakan prinsip kemaslahatan yang bersifat
parsial dalam posisi yang bertentangan dengan dalil yang bersifat umum.
d.
Menurut Wahbah az-Zuhaili merumuskan dua definisi yaitu :
ترجيح قياس خفي على قياس جلي بناء على دليل
Lebih mengunggulkan qiyas khofi
daripada qiyas jali berdasarkan alasan tertentu.
إستثناء مسألة جزئية من اصل كلي او قضية عامة بناء على دليل خاص يقتضي
ذلك
Mengecualikan hukum kasus tertentu
dari prinsip hukum atau premis yg bersifat umum, berdasarkan alasan tertentu
yang menuntut berlakunya pengecualian tersebut.
___________________
4.
Dr.
H. Abd. Rahman Dahlan, M.A. USHUL FIQH. Jakarta : AMZAH. 2011. hlm. 197-198.
2.
Klasifikasi Istihsan
Dari definisi
–definisi diatas, secara sederhana dapat dikatakan, pada hakikatnya Istihsan
terdiri dari macam yaitu : Istihsan qiyasi dan Istihsan Istitsna’i. Dibawah ini
diuraikan lebih jauh gambaran keduanya sebagai berikut :
a.
Istihsan Qiyasi
Istihsan qiyasi
ialah suatu bentuk pengalihan hukum dari ketentuan hukum yang didasarkan pada
qiyas jali kepada ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas khafi, karena
adanya alasan yang kuat untuk mengalihkan ketentuan hukum tersebut. Alasan kuat
yang dimaksudkan disini adalah kemaslahatan. Istihsan dalam bentuk pertama
inilah yang disebut Istihsan qiyasi. Contoh dibawah ini akan lebih mendekatkan
pemahaman kita kepada pengertian Istihsan qiyasi.
Berdasarkan
Istihsan qiyasi, yang dilandasi oleh qiyas khafi, air sisa minuman burung buas,
adalah suci dan halal diminum. Seperti sisa minuman burung gagak atau burung
elang. Padahal, berdasarkan qiyas jali, sisa minuman binatang buas, seperti
anjing dan burung buas adalah najis dan haram diminum, karena sisa minuman
tersebut telah bercampur dengan air liurnya, yaitu dengan meng-qiyaskan kepada
dagingnya.
Sebagaimana
diketahui, binatang buas itu minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk
kedalam tempat minumnya. Akan tetapi, paruh burung buas berbeda dengan mulut
binatang buas yang tidak langsung bertemu dengan dagingnya. Mulut binatang buas
terdiri atas danging haram dimakan, sedang paruh burung buas merupakan tulang
atau zat tanduk. Sedangkan tulang atau zat tanduk tidak najis. Ketika burung
buas minum, daging dan air liurnya tidak secara langsung bertemu dengan air,
karena dipisahkan oleh paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk itu. Oleh
karena itu, air sisa minum burung buas tidak najis dan halal diminum.
Pembedaan hukum
antara air sisa minuman burung buas dengan air sisa minuman binatang buas ini
ditetapkan berdasarkan Istihsan qiyasi, yaitu mengalihkan ketentuan hukum dari
hukum yang berdasarkan qiyas jali (najis dan haram), kepada hukum yang
berdasarkan qiyas khafi (suci dan halal), karena adanya alasan yang kuat untuk
itu, yaitu kemaslahatan(5).
b.
Istihsan Istitsna’i
Istihsan
istitsna’i ialah qiyas dalam bentuk pengecualian dari ketentuan hukum yang
berdasarkan prinsip-prinsip umum, kepada ketentuan hukum tertentu yang bersifat
khusus. Istihsan bentuk yang kedua ini disebut Istihsan istitsna’i. Istihsan
bentuk yang kedua ini dapat dibagi kepada beberapa macam sebagai berikut :
1.
Istihsan bi an-Nashs
Istihsan bi
an-Nashs ialah pengalihan hukum dari ketentuan yang umum kepada ketentuan lain
dalam bentuk pengecualian, karena ada nash yang mengecualikannya, baik nash
tersebut Al-Qur’an maupun As-Sunnah.
______________________
5.
Ibid.
Hlm. 198-200.
Contoh Istihsan
istitsna’i berdasarkan nash Al-Qur’an ialah, berlakunya ketentuan wasiat
seseorang wafat, padahal menurut ketentuan umum, ketika orang telah wafat, ia
tidak berhak lagi atas hartanya, karena telah beralih kepada ahli warisnya.
Nyatanya, ketentuan umum tersebut dikecualikan oleh Al-Qur’an, antara lain
surah an-Nisa’ (4) : 12 :
"Sesudah
dipenuhi wasiat yang diwasiatkannya atau sesudah dibayar hutangnya".
Contoh Istihsan
istitsna’i yang berdasarkan sunnah ialah, tidak batalnya puasa orang yang makan
atau minum karena lupa, padahal menurut ketentuan umum, makan dan minum
membatalkan puasa. Nyatanya ketentuan umum tersebut dikecualikan berdasarkan
hadits :
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :
من نسي وهو صائم فأكل أو شرب فليتم صومه فإنما أطعمه الله و سقاه
Dari Abu
Hurairah RA, katanya, Rasulullah SAW bersabda : “ Barang siapa yang lupa sedang
ia berpuasa, kemudian ia makan atau minum, maka hendklah ia menyempurnakan
puasanya, karena sesungguhnya Allah sedang memberi makan dan minum kepadanya(6).
2.
Istihsan bi al-Ijma’
Istihsan bi
al-Ijma’ ialah penglihan hukum dari ketentuan umum kepada ketentuan lain dalam
bentuk pengecualian, karena ada ketentuan Ijma’ yang mengecualikannya. Sebagai
contoh, boleh melakukan transaksi istitsna’ (seseorang bertransaksi dengan
pengrajin untuk dibuatkan barang dengan harga tertentu), padahal menurut
ketentuan umum jual beli, dilarang melakukan transaksi terhadap barang yang
belum ada. Rasulullah SAW bersabda :
لا تبع ما ليس عندك
Jangan jual
belikan sesuatu yang belum ada padamu.
Berdasarkan
hadits diatas, seharusnya transaksi tersebut batal, karena ketika transaksi
berlangsung, objek transaksinya belum ada. Akan tetapi, transaksi istitsna’
tersebut boleh dilakukan, karena sejak dahulu praktik tersebut terus
berlangsung, tanpa ada larangan dari seorang ulama pun. Sikap ulama tersebut
dipandang sebagai Ijma’, demi memelihara kebutuhan masyarakat, dan
menghindarkan kesulitan yang akan timbul jika transaksi tersebut dilarang(7).
3.
Istihsan bi al-‘Urf
Istihsan bi
al-‘Urfi ialah, pengecualian hukum dari prinsip syariah yang umum, berdasarkan
kebiasaan yang berlaku.
_____________________
6.
Ibid. Hlm. 200.
7.
Ibid. Hlm. 201.
Contoh Istihsan
bi al-‘urf ialah menurut ketentuan umum, menetapkan ongkos kendaraan umum
dengan harga tertentu secara pukul rata, tanpa membedakan jauh atau dekatnya
jarak tempuh, adalah terlarang. Sebab transaksi upah mengupah harus berdasarkan
kejelasan pada objek upah yang dibayar. Akan tetapi, melalui Istihsan,
transaksi tersebut dibolehkan berdasarkan kebiasaan yang berlaku, demi menjaga
jangan timbul kesulitan masyarakat, dan terpeliharanya kebutuhan mereka
terhadap transaksi tersebut(8).
4.
Istihsan bi ad-Dharurah
Istihsan bi
al-dharurah ialah, suatu keadaan darurat yang mendorong mujtahid untuk
mengecualikan ketentuan qiyas yang berlaku umum kepada ketentuan lain yang
memenuhi kebutuhan mengatasi keadaan darurat. Sebagai contoh, menghukumkan
sucinya air sumur atau kolam air yang kejatuhan najis dengan cara menguras
airnya. Menurut ketentuan umum, tidak mungkin mensucikan air sumur atau kolam
halnya dengan mengurasnya. Sebab, ketika air sedang dikuras, mata air akan
terus mengeluarkan air yang kemudian akan bercampur dengan air yang bernajis.
Demikian juga dengan alat pengurasnya (timba atau mesin pompa air) ketika bekerja,
air yang bernajis akan mengotori alat tersebut, sehingga air akan tetap
bernajis. Akan tetapi, demi kebutuhan menghadapi keadaan darurat, berdasarkan
Istihsan, air sumur atau kolam dipandang suci setelah dikuras(9).
5.
Istihsan bi al-Maslahah
Adapun meninggalkan
dalil umum dengan dasar al-Maslahah, dicontohkan dengan kasus beban
penjaminan/pertanggungan buruh yang berkongsi. Berdasarkan kaedah al-ashl,
buruh yang berkongsi merupakan orang yang terpercaya; dan orang yang demikian
tidak perlu dibebani penjaminan/pertanggungan kecuali jika telah tampak jelas
kelakuan khianatnya. Akan tetapi, berdasarkan dalil Istihsan, Imam Malik
berpandangan bahwa buruh yang berkongsi tersebut tetap dibebani
penjaminan/pertanggungan dan beliau meninggalkan kaidah al-ashl diatas pada
masa hidup beliau, dikalangan buruh nyaris lenyap rasa tanggung jawab dan marak
kelakuan khianat; dan inilah sisi al-maslahah dimaksud. Jadi, al-maslahah ini
dijadikan dasar dari pengecualiankaidah al-ashl(10).
6.
Istihsan dengan kaidah Raf’ al-Harj wa al-Masyaqqah
Kaidah Raf’
al-Harj wa al-Masyaqqah (menghilangkan kesulitan/kesukaran) merupakan kaidah yang
bersifat qoth’iy. Contohnya, kasus pemakaian kamar mandi umum tanpa ketentuan
jumlah harga sewa, lama masa pemakaian, dan jumlah air yang digunakan. Menurut
kaidah umum atau al-ashl, kasus demikian dilarang sebab mengandung garar.
Berdasarkan Istihsan, kasus demikian dibolehkan dengan dasar pertimbangan Raf’
al-Harj wa al-Masyaqqah (menghilangkan kesulitan/kesukaran) karena pemakaian
kamar mandi umum seperti demikian sudah menjadi kebutuhan masyarakat yang tidak
bisa dihindari (li al-hajah)(11).
______________________
8. Ibid. hlm. 202.
9. Ibid. Hlm.
202.
10. Dr. Asmawi,
M.Ag. Perbandingan Ushul Fiqh. Jakarta : AMZAH. 2011. hlm. 112.
11. Ibid. Hlm. 113
3. Pro Kontra di Sekitar Kehujjahan Istihsan
Pendapat Ulama’ terbagi dalam dua kelompok tentang kehujjahan
Istihsan. Pertama kelompok yang berpendapat bahwa Istihsan merupakan dalil
syara’. Mereka ini adalah madzhab Hanafi, Maliki, dan Madzhab Imam Ahmad bin
Hanbal. Sedangkan kelompok kedua yang menolak penggunaan Istihsan sebagai dalil
syara’ adalah asy-Syafi’i, Zahiriyyah, Mu’tazilah, dan Syi’ah. Mereka
berpendapat bahwa menggunakan Istihsan sebenarnya dikendalikan oleh hawa nafsu
untuk bersenang-senang, dengan cara menggunakan nalar murni untuk menentang hukum
yang ditetapkan dali syara’. Diantara mereka adalah Imam Syafi’i. Bahkan
diinformasikan bahwa dalam menolak kehujjahannya sebagai dalil syara’, Imam
asy-Syafi’i berkata : “ Barang siapa yang menggunakan Istihsan berarti ia telah
menetapkan hukum syara’ sendiri”.(12)
Para ulama yang menggunakan Istihsan sebagai dalil syara’
mengemukakan banyak argumen, diantaranya adalah sebagai berikut :
a.
Menggunkan Istihsan berarti mencari yang mudah dan meninggalkan
yang sulit, sesuai dengan firman Allah SWT pada surah al-Baqarah (2): 185:
"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu".
b.
Firman Allah SWT pada surah az-Zumar (39): 55 :
"Dan ikutilah Sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak
menyadarinya",
c.
Firman Allah SWT pada surah az-Zumar (39): 18:
"Yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya, mereka Itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan
mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal".
____________________
12. Dr.
H. Abd. Rahman Dahlan, M.A. USHUL FIQH. Jakarta : AMZAH. 2011. hlm. 203.
Menurut ulama’ Malikiyyah dan Hanafiyyah, surah az-Zumar (39): 18;
memuji orang-orang yang mengikuti pendapat yang paling baik; sedangkan az-Zumar
(39): 55; memerintahkan untuk mengikuti yang paling baik dari apa yang
diturunkan Allah(13).
d.
Ucapan Abdullah bin Mas’ud RA :
فما
رأّه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
Sesuatu yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka ia dipandang
baik oleh Allah SWT(14).
Sementara itu, kelompok ulama yang menolak kehujjahan Istihsan
mengemukakan dalil, antara lain, sebagai berikut :
a.
Surah al-Ma’idah (5): 3:
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama
bagimu".
b.
Surah al-Qiyamah (75): 36 :
"Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa
pertanggung jawaban)?"
c.
Surah an-Nahl (16): 89 :
"Dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan
segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang
yang berserah diri".
___________________
13. Dr.
Asmawi, M.Ag. Perbandingan Ushul Fiqh. Jakarta : AMZAH. 2011. hlm. 119.
14. Dr.
H. Abd. Rahman Dahlan, M.A. USHUL FIQH. Jakarta : AMZAH. 2011. hlm. 204.
d.
Surah al-An’am (6): 38:
"Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab."
e.
Surah an-Nahl (16): 44 :
'keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan
kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka[829] dan supaya mereka memikirkan,'
f.
Surah al-Ahzab (33): 2 :
"Dan ikutilah apa yang diwahyukan Tuhan kepadamu."
g.
Surah al-Ma’idah (5): 49 :
"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa
yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka"
h.
Surah Shad (38): 26 :
"Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di
muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil"
i.
Hadits
ما
تركت شيئا مما امركم الله به الا وقد امرتكم به ولا شيئا مما نهاكم عنه الا وقد
نهيتكم عنه
Aku tidak membiarkan sesuatu yang Allah perintahkan kepadamu
kecuali aku juga sungguh-sungguh memerintahkannya kepadamu; demikian juga aku
tidak membiarkan sesuatu pun yang Allah larang terhadapmu untuk mengerjakannya
kecuali aku pun melarangnya juga terhadapmu. (HR. Al-Syafi’i)(15)
j.
Rasulullah SAW tidak pernah menetapkan hukum berdasarkan Istihsan
yang dasarnya adalah nalar murni, melainkan menunggu turunnya wahyu. Sebab
beliau tidak pernah berbicara berdasarkan hawa nafsu belaka.
k.
Istihsan itu landasannya adalah akal, dimana kedudukan orang yang
terpelajar dan tidak adalah sama. Jika menggunakan Istihsan dibenarkan, tentu
setiap orang boleh menetapkan hukum baru untuk kepentingan dirinya.
Dari argumen yang digunakan kedua kelompok ulama diatas, dapat dikatakan,
pada hakikatnya perbedaan kedua kelompok tersebut tidak menyentuh hal-hal yang
mendasar. Dengan kata lain, pada kenyataannya, perbedaan pendapat diantara
mereka hanya dari segi penggunaan istilah (al-khulf lafzi). Sebab, kritik yang
dikemukakan oleh ulama’ yang menolak kehujjahan Istihsan adalah Istihsan yang
semata-mata didasarkan kepada pertimbangan akal murni, tanpa didasarkan kepada
dali syara’. Padahal, sebagaimana terlihat pada uraian Istihsan sebelumnya,
semua bentuk Istihsan menggunakan sandaran, baik dalam bentuk nash Al-Qur’an
atau Sunnah, atau Ijma’, atau Mashlahah Mursalah yang juga sejalan dengan
prinsip-prinsip syara’.
Pada hakikatnya, Istihsan, dengan segala bentuknya, adalah
mengalihkan ketentuan hukum syara’ dari yang berdasarkan suatu dalil syara’
kepada hukum lain yang didasarkan kepada dalil syara’ yang lebih kuat. Karena
prinsip ini yang menjadi substansi Istihsan, maka pada hakikatnya, tidak ada
seorang ulamapun yang menolak keberadaan Istihsan sebagai dalil syara’.(16)
___________________
15. Dr.
Asmawi, M.Ag. Perbandingan Ushul Fiqh. Jakarta : AMZAH. 2011. Hlm. 120-122.
16. Dr.
H. Abd. Rahman Dahlan, M.A. USHUL FIQH. Jakarta : AMZAH. 2011. hlm. 205-206.
KESIMPULAN
Dari
uraian diatas dapat diambil kesimpulan :
1. Istihsan,
secara etimologis mengandung arti “menganggap sesuatu itu baik.” Secara terminologis, Ulama berbeda pendapat
dalam mendefinisikannya, namun dapat disimpukan bahwa Istihsan ialah
berpalingnya sang mujtahid dari tuntunan qiyas jaly kepada tuntunan qiyas khafy
berlandaskan dasar pikiran tertentu yang rasional atau berpalingnya sang
mujtahid dari tuntutan hukum kully kepada tuntutan hukum juz’iy berlandaskan
dasar pikiran tertentu yang rasional.
2. Dari definisi
–definisi diatas, secara sederhana dapat dikatakan, pada hakikatnya Istihsan
terdiri dari macam yaitu : Istihsan qiyasi dan Istihsan Istitsna’i.
a.
Istihsan qiyasi ialah suatu bentuk pengalihan hukum dari ketentuan
hukum yang didasarkan pada qiyas jali kepada ketentuan hukum yang didasarkan
kepada qiyas khafi, karena adanya alasan yang kuat untuk mengalihkan ketentuan
hukum tersebut. Alasan kuat yang dimaksudkan disini adalah kemaslahatan.
Istihsan dalam bentuk pertama inilah yang disebut Istihsan qiyasi.
b.
Istihsan istitsna’i ialah qiyas dalam bentuk pengecualian dari
ketentuan hukum yang berdasarkan prinsip-prinsip umum, kepada ketentuan hukum
tertentu yang bersifat khusus. Istihsan bentuk yang kedua ini disebut Istihsan
istitsna’i. Istihsan bentuk yang kedua ini dapat dibagi kepada beberapa macam
sebagai berikut :
1.
Istihsan bi an-Nash
2.
Istihsan bi al-Ijma’
3.
Istihsan bi al-‘Urf
4.
Istihsan bi al-Dharurah
5.
Istihsan bi al-Maslahah Mursalah
6.
Istihsan dengan kaidah Raf’ al-Harj wa al-Masyaqqah
3. Pendapat Ulama’
terbagi dalam dua kelompok tentang kehujjahan Istihsan. Pertama kelompok yang
berpendapat bahwa Istihsan merupakan dalil syara’. Mereka ini adalah madzhab
Hanafi, Maliki, dan Madzhab Imam Ahmad bin Hanbal. Sedangkan kelompok kedua
yang menolak penggunaan Istihsan sebagai dalil syara’ adalah asy-Syafi’i,
Zahiriyyah, Mu’tazilah, dan Syi’ah. Mereka berpendapat bahwa menggunakan
Istihsan sebenarnya dikendalikan oleh hawa nafsu untuk bersenang-senang, dengan
cara menggunakan nalar murni untuk menentang hukum yang ditetapkan dali syara’.
Diantara mereka adalah Imam Syafi’i. Bahkan diinformasikan bahwa dalam menolak
kehujjahannya sebagai dalil syara’, Imam asy-Syafi’i berkata : “ Barang siapa
yang menggunakan Istihsan berarti ia telah menetapkan hukum syara’ sendiri”.
DAFTAR PUSTAKA
1. Rahman Dahlan,
Abd. 2011. USHUL FIQH. Jakarta : AMZAH.
2. Asmawi. 2011.
Perbandingan Ushul Fiqh. Jakarta : AMZAH.
3. Al-Khudhari
Biek, Muhammad. 2007. Ushul al-Fiqh. Terj. Faiz El Muttaqien. Jakarta : Pustaka
Amani.
4. Abu Zahrah,
Muhammad. 1995. USHUL FIQH. Terj. Saefullah Ma’shum, Slamet Basyir, Mujib
Rahmat, Hamid Ahmad, Hamdan Rasyid, Ali Zawawi. Jakarta : PT Pustaka Firdaus.
No comments:
Post a Comment