Sumber Gambar Disini
Compiled by: ANDIKA MAULANA
A.
Biografi
Muhammad Mustafa Azami
Muhammad Mustafa Azami lahir di kota Mano, India
Utara, tahun 1932. Ayahnya pencinta ilmu dan membenci penjajahan, serta tidak
suka bahasa Inggris. Watak ini mempengaruhi perjalanan studi Azami, di mana
ketika masih duduk di SLTA beliau disuruh pindah oleh ayahnya ke Sekolah Islam
yang menggunakan bahasa Arab. Dari sinilah Azami mulai belajar Hadits. Tamat
dari Sekolah Islam, Azami lalu melanjutkan studinya di College of Science di
Deoband, sebuah perguruan terbesar di India yang juga mengajarkan studi Islam,
dan tamat tahun 1952. Kemudian Azami melanjutkan studinya di Fakultas Bahasa
Arab, Jurusan Tadris, Universitas al-Azhar, Cairo, dan tamat tahun 1955 dengan
memperoleh ijazah al-‘Alimiyah. Tahun
itu juga beliau kembali ke tanah airnya, India.
Tahun 1956 Azami diangkat sebagai Dosen Bahasa Arab
untuk orang-orang non Arab di Qatar. Lalu tahun 1957 diangkat sebagai
Sekretaris Perpustakaan Nasional di Qatar (Dar al-Kutub al-Qatriyah). Tahun
1964 Azami melanjutkan studinya lagi di Universitas Cambridge, Inggris, sampai
meraih gelar Ph.D. tahun 1966 dengan disertasi berjudul Studies in Early Hadits Literature. Lalu beliau kembali lagi ke
Qatar untuk memegang jabatan semula. Tahun 1968 beliau mengundurkan diri dari
jabatannya di Qatar dan pindah ke Mekkah untuk mengajar di Fakultas Pasca
Sarjana, Jurusan Syari’ah dan Studi Islam, Universitas King ‘Abd al-‘Aziz (kini
Universitas Umm al-Qura). Beliau, bersama al-Marhum Dr. Amin al-Mishri,
termasuk yang ikut andil mendirikan fakultas tersebut.
Tahun 1973 (1393 H) beliau pindah ke Riyadh untuk
mengajar di Departemen Studi Islam, Fakultas Tarbiyah, Universitas King Saud.
Dan di Universitas ini Ali Mustafa Yaqub bertemu dengan Azami sebagai murid dan
guru, di mana setelah tamat ia mendapat amanat dari Azami untuk menerjemahkan
buku-bukunya. Reputasi Ilmiah Azami melejit ketika pada tahun 1400 H / 1980 M
beliau memenangkan Hadiah Internasional Raja Faisal untuk Studi Islam dari
Lembaga Hadiah Yayasan Raja Faisal di Riyadh.[1]
B.
Pembabat
Orientalis
Apabila Dr. Mustafa al-Siba’i pada tahun 1949 dan
Dr. Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib pada tahun 1963 telah menangkis pikiran-pikiran
Orientalis Ignaz Goldziher yang meragukan otentisitas Hadits, maka Azami dalam
disertasinya telah membabat habis semua pikiran-pikiran orientalis yang
berkaitan dengan kajian otentisitas Hadits. Secara komprehensif Azami telah
mematahkan argument-argumen mereka dan meruntuhkan teori-teorinya.
Nama-nama orientalis seperti Robson, Wensink,
Guillaume, Sachau, dll, terutama Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht, tidak
luput dari serangan balik yang dilancarkan Azami. Karenanya, tidaklah
berlebihan apabila dikatakan bahwa Azami adalah pakar Muslim yang pertama kali
melakukan penghancuran besar-besaran terhadap teori-teori orientalis dalam kajian
Hadits. Azami adalah sosok cendekiawan Muslim yang ideal, karena meskipun
beliau belajar di bawah asuhan tokoh-tokoh orientalis Barat, namun beliau tidak
menjadi terompet yang meneriakkan pikiran-pikiran orientalis di kalangan
masyarakat Islam. Justeru sebaliknya, beliau ibarat boomerang yang menghantam
kembali posisi mereka.
Sementara orientalis yang paling parah dihajar Azami
adalah Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht, karena dua gembong ini dinilai yang
paling berpengaruh dalam hal pembabatan Hadis Nabawi, baik di kalangan
orientalis sendiri maupun di kalangan sementara cendikiawan Muslim. Azami juga
beruntung, karena beliau diizinkan mengkritik Schacht oleh pihak Universitas
Cambridge. Berbeda dengan rekannya, Dr. Muhammad Amin al-Mishri yang tidak dipekenankan
mengkritik Schacht ketika yang akhir ini hendak menulis disertasi.[2]
C.
Orientalis
Bertekuk Lutut
Wajar apabila Dunia Islam mengakui keunggulan Azami
dalam karyanya itu. Dianugrahkannya Hadiah Internasional King Faisal dalam
Studi Islam kepadanya pada tahun 1400 H/1980 M merupakan bukti keunggulan
tersebut. Sementara kalangan Orientalis sendiri juga terpaksa bertekuk lutut
dan harus mengakui kehebatan Azami. Simak saja pernyataan Professor A.J.
Arberry, tokoh Orientalis terkemuka dari Universitas Cambridge, Inggris.
Arberry berkata, “No
doubt the most important field of research, relative to the study of Hadith, is
the discovery, verification, and evaluation of the smaller collections of
Traditions antedating the six canonical collections of al-Bukhari, Muslim and
the rest. In this field Dr. Azami has done pioneer work of the highest value,
and he has done it according to the exact standards of scholarship. The thesis
which presented, and for which Cambridge conferred on him the degree of Ph.D.,
is in my opinion one of the most exciting and original investigations in this
field of modern times.”[3]
D.
Prof.
Schacht dan Isnad
Menurut pengakuannya, Prof. Schacht telah
mempelajari Hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah Fikih serta
perkembangannya. Ia berpendapat bahwa isnad adalah bagian dari “tindakan
sewenang-wenang” dalam Hadits Nabi SAW. Hadits-hadits itu sendiri dikembangkan
oleh kelompok-kelompok yang berbeda-beda yang ingin mengaitkan teori-teorinya
kepada tokoh-tokoh terdahulu.
Robson, dalam mengomentari pendapat Schacht ini
berkata, “Kritik Schacht yang ditujukan kepada isnad sebenarnya sangat
mendasar. Ia juga menunjukkan argument-argumen kuat yang menyatakan bahwa isnad
baru terdapat pada masa belakangan. Tetapi orang-orang merasa ragu untuk
menerima pendapat Schacht dalam masalah Hadits-hadits fiqih lebih tepat dari
pada pendapatnya tentang Hadits-hadits lain, sebab perkembangan dan perubahan
situasi dalam pemikiran-pemikiran hukum selalu menuntut adanya kaidah-kaidah
baru. Namun demikian orang-orang masih merasa ragu dan heran. Apakah argument
Schacht itu tidak meyakinkan?[4]
E.
Schacht
dan Studi Sanad dalam Kitab-kitab Fikih
Prof. Schacht telah mempelajari kitab “al-Muwatta’”
karya Imam Malik, kitab “al-Muwatta’” karya Imam Muhammad al-Syaibani, dan
kitab “al-Umm” karya Imam al-Syafi’i. kitab-kitab ini sebenarnya lebih tepat
disebut sebagai kitab-kitab fikih dari pada kitab-kitab hadits. Namun demikian,
Schacht telah meng-generalisasikan “hasil kajiannya” terhadap kitab-kitab
tersebut sekaligus menerapkannya untuk seluruh kitab-kitab Hadits. Seolah-olah
tidak ada kitab yang khusus mengenai hadits, dan seolah-olah tidak ada
perbedaan anatara watak kitab fikih dan kitab hadits.[5]
F.
Merontokkan
Teori “Projecting Back”
Prof. Dr. Joseph Schacht dalam bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence dan
An Introduction to Islamic Law berkesimpulan
bahwa Hadits – terutama yang berkaitan dengan Hukum Islam – adalah bikinan para
ulama abad kedua dan ketiga hijriah. Ia mengatakan, “We shall not meet any legal tradition from the Prophet which can be
considered authentic.”
Untuk mendukung kesimpulannya ini, Schacht
mengetengahkan teori Projecting Back (Proyeksi ke Belakang), yaitu menisbahkan
(mengaitkan) pendapat para Ahli Fikih abad kedua dan ketiga hijriah kepada
tokoh-tokoh terdahulu agar pendapat itu memiliki legitimasi daro orang-orang
yang mempunyai otoritas lebih tinggi. Menurutnya, para Ahli Fikih telah
mengaitkan pendapat-pendapatnya dengan tokoh-tokoh sebelumnya, sampai kepada
Nabi SAW, sehingga membentuk sanad Hadits. Inilah rekonstruksi terbentuknya
sanad Hadits menurut Schacht yang berarti Hadits-hadits itu tidak otentik
berasal dari Nabi SAW.
Untuk menghancurkan teori Schacht ini, Azami
melakukan penelitian khusus tentang Hadits-hadits Nabawi yang terdapat dalam
Naskah-naskah klasik. Diantaranya adalah Naskah milik Suhail bin Abu Shalih (w.
138 H). Abu Shalih (Ayah Suhail) adalah murid Abu Hurairah sahabat Nabi SAW.
Karenanya sanad (transmisi) Hadits dalam Naskah itu berbentuk: Nabi SAW – Abu
Hurairah – Abu Shalih – Suhail.
Naskah Suhail ini berisi 49 Hadits. Sementara Azami
meneliti para rawi (periwayat) Hadits-hadits itu sampai generasi Suhail, yaitu
jenjang ketiga (al-thabaqah al-tsalitsah), termasuk tentang jumlah dan domisili
mereka. Azami membuktikan bahwa pada jenjang ketiga, jumlah rawi berkisar
antara 20-30 orang, sementara domisili mereka terpencar-pencar dan berjauhan,
antara India sampai Maroko, anatara Turki sampai Yaman. Sementara teks Hadits
yang mereka riwayatkan redaksinya sama.
Maka Azami berkesimpulan, sangat mustahil menurut
ukuran situasi dan kondisi pada saat itu mereka pernah berkumpul untuk membuat
Hadits palsu sehingga redaksinya sama. Dan sangat mustahil pula bila mereka
masing-masing membuat Hadits, kemudian oleh generasi-generasi berikutnya
diketahui bahwa redaksi Hadits yang mereka buat itu sama. Kesimpulan Azami ini
bertolak belakang dengan Schacht, baik tentang rekonstruksi terbentuknya sanad
Hadits, maupun bunyi teks (matan) Hadits.[6]
G.
Kritik
Wensinck terhadap Matan Hadits
Professor Wensinck berkata, “Beberapa decade sesudah
Nabi SAW wafat, terjadi perkembangan dalam pemikiran dan pekerjaan.
Perkembangan ini mengilhami tokoh-tokoh spiritual untuk menjelaskan tentang
semangat Islam yang terdapat dalam Hadits Nabi SAW. Antara lain - dan yang secara umum hal itu paling penting
– Hadits tentang Akidah dan Syahadat, dan Hadits tentang “Islam di atas lima
pilar.”
Menurut Wensinck, sebagai bukti bahwa dua Hadits
tersebut baru dibuat oleh para Sahabat sesudah Nabi SAW wafat adalah sebagai
berikut:
“Nabi SAW tidak pernah mempunyai suatu ungkapan
khusus yang mesti diucapkan oleh orang-orang yang baru memeluk Islam. Ketika
orang-orang Islam bertemu dengan orang-orang Kristen di Syam dan mereka
mengetahui bahwa orang-orang Kristen mempunyai ungkapan khusus, mereka lalu
merasakan perlunya membikin ungkapan atau kalimat seperti itu. Maka mereka pun
mencetuskan semangat Islam dalam bentuk dua Hadits tersebut. Karena Hadits itu
berisi dua syahadat, maka tidak mungkin hal itu berasal dari Nabi SAW.”
Sebenarnya Wensinck sangat mengetahui bahwa dua
syahadat itu merupakan bagian dari tasyahud yang dibaca di akhir setiap dua
rakaat dalam shalat. Seharusnya ia merubah teorinya. Tetapi ia justru menuduh
bahwa shalat itu baru selesai dalam bentuknya yang terakhir ini sesudah nabi
SAW wafat. Aneh sekali kalau demikian. Al-Qur’an sendiri berpuluh-puluh kali
menyuruh untuk shalat, begitu pula hadits-hadits Nabi SAW yang menerangkan
sifat shalat mencapai ribuan. Nabi SAW sendiri tidak pernah mengajarkan shalat
dalam bentuk yang belum sempurna dan membiarkan hal itu diselesaikan oleh para
Sahabat.
Masalahnya tidak berhenti disitu, sebab shalat dalam
Islam dikerjakan secara berjamaah. Orang-orang Islam juga melakukannya demikian.
Al-Qur’an sendiri juga menjelaskan demikian. Dan pada tahun pertama atau kedua
hijriah sudah ada azan, al-Qur’an juga mengisyaratkan hal itu. Sedangkan dua
kalimat syahadat merupakan bagian azan.
Apabila demikian halnya, maka “penyelidikan dan
penelitian” Wensinck adalah omong kosong belaka. Kecuali apabila Wensinck juga
berteori bahwa azan itu merupakan ibadah yang dibikin pada masa belakangan yang
meniru orang-orang Kristen Bizantium. Dan beginilah contoh kritik seorang
orientalis yang telah menghabiskan umurnya untuk membuat Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadits.[7]
H.
Daftar
Pustaka
Azami,
M.M., Hadis Nabawi dan Sejarah
Kodifikasinya, diterjemahkan oleh Prof. Dr. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A.
dari “Studies In Early Hadith Literature”,
Cetakan Kelima,(Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2012).
Yaqub,
Ali Mustafa, Kritik Hadits, Cetakan
Keenam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011).
[1]
Prof. Dr. M.M. Azami, Hadis Nabawi dan
Sejarah Kodifikasinya, diterjemahkan oleh Prof. Dr. K.H. Ali Mustafa Yaqub,
M.A. dari “Studies In Early Hadith
Literature”, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2012), Cetakan Kelima, h. 700.
[2]
Prof. Ali Mustafa Yaqub, M.A., Kritik
Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), Cetakan Keenam, h. 26.
[3]
Prof. Ali Mustafa Yaqub, M.A., Ibid. h. 26-27.
[4]
Prof. Dr. M.M. Azami, op. cit. h. 534.
[5]
Prof. Dr. M.M. Azami, ibid, h. 538-539.
[6]
Prof. Ali Mustafa Yaqub, M.A., op. cit, h. 27-29.
[7]
Prof. Dr. M.M. Azami, op. cit. h. 613-615.
No comments:
Post a Comment